ECONOMIC BRAIN
OLEH :
Antony Halim I4061162030
PEMBIMBING :
dr. Hanartoaji Anggana Pribadi, Sp. S
ECONOMIC BRAIN
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Neurologi
Otak manusia sering disebut sebagai suatu struktur biologis yang paling kompleks.
Dasar teori ekonomi dibangun dengan asumsi bahwa rincian otak manusia tidak akan
mudah ditemukan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi, neurosains telah
menghasilkan teknik untuk menyimpulkan berbagai rincian dan pencitraan aktivitas
otak. Dengan mempelajari jaringan saraf manusia, sistem motivasi, dan kesenangan di
otak manusia dapat memberi wawasan tentang bagaimana manusia membuat
keputusan dan bagaimana ia bertindak berdasarkan keputusan yang diambil.1
Manusia membuat keputusan tidak hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Selama lebih dari beberapa dekade, para ilmuwan dan pengamat perilaku ekonomi
telah merumuskan penelitian dalam memahami lebih baik tentang motivasi, reaksi
terhadap suatu dorongan, dan proses pengambilan keputusan. Meskipun masih banyak
hal yang perlu dilakukan, para ekonomis sekarang telah memiliki pemahaman yang
lebih dalam mengenai perilaku manusia dibandingkan sebelumnya.1
Economic brain atau neuroekonomi merupakan suatu konsep yang menjelaskan
bagaimana pengambilan keputusan manusia, yang meliputi kemampuan memproses
berbagai alternatif dan mengikuti serangkaian tindakan. Bidang ekonomi telah
memberikan banyak kontribusi dalam keterkaitannya dengan otak. Neuroekonomi
merupakan suatu kolaborasi antara ilmu neurologi, ekonomi terapan dan perilaku,
psikologi kognitif dan sosial. Neuroekonomi mempelajari pengambilan keputusan
dengan menggunakan kombinasi bidang-bidang tersebut untuk menghindari
kekurangan yang muncul dari pendekatan perspektif tunggal.2,3
Suatu pengambilan keputusan biasanya berkaitan dengan proses di mana individu
akan membuat satu pilihan dari antara banyak pilihan-pilihan yang ada. Proses tersebut
umumnya dianggap dapat berjalan secara logis, sehingga terkadang keputusannya tidak
tergantung pada konteks-konteks lain yang terjadi. Opsi atau pilihan yang ada tersebut
akan dibandingkan satu sama lain berdasarkan nilai ekonomisnya, dan kemudian
pilihan dengan tingkat kebutuhan terbesar adalah yang harus dipilih.4
Economic brain ini muncul akibat berbagai kontroversi yang terjadi. Dengan
menentukan area otak mana yang lebih aktif dalam menentukan berbagai proses
pengambilan keputusan, para ahli berharap dapat lebih memahami sifat-sifat yang
menjadi dasar keputusan yang suboptimal atau tidak logis. Meskipun sebagian besar
ilmuwan menggunakan subjek manusia dalam penelitiannya, ada pula yang
menggunakan model hewan coba yang mana studi dapat lebih dikontrol secara ketat
dan asumsi model ekonomi dapat diuji secara langsung.1,5
Sebagai contoh, Padoa-Schioppa & Assad melacak laju persinyalan neuron
individu di korteks orbitofrontal monyet. Tingkat persinyalan neuron secara langsung
berkorelasi dengan kebutuhan nutrisi neuron tersebut dan tidak berbeda ketika jenis
nutrisi lain ditawarkan. Ini menunjukkan bahwa, sesuai dengan teori ekonomi
pengambilan keputusan, neuron secara langsung membandingkan beberapa bentuk
kebutuhan di berbagai opsi dan memilih yang memiliki nilai lebih tinggi. Demikian
pula, ukuran umum disfungsi korteks prefrontal, FrSBe, berkorelasi dengan berbagai
ukuran sikap dan perilaku ekonomi, mendukung gagasan bahwa aktivasi otak dapat
menampilkan aspek-aspek penting dari proses pengambilan keputusan.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Neurobiologi
Penelitian tentang otak menunjukkan bahwa neurotransmitter dopamin
memainkan peran penting dalam mengevaluasi suatu potensi adanya penghargaan
(potential reward) dari pilihan-pilihan alternatif yang ada. Awalnya, peneliti
menggunakan pendekatan pengkondisian klasik (classical conditioning) untuk
mengajari tikus dalam berbagai perlakuan terkait makanan dan minuman maupun
berbagai hal yang bersifat “nonrewarding” kemudian menggunakan elektrode-
elektrode untuk mengukur respons neuron dalam menghasilkan dopamin pada otak
tengah untuk setiap perlakuan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sel-sel
meningkatkan aktivitasnya sebagai respon terhadap perlakuan yang memprediksi
adanya penghargaan, namun tidak pada yang lain, dapat disimpulkan bahwa sel-sel
tersebut menggunakan dopamin dalam mengenali adanya nilai dan penghargaan. Studi
fMRI menunjukkan beberapa mekanisme serupa dalam otak manusia.6
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa dua sirkuit otak yang terpisah
sangat penting dalam proses pengambilan keputusan. Pertama, sistem neural yang
mengevaluasi risiko dan penghargaan, terdiri dari neuron-neuron penghasil dopamin di
otak tengah, yakni 3 bagian berbeda dari korteks frontal, antara lain korteks prefrontal
ventromedial, korteks frontopolar, dan korteks orbitofrontal. Kedua, merupakan
jaringan yang terdiri dari korteks prefrontal dorsolateral dan gyrus cingulate anterior,
yang bersama-sama penting dalam kontrol kognitif, dan pekerjaan seperti
mengidentifikasi kesalahan dan mempertahankan fokus.6
Peneliti melakukan pemeriksaan pencitraan otak dan data perilaku dari 350
pasien dengan kerusakan berbagai regio dari korteks frontal, dan ditemukan bahwa
kerusakan di bagian korteks prefrontal dorsolateral mengakibatkan kesulitan fokus atau
memusatkan perhatian. Dalam melakukan pengambilan keputusan, mereka menjadi
mudah teralihkan oleh berbagai pilihan yang muncul, sehingga ia tidak dapat
menentukan tindakan utama yang dipilih. Selain itu, pasien dengan kerusakan di
korteks prefrontal ventromedial menjadi sulit untuk menilai resiko dan penghargaan
yang berhubungan dengan beberapa pilihan yang tersedia. Mereka cenderung melihat
suatu penghargaan yang intermediet terhadap kepuasan yang tertunda, dan
mengindahkan risiko-risiko yang terlibat ketika menerima penghargaan potensial yang
semakin besar.6
Gambar 2.1 Gambaran otak secara medial yang menunjukkan regio reward, kontrol
kognitif dan kontrol sosial. vmPFC: ventromedial prefrontal cortex; dlPFC:
dorsolateral prefrontal cortex; lOFC: lateral orbitofrontal cortex; dACC: dorsal
anterior cingulate cortex; dmPFC: dorsomedial prefrontal cortex; An: amygdala; TPJ:
temporoparietal junction.7
2.2 Definisi
Economic brain atau neuroekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu bidang
interdispliner yang menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan pada
manusia, kemampuan untuk memproses berbagai alternatif yang ada dan kemudian
mewujudkannya dalam tindakan. Economic brain menunjukkan bahwa perilaku
ekonomi dapat membentuk pula pemahaman tentang otak, dan berbagai penemuan-
penemuan dalam neurosains yang menerapkan model ekonomi.2,3
Economic brain mengkombinasikan penelitian dari neurosains, perilaku dan
eksperimen di bidang ekonomi, serta psikologis kognitif dan sosial. Seiring
perkembangan penelitian di bidang pengambilan keputusan, ada juga beberapa
pendekatan-pendekatan yang terlibat baik dari biologi, sains teknologi dan
matematika.2,3
2.3 Histori
Biasanya, ekonomis mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses
rasional yang mana perlu dilakukan pemilihan antara opsi-opsi yang tersedia secara
sistematis dengan cara menimbang risiko relatif dan penghargaan (reward) dari
berbagai opsi dan kemudian mengambil suatu tindakan dengan nilai yang maksimum.
Pandangan klasik ini, dianggap sebagai teori kebutuhan (utility theory), mengindahkan
peran dari intuisi dan emosi.6
Eksperimen klasik pada tahun 1981 mendemonstrasikan pentingnya emosi dan
intuisi dalam proses pengambilan keputusan. Ini menunjukkan bagaimana suatu
fenomena yang disebut “framing” atau menyajikan masalah yang sama dalam berbagai
cara, sehingga mempengaruhi pilihan yang diambil. Dalam eksperimen, dua kelompok
partisipan dipresentasikan dengan skenario hipotetikal kesehatan yang mana negara
Amerika telah menyiapkannya untuk mengatasi endemi dari penyakit. Satu grup
diberikan pilihan antara dua program, program pertama yang mana 200 orang dari grup
berisi 600 orang akan diselamatkan/aman, dan program B, yang mana ada
kemungkinan satu dari tiga bahwa 600 orang tersebut akan aman. Grup yang lain
diberikan dua alternatif pilihan: program C, yang mana 400 orang akan mati, dan
program D, yang mana ada satu dari tiga kemungkinan bahwa tidak seorangpun akan
mati.6
Secara statistik, program A dan C identik, sama dengan program B dan D. Dan
juga, sekitar sepertiga partisipan dalam grup pertama memilih program A, yang sama
jumlahnya dengan partisipan dalam grup kedua memilih grup D. Cara dalam
mempresentasikan masalah telah mempengaruhi keputusannya. Ketika keluarannya
diekspresikan sebagai hal yang positif, jumlah hidup yang dapat diselamatkan, mereka
memilih pilihan yang aman, namun apabila diekspresikan secara negatif, dalam hal ini
jumlah kematian, mereka memilih opsi yang lebih berisiko.6
Beberapa bukti lain bahwa emosi juga memainkan peran penting dalam
pengambilan keputusan berasal dari pasien-pasien yang mengalami kerusakan otak.
Biasanya selalu dikatakan bahwa pasar finansial dikendalikan oleh ketamakan dan
ketakutan, dan ini juga benar untuk keuangan secara personal. Biasanya kebanyakan
dari kita akan menolak kehilangan uang, dan membuat keputusan finansial yang akan
meminimalkan resiko tersebut.6
Pada tahun 1982, beberapa ekonomis eksperimental menemukan suatu konsep
permainan ultimatum (ultimatum game). Ini merupakan suatu konsep yang menjadi
favorit dari para neurosains dan ekonomis yang mempelajari pengambilan keputusan,
dan biasanya melibatkan berbagai skenario, atau variasi. Pada permainan ultimatum,
contohnya seseorang diberitahukan bahwa ia akan diberikan uang £20 dan dapat
dibagi-bagi ke teman. Kemudian diminta untuk mengusulkan bagaimana cara membagi
uang tersebut. Temanmu dapat menerima uang tersebut, atau menolaknya. Berdasarkan
teori kebutuhan, kamu akan mengusulkan untuk memberikan temanmu nilai terkecil
yang paling mungkin, yaitu sebesar £1, dan sisanya untuk diri sendiri. Dia menerima,
karena meskipun anda tidak bersikap adil atau dermawan, setidaknya dia menerima
sesuatu daripada tidak sama sekali. Realitanya, biar bagaimanapun, orang-orang selalu
mengusulkan memberikan lebih dari nilai yang minimum, dan menolak penawaran
yang tampaknya terlalu rendah. Hal ini kemungkinan berasal dari adanya empati, atau
kemampuan untuk melihat hal dari berbagai perspektif, sehingga mengesampingkan
emosi dalam suatu pengambilan keputusan.6