FIQH
MUAMALAH
Sumber Hukum Ekonomi
Islam
02
Ekonomi dan Bisnis Akuntansi P321730002 Addys Aldizar, LSQ, MA
Abstract Kompetensi
Sumber hukum ekonomi Islam tidaklah Mahasiswa dapat mengetahui dan
berbeda dengan sumber hukum Islam memahami sumber hukum ekonomi
secara hukum, yaitu Al-Quran dan syariah sehingga menjadi dasar dalam
sunah Rasul. Selain dua hukum utama mengkaji dan menentukan aktivitas
ini, ada ijmak dan kias. Karena ekonomi yang belum ada hukumya.
perkembangan zaman melahirkan
transaksi-transaksi modern pada saat
ini, maka tidak sedikit kasus baru
bermunculan dan membutuhkan
kepastian hukum syariahnya. Itulah
sebabnya mengapa ijtihad dalam
hukum Islam masih berperan, sebagai
solusi menghadapi problematika masa.
A. Definisi Dalil
Ilmu usul fikih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu
hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian,
usul fikih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil
menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk,
tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang nonmaterial (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama usul fikih mengemukakan mengenai definisi
dalil, yaitu: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syarak yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya,
baik secara qati’ (pasti) maupun zanni (kuat).
Selain itu, beberapa definisi tentang dalil menurut para ahli usul fikih, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abdul Wahhab as-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai
objek informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli usul fikih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu
yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”.
3. Menurut Wahbah az-Zuhaili dan Abdul Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syarak yang
bersifat praktis.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan Al-Quran dan as-sunah sebagai
dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai
dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang
selebihnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah sesuatu yang daripadanya diambil
hukum syarak yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan
jalan qati’ maupun dengan jalan zanni mengenai pandangan kebenaran.
Definisi
Dari segi bahasa, lafal Al-Quran berasal dari lafal qira’ah, yaitu masdar (infinitif) dari
lafal qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafal ini memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapi”. Sedangkan secara istilah, Al-Quran ialah Kitab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita
dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Quran adalah Kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Quran
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Al-Quran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala
urusan, hendaknya ia berhakim kepada Al-Quran. Al-Quran lebih lanjut memerankan fungsi
Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran itu ada 3 macam, yaitu: pertama,
hukum-hukum i’tiqadiyyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para
mukalaf untuk beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. rasul-rasul-
Nya, dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlak. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan
kewajiban mukalaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan
dirinya dari sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum ‘amaliyyah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak
dicapai oleh ilmu usul fikih.
Hukum-hukum ‘amaliyyah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadah. Misalnya, salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum muamalah. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
2. Sunah
Definisi
Sunah atau hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik
berupa ucapan, perbuatan maupun sikap diam tanda setuju Nabi saw. Sesuai dengan tiga
hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah saw, maka sunah dapat dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan
kejadian. Misal sabda beliau, “Tidak ada kemudaratan dan tidak pula memudaratkan” (HR.
Malik). Hadis ini termasuk sunah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada
umat Islam agar tidak membuat kemudaratan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Misal, tindakan beliau
melaksanakan salat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat, dan rukun-
rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
Kehujahan Sunah
Kedudukan sunah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Al-Quran dan hadis, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para
sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunah Rasulullah saw. Para
ulama telah sepakat bahwa sunah dapat dijadikan hujah (dalil) dalam menentukan hukum.
Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti), yaitu ta’ah dan qurbah (dalam taat
dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan akidah dan ibadah, tetapi ada juga
yang gair mutaba’ah (tidak diikuti), yaitu jibiliyyah (budaya) dan khususiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan
yang disukai. Adapun contoh khususiyyah adalah beristri lebih dari empat, puasa wisal
sampai dua hari dan salat sunah dua rakaat setelah salat Asar.
Hukum-hukum yang dipetik dari sunah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum
yang diistinbatkan dari Al-Quran sebagaimana diungkapkan dalam Quran Surah Ali ‘Imran
ayat 32, an-Nisa’ ayat 80, 59, dan 65; dan al-Ahzab ayat 36.
3. Ijmak
Definisi
Menurut ulama usul fikih, ijmak adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara
umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syarak tentang
suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh
mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap
suatu hukum mengenai kejadian tersebut, kesepakatan mereka itulah yang disebut ijmak.
Kehujahan Ijmak
Apabila keempat rukun ijmak terpenuhi: (1) adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, (2) adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar
belakang, (3) adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, (4) realisasi dari kesepakatan
mujtahid dengan diadakan perhitungan pada suatu masa di antara masa sesudah
Rasulullah saw wafat terhadap semua mujtahid umat Islam menurut perbedaan latar
belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syaraknya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat, baik
secara kolektif maupun secara individual, kemudian mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa, maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang
syarak yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi, kehujahan ijmak sebagaimana dalam Al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati perintah-Nya, Rasul, dan juga ulil
amri. Ibnu Abbas menafsirkan ulil amri sebagai ulama. Jika ulama telah sepakat mengenai
sesuatu hukum, hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
Macam-macam Ijmak
Dilihat dari segi melakukan ijtihad, ijmak itu ada dua bagian yaitu:
1) Ijmak sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.
4. Kias
Pengertian
Kias menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contoh, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama usul
fikih, kias adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nasnya kepada kejadian lain
yang ada nasnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara
dua kejadian itu dalam ilat (sebab hukum) hukumnya. Misal, masalah meminum khamr
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nas. Hukumnya haram
berdasarkan QS. al-Ma’idah ayat 90, dengan ilat memabukkan. Oleh karena itu, setiap
minuman yang terdapat ilat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.
Rukun Kias
0
hukum islam atau maqasid syariah di dunia ada 5 Hal, yang dikenal degan al – maqasid al –
Khomsah yaitu :
1. Memlihara Agama (Hifdz al-Dzin). Yang dimaksud dengan agama disini adalah agama
dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia dengan Allah Swt.
2. Memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk didaamnya bagian kedua ini, larangan
membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larang menghina dan lain sebgainya dan
kewajiban menjaga diri.
3. Memelihra keturunan dan kehormatan (Hifdz al-Nas/irdl). Seperti aturan aturan tentang
pernikahan, larangan perzinahan, dan lain – lain
4. Memlihara harta (Hifdz al-Mal). Termasuk Bagian ini, kewajiban kasb alhalal, larangan
mencuri dan menghasab harta orang.
5. Memlihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk didalamnya larangan meminum minuman keras
dan kewajiban menuntut ilmu.
‘19
1 Fiqh Muamalah
Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja
yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan
pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga
kepentingan tersebut.
Daftar Pustaka
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
‘19
1 Fiqh Muamalah
Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id