Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi
dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1

Di negara maju, pasien sudah terbiasa mendapatkan analgetika untuk


mengurangi rasa sakit pada saat persalinan, yaitu dengan penggunaan anestesia lokal
dan umum. Di Indonesia, rasa sakit waktu persalinan masih dapat ditolerir ibu sampai
saat persalinan bayi berlangsung, tetapi (pada umumnya) parturien tidak dapat
menahan rasa sakit pada waktu dilakukan penjahitan terhadap luka episiotomi, dan
parturien minta dipati-rasa. Di samping itu, anestesia lokal atau umum memang
diperlukan oleh operator, sehingga ia dapat melakukan tugasnya dengan baik, tenang
dan aman.
Ahli obstetri dan ginekologi seringnya semata-mata bertanggung jawab
terhadap anelgesia/sedasi dan blok regional sepanjang prosedur rawat jalan dan
berbasis jasa. Petunjuk The American Society of Anesthesiologists untuk ketetapan
analgesia/sedasi bagi kalangan non-ahli anestesi memberikan rekomendasi yang
bermanfaat untuk memaksimalkan keamanan pasien selama prosedur rawat jalan dan
berbasis jasa.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga

1
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.3

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.1,2,4

Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat


keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi spinal
memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih. Namun demikian bukan
berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya.
Sectio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. WHO memperkirakan bahwa terdapat peningkatan
persalinan dengan seksio sesarea menjadi 10-15% dari semua persalinan di negara
berkembang dan 20-25% di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Salah
satu indikasi seksio sesarea jika ditinjau dari faktor ibu adalah Disproporsi
sefalopelvik (panggul sempit)
Pemberian Anastesi pada Seksio sesarea memerlukan beberapa pertimbangan,
tidak seperti pembedahan pada umumnya. Ahli anastesi secara bersamaan harus
memberikan obat yang aman terhadap 2 individu yaitu ibu dan anak sekaligus.
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi spinal pada pasien
yang dilakuan sectio caesaria dengan preeklampsia berat dan hematuria.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologi Kehamilan
A. Sistem pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional
residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen juga
berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand)
meningkat sampai 100%. Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi
gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan
PaO2yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskipun dengan
disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%,
memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.
B. Sistem kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan
frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai
40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit
meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of
pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan
/ kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat
menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera
dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai
asfiksia janin. Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya
autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban
jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang
terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc.
Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun
demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal

3
terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen
sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.
C. Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.
Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan
tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung.
Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat.
Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat
hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi
blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung harus selalu
dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa
memandang kapan waktu makan terakhir.
D. Sistem saraf pusat
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia;
kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang
diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena
pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.
Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat
meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran
reseptor (enhanced diffusion).
E. Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya
merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus

4
dianggap bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi
janin.
Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Priteinuria ditandai dengan ditemukannya
protein dalam urin 24 jam yang kadarnya melebihi 0,3 gr/liter atau pemeriksaan
kualitatif menunjukkan +1 atau +2 atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan
kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda
yang serius.
Preeklampsia dibagi dalam 2 golongan ringan dan berat. Penyakit
digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala dibawah ini.
1. Tekanan Sistolik 160 mmHg atau lebih. Atau tekanan diastolik 110 mmHg
atau lebih.
2. Proteinuria h gr atau lebih dalam 24 jam; 3 atau +4 pada pemeriksaan
kulitatif’
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebra, atau gangguan penglihatan
5. Nyeri daerah epigastrium
6. Edema paru dan sianosis.
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Teknik Anestesi
Prinsip teknik anestesi harus memenuhi kriteria:
1. Sifat anelgesi yang cukup kuat
2. Tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu
3. Toksisitas rendah aman terhadap ibu dan bayi
4. Tidak mendepresi janin

5
5. Relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim

Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai
berikut.
1. Adanya gangguan pengosongan lambung
2. Terkadang sulit dilakukan intubasi
3. Kebutuhan oksigen meningkat
4. Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan
hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami
hipoksia/asfiksia.

Anestesi Intravena
Indikasi :
1. Gawat janin
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional
3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus
Keuntungan :
1. Induksi cepat
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah
Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis
pada janin
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas maternal

6
Macam-macam anestesi intravena
a) Pentotal
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan
untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.

Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5% dengan
pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.

Keuntungan pentotal
 Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).
 Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
 Tidak terdapat delirium
 Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.
Komplikasi pentotal
 Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
 Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
 Depresi pusat pernapasan
 Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis

Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan
berikut:
 Gangguan pernafasan
 Gangguan fungsi hati dan ginjal
 Anemia
 Alergi terhadap pentotal

7
Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya pasien
dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam, dan hal
ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.

b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas “rapid setting
general anaesthesia”, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun
1965.
Sifat ketamin :
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
o Tekanan darah intrakranial meningkat
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat sekitar20-
25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)

Premedikasi pada anestesia umum ketamin


Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan premedikasi
dengan obat-obat sebagai berikut:
 Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah
 Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi

Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja sekitar
10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K (dilatasi dan
kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 – 1 mg/Kg BB.

8
Indikasi anestesi ketamin
 Pada opersasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat
 Induksi anastesia umum
 Bila ahli anastesia tidak ada, sedangkan dokter memerlukan tindakan
anastesia yang ringan dan singkat.

Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)


 Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg
 Dekompensasi kordis
 Kelainan jiwa

Komplikasi anastesia ketamin


 Terjadi disorientasi
 Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan dapat
menimbulkan pneumonia.
 Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong.
 Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi
tidurnya dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat
sedikit lebih rendah.

Anestesi Regional
Pelaksanaan blok epidural (blok spinal) bersifat spesialistik, sehingga sebaiknya
diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut ini dikemukakan
beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal.
Obat anastesia yang banyak dipakai adalah :
 Lidonest
 Bupivacain (Marcain)

9
 Lidokain
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan
kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk
melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah
maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal,
sakral, atau kaudal.

Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam.


Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per
abdominam/sectio cesarea.

Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia
regional sudah siap.

Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

10
Anastesi Spinal
A. Definisi
Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.1,3
B. Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam. 1,3
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum perineum
d. Bedah obstetrik-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan

C. Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
a. Kontra indikasi absolut : 1,3
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.

11
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka
harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

b. Kontra indikasi relatif : 1,5


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan
penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan

12
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman1.3

D. Struktur Anatomi Vertebra

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.1,3
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh 1,3
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca. 1,3
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan
di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot. 1,2

13
Gambar 1. Kolumna Vertebralis 3

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid


adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis berjalan
mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen
akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting diperhatikan
bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.4
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
a. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
b. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
3-4
c. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
d. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10

14
e. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-
51,3,4

Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis5

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.3,5
a. Kutis
b. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.

15
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

Gambar 3. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal3


E. Persiapan anestesi spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah
menjadi anestesi umum.1

16
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah:3,5
a. Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik :Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak
teraba.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin(PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan
pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
d. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/ kasa steril dan plester.
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.

17
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock), jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)1,3

Gambar 6. Jenis Jarum Spinal3

F. Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal3,4,5


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat
lengkap dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat. 3,4,5
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan
adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan
untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam
posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. 3,4,5

18
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis. 3,4,5
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 6. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus3

4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 5
cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak

19
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
secara kontinyu dapat dimasukan kateter.
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

Gambar 7. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

G. Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal


Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
menghasilkan respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis yang
terjadi kadang dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal.
Pemahaman terhadap etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci
dalam manajemen pasien selama anestesia spinal dan mengerti indikasi dan
kontraindikasi dari anestesia spinal.3,5
a. Efek Pada Kardiovaskular.
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia spinal
adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama dengan pada

20
penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi
dan tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan
bradikardi. Hal ini karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.
Level blok simpatis mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia
spinal, dimana semakin tinggi blok saraf yang terjadi semakin besar
pengaruhnya terhadap parameter kardiovaskular. 3,5
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output
(CO) dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan
vasodilatasi baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah
pada vena lebih besar (kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot
dinding pembuluh darahnya lebih tipis dibandingkan dengan arteri, efek
venodilatasi yang terjadi lebih dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi
redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang menyebabkan
venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung berkurang
sehingga CO menurun. Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya menurun
15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi
disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari
T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan
tekanan pada atrium kanan akibat pengisian atrium yang berkurang
menyebabkan penurunan peregangan pada reseptor kronotropik yang
3,5
terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.

b. Efek Pada Respirasi.


Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama anestesia spinal
mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak berubah
selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit
dari 4,05 menjadi 3,73 liter. Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan

21
oleh penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-
otot abdomen yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan
penurunan fungsi saraf frenikus atau diafragma. Henti nafas yang terjadi
pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan disfungsi saraf frenikus
atau diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi pada pusat pernafasan
di medula oblongata. Hal yang mendukung pernyataan tersebut adalah
kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan resusitasi yang
cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan untuk
meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya
paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori,
karena jika terjadi paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan
pembersihan sekresi bronkus menjadi terganggu. 3,5
c. Efek Pada Gastrointestinal.
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah traktus
gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang
mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya
hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus)
dan relaksasi dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7
Atropin efektif mengurangi mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid
yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak, kombinasi dari usus yang
berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal memberi keuntungan
karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus untuk operasi.
3,5

d. Efek Pada Fungsi Ginjal.


Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral dipelihara oleh
mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi arteri.
Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin
tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal

22
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah
50 mmHg, akan terjadi penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin
secara bertahap. Walaupun begitu, jika tekanan darah sudah kembali
normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali normal. 3,5
e. Efek pada Termoregulator.
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal memiliki
pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum. Tiga
mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama
anestesia spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat
dari vasodilatasi oleh blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang
berhubungan dengan penurunan ambang vasokontriksi dan menggigil
dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya panas dari
vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok. 3,5

H. Komplikasi tindakan anestesi spinal :


a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
b. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma saraf
e. Mual-muntah
f. Menggigil
g. Kejang

23
I. Farmakologi
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan
mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial
maupun ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum
mempunyai selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung
bahan (material) yang mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis.
Obat yang dipakai untuk anestesia spinal adalah obat yang khusus1,2,4
Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia
spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari
obat dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh
elemen-elemen saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan
eliminasi obat dari ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat
beberapa macam obat anestesia lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal
seperti prokain, lidokain (Xylocaine), tetrakain (Pantocaine), bupivakain
(Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain (Cinchorcaine). Prokain dan lidokain
bersifat short-intermediate acting, sedangkan tetrakain, bupivakain dan dibukain
mempunyai sifat intermediate-long duration. 1,2,4
a. Prokain.
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit
dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain untuk
anestesia spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%.
Jika dilarutkan dengan cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama
menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat hampir sama
dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan glukosa 10% dalam
jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat dari cairan
serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan
sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi.
Dosis yang disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah

24
perineum dan ekstremitas inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen
bagian atas.2,3
b. Lidokain.
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain yang
dipakai untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis
yang biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle
block anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
c. Tetrakain.
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan durasi
yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).
Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul
sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa)
digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana mempunyai berat yang
lebih besar daripada cairan serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar
antara 5 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 15
mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
d. Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8 menit.
Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan
kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah
digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar
antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20
mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.

25
Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal3

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%
Tabel 2. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan


menjadi tiga golongan yaitu:

a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari
pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke
dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada
semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C.
contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh: Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam
dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml),

26
Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml) 2,3
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari
berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C
adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga
obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang
lainnya. contoh: tetrakain,dibukain.
c. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama
dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat
variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk
semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-
1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% Spinal anestesi blok mempunyai
beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan respon endokrin
akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di
minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah
yang terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. Contoh: Lidokaine
(xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5
ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis
5-20mg (1-4ml). 2,3

27
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. D

Usia : 30 Tahun

Jenis kelamin : perempuan

Berat badan : 51 kg

Tanggal MRS : 09 maret 2017

Tanggal Anastesi : 11 Maret 2017

Lama Anastesi : 09.10 – 10.05

Diagnosa prabedah : G1P0A0 +Gravid preterm + PE berat + Hematuria

Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria

Jenis Anestesi : Regional Anesthesia

2.2 Persiapan Pre Operasi (11 maret 2017)


2.2.1 Anamnesis Pre Operasi
Autoanamnesa
- Allergies : Batuk (-)
- Medications :-
- Past Medical History : DM (-) HT (-)
- Last Meal : 8 jam sebelum operasi
- Events : Pasien mengeluh sakit kepala

28
2.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi
B1 ( Breath) : Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR 24x/m,
pernapasan cuping hidung (-), snorig (-), stridor (-), buka
mulut 3 jari, Mallampati score class II. Auskultasi : Suara
napas bronchovesiculer, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
B2 (Blood) : Akral hangat, nadi reguler kuat angkat 100x/m, CRT 2”,
ictus cordis teraba di SIC 6, S1-S2 reguler, murmur (-)
gallop (-)
B3 ( Brain) : Compes mentis, GCS 15, refleks cahaya +/+
B4 (Bladder) : BAK (+) spontan
B5 (Bowel) : Distensi (-), peristaltik (+), nyeri tekan (-), massa (-)
B6 (Bone) : Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas
deformitas (-)
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
Parameter Hasil Satuan Range
Normal
RBC 4,4 106/mm3 3,80-5,20
Hemoglobin (Hb) 11,9 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 35 % 37,0-47,0
PLT 177 103/mm3 150-500
WBC 11,940 103/mm3 4,0-10,0
CT 7’ Menit 4-10
BT 2’ Menit 1-5
HbsAg Non Reakti Non Reaktif

29
2.3 Laporan Anestesi Pre-Operatif (12 November 2016)
 Assessment: ASA II
 Diagnosa prabedah : G1A0P0 +Gravid preterm + PE berat +
hematuria
 Keadaan prabedah
-
BB: 51 kg,
-
N: 100x/menit, RR: 24 x/m, Tax: 36,7oC
-
Hb: 11,9 g/dl, leukosit: 11,940 103/µl
-
Terakhir makan nasi dan minum tanggal 10 maret 2017
pukul 00.00
-
IV line : 1 (tangan kiri kristaloid)
-
Jenis tindakan : sectio caesaria
2.4 Persiapan Pre- Operatif (11 maret 2017)
2.4.1 Di Ruangan
Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+)
Puasa: (+) 8 jam preop
IVFD R

2.4.2 Di kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

30
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau


pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini
tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

31
Durante Operatif (11 maret 2017)
2.4.2 Laporan Anestsi Durante Operatif
Jenis anestesi : Regional Anastesi
Lama anestesi : 09.10 – 10.05
Lama operasi : 09.00 – 10.15
Anastesiologi : dr. Salsiah Sp,An
Ahli Bedah : dr. Sasono SpOG
Posisi : Supine
Infus : 1 line di tangan kiri
pre medikasi

1. Mgso4 drips 40 tpm


2. Ondancentron 4mg IV
induksi :

1. Inj. Bupivacaine 0,5% 15 mg


maintenance anestesi :

1. Inh. O2 2- 4 liter per menit

Obat durante operatif

1. Oxytocin drips 1amp

32
2.5.2 Pemasukan dan pengeluaran cairan

INPUT
1. RL 500 cc
2. Rl 500 cc

OUTPUT

Perdarahan ± 250 cc

Urine ± 300 cc

TOTAL OUTPUT ± 550cc

TOTAL INPUT-TOTAL OUTPUT = 1000-550

= 450 CC

2.5 Post Operati (12 Maret 2016)


2.5.1 Laporan Post Operatif
-
Keluhan pasien : demam (+), mual (-), muntah (-)
Pemeriksaan fisik:

B1 : pernafasan cuping hidung (-), snoring (-), stidor (-), gargling (-),leher
pendek(-), gigi palsu (-) Spontan 22 x/m, retraksi (-), suara
bronchovesikuler simetris, rh (-/-), wh (-/-), SaO2 98% dengan udara
ruangan
B2 : akral hangat, TD 160/70 nadi radialis kuat angkat 80 x/m, ictus
palpable at MCL S ICS 5,CRT < 2’’, S1-S2 tunggal murmur (-) Gallop (-
) conjunctiva anemis (+/+),
B3 : compos mentis, GCS E4V5M6, reflek cahaya +/+
B4 : produksi urine (+), terpasang kateter, urin ± 300 cc
B5 : Nyeri tekan (-)

33
B6 : nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (-), anemis (-); ekstremitas lain
deformitas (-), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)

2.5.2 Monitoring
 Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu setiap
15 menit.
Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca anestesi

34
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini adalah wanita berusia 30 tahun dengan diagnosis G1P0A0, umur
kehamilan 30 minggu, dengan preeklampsia berat dan hematuria, dengan rencana
dilakukan tindakan pembedahan sectio caesaria. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjanguntuk menentukan status (ASA) serta akan ditentukan
rencana jenis anastesi yang akan dipilih. Dalam kasus ini anastesi yang akan
digunakan adalah regional anastesi. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan keadaan
umum pasien tergolong dalam status fisik ASA 2 dan diputuskan untuk dilakukan
anestesi spinal.
Adapun alasan pemilihan teknik anastesi tersebut adalah pada kebanyakan
kasus PEB, anastesi spinal lebih diutamakan daripada general anastesi. Faktor penting
yang harus dipertimbangkan yaitu klinis dari hemodinamik ibu hamil. Selain itu
keuntungan menggunakan anastesi spinal dibandingkan anastesi umum yaitu
mengurangi obat-obat yang mendepresi sistem pernapasan untuk masuk ke sirkulasi
janin, mengurangi resiko pada ibu hamil, dan juga onsetnya cepat..
Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang paling
sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan ini daopat
ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine atau efedrin. Pada
kasus ini, selama anestesi dan pembedahan berlangsung, tidak terdapat penurunan
tekanan darah yang berarti sehingga tidak dibutuhkan pemberian vasokontriktor.
Pada premedikasi pasien diberikan MgSo4 drips 40 tpm ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya kejang, dimana mekanisme kerja dari MgSo4 adalah
menghambat potensial aksi selular, berkompetisi dengan kalsium pada pengikatan
reseptor, dan juga menyebabkan kalsium interselular menurun dengan cara
mengaktivasi adenilat siklase. Kemudian dilanjutkan pemberian Ondansentrone 4 mg
suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan
pengobatan mual, muntah pasca bedah.

35
Tahap selanjutnya dilakukan induksi Agen anestetik lokal yang digunakan
dalam kasus adalah bupivakain 0,5% 5 cc yang disuntikkan intratekhal. Agen lain
yang digunakan untuk blokade adalah bupivakain 0,5%. Bupivakain secara kimia dan
farmakologisnya mirip dengan lidokain. Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk
infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa
vasokontriktor adalah 2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3,2
mg/kgBB. Durasi kerja obat mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat
mencapai 4-8 jam dengan vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam
45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan
berat badan 51 kg, dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor adalah
127,5 mg. Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 20 mg sehingga tidak
melebihi dosis maksimum.
Kemudian dilakukan pemeliharaan anastesi dengan pemberian oksigen 3 lpm
selama operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor setiap 5 menit dan
mencatatnya dilembaran follow up anastesi. Medikasi yang diberikan selama
pembedahan adalah oxytocin drips 1 amp diberikan sesaat setelah bayi lahir.

Perhitungan Cairan.
1. Kebutuhan cairan maintenance
BB pasien : 51 kg
10 kg pertama : 1000 cc cairan
10 kg kedua : 500 cc cairan
31 Kg terakhir = 20 x 31 =620 cc cairan
Total cairan yang dibutuhkan = 1000cc + 500cc + 620cc
= 2120 mL = 2,1 L
2.Cairan pengganti puasa
(50cc x 51kg BB) =2550cc/24 jam
= 107 cc/jam
3. Pengganti Perdarahan

36
Tabel 3.4 Volume darah

Pada pasien ini wanita umur 30 tahun dengan ht

Ht pre op : 35 %/dl

Hb pre op : 11,9 g/dl

EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :

EBV = 65 ml/kg x BB kg

= 65ml/kg x 51 kg

= 3315 ml

37
EBL = EBV – Hct preop = 3315 x 35 % = 1160cc

EBV – Hct standar = 3315 x 30% = 994,5cc

EBL = 1160cc – 994,5 cc = 165, cc

= 165,cc x 3 = 496 cc

Pada kasus ini ditemukan adanya proteinuria (+3) dan edema tungkai yang
menandakan bahwa pasien mengalami preeklampsia berat. Hal ini sudah sesuai
dengan teori dimana dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih
tanda/gejala berikut :
4. TD ≥160/110 MmHg
5. Proteinuria > 5 gr/ 24 jam atau kualitatif +3/+4
6. Oliguria <500ml/24 jam
7. Peningkatan kadar enzim hati
8. Nyeri kepala atau gangguan penglihatan
9. Nyeri epigastrium
10. Edema paru atau sianosis
11. IUFGR
12. HELLP SYNDROM
13. Koma
Diagnosis preeklampsia bisa ditegakkan jika terdapat minimal gejala hipertensi
dan proteinuria. Pada pasien didapatkan nyeri kepala, TD awal masuk RS
201/92MmHg, proteinuria +3, dan adanya edema tungkai.
Adanya hematuria pada pasien menandakan terjadinya infeksi saluran kemih, hal
ini didukung oleh meningkatnya nilai WBC yaitu 11,940/mm3 dan ditemukannya
leukosit (+5)pada pemeriksaan urinalisis yang merupakan marker adanya infeksi.

38
Berdasarkan beberapa penelitian, membuktikan adanya hubungan antara bakteriuria
asimptomatik dengan partus prematurus, pertumbuhan janin terhambat dan
preeklampsia. Pengaruh hormon progesteron terhadap tonus otot-otot dan obstruksi
mekanik oleh pembesaran uterus dalam kehamilan merupakan faktor predisposisi
meningkatkan kapasitas buli-buli dan terdapatnya sisa urin setelah berkemih pada ibu
hamil.
Perubahan PH urin yang disebabkan meningkatnya ekskresi bikarbonas
memberikan kemudahan untuk pertumbuhan bakteri.
Pada akhir proses pembedahan, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dengan
memberikan beberapa instruksi yaitu melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul
oksigen, diawasi tanda vital setiap 15 menit hingga stabil, memposisikan head up
hingga 24 jam pasca operasi, dan penanganan hemodinamik berupa pemberian
ephedrin jika tekanan sistol kurang dari 90 mmHg dan pemberian sulfas atropin jika
nadi kurang dari 60 kali per menit. Semua instruksi tersebut telah dilaksanakan dalam
kasus ini.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Purmono A., 2015. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta.


2. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
3. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses dari: http://www.nlm.nih.
gov/medlineplus/ency/article/007413.htm
4. Mansjoer, A., et all. 2010. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi.
Media Aesculapius. Makassar.
5. Hemant L., et all. 2015. Labor and Delivery, Analgesia, Regional and local.
Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/149337-overview#showall

40

Anda mungkin juga menyukai