Anda di halaman 1dari 8

Naskah Asli

Makalah ini telah di presentasikan dan dipublikasikan di dalam prosiding Seminar Nasional:
PEMBANGUNAN LINGKUNGAN PERKOTAAN DI INDONESIA
Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti
(Kutip sebagai: Setyawan, W.B., 2005. Banjir di kota pesisir, upaya penanggulangan dan prediksi
implikasinya: studi kasus Kota Jakarta. Prosiding seminar nasional Pembangunan Lingkungan
Perkotaan di Indonesia, FALTL Univ. Trisakti, Jakarta: 369-377)
BANJIR DI KOTA PESISIR, UPAYA PENANGGULANGAN DAN
PREDIKSI IMPLIKASINYA: Studi kasus Kota Jakarta

Wahyu Budi Setyawan


Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430
Telp. 021 64713850, Fax. 021 64711948, E-mail: wahyubudisetyawan@yahoo.com

Abstrak

Jakarta adalah kota pesisir yang sangat besar (coastal megacity) yang sejak awal
perkembangannya telah diikuti oleh persoalan banjir. Analisis tentang banjir yang terjadi di Jakarta
itu sampai pada kesimpulan bahwa, berdasarkan penyebabnya, ada dua tipe banjir yang terjadi di
Jakarta. Pertama, banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi – terjadi di berbagai
kawasan kota, dan Ke-dua, banjir karena pasang surut – terjadi di kawasan dekat pantai. Banjir
tipe pertama berkaitan erat dengan aktifitas manusia di daerah aliran sungai, sedang banjir tipe ke-
dua berkaitan erat dengan aktifitas manusia dan kondisi geologi di daerah dekat pantai. Upaya
penanggulangan banjir tipe pertama yang sekarang sedang dilaksanakan adalah dengan
membangun Sistem Banjir Kanal yang dibangun mengelilingi kota. Sementara itu, upaya untuk
mengatasi banjir tipe ke-dua belum terlihat konsepnya. Apabila Sistem Banjir Kanal selesai
dibangun, akan mempercepat aliran air permukaan dan sungai dari daerah hulu ke laut, dan debit
air akan besar di muara-muara kanal yang akan menyebabkan perubahan keseimbangan suplai
muatan sedimen ke perairan Teluk Jakarta dan berimplikasi pada perubahan pola sedimentasinya.
Di pihak lain, banjir tipe ke-dua yang tidak jelas konsep penanggulangannya akan membuat
genangannya bertambah luas di masa mendatang.

Kata kunci: kota-besar pesisir, banjir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Teluk Jakarta, Jakarta.

Pendahuluan
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), megacity adalah kota dengan penduduk
diperkirakan mencapai 8 juta jiwa atau lebih pada tahun 2000 (Li, 2003). Menurut definisi tersebut,
Jakarta dapat dikategorikan sebagai coastal megacity atau kota raksasa di daerah pesisir. Kota
Jakarta berkembang di daratan pesisir utara Jawa bagian barat yang rendah yang merupakan
produk proses fluviatil dari sungai-sungai yang berhulu di kawasan Gunung Salak, Gede dan
Pangrango, dan proses marin dari Laut Jawa. Secara fisik, daratan pesisir itu dicirikan oleh adanya
rawa pantai, dataran banjir, dan daratan dengan elevasi yang hampir sama tingginya dengan
muka laut. Kenampakan ciri-ciri fisik daratan pesisir itu sampai sekarang masih dapat terlihat
meskipun sebagian besar daratan pesisir itu telah menjadi kawasan terbangun (developed areas).
Kondisi morfologi daratan pesisir yang demikian itu menunjukkan bahwa kawasan tersebut
merupakan daerah sering mengalami banjir. Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa persoalan
lingkungan di Jakarta telah ada sejak awal perkembangannya. Masalah bau busuk yang tercium
bila kanal-kanal kering tercatat sejak tahun 1633, sedang banjir tercatat mulai tahun 1665 ketika
air lebih tinggi dari jalan, dan tahun 1670 jalan-jalan tergenang air pada saat pasang tinggi.
Dengan makin besarnya kota Jakarta, persoalan lingkungan pun terus bertambah, dan masalah
banjir makin bertambah buruk sampai tahun 2002 ketika banjir melumpuhkan Jakarta.

1
Setyawan (2003) dalam upaya mengungkapkan akar persoalan lingkungan di Jakarta
telah memetakan persoalan lingkungan yang ada di Jakarta yang salah satunya adalah masalah
banjir. Sementara itu, Caljouw et al. (2004) – dalam upaya menjawab pertanyaan “mengapa
persoalan banjir di Jakarta tidak terselesaikan?”, menguraikan panjang lebar mengenai banjir di
Jakarta yang dimulai dari tinjauan sejarah sampai kepada upaya penanggulangannya. Makalah ini
meninjau kembali penyebab banjir di Jakarta dan mengevaluasi upaya penanggulangannya yang
sedang berlangsung sekarang, dan mencoba memberikan prediksi implikasi dari upaya
penanggulangan tersebut.

Metode Penelitian
Makalah ini ditulis berdasarkan pada pengalaman tinggal di Jakarta dan pengamatan
lapangan yang secara sporadis dilakukan di berbagai lokasi, terutama di kawasan Jakarta Utara
dan Jakarta Pusat.

Banjir Di Jakarta
Kota Jakarta berkembang di dataran pantai Teluk Jakarta, yang merupakan daratan yang
terbentuk dari hasil interaksi antara proses fluviatil dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk
Jakarta dan proses marin dari perairan mesisir Teluk Jakarta, dan dilatarbelakangi oleh kawasan
pegunungan di daerah Bogor yang menjadi daerah hulu bagi sungai-sungai bermuara ke teluk
tersebut. Sungai Ciliwung adalah sungai utama yang membelah Jakarta, berhulu di daerah Bogor
dan bermuara di Teluk Jakarta. Pada sistem aliran sungai tersebut tercatat adanya alur-alur
sungai, danau-danau, dan dataran banjir. Sementara itu, di kawasan dekat pantai tercatat adanya
rawa-rawa pantai.
Jakarta yang sekarang menjadi kota raksasa dimuai dari sebuah desa kecil di tepi sunga,i
dan persoalan banjir sudah menyertainya sejak awal. Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa
sejak tahun 1619 sistem kanal secara bertahap mulai dibangun, dan tanah galiannya dipakai untuk
menimbun lahan untuk kepentingan konstruksi. Pada tahun 1665 tercatat bahwa air kadang-
kadang berada lebih tinggi dari pada desa Jakarta saat itu, sementara tahun 1670 tercatat
beberapa jalan tergenang air pada saat pasang tinggi atau spring tide.
De Haan (1922 vide Caljouw et al., 2004) mencatat bahwa akar persoalan banjir di Jakarta
adalah (1) rendahnya daratan, (2) perbedaan pasang surut yang kecil. Selanjutnya disebutkan
bahwa penebangan hutan di daerah hulu Sungai Ciliwung menyebabkan tingginya permukaan air
sungai dan meningkatnya jumlah muatan sedimen, dan runtuhnya tebing-tebing sungai juga
meningkatkan muatan sedimen. Faktor lainnya adalah adanya persawahan yang luas
menyebabkan air tersebar luas dan tidak tertangani dengan baik. Kemudian, pengendapan lumpur
yang terjadi di muara sungai ketika arus sangat lemah menyebabkan terbentuknya beting pasir
atau sand bar di muara sungai yang menghambat gerakan arus, dan kemudian juga meningkatkan
sedimentasi. Untuk mengatasi pendangkal aliran sungai dan tertutupnya muara sungai, dilakukan
pengerukan. Sampah juga telah menjadi persoalan, terutama sampah organik yang berasal dari
pabrik gula.

2
Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi banjir yang Jakarta, tetapi upaya tersebut
selalu gagal mengatasi banjir. Sethuraman (1976 vide Caljouw et al., 2004) mengevaluasi kondisi
drainase dan pengendali banjir, dan mencatat bahwa:
1) Hampir seluruh sungai yang mengalir melalui kota, beserta jaringan salurannya, tidak
berfungsi dengan baik,
2) Sebagian besar sungai dan saluran menjadi dangkal sebagai konsekuensi dari pembuangan
sampah dan limbah ke dalam aliran sungai secara langsung, dan karena tidak ada perawatan
yang memadai dan pengerukan,
3) Sebagian besar estuari telah menjadi dangkal karena sedimentasi terus menerus yang sangat
menghambat aliran sungai,
4) Hampir semua konstruksi air berada dalam kondisi rusak berat dan dioperasikan dengan tidak
efisien,
5) Banyak kawasan secara periodik tergnang sebagai akibat dari drainase jalan yang tidak
efektif, dan
6) Lahan terbuka tidak memadai, dan dengan demikian permeabilitas air total menjadi hilang.
Sampai tahun 2002, berbagai upaya untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta masih
didasarkan pada rencana dari H. van Breen yang dibuat tahun 1920 yang membagi aliran Sungai
Ciliwung menjadi dua, yaitu Banjir Kanal Barat dan aliran Sungai Ciliwung (Caljouw et al., 2004).
Banjir yang terjadi pada tahun 2002 menggenangi sebagian besar Jakarta dan membuat
kehidupan kota terhenti. Berkaitan dengan peristiwa itu, Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa
masalah banjir di kawasan Jabotabek lebih buruk dari pada sebelumnya. Intensitas hujan yang
tinggi dan lama menyebabkan kawasan yang sangat luas tergenang air, bahkan daerah-daerah
yang biasanya tidak terpengaruh oleh banjir. Selain itu Caljouw et al., juga mancatat:
1) Setelah beberapa tahun berlalu, Pemerintah Kota tampaknya melupakan peristiwa itu.
2) Bila terjadi banjir, pemerintah bereaksi, tetapi tidak jelas keputusan yang diambil dan
direncanakan untuk mencegah banjir kembali melanda kota.
3) Penduduk Jakarta juga melupakan tragedi itu:
a). Rencana seharga 15 milyar rupiah tidak pernah diberitakan lagi.
b). LSM sibuk dengan hal lain yang lebih sensasional daripada banjir dalam situasi tanpa
banjir.
c). Rumah-rumah yang dulu terkena banjir telah dilupakan.
d). Sampah-sampah yang dituduh sebagai penyebab banjir tidak pernah dibicarakan lagi dan
masih tersangku di aliran sungai-sungai dan kanal-kanal.
e). Tidak ada lagi pembicaraan tentang daerah tangkapan air.
Analisis tentang penyebab banjir di Jakarta menunjukkan bahwa, selain faktor kondisi
geologi kawasan kota yang memang merupakan daerah banjir, urbanisasi yang tidak diiringi
dengan antisipasi yang memadai terhadap perkembangan kebutuhan berbagai kegiatan sektoral
membuat persoalan kota membesar (Setyawan, 2003; dan Caljouw et al., 2004). Peta persoalan
lingkungan Jakarta dapat dilihat dalam Gambar 1.

3
Population increase

Various sectoral activities

Construction Pollutants & Land need Fresh water need


materials need garbage production

Sand & coral Development along stream sides, Conversing natural Development near Ground water
mining around water bodies; dumping of forest of headwater area coastline area extraction
swamps or water bodies

Extremely Ground
high or high compaction
Garbage deposition in
precipitation
channels or streams

Coastline Sedimentation / Land Sea water Lowering


erosion siltation in streams subsidence intrusion groundwater
Pollution in streams
surface

Decreasing capacity Run off High tide


Pollution in of channels or streams increase
coastal waters

Monsoon driven Flood Sedimentation / Flood Flood


currents & waves siltation in coastal
waters

Gambar 1. Peta masalah-masalah lingkungan di Jakarta (Setyawan, 2003).

4
Pada Gambar 1 dapat kita lihat bahwa banjir dapat terjadi melalui dua mekanisme:
1) Banjir yang berkaitan dengan land subsidence dan pasang tinggi atau spring tide. Fenomena
land subsidence berkaitan dengan pembangunan di daerah dekat pantai dan ekstraksi air
tanah. Fenomena banjir dengan mekanisme ini terlihat jelas di daerah-daerah dekat pantai di
Jakarta utara, seperti Pademangan, Gunung Sahari bagian utara, dan Tanjung Periok; dan
kejadiannya tidak berkaitan dengan hujan.
2) Banjir yang berkaitan dengan curah hujan atau aliran permukaan. Fenomena banjir ini dapat
terjadi karena dua hal: (1) tinggi aliran permukaan sebagai akibat tingginya angka curah hujan
dan kegiatan pembukaan lahan di kawasan hulu sungai, dan (2) berkurangnya kapasitas aliran
sungai atau kanal-kanal sebagai akibat dari pembangunan pemukiman di sepanjang aliran
sungai, pengendapan sampah padat karena penanganan yang tidak memadai, dan
pengendapan sedimen di dalam aliran sungai karena kegiatan pembukaan lahan di kawasan
hulu sungai. Banjir dengan mekanisme ke-dua ini dapat terjadi di seluruh bagian kota.

Upaya Penanggulangan Banjir


Untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta, telah dilakukan studi yang menyeluruh. Pada
tahun 1997 telah dilakukan studi dengan judul Study on Comprehensive River Water Management
Plan Jabotabek oleh NIKKEN Consultan & NIPPON KOEI Co, dan pada tahun 2002 studi
dilakukan oleh NEDECO. Kedua studi itu membagi sistem drainase Jabotabek (Gambar 2)
menjadi beberapa sistem aliran sungai atau river basin.

Gambar 2. Sungai-sungai dan kanal-kanal utama di Jabotabek. NEDECO (2002)


dikutip dari Caljouw et al. (2004) dengan modifikasi.

5
Berdasarkan pada hasil studi tersebut Caljouw et al. (2004) membagi aliran sungai dan
kanal-kanal di Jabotabek menjadi enam sistem cekungan air (river basin system) yang dipandang
relevan dengan kondisi saat ini (Tabel 1).

Tabel 1. Sistem cekungan air di Jabotabek. Dibuat berdasarkan Caljouw et al. (2004).
1. Cisadane River Basin.
Sungai utamanya adalah Sungai Cisadane yang memotong Kota Tangerang yang tidak memiliki sistem
drainase kota dan beberapa pintu air yang tidak terawat. Pintu Air Pasar Baru menghambat aliran Sungai
Cisadane. Efek backwater dari Sungai Cisadane dipandang sebagai penyebab banjir di Tangerang.
2. Cengkareng Floodway System Basin
Didominasi oleh Sungai Angke yang bertemu dengan Kanal Mookervaart, Kali Pesanggrahan dan Kali
Grogol, dan selanjutnya masuk ke Teluk Jakarta melalui Cengkareng Drain – dibagun tahun 1983, yang
memperlihatkan indikasi sedimentasi berat.
3. Western Banjir Canal System Basin
Didominasi oleh Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1918 untuk menampung aliran Sungai Ciliwung dan
Kali Krukut. Berdasarkan pada ukuran cathment area (daerah tangkapan air), Sungai Ciliwung yang melintasi
Bogor dan Jakarta adalah sungai besar.
4. Eastern Banjir Canal System Basin
Didasarkan pada Banjir Kanal Timur yang dimaksudkan memotong aliran Sungai Cipinang, Sunter,
Jatikramat, Buaran, dan Cakung di kawasan timur Jakarta. Sekarang Banjir Kanal Timur sedang dibangun.
5. Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) Floodway System Basin
Didasarkan pada CBL Floodway yang dibangun tahun 1985 untuk mengalihkan aliran Sungai Bekasi,
Cisadang, dan Cikarang. Sungai Bekasi adalah sungai utama yang mengalir di tengah Kota Bekasi yang tidak
memiliki sistem drainase kota. Pintu Air Bekasi yang dibangun tahun 1958 di tengah kota menghambar aliran
air Sungai Bekasi.
6. Residual Basin and Urban Drainage Area di Jakarta
Kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu daerah tangkapan air tersendiri. Di daerah urban, air hujan
dialirkan oleh sistem drainase lokal yang kecil, dan kemudian dibuang langsung atau dipompakan ke sungai
atau drainasi yang besar.

Para ahli sangat menekankan bahwa seluruh sistem penanggkapan air yang relevan untuk
Jakarta harus diperhatikan agar banjir di Jakarta dapat diatas. Dewasa ini sedang dibangun
Sistem Banjir Kanal Timur yang dipandang sebagai pasangan dari Sistem banjir Kanal Barat dan
diharapkan dapat mencegah masuknya air melalui aliran sungai ke kota, disamping berbagai
fungsi lainnya, seperti peresapan air tanah, dan transportasi air (Kimpraswil, 2003). Gambaran
pola drainase dari sistem kanal tersebut seperti pada Gambar 3. Selanjutnya, apabila upaya
mengatasi banjir tersebut dikaitkan dengan Peta Masalah Lingkungan Jakarta (Gambar 1), maka
terlihat bahwa Sistem Banjir Kanal hanya dibuat untuk mengatasi banjir yang berkaitan dengan
aliran permukaan, dan tampaknya dibuat dengan asumsi bahwa banjir di Jakarta hanya karena
masalah aliran air permukaan yang tinggi di musim hujan yang datang dari daerah hulu.
Sementara itu, persoalan banjir yang terjadi di kawasan dekat pantai karena pasang surut dan
subsidence belum diupayakan cara untuk mengatasinya secara terpadu, padahal di lapangan
subsidence terlihat jelas. Demikian pula sedimentasi dan penyumbatan sampah di alur-alur sungai,
penyempitan alur sungai karena rumah penduduk, dan urbanisasi tidak jelas apa kebijakannya.

Kemungkinan Dampak
Salah satu jalan untuk melihat kemungkinan dampak dari pembangunan Sistem Banjir
Kanal adalah melalui analisis keseimbangan interaksi agen-agen asal darat dan laut atau neraca
muatan sedimen (sediment budget).

6
Gambar 3. Rencana Sistem Banjir Kanal di Jakarta. Sumber: Urban Poor
Consortium (tt), http://www.urbanpoor.or.id/web_lama/banjir/data.htm.

Dengan asumsi bahwa kondisi sekarang ini berada dalam keadaan seimbang, tidak ada
erosi atau sedimentasi yang berarti terjadi di pantai Jakarta, maka keseimbangan interaksi agen-
agen yang berinteraksi di pantai Jakarta dapat digambarkan sebagai berikut:
Kekuatan asal laut Kekuatan asal darat
Gelombang = Jenis batuan pantai + suplai muatan
sedimen melalui aliran sungai

Adapun keseimbangan neraca muatan sedimen yang terjadi adalah sebagai berikut:
Sedimen masuk Sedimen keluar
Transportasi sepanjang pantai + = Transportasi sepanjang pantai
Suplai melalui aliran sungai

Pada suatu sistem pantai, erosi pantai akan terjadi bila kekuatan asal laut lebih besar dari pada
kekuatan asal darat, atau sedimen yang ke luar lebih besar dari pada yang masuk ke dalam
sistem. Sebaliknya, sedimentasi terjadi di pantai bila kekuatan asal darat lebih besar dari pada
kekuatan asal laut, atau sedimen yang masuk lebih besar dari pada sedimen yang ke luar sistem.
Pembangunan Sistem Banjir Kanal Timur yang memotong tujuh aliran sungai berarti
memotong suplai sedimen, yang berarti pula merubah keseimbangan interaksi antara agen-agen
asal darat dan laut di daerah pesisir Jakarta. Suplai muatan sedimen yang semula masuk ke laut
melalui tujuh titik yang terpisah, berubah menjadi satu titik gabungan dari tujuan aliran sungai.

7
Suplai muatan sedimen dari tujuh muara itu akan sangat kecil, sementara di Marunda sangat
besar. Apabila diasumsikan bahwa interaksi antara agen-agen asal darat dan laut sekarang dalam
kondisi yang seimbang, maka perubahan suplai muatan sedimen akan merubah keseimbangan
itu. Di sekitar tujuh muara sungai yang terpotong alirannya, kekuatan asal laut akan lebih besar
dari pada kekuatan asal darat, sehingga besar kemungkinannya akan terjadi erosi. Sebaliknya,
suplai muatan sedimen di kawasan Marunda yang menjadi sangat besar akan menyebabkan
terjadi sedimentasi di sekitar muara banjir kanal. Adapun lokasi-lokasi erosi atau sedimentasi
sangat ditentukan oleh pola arus lokal setempat.
Selanjutnya, berkaitan dengan banjir yang terjadi karena subsidence di daerah dekat
pantai yang tidak ditangani dengan memadai, bisa diprediksi bahwa genangan banjir akan
bertambah luas. Prakiraan ini didasarkan pada pengamatan lapangan di daerah Manggadua dan
Jalan Gunung Sahari. Pembangunan gedung-gedung di kawasan tersebut tampaknya telah
memperbesar subsidence, seperti yang terlihat di Pademangan – di Jalan Budi Mulia, dan aliran
Sungai Ciliwung. Sekarang, Jalan Budi Mulia hampir sepanjang hari tergenang air, dan genangan
makin tinggi bila laut pasang. Sementara itu, di aliran Sungai Ciliwung, tinggi kolong jembatan
dengan permukaan air sungai menjadi sangat kecil, terutama pada waktu laut pasang. Dengan
kondisi demikian, jembatan telah menjadi penghambat aliran air sungai dan sampah.
Terhambatnya aliran air sungai telah mempercepat laju sedimentasi di alur-alur sungai. Keadaan
ini terlihat di alur Sungai Ciliwung di sepanjang Jalan Gunung Sahari dan R.E. Martadinata. Upaya
pengerukan alur sungai itu pernah dilakukan pada tahun 2003, tetapi sekarang alur sungai telah
mendangkal lagi. Dalam pada itu, di daerah Mangga Besar dan Glodok, pada waktu laut pasang,
tinggi permukaan air sungai sudah mendekati tinggi permukaan jalan.
Akhirnya terhadap urbanisasi yang secara nyata memperbesar masalah banjir di Jakarta,
belum jelas kebijakan apa yang diambil sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah banjir.

Kesimpulan
Sistem Banjir Kanal adalah upaya besar untuk mengatasi banjir di Jakarta. Bila selesai,
diperkirakan sistem itu belum menyelesaikan semua masalah banjir di Jakarta, terutama yang
berkaitan dengan gejala subsudence; di samping itu, ada kemungkinan akan muncul persoalan
erosi atau sedimentasi di pantai. Masalah sampah padat kota dan sedimentasi perlu atasi, dan
kebijakan tentang urbanisasi perlu dibuat sebagai bagian dari upaya mengatasi banjir di Jakarta.

Daftar Pustaka
Caljouw, M., Nas, P.J.M. and Pratiwo, 2004. Flooding in Jakarta. Paper presented on The 1st
International Conference on Urban History, Surabaya, August 23 – 25, 2004.
Kimpraswil, 2003. Kenapa kanal timur. http://www.kanaltimur.com/kenapa.php. Akses: 29 Juni
2005.
Li, H., 2003. Management of coastal mega-cities – a new challenge in the 21st century, Marine
Policy, 27: 333-337.
Setyawan, W.B., 2003. Jakarta coastal megacity and its environmental problems. Paper presented
on The 5th IRSA International Conference, Bandung, July 18 – 19, 2003.
Urban Poor Consortium, tanpa tahun. http://www.urbanpoor.or.id/web_lama/banjir/data.htm.
Akses: 29 Juni 2005.

Anda mungkin juga menyukai