Anda di halaman 1dari 3

NARASI PASKAH

DARI VIA DOLOROSA DI KAMIS PUTIH,


JUMAT AGUNG DRAMATIS,
SABTU HENING YANG MENCEKAM,
HINGGA PASKAH DI MINGGU KEMENANGAN

“ Betapa Aku rindu ingin makan Paskah bersama kalian…


karena, ini adalah paskah-Ku yang terakhir bersama kalian…”
Demikian Engkau katakan dengan nada mulai getir di Kamis sore itu.

Roti Engkau bagikan kepada sahabat-sahabat-Mu


Cawan Engkau berikan kepada Petrus, Andreas, Yakobus, dan muridMu yang lain…
Yudas juga tanpa kecuali….
“ Inilah tubuhKu, inilah darahKu…..”
Begitu Kau ucapkan.

Paskah kali itu menjadi sangat beda……


karena ….., akan dikenang dalam pengenangan abadi.
Sampai hari ini.
dalam hidup kami.

Selesai Perjamuan………………..
Engkau mengajak semua ke tempat yang para muridMu hapal.
Yudas tentu tidak serta….,
Ia dalam kegalauannya dan kebingunnya sendiri.
Ia pun akan sampai pada penyesalan yang tak berkeputusan.
Maut yang akan mengakiri penyesalannya.

Di taman itu…..
Kau hampiri Bapa dalam doa penuh kegentaran.
PeluhMu menetes laksana darah, mengungkapkan betapa beratNya pergumulanMu.
“Bapa…., jika boleh, cawan ini biarlah berlalu
Kutuk dan kenestapaan ini jangan Kau timpakan kepadaKU
Salib itu teramat berat untuk Ku tanggung….”
Begitu Kau ungkapkan kegentaranMu…

Pergumulan itu Kau tanggung sendiri.


Petrus yang pemberani, Andreas yang gagah, Yakobus yang kekar tangannya,
Semau telah tidur.
Mereka rupanya keletihan.

Namun…..
KemenanganMu telah tampak….
Ketika akhirnya Kau berani berkata kepada Bapa…
“ namun Bapa, biarlah kehendakMu bapa yang jadi…”
Begitu Engkau tantang maut, kutuk dan kenestapaan.

Derita dan penderitaan semakin nyata…


saat rombongan para pendusta itu menangkap, mengikat, mendorongMu dengan kasar..
Tamparan, tendangan, tempelengan mulai bertubi-tubi menderamu.
Makian, seribu satu kata kata kotor, sumpah serapah diteriakkan di telingaMu.

Malam yang letih, sakit, harus Kau jalani.

Dari taman itu…


Kau digelandang ke rumah si busuk Hanas dan Kayafas…
Anak dan mertua yang sama-sama tamak itu.
Yang di balik kedok baju keimamannya, tersimpan hati yang pendengki dan culas.

Lalu ke rumah Pilatus…


Wali negri yang tak lain adalah seorang pengecut dan pecundang.
Yang mengingkari hati nuraninya….,
Tidak berani berkata tidak….
Meskipun tidak menemukan kebenaran dakwaan atas diriMu

Semua menohok dan menikamMU


Mereka yang beberapa hari yang lalu bersorak-sorak “Hosana-hosana”
Kini berteriak “salibkan Dia-salibkan Dia.”
Kefas si Pemberani yang macho itupun, tega nian mengingkari diriMu
Ah…Petrus, ternyata engkau juga kecut dan takut….

Apapun yang terjadi…


Dakwaan harus berlaku……
Tak ada pembela dalam peradilan yang penuh kelicikan malam itu……
Semua menjadi saksi yang memberatkanMu
Dengan teriakan-teriakan “salibkan Dia-salibkan Dia yang penuh kegeraman….
Vonis mati, tidak boleh tidak harus terjadi…
Eksekusi hares dilakukan,
Esok Jumat
Tidak dapat ditunda lagi
Jangan sampai hari Sabat……

Jumat dini hari menjelang……………………..


Matahari terbit……., lalu sangat terik……
Terseok-seok…….Engkau dalam keletihan dan kesakitan.
Darah bercampur dengan keringat…..
Menetes, memenuhi sekujur tubuhMu yang nyaris tak dikenali lagi …..
Sepotong balok Kau pikul…
Akan menjadi palang yang memancang kejam kedua tanganMU

Di puncak bukit tengkorak itu…


terpancang salib kenistaanMu
TubuhMu tergantung di situ…….
Menjalani eksekusi laksana seorang residivis…
Akan mati dalam kehinaan
Tergantung di salib……
Menggambarkan Bumi tidak bersedia memeluk tubuhMu
Menggambarkan langit yang menolak diriMU
Sungguh……,kenistaan yang tak terkira.
Enggur asam penghilang rasa sakit Kau tolak……
Meski sakit perih…..

Tiba-tiba……
Langit meredup……….
Gelap…….
Teriakan “Eloi-eloi lama Sakbatani”…..mengiringi kepasrahanMu
“Bapa…., ke dalam tangaMu, keserahkan nyawaKu…”
Langit yang gelap…
Tirai Bait suci yang terkoyak…
Menggantikan seribu mawar yang di taburkan oleh Para malaikat penghuni Sorga.

Maria bundaMu yang telah janda itu……


Maria istri Klopas yang cukup tabah…..
Maria Magdalena…..perawan muda yang setia…..pada kasihnya padamu…..
mengelilingi salibMu…..
tak ada lagi air mata.
Air mata telah kering……..

Dalam kenistaan Engkau mati…….


Namun cinta yang membekas di hati Yusuf Arimatea ingin melayakkan jenazahMU

Sabtu hening……….
Tak banyak suara dan kata……
Entah………
Apakah Ibumu, murid-muridMu, dan semua yang hanyut dalam kesedihan…
dapat merayakan Sabat?

Keheningan Sabtu itu seakan melenyapkan asa…


Kepercayaan dan pengharapan pada seorang Mesias telah kandas.
KematiaMu telah memupuskan sejuta pengharapan …..
Guru telah mati….
Rabi telah tewas….
Yesusku telah tiada…….

Gerangan apakah yang dapat membangkitkan pengharapan?


Keyakinan dari manakah pula yang layak untuk diandalkan?

Di sinikah akhir dari semuanya?

Mereka lupa…….
bahwa Sang Guru pernah bersabda,
Bahwa Anak manusia memang akan menderita dan nestapa.
Namun juga akan bangkit.

Anda mungkin juga menyukai