Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI GESTASIONAL DAN


OLIGOHIDRAMNION

DISUSUN OLEH :

Mahfira Ramadhania 2010730066

DOKTER PEMBIMBING:
dr. Hj. Husna Amelz, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus yang berjudul “Hipertensi
Gestasional dan Oligohidramnion” pada stase ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Islam Jakarta Pondok Kopi. Terima kasih kepada dr. Hj. Husna Amelz., Sp.OG selaku
pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, November 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

DAFTAR TABEL.......................................................................................................................5

DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................5

DAFTAR BAGAN.....................................................................................................................5

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................6

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................6

1.2 Tujuan..........................................................................................................................6

BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................................7

BAB III PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA......................................................13

2.1 Hipertensi dalam Kehamilan..........................................................................................13

2.1.1 Definisi...............................................................................................................13

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan............................................................13

2.1.3 Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan................................15

2.1.4 Insidensi.............................................................................................................21

2.1.5 Faktor Risiko......................................................................................................22

2.1.6 Etiologi...............................................................................................................23

2.1.7 Patofisiologi.......................................................................................................28

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................30

2.1.9 Pencegahan.........................................................................................................32

2.1.10 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan....................................................36

2.2 Oligohidramnion............................................................................................................47

2.2.1 Definisi Oligohidramnion.......................................................................................47

2.2.2 Epidemiologi Oligohidramnion..............................................................................47

3
2.2.3 Etiologi Oligohidramnion.......................................................................................48

2.2.4 Patofisiologi Oligohidramnion................................................................................49

2.2.5 Manifestasi Klinis Oligohidramnion.......................................................................50

2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion........................................................50

2.2.7 Komplikasi Oligohidramnion..................................................................................50

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................53

4
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan.....................................10

Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis..........................................12

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis.................................................................13

Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi................................................................58

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal.................................................................23

Gambar 2.2. Atherosis............................................................................................24

DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan..........26

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah
satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga
banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001,
menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada
150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan
bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika
Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan.5
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20
usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur
lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.5

Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan


berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau
vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara
berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam
kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan
kerusakan end organ lainnya.4,5,7,17

1.2 Tujuan
Tujuan umum dari laporan kasus ini adalah untuk dapat lebih mendalami dan
memahami atas kasus–kasus tentang hipertensi dalam kehamilan serta oligohidramnion.
Tujuan khususnya adalah sebagai pemenuhan tugas kepaniteraan stase obstetri dan
ginekologi.

6
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. MR
Umur : 31 tahun
Alamat : Menteng, Jakarta Pusat
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 16 Oktober 2014, pukul 10.30

II. Anamnesis
Keluhan utama : Sakit kepala sejak 1 hari sebelum masuk RS

Riwayat Penyakit Sekarang : Os G1P0A0 merasa hamil 9 bulan datang dengan


keluhan sakit kepala. Keluhan nyeri ulu hati dan gangguan penglihatan disangkal. Ibu
juga mengalami tekanan darah tinggi yang di diagnosis sejak usia kehamilan 8 bulan
sehingga dirujuk oleh bidan ke rumah sakit. Keluhan tekanan darah tinggi sebelum
masa kehamilan disangkal. Mules yang makin berat, keluar darah dan lendir dan
keluar air merembes disangkal ibu. Gerakan janin masih dirasakan ibu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengaku sering merasakan keluhan seperti ini sejak 3 bulan yang lalu.
Riwayat tekanan darah tinggi sebelum kehamilan (-), riwayat sesak nafas asma (-),
riwayat pengobatan TB selama 6 bulan (-).

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada yang menderita keluhan yang sama di keluarga. Ibu pasien berusia
60 tahun menderita DM dan sedang menjalani pengobatan rutin dengan minum obat
diabetes.

Riwayat Alergi:
Pasien menyangkal riwayat alergi terhadap makanan, minuman, obat-obatan.

7
Riwayat Pengobatan:
Pasien sedang mengkonsumsi suplemen zat besi dan asam folat dikonsumsi sejak
awal kehamilan satu kali sehari.

III. Riwayat Obstetri


 Status Pernikahan
Menikah : usia 30 tahun
Pernikahan pertama, usia pernikahan 1 tahun.

 Riwayat Menstruasi
Menarche : usia 13 tahun.
Siklus : 28 hari
Lama : 7 hari
Menstruasi tidak pernah nyeri, teratur, perdarahan selama menstruasi normal ganti
pembalut 1-3 kali per hari.
HPHT : 10 Januari 2014

 Riwayat Kehamilan
Kehamilan pertama, tidak pernah keguguran.
Hari Taksiran Persalinan: 17 Oktober 2014
ANC : Ke SpOG 1x, bidan 1 kali setiap bulan

 Riwayat Kontrasepsi
KB : Belum pernah menggunakan KB

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Status Praesens
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 180/120 mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5 °C
Kepala : Conjunctiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-), pupil isokor
Leher : Tiroid: t.a.k
KGB : t.a.k
Thoraks :
Paru Inspeksi : simetris
Palpasi : retraksi (-/-), fremitus (N/N)
Perkusi : redup (-/-)
Auskultasi : suara vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronkhi (-/-)
Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
8
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung relatif dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular

Abdomen : Besar Lembut, linea nigra (+) striae gravidarum (+)


ballottement berkurang
Hepar : Sulit dinilai
Lien : Sulit dinilai

Ekstremitas
Superior: Akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik
Inferior: Akral hangat, udem (-/-), RCT < 2 detik, refleks patella (+)

V. STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan Luar
Leopold I - TFU: 32 cm, teraba bulat lunak
Leopold II – kiri teraba keras seperti papan, kanan teraba bagian kecil
Leopold III – teraba bulat keras
Leopold IV - kepala belum masuk PAP
HIS(-), DJJ: 152x/menit reguler
Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

VI. DIAGNOSIS
G1P1A0 hamil 40 minggu dengan hipertensi pada kehamilan et causa hipertensi
gestasional + oligohidramnion

DD Preeklamsi Berat

VII. RENCANA PENGELOLAAN


Diagnostik : Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, USG, dan CTG
Terapeutik : Pengelolaan cairan infus, Protap MgSO4, antihipertensi
Edukasi : Edukasi mengenai tanda bahaya eklamsi (impending eklamsi) yaitu
nyeri ulu hati, sakit kepala, gangguan penglihatan.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin
Leukosit : 10 x 103/µL (4,0–10,0 x10³/µL)
Hb : 11,8 gr/dL ( 11 – 16 gr/dL)
Hematokrit : 35% (37 – 50 %)
Trombosit : 269x103/µL (100– 300 103/µL)
Urinalisis
9
Protein urin : Negatif

USG : Janin tunggal hidup aterm. Implantasi plasenta normal di


fundus. Indeks Cairan Amnion: 5cm di 4 kuadran. Kesan: oligohidramnion

CTG : Reaktif, Baseline DJJ 150x/menit, tidak ada deselerasi, his (-).

IX. PENATALAKSANAAN
a. Observasi tanda vital
b. Rencana SC elektif
c. Pasang D/C
d. Infus ringer laktat
e. Dopamet 3x250 mg
f. Nifedipin 1x30 mg
g. Ceftriaxone 2 gr
h. Ketorolac 2x1
i. Tablet Fe 1x1
j. Pronalges supp

10
X. FOLLOW UP JAGA
PLANNING
TANGGA FOLLOW UP
L

 Diagnostik: pemeriksaan darah


16 Oktober S : Hamil anak pertama tidak pernah
lengkap, urinalisis, USG dan
2014 keguguran, riwayat hipertensi pro SC a/i
CTG
HDK+oligohidramnion  Terapeutik: Pasang D/C, infus
RL, antibiotik profilaksis,
O : KU: Baik, Kes: CM
pemberian terapi antihipertensi:

TD: 180/120, N: 84, T: 36,6ºC, R: Dopamet 3x250 mg, Nifedipine

20x/menit 1x30 mg, rencana SC


 Edukasi: Penjelasan mengenai
TFU 32 cm, puka, let memanjang, pres. risiko dan prosedur sectio
Kepala, penurunan 5/5 caesaria, edukasi mengenai
hipertensi pada kehamilan
A: G1P0A0 hamil 40 minggu + hipertensi
gestasional + oligohidramnion

17 Oktober S: nyeri luka operasi Diagnostik: Obs KU, Obs TTV


2014
O:KU: Baik, Kes: CM Terapi:

TD: 160/100, N: 80, T: 36,3ºC, R:  Dopamet 3x250 mg


22x/menit
 Nifedipine 1x30 mg
ASI (+/+)
 Ceftriaxone

Abd: TFU 2 jari bawah pusat.


 Ketorolac

Ext: edema (-/-)  Pronalges sup

A: Post SC hari ke-1 Edukasi: Anjuran untuk

11
mobilisasi setelah 24 jam post
op, mulai dari miring kanan-kiri
lalu duduk

18 Oktober S : keluhan nyeri luka op, mobilisasi baik Diagnostik: Obs KU, Obs TTV
2014
O: Terapi:

KU: Baik, Kes: CM  Aff D/C

TD: 140/100, N: 78, T: 36,4ºC, R: 18x  Dopamet 3x250 mg

ASI (+/+), kontraksi uterus baik  Nifedipine 1x30 mg

 Ceftriaxone 2 gr
Abd: TFU 2 jari bawah pusat.

 Pronalges sup
A: nifas
Edukasi: Anjuran untuk
mobilisasi, perawatan bekas
luka operasi

19 Oktober S : keluhan (-) Diagnostik: Obs KU, Obs TTV


2014
O: perdarahan nifas dbn Terapi:

KU: Baik, Kes: CM  Aff D/C

TD: 130/80, N: 76, T: 36,5ºC, R: 18x  Dopamet 3x250 mg

ASI (+/+)  Nifedipine 1x30 mg

Edukasi: Penyuluhan kesehatan


Abd: TFU 2 jari bawah pusat.
untuk persiapan pulang yaitu
mengenai perawatan bekas luka
Ext : Edema (-/-) operasi, nutrisi, perawatan bayi,
ASI dan perawatan payudara.
A: nifas

12
13
BAB III
PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi dalam Kehamilan

2.1.1 Definisi
Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan.11

Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada


preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya
kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada
pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan
kesadaran tanpa kejang.11

Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan
yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh
preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi
kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.11

Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam


kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai
proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin.11

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan setiap
bentuk hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk
menekankan hubungan sebab dan akibat antara kehamilan dan hipertensi – preeklamsi
dan eklamsi.5

Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori
yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-
induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The International Society for the

14
Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil
dibagi menjadi :

1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada


wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.

- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)

- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)

- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)

2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis


(proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

- Hipertensi kronis (without proteinuria)

- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

- Hipertensi kronis dengn superimposed

- Pre-eklamsi (proteinuria)

3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

4. Eklampsia.18

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP


(2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :

1. Hipertensi gestasional

2. Preeklamsi

3. Eklamsi

4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis

5. Hipertensi kronis.2,4,5,7,10,16

15
2.1.3 Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan
Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan
mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar
dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan mengenal
secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara sempurna.12

Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi
jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi
berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih
rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10
menit.5,7,10

Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90


mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan
darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan
diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik,
bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut
sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut
tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat
kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II
kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi
kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria
diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang
normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka,
dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi
maupun eklamsi.5,7,10,16

2.1.3.1 Hipertensi Gestasional


Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan
tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient
hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali
normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama
setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun
proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985),
16
10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan
demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi
risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang
memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus
meningkatkan risiko ibu dan janin.2,5

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :

- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

- Tidak ada proteinuria.

- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium
atau trombositopenia.5

2.1.3.2 Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam,
atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara
persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode
24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja
tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5

Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah


hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal
dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian
diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia,
seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni.

17
Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi
dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.5

Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal


tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis
mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis
yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau
hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5

Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi


jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang
nyata.5

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :

Kriteria minimal, yaitu :

- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

- TD 160/110 mmHg.

- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

- Trombosit <100.000/mm3.

- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

- peningkatan ALT atau AST.

- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

- Nyeri epigastrium persisten.5

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang


dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,

18
semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak
ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5

Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis


preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat
keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda
mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg,
sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak
mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang
biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.5

Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg

Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+

Proteinuria Tidak ada Ada

Sakit kepala Tidak ada Ada

Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada

Oliguria Tidak ada Ada

Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada

Serum Kreatinin Normal Meningkat

Trombositopeni Tidak ada Ada

Peningkatan enzim hati Minimal Nyata

Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata

Oedem paru Tidak ada Ada

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 5

2.1.3.3 Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general
dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu,
sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam

19
setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus
antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum
(Chames dan kawan-kawan, 2002).5

2.1.3.4 Superimposed Preeclampsia


Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum
kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit


<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan
20 minggu. 4,5,7,10,19

2.1.3.5 Hipertensi Kronis


Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada


penyakit trofoblastik.

- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.5

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil


tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus,
hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa
wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu
mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. 1,10,19

Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama
kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari
penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah
sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai
konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.5

Hipertensi esensial
Obesitas
20
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan
kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis 5

Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat


pada tabel 2.3.13

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis 13

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat


meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh
proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang
mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan

21
daripada preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering
menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya
hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.5

2.1.4 Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit hitam
memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis. Diantara wanita yang
berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada 22,3% wanita kulit hitam, 4,6%
kulit putih, dan 6,2% pada wanita Amerika Meksiko.4,5,7
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35
tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun dapat
menjelaskan mengapa terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida
tua.4,5,7,10
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai
hal yang merugikan, ironisnya merokok telah dihubungkan secara konsisten dengan
risiko hipertensi yang menurun selama kehamilan. Plasenta previa juga telah
dilaporkan dapat mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada kehamilan.5

2.1.5 Faktor Risiko


Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

1.
Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7

2.
Faktor risiko medikal maternal :
22
- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti
hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri
renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi
mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Riwayat migraine
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.4,5,7

3.
Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.3,4,5,7

2.1.6 Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi preeklamsi
harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan
jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita yang :

1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.

2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.

3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.

4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang selama


kehamilan.5

Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat pada tahun


2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999). Dengan demikian
tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah dikemukakan untuk menerangkan

23
penyebabnya. Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi
penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut :

1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.

2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.

3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari


kehamilan normal.

4. Faktor nutrisi.

5. Pengaruh genetik.5

1. Invasi Trofoblastik Abnormal

Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang


luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada
preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh
darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi sejajar dengan
trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan (1994) menjelaskan jumlah arteri
spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita normal dan wanita
dengan preeklamsi. Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya
defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya
hipertensi.5,11

24
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal5

Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980)


meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus.
Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan
endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan
nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama kali
pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis
(Gambar 2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran
darah plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta
menjadi berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom
preeklamsi.5

25
Gambar 2.2 Atherosis5

2. Faktor imunologis

Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat


spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan
kelainan ini.5

Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi
adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun
dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang
cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih
sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi
karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini
mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini
dapat menyebabkan preeklamsi.3,5,16

3. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi

Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta


karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua
juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious.
Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin
tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi

26
terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai
dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan
pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak
sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan
prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi
pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular
(trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).6,3

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5

4. Faktor nutrisi

27
Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh
sejumlah pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah
membuktikan hubungan antara kekurangan makanan dan insidensi terjadinya
preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh studi-studi tentang suplementasi dengan
berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah
preeklamsi. Studi lainnya, seperti studi oleh John dan kawan-kawan (2002),
membuktikan bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang
memiliki efek antioxidant berhubungan dengan tekanan darah yang menurun.3,5,8

5. Faktor genetik

Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan


dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya
hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria.
Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral maternal yang melawan
antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan hipertensi
gestasional.3,5

2.1.7 Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi
merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa
kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan
tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan
invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis
difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,7

Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan


konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan
kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya
penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin.
Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-
hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum
28
hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular
perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah
jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun
angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah
cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik.
Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 4,5,7

Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang
terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap
perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi
klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal,
renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler
patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat,
edema non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.
Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat
penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan
manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah
profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus
yang berat.4,5,7

Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit,


sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda
(13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan
intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan
tekanan darah.4,5,7

Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan


spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi
yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa
mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi
meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau
edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak
ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,7,19
29
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Hematologi

1. Volume plasma

Pada keadaan hipertensi dalam kehamilan terjadinya penurunan volume


plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya penurunan volume plasma
sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan
terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya manifestasi klinik
hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur posisi miring ke kiri
selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan dengan 3 ml Evans dye
blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10 menit diambil darah
untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel darah
kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm,
dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat
dimasukkan ke dalam rumus:

Dye injected (ug)

Volume Plasma ( ml) = --------------------------------

Konsentrasi dye ( ug/ml )

2. Kadar hemoglobin dan hematokrit

Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar


hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil
terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb.
Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya hipertensi dalam
kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%.
Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks

30
gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi
antara hematokrit dan progesivitas penyakit.19

3. Kadar trombosit dan fibronectin

Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh


menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni
merupakan tanda awal hipertensi dalam kehamilan. Dikatakan trombositopenia
bila kadar trombosit < 150.000/mm3. Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan
aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya
deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita
yang meninggal karena eklampsia.19

Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita


preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin
III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar
fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat
molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan histiosit. Kadar normalnya dalam
darah 250-420 ug/ml, biasanya berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah.
Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh
darah merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal
preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu.
Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan
tekanan darah atau proteinuria. 19

 Ultrasonografi

Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat


penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik
Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume
aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis.
31
Pada wanita penderita hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan
gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah,
hilang atau terbalik.19

Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43%
penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan
mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada
mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar
75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia
pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta
letak sentral. 19

Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time.
Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat
dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama
besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah
uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia.
Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.19

Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil


dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat
dilakukan pada kehamilan muda. 19

2.1.9 Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap strategi-
strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.5

1. Manipulasi diet

Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah
pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah
penting. Pada penelitian yang dilakukan Knuist dan kawan-kawan, pembatasan
garam terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.5

32
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan
bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang
signifikan dari tekanan darah dan insidensi preeklamsia.5,8

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan menunjukkan


bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan
keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.5

Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk


menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam
menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada wanita hamil berisiko
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA
menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi
endotel.5,8

2. Aspirin dosis rendah

Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi


preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi
dari prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif
dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan
Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah. Hanya ada
satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin terhadap
wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo controlled
trial dilakukan untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan
pada 774 wanita. Dosis rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa
kehamilan 26 minggu tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin
terhambat, perdarahan post partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.5,7

3. Antioksidan

Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang


berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan

33
kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak berhubungan
dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E
pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon
terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada
penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan
aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.6. Pada
penelitian lain, dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin
E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 – 22 minggu berhubungan dengan
rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian
sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara
klinis.13

4. Suplemen kalsium

Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan diet rendah
kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 –
2 g/hari telah disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane,
diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara. Walaupun
demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk
kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi,
seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.6

5. N-Acetylcystein

Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal bebas
atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah
terjadinya peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih kontroversi. Meskipun
demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.6

2.1.10 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan


 Panduan Penatalaksanaan

34
Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan :

1. Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian
untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah
janin dapat hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun
dalam perawatan rumah sakit.

2. Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi


yang buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi
preeklamsi dengan diuretik atau dengan menurunkan tekanan darah dapat
menimbulkan perubahan patofisiologis.

3. Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis
timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap
kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan
konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu
agar janin dapat menjadi matur.9

 Penanganan pra-kehamilan

Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi


tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder
yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya.
Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus
menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.13

Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir


trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah
yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk
menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan
dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil
dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.13

35
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting
diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman
digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE
dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah
kehamilan terjadi.13

Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat,


terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau
munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :

1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit
kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara
cepat.

2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.

3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.

4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.

5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati,


frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.

6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan
menggunakan ultrasonografi.4,5,7,10

Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang


berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif.
Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan
garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.5

 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan

Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial.


Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer
berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta.
Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit

36
endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang
menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed
adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah >
160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit
ginjal atau autoimun.14,15

Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk


funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan
kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan
klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan
pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear,
dan katekolamin urine.3,15

Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi


kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup
karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal.
Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping
itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup,
latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran
darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan
penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang
obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang
merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan
rokok harus dihentikan.5,7,15

Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu


dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan
darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui
adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya
penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin,
dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk,
terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat
> 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.3,15

37
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis
bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan
medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan
monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap
keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap
45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat anti
hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan hubungan
linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan
proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung
pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.5,715

Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau
yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan
darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan
darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai
150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan
tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada
beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat
tekanan darah mencapai  180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada
hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat
kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah
banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan
superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis
mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika
proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.5,7,15

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan


sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan
obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi
yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan
efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi
apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan.
Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi
diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi

38
atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti
hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya
penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat
lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra
indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol
dapat digunakan.3,5,15

 Pilihan obat anti hipertensi

Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah


menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil
dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak
yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.4,5

Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan
insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi
insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan
hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi
identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium,
pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan
preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita
dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan
tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat
menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat
progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas.
Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan
kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5

Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah
memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa
gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau

39
gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung
trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala.
Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan
stress akibat operasi.7,20

Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat


anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika
persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena
keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis
kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi
persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan
menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6,15

Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam


kehamilan :

1. Hidralazine

Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang


dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil
respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan
cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.5,15

Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai


110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan
serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus
preeklamsi.5,15

40
2. Labetalol

Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-


adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15

Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif


β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada
sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek
takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih
efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum
turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit
berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis
maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset
kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam.
Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah
uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik
oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi
220 mg tiap episode pengobatan.15

3. Obat anti hipertensi lain

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini


menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian
memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik
minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi.
Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau
denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat

41
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam
kehamilan.5,15

Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per
jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain
seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti
dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini
dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut
penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena
tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit,
puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat
efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU.
Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada
ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin.
Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi
dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk
anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium.
Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak
aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang.5,15

4. Metil dopa

Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti


hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat
ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju
jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan
menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan
bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat
α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri,
sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena
itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien
yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari.
42
Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat
ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural.
Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik
dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15

5. Klonidin

Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis


0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai
2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan
lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek
samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan
krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai
sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil
dopa.15

6. Prazosin

Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat


menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah
penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin
dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian.
Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang
menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang
kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.15

7. Diuretik

43
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung
dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat
konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.

Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta


karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume
tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal.
Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek
samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi
pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti
triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin.9,15

8. Penghambat ACE

Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang


mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa
penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis
prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13

OBAT REKOMENDASI

Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah


tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM

Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,


beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif

Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam

44
terapi hipertensi

Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon


nitroprussi terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
d µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.

Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 15

 Efek Samping Obat

Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :

1. ACE inhibitor

Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal
pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah
dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan
ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15

2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol

Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan


pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan
sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan
tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau
karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.15

3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan
volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap
janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan
digunakan untuk mensupresi laktasi.
45
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma
yang rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu
ibu daripada plasma ibu.

- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada
ACE inhibitor.15

2.2 Oligohidramnion

2.2.1 Definisi Oligohidramnion


Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu
kurang dari 500 cc. Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm.
Karena VAK tergantung pada usia kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang
kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8 cm saat hamil cukup bulan)

2.2.2 Epidemiologi Oligohidramnion


Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit. Olygohydramnion
dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada umumnya sering terjadi di masa
kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita yang masa kehamilannya melampaui batas
waktu perkiraan lahir (usia kehamilan 42 minggu) juga mengalami olygohydrasmnion,
karena jumlah cairan ketuban yang berkurang hampirsetengah dari jumlah normal pada masa
kehamilan 42 minggu

2.2.3 Etiologi Oligohidramnion


Penyebab oligohidramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita hamil yang
mengalami tidak tau pasti apa penyebabnya. Penyebab oligohidramnion yang telah terdeteksi
adalah cacat bawaan janin dan bocornya kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi
janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi dari wanita yang mengalami oligohidramnion mengalami
cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang diproduksi
janin berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan
oligohidramnion adalah tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada plasenta.
Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan darah tinggi, yang dikenal
dengan namaangiotensin-converting enxyme inhibitor (mis captopril), dapat merusak ginjal
janin dan menyebabkan oligohidramnion parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki
penyakit tekanan darah tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan
46
ahli kesehatan sebelum merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah
mereka tetap terawasi baik dan pengobatan yang mereka lalui adalah aman selama kehamilan
mereka.

Fetal :
 Kromosom
 Kongenital
 Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim
 Kehamilan postterm
 Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)

Maternal :
 Dehidrasi
 Insufisiensi uteroplasental
 Preeklamsia
 Diabetes
 Hypoxia kronis

Induksi Obat :
 Indomethacin and ACE inhibitors
 Idiopatik2
 Faktor Resiko Oligohidramnion
 Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi :
 Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).
 Retardasi pertumbuhan intra uterin.
 Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ).
 Sindrom pasca maturitas

2.2.4 Patofisiologi Oligohidramnion


Hipertensi dapat menyebabkan insufisiensi plasenta sehingga dapat menyebabkan
hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi
darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin
berkurang dan terjadi oligohidramnion.
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan dengan
adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan Fenotip Potter
adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan
berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).

47
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana
cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak
memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan
gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di dalam rahim sempit,
maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada
posisi abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru
hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada
sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena kegagalan
pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang
menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan
ketuban (sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang
khas dari sindroma Potter. Gejala Sindroma Potter berupa :
 Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung
yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).
 Tidak terbentuk air kemih
 Gawat pernafasan14.

2.2.5 Manifestasi Klinis Oligohidramnion


 Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
 Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
 Sering berakhir dengan partus prematurus.
 Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas.
 Persalinan lebih lama dari biasanya.
 Sewaktu his akan sakit sekali.
 Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar.

2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion


Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu sedikit
atau terlalu banyak. Umumnya para doketer akan mengukur ketinggian cairan dalam 4
kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini dikenal dengan nama Amniotic
Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid (cairan ketuban) yang di ukur kurang dari 5
cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami oligohidramnion. Jika jumlah cairan tersebut
lebih dari 25 cm, ia di diagnosa mengalami polihidramnion

48
2.2.7 Komplikasi Oligohidramnion
Kurangnya cairan ketuban tentu aja akan mengganggu kehidupan janin, bahkan dapat
mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh dalam ”kamar sempit” yang
membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada kasus extrem dimana suah terbentuk
amniotic band (benang atau serat amnion) bukan tidak mustahil terjadi kecacatan karena
anggota tubuh janin ”terjepit” atau ”terpotong” oleh amniotic band tersebut.
Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran kemih,
pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat setelah dilahirkan
pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara spontan dan teratur.
Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes sebelum tiba waktu
bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya infeksi oleh kuman yang berasal
daribawah. Pada kehamilan lewat bulan, kekurangan air ketuban juga sering terjadi karena
ukuran tubuh janin semakin besar.
Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan ketuban
berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohidramnion dapat terjadi di masa
kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan cenderung berakibat serius
dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Terlalu sedikitnya cairan
ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan organ-organ janin dan menyebabkan
kecacatan, seperti kerusakan paru-paru, tungkai dan lengan.
Oligohidramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga meningkatka resiko
keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam kandungan. Jika ologohydramnion
terjadi di masa kehamilan trimester terakhir, hal ini mungkin berhubungan dengan
pertumbuhan janin yang kurang baik. Disaat-saat akhir kehamialn, oligohidramnion dapat
meningkatkan resiko komplikasi persalinan dan kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari
memutuskan saluran oksigen kepada janin dan menyebabkan kematian janin. Wanita yang
mengalami oligohidramnion lebih cenderung harus mengalami operasi caesar disaat
persalinannya.

49
BAB III
KESIMPULAN

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP


(2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi, eklamsi, preeklamsi
superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.

Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi


trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara jaringan plasenta
ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari
kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh genetik.

Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama
pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.

Hipertensi dapat menyebabkan insufisiensi plasenta sehingga dapat menyebabkan


hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi
darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin
berkurang dan terjadi oligohidramnion.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25 Januari


2004, diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.merck.com
2. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 24 Oktober
2009, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic
3. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,
penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
4. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 24 Oktober 2009,
dari http : //www.emedicine.com
5. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill,
2005 : 761-808
6. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology
Principles for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-
252
7. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435
8. Herrera J, Shahabudin A, Ersheng G, Wei Y, Garcia R, Lopez P, Calcium plus Linoleic
Acid Therapy for Pregnancy Induced Hypertension, 9 Desember 2005, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //www.ncbi.nlm.nih.gov
9. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplan’s
Clinical hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2002: 404-433
10. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia,
edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
11. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis
dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2,
Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70
51
12. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2,
Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC, 2003 :
68-82
13. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National
Committee, NIH publication, 2004 : 49-52
14. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
15. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current
Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGraw-
Hill, 2003: 338-353
16. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku Gangguan
Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1, Koesoema H,
penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
17. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115
18. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics &
Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234
19. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004,
diakses tanggal 24 Oktober 2009, dari http : //www.greenjournal.org
20. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full

52

Anda mungkin juga menyukai