MATERI ETBIS BAB 3 H
MATERI ETBIS BAB 3 H
TEORI-TEORI ETIKA
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah EtikaBisnis
Dosen Pengajar :
Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA.
Disusun Oleh:
Almas Fitri Nadhirah Amin C1C115117
Fikri Muhammad 1610313210017
Puteri Parwikha 1610313220049
Riki Setiawati 1610313320051
Rusdah 1610313120047
Yuwanda Yusnita 1610313320065
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Teori-Teori
Etika”. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Ayu Oktaviani, SE, M.Si, Ak, CA selaku dosen
mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang telah mempercayakan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita tentang Teori-Teori Etika. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya materi yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………..………………………..….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………….……..ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan…………………………………………..…………………………...12
Daftar pustaka………………………………………...………..………………....13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Etika merupakan suatu penilaian terhadap perilaku atau perbuatan seseorang. Ketika
seseorang mempunyai perilaku atau perbuatan yang baik maka dapat dikatakan seseorang itu
mempunyai etika yang baik begitu pun sebaliknya jika perilaku atau perbuatan seseorang itu
kurang baik maka dapat dikatakan seseorang itu mempunyai etika yang kurang baik.
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral. (Suseno, 1987)
Etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1986)
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa etika merupakan nilai dan moral
sebagai pegangan hidup individu dalam melakukan sesuatu. Etika merupakan nilai untuk
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Setiap individu akan memiliki etikanya masing-
masing. Bagaimana cara ia beretika akan menentukan bagaimana jalan kehidupannya dimasa
depan. Seorang yang beretika baik tentunya akan mendapatkan kehidupan yang baik dari timbal
balik perilaku yang ia dapatkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan perbuatan dengan memperhatikan
etika, begitu pun dalam dunia bisnis. Bisnis merupakan suatu kegiatan yang memerlukan
pengetahuan dan kemampuan yang berhubungan kuat dengan masyarakat. Di dalam masyarakat
tersebut tentunya ada bermacam-macam adat istiadat dan budaya dari beragam daerah di seluruh
dunia. Dalam kasus seperti ini maka setiap individu yang melakukan bisnis harus memahami betul
apa itu etika bisnis.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan
segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Etika
bisnis diperlukan dalam sebuah perusahaan untuk menjadi pedoman bagi manajer dan karyawan
iii
agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan kerugian dari pihak mana pun, seperti kecurangan
dan melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Etika tersebut tidak hanya berlaku dalam sebuah ruang lingkup internal perusahaan, tetapi juga
ruang lingkup luar. Jika para karyawan perusahaan memiliki etika yang baik tentunya akan
memberikan imbas positif tersendiri kepada perusahaan tersebut. Pada dasarnya etika dimulai dari
hal kecil yang tak nampak tapi sanggatlah bermakna.
iv
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1) Mahasiswa mengetahui dan memahami penggunaan etika absolut dan relative.
2) Mahasiswa mengetahui dan memahami perkembangkan etika dan moral menurut para ahli.
3) Mahasiswa mengetahui dan memahami teori-teori etika.
4) Mahasiswa mengetahui dan memahami etika pada abad ke-20.
5) Mahasiswa mengetahui dan memahamietika dan paradigma hakikat manusia.
6) Mahasiswa mengetahuidan memahamitantangan ke depan etika sebagai ilmu.
v
BAB II
PEMBAHASAN
Absolut artinya mutlak, merupakan paham yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada
itu bersifat mutlak dan universal. Dengan ini, etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika
yang menekankan bahwa prinsip moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja,
Tidak ada tawar menawar dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang
membuat prinsip moral dapat berubah sewaktu-waktu.
Etika absolut erat hubungannya dengan moralitas seorang individu atau manusia, etika ini
juga memberikan atau menekankan setiap norma dan aturan yang ada dengan tegas dan terkadang
bersifat memaksa tidak pandang bulu, etika yang berarti adat atau kebiasaan dari seorang individu
sesuai dengan lingkungan dan tempat dimana ia lahir dan tinggal sehingga mampu menata hidup
dengan baik melalui etika dan moral yang baik pula. Terkadang seorang individu membutuhkan
paham yang bersifat mutlak untuk menjadi pedoman hidup dan tata cara bagaimana ia hidup dan
bersosialisasi dengan sesama manusia dengan alam, hewan, tumbuhan.
Di dalam etika absolut dapat dicontohkan melalui kepercayaan seorang individu yaitu
agama yang dianutnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Agama juga bersifat universal namun
mutlak karena apa yang di yakini harus ditaati dan dilaksanakan perintahnya dan tidak dapat di
tawar atau ditinggalkan setiap aturannya, karena segalanya berhungan dengan Tuhan.
Relatif menurut bahasa adalah bergantung kepada sesuatu. Etika relatif itu sendiri berarti
paham yang percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak mutlak, mulai dari pengetahuan
maupun prinsip. Terkait dengan istilah relativisme etika, Shomali telah memberikan definisi yang
cukup mudah dipahami yaitu “relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral
yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau
pilihan individu”. Relativisme juga tidak memungkinkan untuk adanya serangkaian mutlak etika.
1
Dalam relativisme etika, benar dan salah tidak mutlak dan harus ditentukan dalam
masyarakat dengan kombinasi observasi, logika , sosial dan pola preferensi, pengalaman, emosi,
dan "aturan" yang tampaknya membawa manfaat. Tentu saja, tak usah dikatakan bahwa
masyarakat yang terlibat dalam konflik moral yang konstan tidak akan mampu bertahan untuk
waktu yang lama. Moralitas adalah lem yang memegang masyarakat bersama-sama. Harus ada
konsensus benar dan salah bagi masyarakat untuk berfungsi dengan baik.
Tampaknya menjadi universal di antara budaya yang salah untuk membunuh, mencuri, dan
berbohong. Kita melihat bahwa ketika individu mempraktekkan etika kontra produktif, mereka
segera di penjara atau dihukum. Karena etika konseptual di alam, dan ada beberapa etika yang
tampaknya melampaui semua budaya (berlaku untuk semua masyarakat).
Bagaimana pun dan apa pun alasannya membunuh adalah perbuatan tidak bermoral
Membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan
pembunuhan.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg).
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini,
dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan
keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan.
2
Tahapan Perkembangan Etika
1. Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam
tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan
dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Kemudian menempati posisi
apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya
sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada orang
lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik.
2. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan
dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
3
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan
interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terima kasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial, karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar
kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang
salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin
orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi
faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3. Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap
lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-
konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Individu-individu dipandang
memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan penting bahwa mereka dihormati dan dihargai
tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan
jangan sampai ditahan atau dihambat.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat
menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of
ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
4
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu
benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya.
C. Teori-teori Etika
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan,
nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih
dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku
yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.
1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama,
egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia
dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin
ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan
5
luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya,
setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Sedangkan egoisme etis adalah tindakan yang
dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Jadi, perbedaan antara egoisme psikologis
dengan egoisme etis adalah pada akibat terhadap orang lain.
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang
berarti bermanfaat. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi
banyak orang (the greatest happiness of the greatest number). Ukuran baik tidaknya suatu tindakan
dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang
memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan
paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak.
3. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Paham ini
dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804).
Paham deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu
tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Kant
berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri bukan karena
keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu
diperintahkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada
pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti
kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional.
4. Teori Hak
6
Menurut teori hak, suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan
tersebut sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari
deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila suatu
tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama merupakan
kewajiban bagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa manusia
mempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama.
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang
ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk memperoleh
kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang mengatakan bahwa
karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak
Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan
perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaimana
dituangkan dalam kitab suci.
Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat diperlukan
untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika Kant teletak pada
pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai umat manusia, walaupun ia
memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas
itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak
7
dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui
tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran tidak satupun etikawan
yang berbicara tentang kata baik tersebut, seakan-akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya.
Menurut Moore, disinilah letak permasalahan sehingga terdapat kekacauan dalam menafsirkan
kata baik tersebut. Anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak dapat
didefinisikan, suatu kata dapat didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-bagian
sehingga tidak dapat dianalisis. Baik adalah baik, titik. Setiap usaha untuk mendefinisikan akan
selalu menimbulkan kerancuan.
Max Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category Immanuel Kant.
Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material disini bukan dalam arti ada kaitan dengan materi,
tetapi sebagai lawan dari kata formal. Bersifat apriori artinya kebernilaian suatu nilai tersebut
mendahului segala pengalaman.
Menurut Max Scheller, ada 4 gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda antara satu
dengan yang lain, yaitu: 1) nilai-nilai sekitar enak dan tidak enak, 2) nilai-nilai vital, 3) nilai-nilai
rohani murni, 4) nilai-nilai sekitar roh kudus.
Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip etika yang bersifat mutlak.
Ia berpendapat bahwa setiap kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret. Sesuatu
ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat, tetapi ketika berada dalam situasi yang
lain bisa jadi jelek dan salah. Itulah sebabnya, moralitas hanya dapat dipahami dalam situasi
8
konkret, padahal, situasi konkret tidak selalu sama, sehingga etika Fletcher sering disebut etika
situasi.
Menurut Murdoch, khas dari teori-teori etika pasca-Kant adalah bahwa nilai-nilai moral
dibuang dari dunia nyata. Bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai, melainkan
kemampuan untuk melihat dengan penuh kasih dan adil.
Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak
memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ide
dasar Skinner adalah menemukan teknologi/ cara untuk mengubah perilaku.
Bahwa etika pencerahan telah gagal karena pencerahan atas nama rasionalitas justru telah
membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis
tentang manusia. Maclntyre menganjurkan agar etika kembali pada paham teleologis tentang
manusia.
1. Muncul berbagai paham teori etika, masing-masing teori memiliki pendukung dan
penentang yang cukup berpengaruh,
9
2. Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan paradigma, pola pikir, atau
pemahaman tentang hakikat hidup sebagai manusia.
4. Semua teori yang ada menjelaskan tahapan-tahapan sejalan dengan pertumbuhan tingkat
kesadaran diri.
5. Teori yang tampak bagaikan potongan-potongan dapat dipadukan menjadi satu teori
tunggal.
b. keseimbangan modal materi (PQ dan IQ), modal sosial (EQ), dan modal spiritual (SQ).
Ilmu etika ke depan hendaknya didasarkan atas paradigm manusia utuh, yaitu suatu pola pikir yang
mengutamakan integrasi dan keseimbangan pada :
10
Inti dari hakikat manusia utuh adalah :
a. Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontologi).
b. Keseimbangan antara duniawi (teori teleologi) dan rohani (teori teonom).
c. Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoism) dan kepentingan masyarakat
(teori utilitarianisme).
d. Gabungan ketiga butir di atas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan).
e. Hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip
moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja, Tidak ada tawar menawar dalam
prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah
sewaktu-waktu.
Etika relatif berarti paham yang percaya bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak mutlak,
mulai dari pengetahuan maupun prinsip. Terkait dengan istilah relativisme etika, Shomali telah
11
memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu “relativisme etika adalah pandangan
bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat
relatif terhadap budaya atau pilihan individu”.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg).
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan,
nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih
dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku
yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber inspirasi
bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar ke depannya dapat membuat yang
lebih baik.
Daftar Pustaka
- Referensi : http://oktaviantinovi.blogspot.co.id/2013/08/etika-bisnis.html
- Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2017. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba
Empat
12