Disusun Oleh :
Nama: Agus Indra Irawan
NIM: 115030101111053
Kelas: E
Pelaku
Lingkungan Kebijakan
1. Legislatif
Mengatakan bahwa mereka berhubungan dengan tugas politik sentral
dalam pembuatan peraturan dan pembentukankebijakan dalam suatu sistem
politik. Kesimpulan secara global adalah legislatif lebih berperan dalam
pembentukan kebijakan di negara-negara dmeokratis daripada di negara-negara
otoriter.
2. Eksekutif
Dikatakan bahwa saat ini kita hidup dalam seluruh era yang disebut
“Exsecutive – center era” dimana efektifitas pemerintah selaku lembaga
eksekutif, baik dalam pembentukan kebijakan maupun dalam lembaga pelaksana
kebijakan. Contoh: A.S. à Presiden membentuk serta melaksanakan kebijakan
kongres à harus mampu mengembangkan jati dirinya sebagai badan legislative
akibatnya sering menghatuskan Presiden selaku pemimpin pemerintah untuk
mengajukan dan menyajikan usul perundang-undangan bagi kemajuan Republik
ke depan.
Kebijakan luar negeri sebagian besar merupakan wewenang
eksekutif. Contoh: kebijakan tentang masalah Korea 1950 – 1953, Irak (2003),
Kosovo (1991), Afganistan (2001). Pada negara-negara berkembang struktur
pembuatan kebijakan secara singkat, lebih mudah dipahami karena secara
sederhana struktur pembuat kebijakan hanya terletak pada pundak eksekutif
selaku pembuatnya sendiri. Di negara berkembang (Indonesia) pada masa
ORBA kelompok kepentingantidak mempunyai pengaruh dalam pembuatannya
karena kebebasannya yang dibatasi oleh lembaga politik.
3. Instansi pemerintah
Sistem administrasi di seluruh dunia dibedakan berdasarkan
karakteristiknya, seperti ukuran dan keragaman, hirarkistas, organisasi, hingga
tingkat otonominya. Doktrin umum dalam ilmu politik bahwa instansi administrasi
hanya dipengaruhi oleh kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah, namun saat
ini diakui bahwa politik dan administrasi dapat berbaur dan instansi administrasi
sering terlibat dalam pengembangan kebijakan public lebih-lebih pada
masyarakat pasca industry, dimana pliralitas menjadi hal yang lemah, teknis dan
kompleksitas masalah kebijakan bertambah luas hingga menyebagiankan
penyerahan kekuasaan yang luas secara formal pada instansi administrasi
terkait.
Norman Thomas ;
Bahwa beberapa masyarakat industry modern diragukan kemampuannya
dalam mengatur operasi hariannya dalam urusan public bila tidak ada organisasi
birokrasi dimana pejabat memainkan peran utama dalam tugas pembuatan
kebijakan.
Instansi administrasi merupakan sumber utama usulan perundang-
undangan dibuat dalam suatu system politik, lebih jauh tidak hanya mampu
mengusulkan perundang-undangan yang dibutuhkan/diinginkan tapi lebih dari itu
secara aktif mereka mendekati dan berusaha untuk mendesakkan
penggunaannya. Maka benar bila sebuah doktrin mengatakan bahwa : kebijakan
tergantung pada kemurahan hati administraturnya.
4. Lembaga Peradilan
Tidak ada pengadilan yang memainkan perannya yang besar dalam
pembentukan kebijakan selain di A.S. dan Eropa Barat. Lembaga ini yang
notabene berwenang dalam proses banding seringkali dipengaruhi oleh sifat dan
isi kebijakan public melalui penggunaan kekuasaan. Pengadilan untuk meninjau
dan menginterpretasikan UU dalam kasus yang dibawa sebelumnya. Tidak
jarang diminta untuk mengartikan dan menentukan arti dari suatu
peraturan/perundang-undangan yang seringkali di interpertasikan secara
berbeda oleh lembaga yang tengah bersengketa. Di negara berkembang tidak
mempunyai pengaruh dalam pembuatankebijakan sering menjadi lembaga
penjamin status quo rezim yang tengah berkuasa saat itu.
Partisipasi non pemerintah dalam pembuat kebijakan.
1. Kelompok Kepentingan
Muncul untuk memainkan tugas yang penting dalam pembuat
kebijakan. Contoh: organisasi buruh, bisnis dan kepemudaan. Pengaruh
kelompok kepentingan dalam kepuusan politik amat tergantung pada sjeumlah
faktor: besar kecilnya anggota, keuangan dan sumber-sumber lain,
kekompakkan, kemampuan pemimpin dan status sosial.
Menurut Zeiglen dan Van Dalen: menitik beratkan pada 3 variabel, yaitu:
1.Kuatnya kompetisi kepartaian,
2.Kolusi legislatif (kekuatan partai) dan
3.Variabel sosial ekonomi (Pendapatan pengahasilan, populasi manusia,
pekerjaan industri)
Analisisnya timbul dua pola yaitu: 1) Kelompok tersebut berkolaborasi dengan
parpol yang lemah dan 2) Keompok tersebut (kepentingan dan penekan
moderat) lemah berkerjasama dengan parpol yang kuat dan kompetitif.
2. Partai Politik
Berperan sentarl manakala kompetisi pada pemilu dalam rangka untuk
mengawasi sekaligus mengisi orang-orang di pemerintah di berlangsungkan.
1. Golongan Rasionalis
Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor rasionalis ialah bahwa
dalam melakukan pilihan alternatif kebijakan mereka selalu menempuh metode
dan langkah-langkah berikut:
1. Mengidentifikasikan masalah
2. Merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu
3. Mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan
4. Meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap alternatif
5. Membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada
tujuan
6. Memilih alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor
rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan
analisis kebijakan yang profesional yang amat terlatih dalam mernggunakan
metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah publik.
Oleh golongan rasionalis ini metode-metode seperti itu kerapkali
merupakan nilai-nilai yang amat dipuja-puja, sehingga tidak heran apabila
metode-metode itulah yang selalu mereka anjurkan untuk dipergunakan. Dengan
metode rasional ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan
sebelumnya dan bahwa informasi/data yang serba lengkap dapat disediakan.
Oleh sebab itu gaya kerja golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja
seorang perencana yang komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk
menganalisis semua aspek dari setiap isu yang muncul dan menguji setiap
alternatif yang mungkin berikut semua akibat dan dukungannya terhadap
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
2. Golongan Teknisi
Seorang teknisi pada dasarnya tidak lebih dari rasionalis, sebab ia adalah
seorang yang karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam
beberapa tahapan proses kebijakan. Golongan teknisi dalam melaksanakan
tugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada
lingkup pekerjaan dan keahliannya. Biasanya mereka bekerja di proyek-proyek
yang membutuhkan keahliannya, namun apa yang harus mereka kerjakan
biasanya ditetapkan oleh pihak lain. Peran yang mereka mainkan dalam
hubungan ini ialah sebagai seorang spesialis atau ahli yang dibutuhakan
tenaganya umtuk menangani tugas-tugas tertentu. Nilai-nilai yang mereka yakini
adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang keahlian profesional
mereka, misalnya sebagai insinyur elektro, ahli informatika dan ilmu komputer,
ahli fisika, ahli statistika dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya
ditetapkan oleh pihak lain,mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang
telah kita sebutkan di atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan
aktor tersebut. Gaya kerja dari golongan teknisi ini agak berlainan jika
dibandingkan dengan golongan rasionalis (yang cenderung bersifat
komprehensif). Golongan teknisi umumnya menunjukkan rasa antusiasme dan
rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk bekerja dalam batas-
batas pendidikan dan keahliannya, namun cenderung enggan untuk melakukan
pertimbangan-pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya
tersebut.
3. Golongan Inkrementalis
Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita identikkan dengan para
politisi. Para politisi, sebagaimana kita ketahui, cenderung memiliki sikap kritis
namun acapkali tidak sabaran terhadap gaya kerja para perencana dan teknisi,
walaupun mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan oleh
para perencana dan para teknisi. Golongan inkrementalis pada umumnya
meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan
sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan
ketidaksempurnaan ini. Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap
perkembangan kebijaksanaaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian
proses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka
dekat maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Bagi golongan
inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pernah
mencukupi untuk menghasilkan suatu program kebijakan yang lengkap. Oleh
sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas dengan melakukan
perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan
ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang
berhubungan dengan terpeliharanya status quo, kestabilan dari sistem dan
terpeliharanya status quo.
Kebijakan apapun bagi golongan inkrementalis akan cenderung dilihat
sebagai suatu perubahan yang terjadi secara sedikit demi sedikit (gradual
changes). Dalam hubungan ini tujuan kebijakan dianggap sebagai konsekuensi
dari adanya tuntutan-tuntutan, baik didorong kebutuhan untuk melakukan
sesuatu yang baru atau karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan apa
yang sudah dikembangkan dalam teori. Gaya kerja golongan onkrementalis ini
dapat dikategorikan sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar-menawar
atau bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, mengujui
sebaerapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi.
4. Golongan Reformis
Seperti halnya golongan inkrementalis, golongan aktor reformis pada
dasarnya juga mengakui akan gterbatasnya informasi dan pengetahuan yang
dibutuhkan dalam proses kebijakan, sekalipun berbeda dalam cara menarik
kesimpulan. Golongan inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi
dan pengetahuan itulah yang mendikte gerak dan langkah dalam proses
pembuatan kebijakan. Dalam kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan,
bahawa hanyalah kebijakan-kebijakan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang
akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada pa yang sudah ada yang
akan dipertimbangkan. Pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang
notabene menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif.
Golongan reformis ini sepandapat dengan pandangan DavidEaston yang
menyebutkan bahwa kita harus menerima sebagai kebenaran akan perlunya
mengarahkan diri kita langsung pada persoalan-persoalan yang berlangsung hari
ini untuk memperoleh jawaban singkat dan cepat dengan memanfaatkan
perangkat analisis serta teori-teori mutakhir yang tersedia, betapapun tidak
memadainya perangkat analisis dan teori-teori tersebut. Dengan demikian,
tekanan perhatiannya adalah pada tindakan sekarang, karena urgensi dari
persoalan yang dihadapi.
Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para lobbyist (orang-
orang yang berperan selaku juru kasak-kusuk/perunding di parlemen). Nilai-nilai
yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan
perubahan sosial, kadang kala demi perubahan sosial itu sendiri, namun lebih
sering bersangkut paut dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan
kebijakan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut,
melalui berbagai macam proses, termasuk di antaranya atas dasar keyakinan
pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng
arahnya atau bahkan gagal. Karena itu gaya kerja golongan aktor reformis ini
umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindakan
demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat golongan aktor yang
terlibat dalam proses kebijakan tersebut, tidak heran jika masing-masing
golongan aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis sering dikecam/dikritik
tidak memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom, sebagai penganjur
teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa golongan aktor rasionalis itu
terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia
dalam mengatasi masalah. Sementara itu golongan aktor teknisi kerapkali
dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-
masalah sempit sebatas pada bidang keahliannya semata dan kurang peduli
terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui
bidang keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis di lain pihak,
seringkali dianggap memiliki sikap konservatif sebab mereka tidak terlalu
tanggap terhadap perubahan sosial atau bentuk inovasi yang lain. Akhirnya
golongan aktor reformis seringkali dituduh mau menangnay sendiri, tidak
sabaran, tidak kenal kompromi, dan karena itu tidak realistis.
Skema sederhana berikut menunjukkan ciri-ciri perilaku dari masing-masing
golongan aktor tersebut di atas beserta kritik-kritik yang dilontarkan orang
terhadapnya.
D.5 LINGKUNGAN
Tak pelak bahwa kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi hasil
akhir sebuah implementasi kebijakan, meski tidak secara langsung. Bahwa
sebuah kebijakan telah diperhitungkan secara masak dan rasional, struktur
implementasi telah dipersiapkan sebaik mungkin, actor-aktor pelaksana dan pola
komunikasi juga telah persiapkan secara matang, namun hasil akhir bisa
berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut
diimplementasikan. Perbedaan factor kondisi lingkungan inilah yang kemudian
melahirkan istilah diskresi dalam implementasi kebijakan public (walau tidak
pernah dinyatakan secara implicit dalam model-model implementasi).
Secara umum factor-faktor kondisi lingkungan yang dipandang dapat
mempengaruhi implementasi kebijakan adalah factor-faktor sistem politik, sistem
ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku. Faktor-faktor sistem
politik/tata pemerintahan misalnya berpengaruh terhadap bagaimana seharusnya
penstrukturan proses implementasi. Ada yang distrukturkan secara legal formal
dan ada yang cenderung lebih pragmatis. Manakala kontrol publik sangat besar
terhadap kinerja pemerintahan, maka struktur yang legal formal lebih disukai
implementor untuk menghindari klaim public atau sebagai tameng dalam
akuntabilitas publik. Oleh karenanya implementasi diterapkan sesuai “textbook”
dan diskresi dihindari. Faktor lingkungan ekonomi misalnya apakah yang dianut
adalah sistem ekonomi pasar, terpimpin, atau campuran, karena masing-masing
sistem akan melahirkan kebijakan dan cara pengimplementasian yang berbeda
pula.
Diskresi merupakan keleluasaan implementor kebijakan, utamanya yang
berhadapan langsung dengan kelompok sasaran, untuk menafsirkan dan
memilih cara yang mungkin berbeda dengan yang disepakati sebelumnya,
sepanjang tidak keluar dari tujuan utamanya. Namun kewenangan untuk
melakukan diskresi juga harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bisa
memerangkap pelakunya dengan “pelanggaran prosedur’ walau dengan tujuan
yang mulia, atau bisa juga kewenangan tersebut disalah-gunakan untuk
kepentingan pribadi. Sementara itu manakala tingkat kepercayaan public
relative tinggi, maka struktur implementasi bisa bersifat lebih pragmatis sesuai
kebutuhan yang ada, sehingga diskresi bagi para implementor menjadi
dimungkinkan. Studi yang dilakukan oleh F. van Waarden (dalam Hill & Hupe,
165-167) membahas tentang hal tersebut secara lebih rinci, dan akan sangat
bermanfaat dibaca guna pemahaman lebih lanjut.