Makalah Pai (Hukum Islam) - Kelompok 4 - Matematika
Makalah Pai (Hukum Islam) - Kelompok 4 - Matematika
“HUKUM ISLAM”
Disusun Oleh:
Windasari (K1B017069)
JURUSAN MATEMATIKA
2018/2019
KATA PENGANTAR
Pendidikan Agama Islam sudah menjadi salah satu Mata Kuliah Wajib Umum
(MKWU) pada Perguruan Tinggi dan memiliki posisi yang strategis dalam proses
pembelajaran dan pembentukkan karakter seorang mahasiswa. Dengan Pendidikan
Agama Islam diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menaati aturan yang ada
sebagai seorang muslim sesuai Hukum Islam.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................5
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 5
BAB II ................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
2.1 Pengertian Hukum Islam ....................................................................................... 6
2.2 Ruang Lingkup Hukum Islam ............................................................................... 8
2.3 Karakteristik Hukum Islam................................................................................. 10
2.4 Sumber-sumber Hukum Islam ............................................................................ 15
BAB III............................................................................................................................. 23
PENUTUP........................................................................................................................ 23
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 23
3.2 Saran ...................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
B. Al Qur’an
Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a
artinya ' membaca. Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan
'apa yang tertulis padanya'. Seperti tertuang dalam ayat Al-
Qur'an : - Secara istilah Alqur'an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf
berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas Al-
Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an:
“Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada
Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara
mutawatir dengan tidak diragukan.
Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an,
meliputi
(a).Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan keimanan kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada
Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari akhirat.
(b).Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan akhlak. manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi
prilaku yang buruk.
(c).Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua;
mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalam arti yang luas.
Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah
4 Amir Syarifudin, Ushul... hlm.51.
5
Ibid
dan bidang al-Ahwal al-Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau
keluarga. disebut lebih terperinci dibanding dengan bidang-
bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia
memerlukan bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal
beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak manusia yang
menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan teguran, sedang
keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan
memberi warna terhadap yang lainnya.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya
bersifat umum, memberi peluang kepada manusia untuk berpikir,
tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan pengaturan yang
bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam berbagai
lapisan masyarakat, dan berbagai kasus dalam sepanjang
jaman. Hukum Islam memberi peluang kepada masyarakat dan
manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun kemajuan
dan kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas perinsip
umum Alqur'an. Perinsip umum itu adalah Tauhidullah,
persaudaraan, persatuan dan keadilan.
Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara
yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai
beberapa arti: = dekat, = baru, = berita. Dari arti-arti di atas maka yang
sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti
dalam firman Allah Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh adalah
semua yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan. Adapun Hubungan Al-Sunnah
dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung di
dalamnya sebagai berikut :
a. Muaqqid
Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan
Al-Qur'an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya
tentang Shalat, zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh
Al-sunnah.
b. Bayyan
Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang
belum jelas,dalam hal ini ada tiga hal :
(1).Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih
mujmal, misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal,
diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan
shaum. Dalam Shalat misalnya.
(2).Membatasi Kemutlakan(Taqyid Al Muthlaq)
Misalnya: Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak
dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya.
(3). Mentakhshishkan keumuman,
Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan
daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan
memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati
dan limpa.
(4) Menciptakan Hukum Baru
Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat,
dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an.
c. Ijma
1) Pengertian
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu:
Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan: “suatu kaum
ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila
mereka menyepakatinya.
‘azzam(cita-cita, hasrat) dan tasmin
Seperti dalam firman Allah:
)71( .ش َركَا َء ُك ْم ُ فَأَجْ ِمعُ ْوا أ َ ْم َر ُك ْم َو
Artinya:
Maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu.(surat Yunus
ayat 71)
Maksudnya, cita-citakanlah apa urusanmu.
Demikian juga terdapat dalam hadits Nabi saw.:
.ص ْو ِم لَي اْال
َّ صيَ ِام ِل َم ْن لَ ْم يَجْ َمعِ ال ِ َال
Artinya:
Tidak sah puasa seseorang yang tidak mengijma’kan
puasa itu di malam hari.
Maksudnya, tidak mencita-citakannya.
Ijma’ menurut syara’(dalam pandangan jumhur) adalah
kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan dengan
masa setelah wafatnya Nabi saw. tentang suatu hukum syara’ yang
amali.
2) Unsur-unsur Al-Ijma’
Menurut Jumhur Ulama, Ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi
persyaratan atau unsur-unsur sebagai berikut.
a) Bersepakatnya para Mujtahid
Kesepakatan bukan mujtahid(orang awam) tidak
diakui sebagai ijma’. Demikian juga kesepakatan ulama
yang belum mencapai martabat ijtihad fiqhy,
sekalipunmereka tergolong Ulama besar dalam disiplin
ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu mengadakan
mazhar atau istidlal tentang urusan penetapan hukum
syara’. Imam Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang
pembicara yang tidak mengetahui cara Istinbath hukum
dari nash, tidak diakui perintah dan larangannya.
Berdasarkan prinsip ini,maka apabila pada suatu
masa tidak terdapat para mujtahid, tidaklah terwujud
ijma’ syar’i. Sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang
diperlukan untuk mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang
karena itulah sekurang-kurangnya jumlah jama’ah. Oleh
karena itu, ijma’ tidak terwujud ijma’ tidak akan
terwujud jika terdapat seorang mujtahid saja atau dua
orang. Sebagian ulama mensyaratkan jumlah itu harus
mencapai batas tawatur sehingga aman dari terjadinya
kesalahan.
b) Semua Mujtahid Bersepakat
Tidak ada seorang dari para mujtahid yang
berpendapat lain mengenai suatu permasalahan. Kalau
satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak
tersimpul.
Beberapa kesepakatan yang tidak diakui sebagai
ijma’ oleh sebagian jumhur ulama, yaitu:
Kesepakatan berdasarkan jumlah suara terbanyak
Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari
golongan salaf
Kesepakatan ulama salaf kota Madinah saja
Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari kota
Basrah dan Kuffah, atau salah satunya saja
Kesepakatan ahli bait Nabi saja
Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja
Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar
karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain,
membuat kesepakatan mereka tidak qath’y(diyakini)
keabsahan dan kebenarannya.
c) Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada
ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan
dan dibahas, tidak selalu disepakati pula oleh mujtahid
generasi berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’
takkan terjadi sampai kiamat.
Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para
mujtahid yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Tetapi, sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh
ulama yang berijma’ itu meninggal barulah
dilaksanakan(berlakunya), karena selama mereka masih
hidup, bisa terjadi penarikan pendapat mereka.
d) Kesepakatan Mujtahid itu terjadi setelah wafatnya Nabi
saw.
Jika dikala Nabi saw. masih hidup para sahabat
bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka bukan
termasuk ijma’ syar’i melainkan merupakan pengakuan
Rasul(Sunnah Taqqririyah).
e) Para Mujtahid Mengeluarkan Masing-masing
Pendapatnya
Masing-masing mujtahid memulai penyampaian
pendapatnya dengan jelas pada satu waktu,baik
pernyataan pendapat itu secara perorangan tanpa
berkumpul bersama kemudian semuanya dikumpulkan
dan ternyata sama,maupun masing-masing mereka
mengeluarkan pendapatnya di ruangan yang sama dalam
suatu mu’tamar yang berakhir dengan kebulatan
pendapat dimana masing-masingnya menyatakan
pemufakatan dan persetujuan.
3) Macam-macam Ijma’
Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing
mujtahid menyatakan dan menegaskan pendapatnya,
baik berupa ucapan ataupun tulisan.
Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan
pendapatnya sedangkan mujtahid lain diam saja dan tak
seorangpun yang mengingkarinya.
4) Contoh-contoh Ijma’
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah Rasul
Wafat
Pengkodifikasian al-qur’an pada masa pemerintahan Abu
Bakar dengan usulan khalifah Umar, sehingga Abu
Bakar mengumpulkan para ulama’ untuk bersepakat
dalam pembukuan al-qur’an.
Penetapan tanggal 1 syawal atau 1 ramadhan, maka harus
disepakati oleh ulama’ di negerinya masing-masing.
d. Qiyas
1) Pengertian
Manurut bahasa adalah mempersamakan
Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak
ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa
hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan
hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Al Baidhawy di dalam Kitabnya Al Minhaj
mendefinisikan qiyas dengan:
َار ِكتَ ِه لَهُ فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُح ْك ِم َعلَى
َ ساواَةِ ُح ْك ِم ْال ُم ْعلُ ْو ِم فِ ْي َم ْعلُ ْو ٍم آخ ََر ِل ُمش َ ت ُم ِ اِثْبَا
. َْال ُمثْ ِبت
Artinya:
Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi
dengan sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena
samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap.
2) Unsur-unsur Qiyas
a) Peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebut asal atau maqis ‘alaih
b) Peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya
oleh nash dan untuk mencari hukum tersebutlah sasaran
qiyas, disebut furu’ atau cabang dan maqis
c) Hukum asal, yaitu hukum yang dibawa oleh nash
terhadap peristiwanya.
d) ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syar’i sebagai
landasan hukum terhadap peristiwa hukum yang disebut
nash.
3) Macam-macam Qiyas
a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan
adanya hukum dan yang disamakan(mulhaq) mempunyai
hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan
memukul kedua orang tua dengan mengatakan
“ah”(cih,hus) kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’
ayat 23.
)23(...ف ٍ ُ فَ َال تَقُ ْل لَ ُه َما أ...
Artinya:
...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah”...
b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya
mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat
dalam mulhaq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang
terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar
harta anak yatim disamakan dengan memakan harta anak
yatim(surat An-Nisa’ ayat 10).
َصلَ ْون
ْ َسيَ َارا َوط ْونِ ِه ْم ن ا ُ ُظ ْل اما اِنَّ َما يَأ ْ ُكلُ ْونَ فِ ْي ب
ُ ِإ َّن الَّ ِذيْنَ يَأ ْ ُكلُ ْونَ أ َ ْم َوا َل اْليَت َا َمى
.س ِعي اْرا َ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala(neraka).
c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada
pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak
mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta
milik anak kecil kepada harta orang dewasa dalam
kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa
seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat
bertambah.
d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat
diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung
banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang
budak yang dapat diqiyaskan dengan orang merdeka
karena sama-sama keturunan Nabi Adam as. dan dapat
diqiyaskan dengan harta benda karena sama-sama dapat
dimiliki. Tapi, budak tersebut diqiyaskan dengan harta
benda karena dapat diperjual belikan, dihadiahkan,
diwariskan dan lain sebagainya.
4) Contoh-contoh Qiyas
a) Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan
kepadanya meminum perasan lain yang menjadi khamar
dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar,
karena samanya dalam ‘illat keharamannya yaitu
memabukkan.
b) Jual beli waktu akan shalat Jum’at dilarang dengan nash.
Diqiyaskan kepadanya segala bentuk transaksi dan
transfer dalam waktu itu, karena sama-sama menghalangi
ingat kepada Allah.
c) Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti
terhadap yang membubuhinya. Diqiyaskan kepadanya,
surat yang dicap jari, karena sama-sama menunjukkan
identitas pelakunya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dari hasil pembahasan pada makalah yang telah penulis susun, penulis
memberikan saran bagi semua pembaca dari segala aspek untuk bisa memahami
dan menaati aturan yang ada sebagai seorang muslim sesuai Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA