SINDROM NEFROTIK
Disusun oleh :
Muthia Farah Ashma
1102013187
Moderator :
dr. Rachmanto H.S.A, Sp.A
Tutor :
dr. Huiny Tjokrohusada, Sp.A MH.Kes
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A.
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Usia : 18 Desember 2016 / 1 tahun 6 bulan
Alamat : Kp. Cibitung, Bekasi
No. rekam medis : 895xxx
Tanggal masuk rumah sakit : 7 Juni 2018
Datang sendiri/ rujukan : Rujukan dari RS Mitra Keluarga
Agama : Islam
Suku bangsa : Betawi
II. ANAMNESIS
Autoanamnesa dan alloanamnesa dengan orangtua pasien pada tanggal 8 Juni 2018
pukul 08.00 WIB.
KELUHAN UTAMA : Bengkak
2
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
OS datang dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSPAD Gatot Soebroto
dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak 5 hari SMRS. Bengkak terutama di
daerah perut. Bengkak timbul perlahan dan dirasakan makin membesar. Bengkak
meningkat pada pagi hari saat OS bangun tidur dan berkurang pada siang hari.
Bengkak pada wajah tidak disertai dengan keluhan sesak. dan buah zakar membesar.
Tidak ada demam, badan tidak kuning dan tidak diare. Tidak terdapat kemerahan
pada kulit, lebih silau saat melihat matahari, nyeri sendi, nyeri perut dan perut yang
tegang. Nafsu makan OS baik dengan frekuensi 3-4x/hari dan tidak ada peningkatan
nafsu makan dibandingkan pada saat sehat. Buang air kecil (BAK) dengan frekuensi
3-4 kali/hari, tidak terdapat peningkatan frekuensi BAK dibandingkan saat sehat,
warna kuning pekat, tidak ada darah dan urin yang dikeluarkan tidak sebanyak
seperti biasanya.. Buang air besar (BAB) dengan frekuensi 3 kali/hari, konsistensi
lunak, warna kuning kecoklatan dan tidak ada darah.
3
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKITAR:
Keluarga pasien maupun lingkungan sekitar pasien tidak ada yang mengalami
bengkak seperti pasien. Riwayat hipertensi dan penyakit hati ada pada kakek pasien.
Riwayat TB Paru ada pada nenek pasien yang tidak tinggal serumah oleh pasien.
Orang tua tidak memiliki alerghi atau asma.
RIWAYAT KEHAMILAN:
Status obstetrik ibu pada saat mengandung pasien adalah G1P1A0. Pasien
merupakan anak tunggal. Selama kehamilan ibu pasien tidak merasakan keluhan,
hanya perasaan mual diawal kehamilan. Ibu pasien rutin kontrol ke dokter selama
kehamilan.
RIWAYAT KELAHIRAN:
Lahir bayi laki-laki pada tanggal 18 Desember 2016 secara spontan di rumah
bersalin dibantu oleh bidan dengan berat badan lahir 2.700 gram, panjang badan
lahir 50 cm, Usia gestasi cukup bulan. Keadaan setelah lahir langsung menangis,
bergerak aktif, tidak ada sianosis, tidak ada riwayat ikterus, tidak ada kejang dan
tidak ada cacat bawaan. Nilai APGAR tidak diketahui oleh ibu pasien.
4
RIWAYAT PERKEMBANGAN:
Motorik Kasar
Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan`
Berjalan : 12 bulan
Bahasa
Bicara : 14 bulan
Motor Halus dan Kognitif
Menulis : belum bisa
Membaca : belum bisa
Prestasi Belajar : belum dapat dinilai
Kesan: tumbuh kembang sesuai usia.
5
RIWAYAT NUTRISI
Usia ASI/PASI dan takaran Buah Biskuit Bubur Nasi
(Bulan) Susu Tim
0-6 ASI - - - -
2-4 ASI - - - -
4-6 ASI - - - -
6-8 ASI + susu formula takaran + + + -
ibu lupa
8-10 ASI + susu formula takaran + + + +
ibu lupa
10-12 ASI + susu formula takaran + + + +
ibu lupa
Diatas 1 tahun
6
RIWAYAT IMUNISASI
RIWAYAT KELUARGA
Anak ketiga dari tiga bersaudara
Lahir Mati
No Usia Jenis Kelamin Hidup Abortus Keterangan
Mati (sebab)
1 tahun 6
1. Laki-Laki Sakit (Pasien)
bulan
7
Ayah Ibu
Usia 26 24
Pernikahan ke 1 1
Usia saat menikah 22 24
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Pegawai Swasta Ibu Rumah Tangga
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi Betawi
Riwayat penyakit Maagh Maagh
Kosanguinitas Ayah kandung Ibu kandung
TANDA VITAL
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler, isi cukup, equal 4 ekstremitas
Pernafasan : 28x/menit, tipe pernafasan thorakoabdominal, kedalaman
cukup
Suhu : 36,5oC per axilla
8
Lingkar kepala : 59 cm
Lingkar lengan atas : 16 cm
Lingkar perut : 68,5 cm
KEADAAN UMUM
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang
Status Gizi
Menurut kurva WHO untuk anak laki-laki usia 0-5 tahun :
Berdasarkan BB/U = 0 < Z-score < 2
Berdasarkan TB/U = Z-score = 0
Berdasarkan BB/TB = 1 < Z-score < 2
Berdasarkan LLA/U = 0 < Z-score < 1
Kesan : Status Gizi Normal, Perawakan Sesuai umur
9
Status Generalis
Kelainan mukosa/kulit/subkutan yang menyeluruh
- Pucat : (-)
- Sianosis : (-)
- Ikterik : (-)
- Perdarahan : (-)
- Edema generalisata : (-)
- Turgor : Cukup
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
- Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
- Ubun-ubun besar : Sudah menutup dan rata, tidak cekung
Wajah
- Raut Muka : Normal, tidak dismorfik
- Nyeri tekan sinus : (-)
Mata
- Palpebra : Normal, tidak ada ptosis maupun lagoftalmus
- Konjungtiva : Tidak anemis
- Sklera : Tidak ikterik
- Pupil : Bulat, isokor
- Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
Telinga
- Daun telinga : Normotia
- Lubang telinga : Lapang
- Gendang telinga : Intak, tidak hiperemis
- Perdarahan/ sekret : (-)
10
Hidung
- Bentuk : Normosepta
- Septum : Tidak deviasi
- Sekret : (-)
- Epitaksis : (-)
Mulut
Mukosa kering, tidak sianosis, tidak kotor, gusi tidak hipertrofi, tidak hiperemis dan
tidak terdapat perdarahan gusi, T1-T1 tenang.
Leher
- Bentuk : Simetris
- Kulit : tidak hiperemis, tidak ada sikatrik
- Trakhea : Di tengah, todak deviasi
- Pergerakan : normal
- KGB : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat
Toraks
Bentuk dan gerak simetris, tidak ada retraksi interkosta
Paru
- Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, tidak ada retraksi
- Palpasi : Fremitus vokal dan taktil teraba sama pada paru kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, tidak ada
wheezing maupun rhonki
11
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V garis midklavikula
Sinistra, tidak ada thrill.
- Perkusi : Batas atas sela iga II garis parasternal sinistra
Batas jantung kanan sela iga IV garis parasternal dextra.
Batas jantung kiri sela iga IV garis midklavikula sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Cembung, Distensi
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : supel, turgor baik, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak
teraba membesar.
- Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen, terdapat acites
Genitalia Eksterna
Kelamin : laki-laki, terpasang kateter
Lubang uretra : tidak ada keluhan
Penis : tidak ada keluhan
Testis : tidak ada keluhan
Skrotum : membesar
Rambut pubis : belum tumbuh
Perkembangan Pubertas
Stadium Tanner
Genitalia : stadium 1
Pubis : stadium 1
Axilla : stadium 1
12
Ekstremitas
Bentuk : bengkak
Posisi : normal
Kulit : tidak pucat, pitting edema, akral hangat CRT <2 detik.
Edema : positif +/+
Tonus : tonus otot baik
Sianosis : tidak ada
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.4 11,5 - 15,5 g/dl
Hematokrit 43 35 - 45 %
Eritrosit 5,67 4,0–5,2 Juta/µL
Leukosit 18.400 5,000-14,500/µL
Trombosit 584.000 150.000-400.000/µL
MCV 75 77-95 fL
MCH 26 25-33 pq
MCHC 35 31-37 g/dl
13
Foto abdomen 3 posisi AP + tegak + lateral
Kesan : tidak tampak free air, tidak tampak tanda-tanda ileus, gambaran mild
meteorismus, prominent faecal mass di pelvic cavity
V. RESUME
An.A usia 1 tahun 6 bulan datang dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD
RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan edema anasarka sejak 5 hari SMRS. Edema
terutama di daerah abdomen dan skrotum. Edema timbul secara perlahan diawali
dari edema palpebra dan dirasakan makin membesar. Edema meningkat pada pagi
hari saat OS bangun tidur dan berkurang pada siang hari. BAK warna kuning pekat,
tidak sebanyak seperti biasanya.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien nampak sakit sedang dengan kesadaran
compos mentis. Status generalis dalam batas normal. Dari pemeriksaan thorax
abdomen ditemukan adanya asites tidak ditemukan tanda efusi pleura, hepatomegali
maupun splenomegali. Pada pemeriksaan genitalia terdapat pembesaran skrotum.
Dari hasil laboratorium saat pertama kali masuk rumah sakit, menunjukan
pasien dalam keadaan hipoalbumin.
14
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan urinalisis
Pemeriksaan albumin, kreatinin, protein, SGOT, SGPT, lipid
IX. PENATALAKSANAAN
Kuratif
Non-medikamentosa:
Tirah baring
IVFD KAEN 3B 900 ml/24 jam
Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Observasi diuresis dan balance cairan per 24 jam
Medikamentosa:
Cefotaxime 3 x 400 mg (IV)
Lasix 2 x 5 mg (IV)
Extra lasix 1 x 5 mg (IV)
Albumin 25 % : 100 cc/ hari perlahan selama 6 jam (diberikan 2 hari)
Promotif
Memberikan edukasi kepada orang tua pasien mengenai kondisi serta penyakit
pasien
Memberikan edukasi mengenai pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan
beserta tujuannya
Memberikan edukasi untuk menjaga pola makan serta kebersihan pasien
Memberikan edukasi untuk mengawasi pasien dalam mengonsumsi obat
Preventif
Memonitor keadaan umum dan tanda vital
Pemeriksaan darah rutin untuk evaluasi
Melakukan tampung urin output per 24 jam, asupan cairan input per 24 jam
15
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
16
Thoraks : simetris, tidak ada retraksi
Jantung : BJ I dan II murni, reguler,
tidak ada murmur dan gallop
Paru : Suara nafas vesikuler kanan
dan kiri, tidak ada ronchi dan
wheezing
Abdomen : datar, bising usus positif
normal, erdapat ascites, hepar tidak teraba
membesar, lien tidak teraba membesar.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik,
edema+/+ dan tidak sianosis.
Kulit : tidak terdapat petechie pitting
edema
Genitalia : srotum bengkak
Hasil laboratorium :
A : Suspek Sindrom Nefrotik
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL),
edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom
Nefrotik, antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2
LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6
bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari
selama 4 minggu.
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
(2:1) dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan
18
terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa
dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun dan
paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada
penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,
sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4%
merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia
1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.
3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis
:sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative
(mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental.
Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan
manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini
mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
19
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus
terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop
immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya
memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan
terapi kortikosteroid.
20
dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan
penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS
yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease)
pada kebanyakan pasien.
21
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
3.4 Patofisiologi
Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan
integritas membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
22
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat
teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
23
konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf
simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau
resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler
sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.
24
dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia,
iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria
jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah
penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau
kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil
dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema
interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi
anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau
rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan,
sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh
terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi
yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of Kidney
Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom
nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan
perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-
Associated Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
25
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
trombosit, hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara
klasik atau dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus
Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA
(Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA
3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya,
sebaiknya penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
26
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis
(OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein
normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu
2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy
protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-
2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik
dimulai dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60
mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam
dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus,
dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian
steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2
LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid. (Gambar 1)
27
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94%
pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%)
dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan
relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
prednisone dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik
yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi,
diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic
kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit
selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama
pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa
penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
28
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat
dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-
turut.
29
diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone
0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.
30
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
31
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid
dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid
dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2
mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu.
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini
juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya,
tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis
levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12
bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai
dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila
siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5
mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol
karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat
menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita yang
ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering
ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi.
32
e. Penderita lama (pengobatan relaps)
Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis
intermitten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai
remisi, kemudian dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen,
siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan
prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik,
furosemid 1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau
plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid
i.v. 1 mg/kgBB/kali
33
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia
(1,5g/dL) berikan albumin atau plasma darah
3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering
adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi
penyulit infeksi bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis,
selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat
disertai pemberian immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah
infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan
menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes.
Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin generasi
ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi
peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan
lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada
sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
34
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom
nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan
kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan
sindrom nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan
gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai
sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15
tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal.
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons
yang baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Prognosis jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama
pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan
fungsi ginjal.
35
BAB III
ANALISA KASUS
Pemeriksaan Fisik:
Pada saat pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan tanda-tanda khas sindrom nefrotik
lainnya seperti BAK yang bewarna kuning pekat dan diuresis kecil. Terjadi pitting
edema karena penimbunan cairan di ekstarvaskular sehingga jika di tekan cairan akan
mencari tempat yang lebih longgar. Pada sindrom nefrotik dapat terjadi manifestasi
edema seperti glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Untuk membedakan dengan
manifestasi pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus, yaitu pada pasien terjadi
hematuria, edema, hipertensi dan azotemia (penurunan fungsi ginjal) Sedangkan, pada
sindrom nefrotik edema, albuminuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia
Pemeriksaan Penunjang:
Pada hasil pemeriksaan darah pasien ini terdapat hiperkolesterol 320 mg/dL
hipolabumin 2,2 g/dL, proteinuria +++
Proteinuria terjadi sesuai dengan teori mengenai perjalanan penyakit sindrom
nefrotik karena proteinuria terus menerus menyebabkan kadar protein dalam serum
menurun atau hipoalbuminemia yang mengakibatkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial.
Perpindahan terjadi karena filtrasi yang terjai menjadi longgar dan rapat yang
disebabkan permeabilitas glomerulus meningkat sehingga terjadi edema.
36
Hiperkolesterolemia terjadi karena kesalahan signal dari ginjal karena hepar
memproduksi albumin dan kolesterol sehingga terjadi produksi yang berlebihan karena
ginjal merasa kekurangan albumin.
Untuk menegakkan suatu diagnosis penyakit, perlu dilakukan pendekatan
diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Sindrom
nefrotik ditandai dengan :
1. Edema
2. Proteinuria masif (Albuminuria)
40 mg/m2lpb/jam
Rasio protein/ kreatinin > 2 mg
Dipstik > ++
3. Hipoalbuminemia
Albumin plasma < 2,5 g/dL
4. Hiperkolesterolemia
>250 mg/dL
37
DAFTAR PUSTAKA
38