Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

SINDROM NEFROTIK

Disusun oleh :
Muthia Farah Ashma
1102013187
Moderator :
dr. Rachmanto H.S.A, Sp.A

Tutor :
dr. Huiny Tjokrohusada, Sp.A MH.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
PERIODE 21 MEI – 4 AGUSTUS 2018

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A.
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Usia : 18 Desember 2016 / 1 tahun 6 bulan
Alamat : Kp. Cibitung, Bekasi
No. rekam medis : 895xxx
Tanggal masuk rumah sakit : 7 Juni 2018
Datang sendiri/ rujukan : Rujukan dari RS Mitra Keluarga
Agama : Islam
Suku bangsa : Betawi

II. ANAMNESIS
Autoanamnesa dan alloanamnesa dengan orangtua pasien pada tanggal 8 Juni 2018
pukul 08.00 WIB.
KELUHAN UTAMA : Bengkak

2
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
OS datang dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSPAD Gatot Soebroto
dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak 5 hari SMRS. Bengkak terutama di
daerah perut. Bengkak timbul perlahan dan dirasakan makin membesar. Bengkak
meningkat pada pagi hari saat OS bangun tidur dan berkurang pada siang hari.
Bengkak pada wajah tidak disertai dengan keluhan sesak. dan buah zakar membesar.
Tidak ada demam, badan tidak kuning dan tidak diare. Tidak terdapat kemerahan
pada kulit, lebih silau saat melihat matahari, nyeri sendi, nyeri perut dan perut yang
tegang. Nafsu makan OS baik dengan frekuensi 3-4x/hari dan tidak ada peningkatan
nafsu makan dibandingkan pada saat sehat. Buang air kecil (BAK) dengan frekuensi
3-4 kali/hari, tidak terdapat peningkatan frekuensi BAK dibandingkan saat sehat,
warna kuning pekat, tidak ada darah dan urin yang dikeluarkan tidak sebanyak
seperti biasanya.. Buang air besar (BAB) dengan frekuensi 3 kali/hari, konsistensi
lunak, warna kuning kecoklatan dan tidak ada darah.

10 hari SMRS, pasien datang ke RS Mitra Keluarga dengan keluhan bengkak


di mata, muntah bewarna hijau dan BAB mencret sejak 3 hari. Keluhan bengkak di
mata tidak disertai dengan demam dan batuk. Bengkak mata meningkat saat pagi
hari. Muntah >5 kali/hari berisi cairan berwarna hiijau, perut kembung dan BAB
cair bewarna kuning ampas sedikit. Pasien dirawat selama 3 hari dengan diagnosis
dengan suspek ileus obstruktif kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan darah rutin dengan hasil albumin yang rendah dan foto abdomen 3
posisi AP + tegak + lateral dengan hasil tidak menunjukkan ileus obstruktif.
Kemudian pasien di rujuk ke RSPAD dengan diagnosis suspek sindrom nefrotik.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:


Anak baru pertama kali mengalami sakit seperti ini, anak memiliki riwayat
penyakit TB dengan mengkonsumsi obat OAT selama 4 bulan (putus obat) saat
berumur 7 bulan.

3
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKITAR:
Keluarga pasien maupun lingkungan sekitar pasien tidak ada yang mengalami
bengkak seperti pasien. Riwayat hipertensi dan penyakit hati ada pada kakek pasien.
Riwayat TB Paru ada pada nenek pasien yang tidak tinggal serumah oleh pasien.
Orang tua tidak memiliki alerghi atau asma.

RIWAYAT KEHAMILAN:
Status obstetrik ibu pada saat mengandung pasien adalah G1P1A0. Pasien
merupakan anak tunggal. Selama kehamilan ibu pasien tidak merasakan keluhan,
hanya perasaan mual diawal kehamilan. Ibu pasien rutin kontrol ke dokter selama
kehamilan.

RIWAYAT KELAHIRAN:
Lahir bayi laki-laki pada tanggal 18 Desember 2016 secara spontan di rumah
bersalin dibantu oleh bidan dengan berat badan lahir 2.700 gram, panjang badan
lahir 50 cm, Usia gestasi cukup bulan. Keadaan setelah lahir langsung menangis,
bergerak aktif, tidak ada sianosis, tidak ada riwayat ikterus, tidak ada kejang dan
tidak ada cacat bawaan. Nilai APGAR tidak diketahui oleh ibu pasien.

4
RIWAYAT PERKEMBANGAN:
Motorik Kasar
Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan`
Berjalan : 12 bulan
Bahasa
Bicara : 14 bulan
Motor Halus dan Kognitif
Menulis : belum bisa
Membaca : belum bisa
Prestasi Belajar : belum dapat dinilai
Kesan: tumbuh kembang sesuai usia.

5
RIWAYAT NUTRISI
Usia ASI/PASI dan takaran Buah Biskuit Bubur Nasi
(Bulan) Susu Tim
0-6 ASI - - - -
2-4 ASI - - - -
4-6 ASI - - - -
6-8 ASI + susu formula takaran + + + -
ibu lupa
8-10 ASI + susu formula takaran + + + +
ibu lupa
10-12 ASI + susu formula takaran + + + +
ibu lupa

Diatas 1 tahun

Jenis makanan Frekuensi


Nasi Setiap hari 3-4x sehari @ 1 centong
Sayuran Setiap hari 3x sehari @ 1 centong
Daging 3x seminggu, 2-3x sehari @ 1 potong
Ikan 3x seminggu, 2-3x sehari @ 1 potong
Telur 2x seminggu, 1x sehari @ 1 butir
Tahu 3x seminggu, 2-3x sehari @ 1 potong
Tempe 3x seminggu, 2-3x sehari @ 1 potong
Susu Susu formula 2-3x sehari
Kesan : Kualitas Dan Kuantitas Makan Pasien Cukup

6
RIWAYAT IMUNISASI

Jenis Imunisasi Usia


Hepatitis B Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Polio Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan
BCG 2 bulan
DTP 2 bulan 3 bulan 4 bulan
HiB 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan
Imunisasi Lain
PCV (-)
Rotavirus (-)
Influenza (-)
MMR (-)
Tifoid (-)
Hepatitis A (-)
Varisela (-)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, tidak ada imunisasi ulangan, tidak ada imunisasi
tambahan.

RIWAYAT KELUARGA
Anak ketiga dari tiga bersaudara
Lahir Mati
No Usia Jenis Kelamin Hidup Abortus Keterangan
Mati (sebab)
1 tahun 6
1. Laki-Laki  Sakit (Pasien)
bulan

7
Ayah Ibu
Usia 26 24
Pernikahan ke 1 1
Usia saat menikah 22 24
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Pegawai Swasta Ibu Rumah Tangga
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi Betawi
Riwayat penyakit Maagh Maagh
Kosanguinitas Ayah kandung Ibu kandung

Anggota keluarga lain yang serumah : Tidak ada

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Tempat tinggal : Tinggal di kontrakan, kondisi rumah padat penduduk.
Ventilasi udara baik. Ketersediaan air cukup baik, sumber air dari PDAM.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan di Ruang Perawatan IKA lantai 2, tanggal 8 Juni 2018 pukul 08.00 WIB.
Tinggi badan : 82 cm
Berat Badan : 12 kg

TANDA VITAL
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler, isi cukup, equal 4 ekstremitas
Pernafasan : 28x/menit, tipe pernafasan thorakoabdominal, kedalaman
cukup
Suhu : 36,5oC per axilla

8
Lingkar kepala : 59 cm
Lingkar lengan atas : 16 cm
Lingkar perut : 68,5 cm

KEADAAN UMUM
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang

KESADARAN : GCS 15 (E4 M6 V5) , compos mentis

STATUS MENTAL : Tenang


PERNAPASAN : Normal, tidak ada suara napas tambahan
SIRKULASI : Nadi teraba reguler, isi cukup, equal 4 ekstremitas
RANGSANG MENINGEAL
 Kaku Kuduk : (-)
 Brudzinski I : (-)
 Brudzinski II : (-)
 Brudzinski III : (-)
 Brudzinski IV : (-)
 Kernig sign : (-)
 Lasegue sign : (-)

Status Gizi
Menurut kurva WHO untuk anak laki-laki usia 0-5 tahun :
Berdasarkan BB/U = 0 < Z-score < 2
Berdasarkan TB/U = Z-score = 0
Berdasarkan BB/TB = 1 < Z-score < 2
Berdasarkan LLA/U = 0 < Z-score < 1
Kesan : Status Gizi Normal, Perawakan Sesuai umur

9
Status Generalis
Kelainan mukosa/kulit/subkutan yang menyeluruh
- Pucat : (-)
- Sianosis : (-)
- Ikterik : (-)
- Perdarahan : (-)
- Edema generalisata : (-)
- Turgor : Cukup
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
- Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
- Ubun-ubun besar : Sudah menutup dan rata, tidak cekung
Wajah
- Raut Muka : Normal, tidak dismorfik
- Nyeri tekan sinus : (-)
Mata
- Palpebra : Normal, tidak ada ptosis maupun lagoftalmus
- Konjungtiva : Tidak anemis
- Sklera : Tidak ikterik
- Pupil : Bulat, isokor
- Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
Telinga
- Daun telinga : Normotia
- Lubang telinga : Lapang
- Gendang telinga : Intak, tidak hiperemis
- Perdarahan/ sekret : (-)

10
Hidung
- Bentuk : Normosepta
- Septum : Tidak deviasi
- Sekret : (-)
- Epitaksis : (-)

Mulut
Mukosa kering, tidak sianosis, tidak kotor, gusi tidak hipertrofi, tidak hiperemis dan
tidak terdapat perdarahan gusi, T1-T1 tenang.

Leher
- Bentuk : Simetris
- Kulit : tidak hiperemis, tidak ada sikatrik
- Trakhea : Di tengah, todak deviasi
- Pergerakan : normal
- KGB : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat

Toraks
Bentuk dan gerak simetris, tidak ada retraksi interkosta

Paru
- Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, tidak ada retraksi
- Palpasi : Fremitus vokal dan taktil teraba sama pada paru kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, tidak ada
wheezing maupun rhonki

11
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V garis midklavikula
Sinistra, tidak ada thrill.
- Perkusi : Batas atas sela iga II garis parasternal sinistra
Batas jantung kanan sela iga IV garis parasternal dextra.
Batas jantung kiri sela iga IV garis midklavikula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Cembung, Distensi
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : supel, turgor baik, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak
teraba membesar.
- Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen, terdapat acites

Genitalia Eksterna
Kelamin : laki-laki, terpasang kateter
Lubang uretra : tidak ada keluhan
Penis : tidak ada keluhan
Testis : tidak ada keluhan
Skrotum : membesar
Rambut pubis : belum tumbuh

Perkembangan Pubertas
Stadium Tanner
Genitalia : stadium 1
Pubis : stadium 1
Axilla : stadium 1

12
Ekstremitas
Bentuk : bengkak
Posisi : normal
Kulit : tidak pucat, pitting edema, akral hangat CRT <2 detik.
Edema : positif +/+
Tonus : tonus otot baik
Sianosis : tidak ada

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan hematologi di laboratorium RS Mitra Keluarga tanggal 7 juni 2018 dan
foto abdomen 3 posisi AP + tegak + lateral

JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.4 11,5 - 15,5 g/dl
Hematokrit 43 35 - 45 %
Eritrosit 5,67 4,0–5,2 Juta/µL
Leukosit 18.400 5,000-14,500/µL
Trombosit 584.000 150.000-400.000/µL
MCV 75 77-95 fL
MCH 26 25-33 pq
MCHC 35 31-37 g/dl

13
Foto abdomen 3 posisi AP + tegak + lateral
Kesan : tidak tampak free air, tidak tampak tanda-tanda ileus, gambaran mild
meteorismus, prominent faecal mass di pelvic cavity

V. RESUME
An.A usia 1 tahun 6 bulan datang dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD
RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan edema anasarka sejak 5 hari SMRS. Edema
terutama di daerah abdomen dan skrotum. Edema timbul secara perlahan diawali
dari edema palpebra dan dirasakan makin membesar. Edema meningkat pada pagi
hari saat OS bangun tidur dan berkurang pada siang hari. BAK warna kuning pekat,
tidak sebanyak seperti biasanya.

Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien nampak sakit sedang dengan kesadaran
compos mentis. Status generalis dalam batas normal. Dari pemeriksaan thorax
abdomen ditemukan adanya asites tidak ditemukan tanda efusi pleura, hepatomegali
maupun splenomegali. Pada pemeriksaan genitalia terdapat pembesaran skrotum.
Dari hasil laboratorium saat pertama kali masuk rumah sakit, menunjukan
pasien dalam keadaan hipoalbumin.

VI. DIAGNOSA BANDING


Oedem anasarka e.c Sindrom Nefrotik
Oedem anasarka e.c Glomerulonefritis akut

VII. DIAGNOSA KERJA


Suspek Sindrom Nefrotik

14
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan darah rutin
 Pemeriksaan urinalisis
 Pemeriksaan albumin, kreatinin, protein, SGOT, SGPT, lipid

IX. PENATALAKSANAAN
Kuratif
Non-medikamentosa:
 Tirah baring
 IVFD KAEN 3B 900 ml/24 jam
 Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
 Observasi diuresis dan balance cairan per 24 jam
Medikamentosa:
 Cefotaxime 3 x 400 mg (IV)
 Lasix 2 x 5 mg (IV)
 Extra lasix 1 x 5 mg (IV)
 Albumin 25 % : 100 cc/ hari perlahan selama 6 jam (diberikan 2 hari)
Promotif
 Memberikan edukasi kepada orang tua pasien mengenai kondisi serta penyakit
pasien
 Memberikan edukasi mengenai pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan
beserta tujuannya
 Memberikan edukasi untuk menjaga pola makan serta kebersihan pasien
 Memberikan edukasi untuk mengawasi pasien dalam mengonsumsi obat
Preventif
 Memonitor keadaan umum dan tanda vital
 Pemeriksaan darah rutin untuk evaluasi
 Melakukan tampung urin output per 24 jam, asupan cairan input per 24 jam

15
X. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP HARIAN

Tanggal Follow Up Terapi

8/6/2018 S : Perut membuncit sejak 5 hari yang lalu Rencana diagnosis:


(hari muntah tidak ada BAB terakhir kemarin - Cek DR, albumin,
perawatan ke - 1x lunak warna kuning demam tidak ada kolesterol, ureum,
kreatinin,
1) kedua tungkai & skrotum bengkak -
O : KU : Tampak sakit sedang Rencana terapi:

Kesadaran : Compos mentis (GCS=15) - Tampung urin +


balance cairan
Tekanan darah : 90/60 mmHg - Pantau TTV per 4 jam
Frekuensi nadi : 100 x/mnt - Lasix 2 x 20 mg
- Amoxicillin 3 x 250
Frekuensi nafas : 24 x/mnt
mg
Suhu : 37,6 0C
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
THT : liang telinga lapang, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada
sekret hidung, tidak ada epistaksis, faring
hiperemis, T1-T1 tenang
Mulut : mukosa bibir lembab, lidah kotor
dan tidak terdapat perdarahan gusi
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB

16
Thoraks : simetris, tidak ada retraksi
 Jantung : BJ I dan II murni, reguler,
tidak ada murmur dan gallop
 Paru : Suara nafas vesikuler kanan
dan kiri, tidak ada ronchi dan
wheezing
Abdomen : datar, bising usus positif
normal, erdapat ascites, hepar tidak teraba
membesar, lien tidak teraba membesar.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik,
edema+/+ dan tidak sianosis.
Kulit : tidak terdapat petechie pitting
edema
Genitalia : srotum bengkak
Hasil laboratorium :
A : Suspek Sindrom Nefrotik

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom
Nefrotik, antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2
LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6
bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu.

3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
(2:1) dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan

18
terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa
dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun dan
paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada
penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,
sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4%
merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia
1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.

3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis
:sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative
(mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental.
Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan
manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini
mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.

19
Klasifikasi
 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus
terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop
immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan
terapi kortikosteroid.

 Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)


Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan
adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada
pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop
elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks
diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan
lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.

 Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental


glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental
pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop
immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area
yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa

20
dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan
penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS
yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease)
pada kebanyakan pasien.

 Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)


Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi
seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop
cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial
dan suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium
berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi
membrane basalis (“jejak-trem” atau kontur lengkap). Kelainan ini
sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang
progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.

 Glomerulopati membranosa (GM)


Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan
secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang
ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus,
sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama
adalah penebalan membrane basalis yang terlihat baik dengan
mikroskop cahaya maupun elektron.

21
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
 Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS
 Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular
 Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis
 Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

3.4 Patofisiologi
 Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan
integritas membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan

22
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.

 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat
teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan

23
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf
simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau
resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler
sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.

 Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.

3.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang
kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore
hari.
Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya
terjadi di sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada
mulanya diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital
yang menurun dari hari ke hari. Seiring waktu, edema semakin meluas,

24
dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia,
iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria
jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah
penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau
kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil
dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema
interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi
anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau
rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan,
sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh
terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi
yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of Kidney
Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom
nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan
perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-
Associated Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.

25
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
 Urinalisis dan bila perlu biakan urin
 Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal :


- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya,
sebaiknya penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif

26
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis
(OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein
normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu
2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy
protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-
2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik
dimulai dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60
mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam
dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus,
dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian
steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2
LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid. (Gambar 1)

27
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94%
pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%)
dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan
relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
prednisone dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik
yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi,
diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic
kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit
selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama
pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa
penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)

28
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat
dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-
turut.

c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid


Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
ada 4 pilihan, yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)

Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi


di gigi atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik
relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan
prednisone dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating
dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan dapat

29
diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone
0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.

Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi


(maksimal 4 minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40
mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-
3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu

Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi


(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan
dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan
selama 6 bulan berturut-turut dan prednisone alternating 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off

30
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).

d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid


1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan
memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering.
Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan
mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednisone
tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan
3 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal selama 12 minggu. Terapi
prednisone selang sehari tetap diberikan selama penggunaan
siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek
samping yang mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan
gastrointestinal, infeksi varicella disseminate, sistisis hemoragik,
alopesia, keganasan, azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi
dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu diperiksa setiap
minggu, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu bila kadar
leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.

31
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid
dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid
dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2
mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu.

3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini
juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya,
tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis
levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12
bulan.

4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai
dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila
siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5
mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol
karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat
menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita yang
ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering
ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi.

32
e. Penderita lama (pengobatan relaps)
 Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis
intermitten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
 Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai
remisi, kemudian dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen,
siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan
prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.

f. Penderita rawat jalan


 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan,
mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan
tanda-tanda lainnya
 Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin
rutin, darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan
sekali tergantung pada situasi
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain
remisi total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat,
proteinuria +/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan
antibiotika (ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada
proteinuria maka dianggap sebagai relaps.

g. Pengobatan tambahan
 Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik,
furosemid 1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
 Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau
plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid
i.v. 1 mg/kgBB/kali

33
 Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia
(1,5g/dL) berikan albumin atau plasma darah

3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering
adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi
penyulit infeksi bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis,
selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat
disertai pemberian immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah
infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan
menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes.
Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin generasi
ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi
peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan
lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada
sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D

34
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan
sindrom nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan
gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai
sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15
tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal.

3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons
yang baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Prognosis jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama
pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan
fungsi ginjal.

35
BAB III
ANALISA KASUS

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis sindrom nefrotik bedasarkan:


Anamnesis:
1. Pasien edema anasarka diawali dengan edema palpebra
2. BAK bewarna kuning pekat dan BAK lebih sedikit dibanding biasanya

Pemeriksaan Fisik:
Pada saat pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan tanda-tanda khas sindrom nefrotik
lainnya seperti BAK yang bewarna kuning pekat dan diuresis kecil. Terjadi pitting
edema karena penimbunan cairan di ekstarvaskular sehingga jika di tekan cairan akan
mencari tempat yang lebih longgar. Pada sindrom nefrotik dapat terjadi manifestasi
edema seperti glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Untuk membedakan dengan
manifestasi pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus, yaitu pada pasien terjadi
hematuria, edema, hipertensi dan azotemia (penurunan fungsi ginjal) Sedangkan, pada
sindrom nefrotik edema, albuminuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia

Pemeriksaan Penunjang:
Pada hasil pemeriksaan darah pasien ini terdapat hiperkolesterol 320 mg/dL
hipolabumin 2,2 g/dL, proteinuria +++
Proteinuria terjadi sesuai dengan teori mengenai perjalanan penyakit sindrom
nefrotik karena proteinuria terus menerus menyebabkan kadar protein dalam serum
menurun atau hipoalbuminemia yang mengakibatkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial.
Perpindahan terjadi karena filtrasi yang terjai menjadi longgar dan rapat yang
disebabkan permeabilitas glomerulus meningkat sehingga terjadi edema.

36
Hiperkolesterolemia terjadi karena kesalahan signal dari ginjal karena hepar
memproduksi albumin dan kolesterol sehingga terjadi produksi yang berlebihan karena
ginjal merasa kekurangan albumin.
Untuk menegakkan suatu diagnosis penyakit, perlu dilakukan pendekatan
diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sindrom
nefrotik ditandai dengan :
1. Edema
2. Proteinuria masif (Albuminuria)
 40 mg/m2lpb/jam
 Rasio protein/ kreatinin > 2 mg
 Dipstik > ++
3. Hipoalbuminemia
Albumin plasma < 2,5 g/dL
4. Hiperkolesterolemia
>250 mg/dL

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien di rumah sakit antara lain:


Kuratif
Non-medikamentosa:
 Tirah baring
 IVFD KAEN 3B 900 ml/24 jam
 Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
 Observasi diuresis dan balance cairan per 24 jam
Medikamentosa:
 Cefotaxime 3 x 400 mg (IV)
 Lasix 2 x 5 mg (IV)
 Extra lasix 1 x 5 mg (IV)
 Albumin 25 % : 100 cc/ hari perlahan selama 6 jam (diberikan 2 hari)

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik


Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta,
h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available
from : URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on Juni 18,
2018
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 th
ed. Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :
Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia
Kedokteran No. 134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (online) (1) : screens.
Available from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : on Juni 18, 2018

38

Anda mungkin juga menyukai