264
Luas wilayah Kabupaten Manggarai ialah 4.188,9 Km2. Secara administratif, Kabupaten
Manggarai terbagi menjadi 12 Kecamatan, 227 Desa dan 27 Kelurahan. Pusat pemerintahan
kabupaten di Kota Ruteng-Kecamatan Langke Rembong. Tahun 2004 jumlah penduduk
mencapai sebanyak 484.015 jiwa dan 103.861 KK, dan Tingkat Kepadatan penduduk
sebesar 115,55 jiwa / Km2.
3. Karateristik budaya
265
Pada umumnya, di atas sebuah Compang terdapat haju langke (pohon beringin) yang
sengaja ditanam. Soal letak Compang, kerap Compangmemiliki posisi antara rumah
adat (Mbaru Gendang) dan kuburan (boa). Tinggi Compang bervariasi. Mulai dari
50cm sampai 150cm. Lebarnya mulai dari 100cm sampai 200cm. Panjangnya mulai
dari 200cm hingga 300cm. Tak ada tata aturan baku yang secara khusus membahas sola
ukuran. Yang pasti, tinggi, lebar dan panjangnya cukup untuk melangsungkan
persembahan sesuai dengan maksud dan intensi.
Gambar: 2 Compang
Sumber: http://kanisiusdeki.blogspot.com/2016/04/compang-orang-manggarai_62.html
1. Arti Compang bagi masyarakat Mannggarai
Substansi kehadiran sebuah Compang orang Manggarai ada dalam lima pusaran
filosofi kehidupan orang Manggarai yakni Mbaru bate ka’eng (rumah tempat
tinggal), umat bate duat (kebun tempat bekerja dan menghasilkan panenan), natas
bate labar (lapangan bermain), wae bate teku (sumber air untuk ditimba) dan
compang bate takung (tempat persembahan).
Compang memiliki arti yang sangat penting dalam siklus kehidupan orang
Manggarai. Di Companglah tempat tinggal dari naga golo/naga beo (roh kampong).
Naga golo/beo ini menjadi penjaga dan pelindung kampong dari berbagai hal.
Khususnya segala malapetaka dan bala yang menimpa kampong. Compang juga
menjadi situs sacral yang melaluinya kampong mendapat rejeki kehidupan. Di
setiap penti weki peso (upacara syukur tahunan secara komunal), di Compang
dipersembahkan syukuran kepada penjaga dan pelindung kampong, para leluhur
serta Sang Pencipta. Compang juga menjadi sumber kekuatan. Di setiap warga
266
kampung hendak pergi ke area pertempuran (raha rumbu tanah, rampas), para
pelaku perang mengelilingi Compang tujuh kali.
Dalam ritus-ritus besar, semisal membuka lingko weru (kebun komunal baru),
membangun rumah adat baru (pande mbaru gendang weru), Roko Molas Poco
(pengambilan tiang utama mbaru gendang dari hutan), tetua adat mengawalinya
dengan takung (persembahan) di Compang untuk meminta restu sekaligus mohon
kesuksesan dari acara dimaksud.
Compang menjadi simbol kekuatan, persatuan, perlindungan dan juga jembatan
relasi antara manusia yang masih hidup dengan dunia roh (penjaga kampong,
leluhur, Tuhan), alam semesta dan seluruh kosmos. Di beberapa tempat, ada yang
menyebutnya “compang dari” yang menurut hemat saya tidak tepat karena
meluruhkan arti compang sebenarnya sebagai tempat suci. Compang bukan saja
sebuah tempat menerima panas matahari (dari leso), tetapi situs di mana kehidupan
dihubungkan secara intens dengan tata ciptaan, pemiliknya, penjaganya dan
penciptanya.
2. Simbolisasi Compang bagi masyarakat Manggarai
ompang berhubungan erat dengan lima filosofi kehidupan orang Manggarai;
dengan rumah (adat, tinggal), kebun, sumber air dan lapangan bermain. Karena itu,
pertama nian, Compang berada dalam satu kesatuan siklus kehidupan orang
Manggarai. Compang tidak bisa dilepas-pisahkan dari elemen-elemen lain
pemersatu kehidupan orang Manggarai.
Namun orang Manggarai juga sadar bahwa dalam dirinya (in se), Compang
memiliki nilai yang sangat kaya. Karena itu, muncullah simbolisasi Compang pada
berbagai tempat. Dari eksistensi Compang bermunculan model penafsiran yang
pada intinya membangun konsep nilai yang diaraskan padanya. Sama halnya
dengan rumah adat, Mbaru Gendang, yang kaya arti kemudian diberi interpretasi
baru sekaligus ditempatkan di berbagai kantor bupati dan SKPD. Compang
menjadi simbol kesucian, kekuatan, persatuan pada berbagai tempat lain, semisal
kantor bupati di tiga kabupaten Manggarai Raya.
Simbolisasi terhadap Mbaru Gendang dan Compang masih terus dilakukan.
Simbolisasi itu datang dari ruang interpretasi untuk mendukung maksud baik
tertentu. Selama arasnya masih berhubungan dengan konsep persatuan, kesatuan
dan kemaslahatan komunitas masyarakat. Namun kriteriumnya selalu dalam satu
hal ini: pendirian compang atau mbaru gendang dalam versi interpretasi harus
267
karena kehendak bersama melalui bantang cama-reje leleng (putuskan secara
bersama) dalam lonto leok (rembug bersama). Karena itu adalah inti dari kehadiran
simbol-simbol itu.
c. Sistem organisasi kemasyarakatan (homo socius)
Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah namun memiliki akal maka disusunlah
organisasi kemasyarakatan dimana manusia bekerja sama untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Sejak zaman dahulu masyarakat Manggarai sudah mengenal
sistem organisasi sosial dalam bentuk lembaga adat pada suatu wilayah. Dalam
lembaga adat terdapat Tu,a golo, Tu,a Gendang dan Tu, Teno.
1. Tu,a golo merupakan orang dari keturunan tertua (ranga kae) yang di pilih secara
musyawarah dan berlaku secara turun-temurun. Tugas dan fungsi tu’a golo adalah
mengatur tata kehidupan masyarakat dalam segi kehidupan. Tugas Tu’a Golo
adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban
warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan
menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah
dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang,
khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan
Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang.
2. Tu,a gendang merupakan kekuasaan tertinggi yang mengepali rumah adat dan
berhak atas gong, gendang sebagai pengangkat upara adat. Apabila ada
musyawarah yang berkaitan dengan adat harus di lakukan di rumah gendang. Tu,a
gendang bertanggungjawab atas pelaksanaan serta kelancaranya suatu musyawah
tersebut.
3. Tu’a gendang sangat berkaitan erat dengan urusan kebun komunal (lingko) yang
sering di uncap dalam istilah gendang’n onen lingko’n pe’ang . pembukaan kebun
baru dianggap sah apabila telah di resmikan seacra adat, yang berarti tu,a gendang
yang berhak dan bertanggung jawab atas pembukaan kebun baru tersebut.
4. Tu,a teno melaksanakan hal-hal yang teknis dalam pembukaan kebun (lingko)
yang di pandang mampu dan bijak dalam mengatur untuk kepentingan bersama
dalam pembukaan kebun setra semua urusan adat yang berkaitan dengan kebun.
Tu,a teno menjalankan tugasnya setelah mendapat persetujuan dari tu,a gendang
dari hasil musyawarah
268
d. Sistem pengetahuan (homo safiens)
269
Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun
atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
270
Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dan dibantu dengan tangannya manusia
dapat membuat dan mempergunakan alat, dengan alat-alat ciptaannya itulah manusia
dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Manggarai di masa lalu
sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun
rumah. Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang
sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima.
Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka
ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan
dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian
kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima. Untuk pakaian, orang Manggarai
sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale
(sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka
umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar. Begitupun teknologi
pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai,
yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga
menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak. Masyarakat Manggarai
sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-
daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut,
kayu sita, untuk pengombatan disentri. Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat
pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau
tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal
yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
g. Sistem bahasa (homo longuens)
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950
menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di
pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong
yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa
Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima
kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok
budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab
kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan
271
perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik
secara turun temurun.
h. Penti
Upacara Penti merupakan salah satu Upacara adat bagi orang Manggarai, Flores NTT
yang hingga saat ini masih terus di lestarikan. Sebuah ritus adat warisan leluhur
Manggarai sebagai media ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang di
peroleh selama setahun dan di kenal pula sebagai perayaan tahun baru bagi orang
Manggarai. Pada upacara Penti biasanya dilakukan pada bulan Agustus-September
Rumah Adat (Mbaru Gendang) Manggarai sebagai symbol antropologis dengan ijuk di
bawah tanduk Kerbau (ranggakabar) melambangkan dikaitkan dengan bahasa lambang
dan bahasa tanda simbol tanduk Kerbau pada rumah adat daerah rembong simbol
prinsip kemanusiaan yaitu nilai kemanusiaan dengan ini melambangkan persatuan dan
kesatuan yang kokoh dan tak terpisahkan (Adrianus Marselus Nggoro, 2013:187). 1.
Pada kerucut atap rumah adat Manggarai melambangkan tanggung jawabnya kepala
rumah adat (ata lami) . 2. Tanduk Kerbau (rangga kaba) yang biasa ditancap di
bubungan Rumah adat melambangkan keperkasaan dan kebesaran.
272
seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak
dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau hal itu terjadi, akan ada
bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai. Ritual adat Penti, yaitu suatu
upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang dirayakan bersama-sama oleh
seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni
keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Ritual Penti dimulai dengan acara berjalan
kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah
kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh
penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti.
Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan
sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias
menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah. Urutan prosesi tiba
pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur.
Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan
menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang
diulangi sebanyak lima kali, lagu itu disebut Sanda Lima. Usai itu, rombongan kembali
ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan
penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan.
Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari
rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat
Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai. Puncak acara Penti
ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang
membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi
membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya (Adrianus Marselus Nggoro,
2013:197-198).
273
4. Kesenian
a. Tarian Caci
274
perempuan. 4 lelaki pun bersiap untuk menunjukkan aksinya dengan berbekal cambuk
dan perisai. Pertarungan ini ada di dalam pertunjukkan Tari Caci, tarian tradisional dari
Manggarai, Nusa Tenggara Timur, sebagai rasa syukur menyambut musim panen.
Namun saat ini tarian ini tidak hanya dilakukan saat menyambut musim panen saja, tetapi
juga dipentaskan saat menyambut tamu yang berkunjung ke tempat ini.
Penari yang bersenjatakan cambuk disebut Paki dan berperan sebagai penyerang. Bagi
masyarakat sekitar, Paki melambangkan kekuatan pria. Paki juga dilambangkan sebagai
sebuah keberanian, kejantanan dan keperkasaan dan Paki ini menjadi daya tarik sendiri
bagi wanita Manggarai. Cambuk yang digunakan terbuat dari kulit kerbau yang
dikeringkan. Sedangkan penari yang memegang perisai disebut Ta’ang, menggunakan
perisai yang disebut Nggiling serta busur bambu berjalin rotan atau yang biasa disebut
Agang.
275
Gambar 9 pakaian Tarian Caci
Sumber: https://www.kamerabudaya.com
Atribut lainnya yang digunakan para Paki dan Ta’ang adalah celana panjang berwarna
putih yang dipadu dengan kain tenun khas Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan
warna dasar hitam yang diikat sepanjang lutut. Celana putih dan kain tersebut
melambangkan kepolosan, kemurahan, ketulusan hati, kesantunan dan sikap patuh orang
Manggarai. Pada bagian pinggan terpasang Ndeki, berbentuk seperti kuncir kuda terbuat
dari rotan dengan bulu kambing putih. Pada bagian pinggang belakang terdapat lonceng
yang akan berbunyi mengikuti gerakan dari Paki dan Ta’ang.
276
Empat penari tersebut akan dibagi menjadi 2 kelompok. Mereka akan bergantian bertukar
posisi sebagai penyerang dan penangkis. Jika cambuk mengenai bagian mata atau kepala
maka pemain dinyatakan kalah dan diganti regu berikutnya. Tarian Caci harus dilakukan
dengan hati-hati, bila cambukan gagal ditangkis maka pemain akan terluka. Namun
masyarakat Manggarai menganggap bekas luka ini sebagai lambang maskulinitas.
Karena ketegangannya, tarian ini pun banyak diminati wisatawan baik asing ataupun
mancanegara.
Caci itu ada 3 makna yaitu Naring, Hiang, dan Mengkes. Naring artinya memuji, Hiang
artinya menghormati dan Mengkes artinya bergembira. Jadi Tarian Caci adalah sebuah
tarian yang dilakukan dengan perasaan gembira dan dilakukan untuk menghormati serta
memuju Sang Tuhan. Setiap penari Caci pasti dan harus tahu akan ketiga hal tersebut.
Hal lain yang diajarkan oleh tarian ini diantaranya kepahlawanan, kelincahan,
keindahan, olah raga dan kemurnian hati.
277
Dalam tarian caci, penari yang bertarung haruslah berbeda kampung dan bukan kerabat
sendiri. Meskipun dianggap sebagai tarian sekaligus olah raganya para lelaki, namun
tidak semua lelaki bisa menarikan tarian ini. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan
untuk melakukan tarian ini antara lain memiliki tubuh yang kuat, tahu bagaimana cara
untuk menyerang dan bagaimana cara untuk bertahan yang baik, luwes dan dapat
menyanyikan lagu daerah. Saat tarian ini berlangsung, warga kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara Timur, umumnya juga menghidangkan beberapa ekor kerbau sebagai santapan
bersama.
b. Kain Songke
1. Sejarah kain songke
Pada tahun 1613-1640 kerajaan Gowa Makasar-Sulawesi Selatan pernah berkuasa di
hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Pertemuan dengan berbagai macam
kepentingan budaya melahirkan sesuatu yang baru bagi kebuadaayan orang
Manggarai termasuk di dalamnya masalah berbusana sehingga kebudayaan dari
Makasar sebagiannya dibawa ke Manggarai termasuk juga masalah kain yang dipakai.
Orang Makasar menyebut songke dengan sebutan songket, tetapi orang Manggarai
lebih mengenalnya dengan sebutan songke.
2. Makna Kain songke
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu songke hanya dipakai oleh orang-orang
tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari masyarakat biasa (golongan
bangsawan) yang orang Manggarai sebut kraeng (tuan) atau daeng bagi orang
Makasar. Kaum bangsawan itu menganggap bahwa songke merupakan wengko weki
(kain pelindung tubuh). Dapat dibilang bahwa songke merupakan jejak budaya orang
Manggarai.
278
Sementara Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada
songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta
kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa.
Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif
itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan
alam sekitarnya serta Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras.
279
4. Nilai Songke
Warna dasar benang yang dipakai dalam penenunan songke adalah hitam yang bagi
orang manggarai warna hitam melambangkan arti kebesaran dan keagungan serta
kepasrahan bahwa semua manusia pada suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng
(Sang Pencipta). Sedangkan warna benang untuk sulam umumnya warna-warna yang
mencolok seperti merah, putih, orange, dan kuning. Motif yang dipakai pun tidak
sembarang. Setiap motif mengandung arti dan harapan dari orang Manggarai dalam
hal kesejahteraan hidup, kesehatan, dan hubungan, baik antara manusia dan
sesamanya, manusia dengan alam maupun manusia dengan Sang Pencipta.
Berikut beberapa motif yang sering dipakai dalam penenunan kain songke dan
maknanya:
a. Motif wela kawu (bunga kapuk) bermakna keterkaitan antara manusia dengan
alam sekitarnya.
b. Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras.
c. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala
sesuatu ada akhirnya, ada batasnya.
d. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan
dalam tudak, doa “porong langkas haeng ntala” supaya senantiasa tinggi sampai
ke bintang. Maksudnya, agar senantiasa sehat, diberikan umur yang panjang, dan
memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa
perubahan dalam hidup.
e. Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan bahwa orang Manggarai
bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah
kefanaan ini.
280
Gambar:14 Motif Kain Songke Manggarai
Sumber: https://krisdasomerpes.wordpress.com
281
c. Seni Bertembang
Dalam seni sastra orang Manggarai memiliki kemampuan berkata-kata dalam bentuk
mantra, bahasa berhias, pepatah, peribahasa, perumpamaan, pemeo, tamsil, ibarat, dan
pantun. Berupa mantra seperti: jing-perjing, setang-persetan, kapu tana lopat mata,
lengkang hau jing (jin atau setan, enyalah engkau kuasailah wahai penguasa tanah dan
biarkan mata setan buta terhadap tanaman kami). Dalam pepatah megatakan na waen
pake, na rukun rukus (katak berprilaku katak, kepiting berlaku kepiting yang atrinya
buah jatuh tidak jauh dari pohon). Berupa pribahasa misalnya dalam ungkapan la’it
merkani bang perkakas (kapok, biar mampus, tidak ada apa-apa lagi dalam dirimu).
Tamsil dalam ungkapan tara te’e neho muku tara lando neho teu (akan masak seperti
pisang, akan bunga seperti tebu) yang atrinya segala sesuatu ada akibatnya. Sedangkan
prosa muncul dalam berbentuk dongeng, silsilah dan sejarah. Sejarah bersifat umum
dan memiliki sejarah disetiap masing-masing suku sesuai klen patrilinear.
d. Seni Musik
Mbata adalah musik tradisional yang mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur
kepada sang "Mori Keraeng" (Tuhan Pencipta), kepada alam dan leluhur. Orang
Manggarai menyebut Sang Pencipta dengan sebutan "Mori Jari Agu Dedek". Artinya
melalui tangan Tuhan mencipta manusia dan alam semesta.
282
Musik Mbata ini biasanya dilaksanakan pada malam hari saat upacara Penti, syukur
panen pada akhir tahun. Orang Manggarai Raya memiliki warisan leluhur yang terus
dilaksanakan setiap tahun. Warisan itu adalah ritual penti, syukur panen tahunan.
Bahkan, musik ini dilaksanakan semalam suntuk di dalam rumah adat gendang. Kaum
perempuan dan laki-laki dengan lirikan dan nyanyian ungkapan syukur bersama
kegembiraan diiringi tabuhan gendang dan gong.
Lantunan lagu-lagu daerah yang mengungkapkan rasa syukur atas berkat dari Sang
Pencipta dan perlindungan dari leluhur terhadap hasil panen padi, jagung dan berbagai
hasil bumi lainnya. Masing-masing suku dan sub suku di wilayah Manggarai Timur,
Manggarai Barat dan Manggarai melaksanakan upacara Penti dengan cara berbeda-
beda. Ada yang dilaksanakan pada akhir Desember jelang tahun baru. Ada juga yang
melaksanakan pada bulan Juli dan Agustus setiap tahun. Upacara Penti harus
dilaksanakan setiap tahun oleh warga di satu kampung dari berbagai Suku dan sub suku.
Namun, pada upacara Penti itu musik yang dibawakan adalah Mbata.
283
Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Wae Rebo terletak di desa
Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian C. a. 1100 m di atas permukaan air laut.
Kampung Wae Rebo diapiti oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung. kampung
tetangga. Wae Rebo sendiri memiliki rumah adat tradisional yang sekarang menjadi objek
arsitektur bagi wisatawan mancanegara, rumah adat ini biasa disebut Mbaru Niang. Mbaru
Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi (Mbaru = Rumah | Niang =
Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung tradisional yang tersisa tujuh di desa Wae
Rebo, NTT. Rumah Mbaru Niang memanfaatkan karya arsitektur sebagai alat pemersatu antar
keluarga dari setiap klan suku Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat dan
ditinggali oleh sekitar delapan keluarga. Hanya ada tujuh Mbaru Niang dan rumah itu tersusun
seperti planet yang megorbit pada matahari. Warga Waerebo memang memiliki filosofi yang
sangat unik. Pada awalnya tetua atau raja Waerebo memiliki delapan anak. Ini mengapa ada
delapan klan di Desa Waerebo. Yang menarik, rumah Niang tidak dibangun sebanyak delapan
untuk ditinggali masing-masing klan. Sebaliknya, tiap satu Rumah Niang, yang memiliki
delapan kamar, wajib dihuni oleh masing-masing keturunan dari kedelapan klan tersebut.
Mereka benar-benar memakai arsitektur sebagai alat pemersatu.
284
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau ilalang
dengan kerangka atap dari bambu. Dan tiang-tiang utama menggunakan kayu worok yang,
besar yang diambil sayu pohon utuh. Sebelum di pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara
tradisional agar menjadi kayu yang baik dan kuat dan dipilih kayu yang cukup umur. Desain
rumah panggung selain melindungi penghuni dari binatang buas dan tanah yang basah, kolong
rumah kerap digunakan untuk menenun bagi ibu-ibu di Desa Wae rebo.
Niang (rumah) inti di kampung Wae Rebo berjumlah 7 buah, dan salah satunya merupakan
rumah adat atau dalam bahasa lokal disebut Mbaru Niang atau rumah kerucut, karena
bentuknya kerucut, runcing di bagian atas dengan atap ijuk yang menjuntai hingga ke tanah
atau juga Mbaru Gendang karena di rumah ini disimpan gendang pusaka milik kampung yang
digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. Sedangkan 6 sisanya disebut Niang Gena atau
rumah gena atau rumah biasa. Penghuni Mbaru Niang berjumlah 8 kepala keluarga, perwakilan
dari masing-masing keturunan. Sedangkan 5 niang gena dihuni 6-7 kepala keluarga. Dan satu
niang gena yang saat ini digunakan sebagai tempat menginap bagi tamu wisatawan yang datang
berkunjung di Kampung Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa kampung mereka
dijaga oleh 7 buah bentangan alam yang juga disucikan.
285
Mbaru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari cuaca dan gangguan dari luar. Bagi
suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo, Mbaru Niang merupakan wujud keselarasan
manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae
Rebo.
Bentuk rumah panggung menjadikan Mbaru Niang sebagai rumah yang sempurna sebagai
tempat perlindungan dari hewan buas dan berdasarkan dari letak geografisnya, desa Wae Rebo
berada pada wilayah gempa, sehingga bentuk rumah panggung juga sangat kondusif untuk
wilayah tersebut. Dalam lutur (tingkat pertama Mbaru Niang), terdapat area yang dikhusukan
untuk api. Api dan asap yang merupakan suatu elemen multifungsi bagi seluruh kehidupan di
dalam Mbaru Niang. Manfaat api berikut dengan asapnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
286
Gambar: Peta Wae Rebo
Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org
Bentukannya yang kerucut, membuat rumah unik ini memiiki sifat aerodinamis. Hal ini sangat
cocok untuk daerah tersebut yang terlampau sering dilewati oleh angin atau kabut
dikararenakan berada di daerah dataran tinggi. Pembangunan mbaru niang bisa disebut sebagai
‘knock down’, atau bangunan yang dapat di bongkar pasang tanpa merusak bahan utama dan
bisa dipergunakan kembali. Adanya kesinambungan antara masyarakat dengan leluhurnya
membuat seluruh masyarakat memiliki sifat akan menghormati leluhurnya yang telah menjaga
kehidupan mereka. Sehingga dari masyarakat pun sendiri sangat menjaga kelestarian alam
yang ada di sekitarnya. Dan dari situ pula terasa atmosfer akan The Spirit of Place dari desa
Wae Rebo
287
Rumah adat Wea Rebo berbentuk kerucut dengan atap yanag menjuntai hampir menyentuh
tanah yang terbuat dari daun lontar, dan struktur lantai yang menggunakan struktur panggung.
Kontruksi bangunan rumah ini menggunakansistem pasak dan pen yang kemudian di ikat
menggunakan rotan sebagai tali. Bahan yang digunakan adalah Kayu Worok dan bambu, dan
penutup atap menggunakan daun lontar yang kering/alang-alang.
Membangun sebuah mbaru niang, masyarakat Wae Rebo mempersiapkannya hingga satu tahun,
karena keseluruhan bahan bangunan diambil secara bijaksana dari hutan yang mengelilingi
kampung wae rebo. seperti kayu utama yang menjulang ditengah setinggi 15 meter, diambil
dari satu pohon utuh, dan sebelum di pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara tradisional
agar menjadi kayu yang baik dan kuat (bingung menjelaskan proses mempersiapkan dari
sebuah pohon utuh menjadi kayu gelondongan yang siap pakai) dan dipilih kayu yang cukup
umur. selain kayu, masyarakat juga mengumpulkan bermeter-meter rotan untuk mengikat, ijuk
dan alang-alang untuk atap dan bambu. seluruh bahan ini dipersiapkan dan dikumpulkan
sedikit-sedikit sesuai yang disediakan alam yang dapat diambil secara bijaksana oleh
masyarakat.
Pondasi dari mbaru niang terdiri dari beberapa bilang batang kayu yang ditanam ke tanah
sedalam 2 meter. terdapat permasalah pondasi pada bangunan lama, yaitu kayu yang
membusuk karena lembab atau rapuh, sehingga tak kuat menahan keseluruhan bangunan
rumah. seiring dengan kedatangan tamu dan beberapa masukan dari ahli, pondasi mbaru niang
288
sekarang dibungkus dengan plastik dan ijuk untuk melindungi kayu bersentuhan langsung
dengan tanah wae rebo yang lembab.
289
7. Material bangunan
290
8. Pola ruang dalam
Secara horisontal pola ruang pada arsitektur tradisional manggarai ini berintikan pada ruang
tengah yang mengintari sembilan buah tiang utama. Pada bagian tengah ini ada terdapat 2 ruang
penting dan saling mendukung, yakni ruang bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo)
bagian belakang yang memiliki fungsi ganda yakni bagian ruang yang bersifat profan dan
sekaligus bersifat sakral dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai untuk
aktifitas penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat pelaksanaan aktifitas
adat (upacara adat).
Secara vertikal, rumah tradisional manggarai, dibagi menjadi beberapa bagian, yakni
291
9. Hierarki ruang
a. Lantai pertama merupakan tempat istirahat para penghuni. Lantai ini terbagi menjadi tiga
bagian yaitu nolang, loang dan lutur. Nolang dan loang (area privat) adalah tempat
beraktivitas, termasuk memasak. Sementara lutur (area publik) merupakan tempat tetamu
beraktivitas dan istirahat. Pembagian ini menunjukkan budaya saling menghormati antara
penduduk setempat dan pendatang. Meski ada pemisahan ruang, namun mereka tinggal di
satu lantai.
292
b. Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo (lobo berarti loteng) yang berfungsi untuk
menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.
c. Tingkat ketiga disebut lentar (lentar berarti jagung) untuk menyimpan benih-benih
tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan.
d. Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan pangan
yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen. namun
menurut slah satu sumber lantak ke-4 ini sudah jarang digunakan/kosong.
e. Tingkat kelima atau paling atas yang disebut hekang kode digunakan untuk melakukakn
upacara adat ancam bobongatau menempatkan sesaji buat leluhur.
Karakteristik rumah Niang terdapat pada bentuknya yang kerucut dengan atap dan badan
yang menyatu. Dinding bangunan tersusun dari rangka bambu yang diselimuti dengan jalinan
daun ilalang kering dan ijuk untuk melindungi penghuni dari suhu udara yang dingin khas
pegunungan.
Wujud rumah Niang yang secara alami terbentuk dari proses penyesuaian dengan iklim yang
terdapat di pegunungan membuatnya memiliki bentukan yang demikian. Pada proses
pengembangannya, arsitektur rumah Niang yang mengkini, akan juga mengalami proses
metamorphosis, dimana dalam keadaan iklim dan karakter alam pendukungnya juga bisa
menjadi potensi bagi proses pemalihannya
Rumah ini dihuni sekitar 5-6 anggota keluarga (sekitar 30 orang) yang hidup berdampingan
dengan dapur yang sama dan tungku yang terpisah. Hal tersebut menunjukan pola hidup
berkomunitas dengan sikap toleransi yang terus dijaga dalam kehidupan sehari-hari dari
zaman dulu hingga saat ini.
293
cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wea Rebo. Konon dulunya leluhur suku
“anggarai yang bermukim di dataran Flores memiliki
delapan orang peWaris, Oleh karena itu terdapat delapan suku yang tersebar di dataran Flores.
Namun leluhur mereka saat itu tidak membangun delapan rumah untuk dihuni oleh masing-
masing kep ala keluarga. Hanya terdapat tujuh buah “Baru Niang yang masing- masing “Baru
Niang dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku. Tujuan para leluhur terdahulu adalah agar
sosialisasi antar suku semakin erat dan dapat terus terjalin hubungan antar tiap keluarga.
Wujud rumah Niang yang secara alami terbentuk dari proses penyesuaian dengan iklim yang
terdapat di pegunungan membuatnya memiliki bentukan yang demikian. Pada proses
pengembangannya, arsitektur rumah Niang juga mengalami proses metamorphosis, dimana
dalam keadaan iklim dan karakter alam pendukungnya juga bisa menjadi potensi bagi proses
pemalihannya.
294
11. Simbol tangible dan intangible
2 Arsitektur Hirarki
rumah adat Lutur : Berkumpul
suku Loteng : Menyimpan Bahan
Manggarai makanan & barang-barang sehari-
hari.
Lentar: menyimpan benih-benih
Tanaman.
Lempah Rae: Stok pangan jika 1. Rumah adat bagi masyarakat
Kekeringan Wae Rebo merupakan simbolisasi
295
BAGIAN TENGAH: Tempat Orang 2. Persambungan pada konstruksi
melakukan Aktivitas rumah melambangkan
BAGIAN ATAP : Tempat Pemujaan perkawinan suami dan istri yang
membentuk sebuah keluarga.
Simbolisasi Rumah Adat 3. Rumah adat Wae Rebo memiliki 9
Persambungan pada kontruksii tiang utama melambangkan
rumah melambangkan perkawinan jumlah bulan ketika seorang ibu
suami dan istri yang membentuk mengandung
sebuah keluarga. 4. Susunan 3 tiang secara berderet 3
kali (9 tiang) melambangkan 3 fase
yang penting dalam
perkembangan janin di dalam
perut seorang ibu
5. Di atas tungku perapian terdapat
296
6. Material yang digunakan pada
bangunan dominan menggunakan
material alami karena sesuai
kepercayaan mereka yang sangat
menghargai alam dan bahkan
kehidupan mereka tidak bisa
dipisahkan dengan alam.
7. Untuk menghindari kelembaban
pada material yang digunakan
pada rumah adat suku manggarai
terdapat dapur/perapian didalam
rumah memiliki fungsi sebagai
pengusir rayap yang ada sehingga
material yang digunakan pada
rumah mereka sangat awet dan
kokoh.
3 Kain Songke 1. Kain-kain khas manggarai ini adalah f. Motif wela kawu (bunga kapuk)
Suku simbol adat bagi mereka. Motif bermakna keterkaitan antara manusia
dengan alam sekitarnya.
Manggarai Bunga, dalam bahasa Manggarai
g. Motif ranggong (laba-laba)
Wela kawong, bermkana
bersimbol kejujuran dan kerja keras.
Interpendensi antara manusia h. Motif ju’i (garis-garis batas)
dengan alam di sekitarnya. Motif pertanda keberakhiran segala
Laba-laba/ Ranggang, Bersimbol sesuatu, yaitu segala sesuatu ada
297
akan kembali pada Yang Maha
Kuasa.
3. Kuning : Keluhuran
Hijau : Harapan Masa Depan
Merah : Keberanian
Hitam : teguh & Abadi
298
yang bernuansa seni. Tarian Caci persahabatan dan seni yang
diiringi bunyi gendang dan gong serta merupakan bagian penting dalam
nyanyian para pendukungnya yang perayaan tahun baru. Merupakan
menunjukkan kemegahan acara permainan cambuk dimana para
tersebut. lelaki bertarung dengan cambuk
sering sampai mengeluarkan darah.
Hal ini dianggap sebagai perlambang
sifat sportif, keperkasaan,
keberanian dan sebagai daya tarik
bagi perempuan.
299
Glosarium
“Mbaru Gendang” adalah; merupakan simbol sekaligus pusat seluruh kehidupan orang
Manggarai Barat.
“Patrilinea” adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya
artinya berbeda.
“Lingko” adalah merupakan semua tanah yang dimiliki satu wa’u (kumpulan beberapa
klan) di dalam satu golo. Karena itu, lingko bukan milik pribadi, tetapi milik wa’u yang
tinggal di satu golo saja.
“Odok” adalah sebidang tanah yang sudah dibagi secara jelas oleh nenek moyang ke
dalam lampan dan uma meze.
“Dor” adalah orang yang diangkat dari (tidak harus) dari anggota sepu biza
(seperti wa,u)yang memenuhi syarat-syarat tertentu
“Compang” adalah sebuah tempat khusus untuk persembahan yang letaknya di tengah
kampong, tersusun dari batu pilihan dan di tengahnya diletakkan batu ceper (watu lempe).
“Ronda” adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya
menjemput tamu baru
Daftar Pustaka
Y. Antar, “Pesan Dari Wae Rebo.”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI.
(2010) 200–266.
300
S. Alex. Analisis Teks Media. ( 2001). 41-99.
van Zoest, Aart. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya Dan Apa Yang Kita Lakukan
Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung (1993)
Antony Bagul, (2008). Budaya Daerah Manggarai, Ende : Nusa Indah. Burhan Bungin, (2001)
Metodologi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif. Yogyakarta : Gajah Mada Press.
301