Anda di halaman 1dari 12

MODUL PERKULIAHAN

FIQH
MUAMALAH
Sumber Hukum Ekonomi
Islam

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

02
Ekonomi dan Bisnis Akuntansi P321730002 Addys Aldizar, LSQ, MA

Abstract Kompetensi
Sumber hukum ekonomi Islam tidaklah Mahasiswa dapat mengetahui dan
berbeda dengan sumber hukum Islam memahami sumber hukum ekonomi
secara hukum, yaitu Al-Quran dan syariah sehingga menjadi dasar dalam
sunah Rasul. Selain dua hukum utama mengkaji dan menentukan aktivitas
ini, ada ijmak dan kias. Karena ekonomi yang belum ada hukumya.
perkembangan zaman melahirkan
transaksi-transaksi modern pada saat
ini, maka tidak sedikit kasus baru
bermunculan dan membutuhkan
kepastian hukum syariahnya. Itulah
sebabnya mengapa ijtihad dalam
hukum Islam masih berperan, sebagai
solusi menghadapi problematika masa.

A. Definisi Dalil
Ilmu usul fikih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu
hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian,
usul fikih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil
menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk,
tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang nonmaterial (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama usul fikih mengemukakan mengenai definisi
dalil, yaitu: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syarak yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya,
baik secara qati’ (pasti) maupun zanni (kuat).
Selain itu, beberapa definisi tentang dalil menurut para ahli usul fikih, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abdul Wahhab as-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai
objek informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli usul fikih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu
yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”.

3. Menurut Wahbah az-Zuhaili dan Abdul Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syarak yang
bersifat praktis.

Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan Al-Quran dan as-sunah sebagai
dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai
dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang
selebihnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah sesuatu yang daripadanya diambil
hukum syarak yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan
jalan qati’ maupun dengan jalan zanni mengenai pandangan kebenaran.

B. Dalil Hukum yang Disepakati

‘19 Fiqh Muamalah


2 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Berdasarkan penelitian, dapat dipastikan bahwa jumhur ulama bersepakat
menetapkan empat sumber dalil (Al-Quran, as-sunah, ijmak, dan kias) sebagai dalil yang
disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang
terakhir (ijmak dan kias). A. Hassan, Guru Persatuan Islam, menganggap sulit terjadinya
ijmak, terutama setelah masa sahabat, demikian juga Muhammad Hudari Bek. Para ulama
dari kalangan mazhab Zahiri (di antara tokohnya adalah Imam Dawud dan Ibnu Hazm al-
Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui kias sebagai dalil
yang disepakati.
Untuk lebih jelas, berikut disajikan dalil yang disepakati, yaitu: Al-Quran, sunah,
ijmak, dan kias.
1. Al-Quran

Definisi

Dari segi bahasa, lafal Al-Quran berasal dari lafal qira’ah, yaitu masdar (infinitif) dari
lafal qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafal ini memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapi”. Sedangkan secara istilah, Al-Quran ialah Kitab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita
dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.

Al-Quran adalah Kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Quran
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Dapat disimpulkan, Al-Quran ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan


kepada Malaikat Jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad saw, isinya tak dapat
ditandingi oleh siapa pun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada
umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai
suatu ibadah.

Kedudukan Al-Quran sebagai Sumber Hukum

Al-Quran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala
urusan, hendaknya ia berhakim kepada Al-Quran. Al-Quran lebih lanjut memerankan fungsi

‘19 Fiqh Muamalah


3 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu.
Misalnya, kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Quran juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan
berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan
pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang Mahabijaksana dan Maha
Terpuji.
Pada setiap problem itu Al-Quran meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan
dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan
yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, Al-Quran selalu memperoleh
kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah
menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah
suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara
dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan
keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan
kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan
ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah.”

Hukum-hukum dalam Al-Quran

Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran itu ada 3 macam, yaitu: pertama,
hukum-hukum i’tiqadiyyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para
mukalaf untuk beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. rasul-rasul-
Nya, dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlak. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan
kewajiban mukalaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan
dirinya dari sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum ‘amaliyyah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak
dicapai oleh ilmu usul fikih.
Hukum-hukum ‘amaliyyah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadah. Misalnya, salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum muamalah. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum

‘19 Fiqh Muamalah


4 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum
selain ibadah menurut syarak disebut dengan hukum muamalah.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan
dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Quran yang berkaitan dengan
ibadah dan ahwal as-syakhsiyyah sudah teperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini
bersifat ta’abudi (ibadah) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk
menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran
perubahan suasana dan lingkungan.
Selain hukum-hukum ibadah dan ahwal asy-syakhsiyyah seperti hukum perdata,
pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyyah), internasional (dauliyyah), dan ekonomi
dan keuangan (iqtisadiyyah wa al-maliyyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan
ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang
sudah teperinci. Hal itu disebabkan hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dibutuhkan.
Dalam hal ini, Al-Quran hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar
yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan
perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan
pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan spirit
syariat.

2. Sunah

Definisi

Sunah atau hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik
berupa ucapan, perbuatan maupun sikap diam tanda setuju Nabi saw. Sesuai dengan tiga
hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah saw, maka sunah dapat dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan
kejadian. Misal sabda beliau, “Tidak ada kemudaratan dan tidak pula memudaratkan” (HR.
Malik). Hadis ini termasuk sunah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada
umat Islam agar tidak membuat kemudaratan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Misal, tindakan beliau
melaksanakan salat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat, dan rukun-
rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

‘19 Fiqh Muamalah


5 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3) Sunah taqririyyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sendiri.

Kehujahan Sunah
Kedudukan sunah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Al-Quran dan hadis, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para
sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunah Rasulullah saw. Para
ulama telah sepakat bahwa sunah dapat dijadikan hujah (dalil) dalam menentukan hukum.
Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti), yaitu ta’ah dan qurbah (dalam taat
dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan akidah dan ibadah, tetapi ada juga
yang gair mutaba’ah (tidak diikuti), yaitu jibiliyyah (budaya) dan khususiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan
yang disukai. Adapun contoh khususiyyah adalah beristri lebih dari empat, puasa wisal
sampai dua hari dan salat sunah dua rakaat setelah salat Asar.
Hukum-hukum yang dipetik dari sunah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum
yang diistinbatkan dari Al-Quran sebagaimana diungkapkan dalam Quran Surah Ali ‘Imran
ayat 32, an-Nisa’ ayat 80, 59, dan 65; dan al-Ahzab ayat 36.

Hubungan Sunah dengan Al-Quran


Sunah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Quran dan sunah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya
dengan Al-Quran, sunah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, sunah sebagai penjelas bagi Al-
Quran disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah, firman Allah swt dalam QS.
al-Hasyr ayat 7, an-Nahl ayat 44 dan 64.

Fungsi Sunah Terhadap Al-Quran


Fungsi sunah terhadap Al-Quran dari segi kandungan hukum mempunyai tiga fungsi
sebagai berikut.
1) Sebagai penguat hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Quran. Hukum tersebut
mempunyai dua dasar hukum, yaitu Al-Quran sebagai penetap hukum dan sunah sebagai
penguat dan pendukungnya. Misal, perintah mendirikan salat, mengeluarkan zakat, larangan
syirik, riba, dan sebagainya.
2) Sebagai penjelas.

‘19 Fiqh Muamalah


6 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3) Sebagai pengkhusus dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global),
‘am (umum) atau mutlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Quran yang belum jelas
petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam sunah.
Misal, perintah salat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan sunah. Nabi saw bersabda,
“Salatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku salat” (HR. Bukhari).

3. Ijmak

Definisi

Menurut ulama usul fikih, ijmak adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara
umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syarak tentang
suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh
mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap
suatu hukum mengenai kejadian tersebut, kesepakatan mereka itulah yang disebut ijmak.

Kehujahan Ijmak
Apabila keempat rukun ijmak terpenuhi: (1) adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, (2) adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar
belakang, (3) adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, (4) realisasi dari kesepakatan
mujtahid dengan diadakan perhitungan pada suatu masa di antara masa sesudah
Rasulullah saw wafat terhadap semua mujtahid umat Islam menurut perbedaan latar
belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syaraknya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat, baik
secara kolektif maupun secara individual, kemudian mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai suatu peristiwa, maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang
syarak yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi, kehujahan ijmak sebagaimana dalam Al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati perintah-Nya, Rasul, dan juga ulil
amri. Ibnu Abbas menafsirkan ulil amri sebagai ulama. Jika ulama telah sepakat mengenai
sesuatu hukum, hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.

Macam-macam Ijmak
Dilihat dari segi melakukan ijtihad, ijmak itu ada dua bagian yaitu:
1) Ijmak sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.

‘19 Fiqh Muamalah


7 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2) Ijmak sukuti, yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau
perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qat’i dan zanni dalalah hukumnya, ijmak ini terbagi
menjadi dua bagian juga, yaitu sebagai berikut.
1) Ijmak Qat’i. Dalalah hukumnya ijmak sarih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada
jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan
ijtihad hukum syarak mengenai suatu kejadian setelah adanya ijmak sarih.
2) Ijmak Zanni. Dalalah hukumnya ijmak sukuti, hukumnya diduga berdasarkan dugaan
kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu, masih memungkinkan adanya ijtihad lain,
sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.

4. Kias

Pengertian

Kias menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contoh, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama usul
fikih, kias adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nasnya kepada kejadian lain
yang ada nasnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara
dua kejadian itu dalam ilat (sebab hukum) hukumnya. Misal, masalah meminum khamr
merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nas. Hukumnya haram
berdasarkan QS. al-Ma’idah ayat 90, dengan ilat memabukkan. Oleh karena itu, setiap
minuman yang terdapat ilat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya.

Rukun Kias

Setiap kias terdiri atas empat rukun sebagai berikut.


1) Al-Asl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nas. Rukun ini biasa disebut maqis
‘alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2) Al-Far’u, ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nas dan hukumnya
disamakan kepada al-asl, biasa disebut juga al-maqis (yang diukur).
3) Hukmul Asl, ialah hukum syarak yang terdapat nasnya menurut al-asl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-far’u.

‘19 Fiqh Muamalah


8 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
4) Al-‘Illah, ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum al-asl, kemudian al-far’u
itu disamakan kepada al-asl dalam hal hukumnya.
C. Maqasid Syariah
Secara bahasa, maqasid syariah terdiri atas dua kata, yakni maqasid dan syariah.
Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syariah
secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai
jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Maqasid syariah atau tujuan akhir ilmu fikih adalah mencapai keridaan Allah swt;
dengan melaksanakan syariatnya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual,
hidup berkeluarga, maupun hidup bermasyarakat.
Banyak orang terkadang menanyakan sesuatu atau perbuatan apa hukumnya,
apakah itu boleh, apakah itu haram, apakah itu halal, atau bahkan sudahkah sesuai dengan
nilai-nilai syariah yang telah ditentukan dan diridai oleh Allah swt. Sesungguhnya setiap apa
yang kita lakukan selayaknya kita dasarkan pada syariah Islam, tak perlu menanyakan
hukumnya. Akan tetapi, kita pelajari dan dalami syariah Islam karena setiap pedoman hidup
seorang muslim adalah Al-Quran dan hadis yang telah terpampang dalam syariah Islam.
Dalam syariah Islam, beberapa pedoman yang harus kita perhatikan dalam
kehidupan ini adalah bagaimana kita menjaga jiwa kita, agama, akal, harta, serta keturunan
kita dan pedoman-pedoman tersebut tidak terlepas dari hubungan kita dengan Allah atau
hablum minallah, dan hubungan kita dengan sesama manusia atau hablum minannas.

Pendapat Ulama Mengenai Maqasid Syariah


Dalam al-Muwafaqat, asy-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda
berkaitan dengan maqasid syariah. Kata-kata itu adalah al-maqasid asy-syari’ah, al-
maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqasid min syar’i al-hukm.
Menurut asy-Syatibi, sebagaimana yang dikutip dari ungkapannya sendiri,
dinyatakan,
“Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh asy-Syatibi,
“Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba.”
Jadi, maqasid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan
sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fikih tentang
istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap
maqasid, malah asy-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah
memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun, ini tidak bermakna mereka mengabaikan
maqasid syari’ di dalam hukum-hukum syarak. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat

‘19 Fiqh Muamalah


9 Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang dengan
pelbagai inilah menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama
mutakhir selepas mereka. Yang pasti bahwa nilai-nilai maqasid syariah itu terkandung di
dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai
maqasid syariah itu sendiri memang telah terkandung di dalam Al-Quran dan sunah.
Al-‘Izz bin Abdul Salam juga berpendapat demikian, beliau mengatakan, "Syariat itu
semuanya maslahah,menolak kejahatan atau menarik kebaikan.”
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang mendasar, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Di sisi yang lain, ada juga ulama klasik
yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.
Kesimpulannya, maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai
oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-
maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah
menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.) Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan
langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia,
atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di
dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak
memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi
mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukummuamalah, yaitu
berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak
mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram.
Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara
ibadah dengan muamalah.

C. Macam – macam Maqasid Syariah


a.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer
manusia (Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta.
Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi
manusia kebutuhan primernya. Untuk itu imam al – Syatibi telah melakukan istiqra’ atau
penelitian yang digali dari al – Quran maupun sunnah yang menyimpulkan bahwa tujuan
‘19
1 Fiqh Muamalah
Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

0
hukum islam atau maqasid syariah di dunia ada 5 Hal, yang dikenal degan al – maqasid al –
Khomsah yaitu :
1. Memlihara Agama (Hifdz al-Dzin). Yang dimaksud dengan agama disini adalah agama
dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia dengan Allah Swt.
2. Memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk didaamnya bagian kedua ini, larangan
membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larang menghina dan lain sebgainya dan
kewajiban menjaga diri.
3. Memelihra keturunan dan kehormatan (Hifdz al-Nas/irdl). Seperti aturan aturan tentang
pernikahan, larangan perzinahan, dan lain – lain
4. Memlihara harta (Hifdz al-Mal). Termasuk Bagian ini, kewajiban kasb alhalal, larangan
mencuri dan menghasab harta orang.
5. Memlihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk didalamnya larangan meminum minuman keras
dan kewajiban menuntut ilmu.

b.)Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder


manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu
yangdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan
mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi
mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah,
muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan
dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,
kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan
hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan
ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan),
mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap
manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. KetikaIslam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’),
maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya
sebelum sempurna .

‘19
1 Fiqh Muamalah
Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

1
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja
yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan
pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga
kepentingan tersebut.

Daftar Pustaka

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya: Jakarta
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.

‘19
1 Fiqh Muamalah
Addys Aldizar, LSQ, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai