Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

TB MILIER

Oleh :
Indah Indriani
1840312231

Preseptor :

dr. Ika Kurnia Febrianti, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD LUBUK BASUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada


anak di seluruh dunia terutama di negara berkembang.1 Pada tahun 2013 dalam laporan
WHO diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus baru TB di seluruh dunia dengan jumlah
kematian 410.000 orang.2,3 Pada seluruh kasus yang ditemukan, sekitar 11% terdapat
pada anak, literatur lain menulis perkiraan jumlah kasus TB anak sebesar 1,3 juta
dengan 450.000 kematian setiap tahunnya.1,2,4
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB berat dan merupakan 3-7%
kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier merupakan jenis
tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat, hingga
penyakit fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen dan mengenai banyak
organ.5,6
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak, terutama usia
dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah
berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh.5,6
Tuberkulosis milier yang timbul di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan
virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non
spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili,
pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid
jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah
faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat, polusi
udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi.7
Tuberkulosis milier dapat terjadi pada saat infeksi TB primer, atau reaktivasi
TB laten. Reaktivasi dan penyebaran TB milier terjadi karena adanya defek pada sel
makrofag, sel natural killer (NK), sel limfosit T γ/δ, serta adanya gangguan ekspansi
sel limfosit Tγ/δ. TB milier banyak ditemukan pada pasien HIV karena terjadi
penurunan sel limfosit T CD4+ menyebabkan penurunan produksi IFN-γ dan IL-2
sehingga terjadi penyebaran TB secara milier. Gejala TB milier umumnya tidak
spesifik dan didominasi keluhan sistemik disertai gejala lain tergantung pada organ
yang terinfeksi TB. Kriteria diagnosis TB milier berdasarkan gambaran klinis TB,
rontgen toraks menunjukkan pola milier, lesi retikulonoduler bilateral difus pada
rontgen toraks ataupun HRCT scan toraks, dan dibuktikan dengan pemeriksaan
mikrobiologi dan histopatologi TB.7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik
akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks primer, yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal. TB milier dapat
mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi pada beberapa organ
(seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier klasik diartikan sebagai kuman basil
TB berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada
Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB.6,9

2.2 Epidemiologi
WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
TB pada tahu 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan
HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000
orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada anak diantara
seluruh kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun),
sedangkan kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun.4
Penanggulangan TB Global yang di keluarkan WHO pada tahun 2013, angka
kejadian TB pada tahun 2012 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk).
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.7,8
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir 50%
kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di perkirakan
merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257 pasien (1,2%) dari
21.337 pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada orang Afrika
Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial ekonomi, laki-laki lebih
tinggi insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus di temukan bahwa kulit hitam
lebih tinggi insidennya di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial ekonomi.6
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak, terutama usia < 2
tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal
pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah
berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat terjadi pada
remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau
pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman.6
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan virulensi
kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non spesifik dan
spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan
timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes
melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor lingkungan,
yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap rokok,
penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi.7

2.3 Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis
pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm.
Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik pada
suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek
bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24
jam.4

2.4 Patogenesis
Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian kecil
kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang di namakan fokus primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman
TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12
minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.
Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Penyebaran
hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh (gambar 2).6,9
Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan kuman yang besar.
Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh
darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut.
Semua tuberkel yang di hasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butir padi-padian (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning
berukuran 1-3 mm , sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak dibawah
5 tahun (balita) , terutama dibawah 2 tahun.10,11,12

Gambar 1. Bagan Patogenesis Tuberkulosis8

2.5 Imunopatogenesis TB
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh semua
kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi multiplikasi,
pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal sebagai TB
primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten dengan uji
tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB laten tumbuh
dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB pasca-primer)6

Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan


hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+ dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang
dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk mengaktifkan
makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF α dan INF γ.
Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan mengaktifkannya. Monosit aktif
atau makrofag dan limposit-T CD4+ memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal,
nitrogen intermediate khususnya nitrogen oksida dan Interleukin-12. Nitrogen oksida
ini selanjutnya diaktifkan oleh TNF α dan INF γ untuk menghambat pertumbuhan dan
membunuh M. TB yang virulen. Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan
menghancurkan basil terutama pada jumlah basil yang sedikit. Kemampuan
membunuh M. TB juga bergantung pada jumlah makrofag setempat yang aktif.13,14

Gambar 2. Hipersensitifitas tipe IV14

Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler, yaitu
terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD4+ dan limposit-T CD8+ sitotoksik serta
sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitar dan perkijuan.
Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif, menyebabkan M. TB menjadi
dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan parut. Proses ini dapat merugikan
tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian pinggir daerah nekrosis dan membentuk
hipersensitifitas tipe lambat kemudian difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila
makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam
makrofag sampai hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah
daerah nekrosis. Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk
membunuh basil dan mencegah perkembangan penyakit. Hipersensitifitas tipe lambat
lebih berperan pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan.
.Apabila M. TB masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan dihancurkan di
tempat yang baru dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap
antigen yang dihasilkan M. TB pada limposit-T di darah dan jaringan limfe,
menyebabkan pengumpulan dan aktivasi makrofag lebih cepat dan destruksi M. TB.
Tuberkel yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan yang minimal, cepat sembuh dan
tidak diikuti oleh terjadinya penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringan lain.14,15

Gambar 3. Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis15

2.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya
kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai adalah keluhan
kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun,
demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. TB milier
juga dapat di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang
timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan
tanda respiratorik belum ada. Lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial,
splenomegali, dan hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam
kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai
gejala respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal.
Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik
seperti batuk dan sesak nafas di sertai ronki atau mengi.6,9 Anemia bisa terjadi baik
akibat penyakit kronik ataupun defisiensi besi. Anemia penyakit kronis sering
bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran
penurunan besi serum, namun TIBC (Total Iron Binding Capacity) pada anemia
defisiensi besi meningkat. Rendahnya besi pada anemia penyakit kronis disebabkan
aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan
penurunan saturasi transferin pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh degradasi
transferin yang meningkat.16 Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO
adalah : (1) kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar fe serum
<50µg/dL (nilai normal:80-180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai
normal:20%-25%). Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga
dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari dalam 2-3
dosis selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat
dipastikan bahwa penyebabnya adalah anemia defisiensi besi.17

Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid,
papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan pada 13-87% pasien,
dan jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier perlu di lakukan funduskopi
untuk menemukan tuberkel koroid.13

Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel
halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas
dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat bergabung
membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas.
Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat di lihat lesi yang
tidak teratur seperti kepingan salju.9,15

2.7 Diagnosis
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik.4
• Batuk ≥ 3 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
• Demam
• Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
2. Pemeriksaan Fisik
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior.
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberculosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsy jarum halus/BJH).4
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
4. Pemeriksaan Radiologik
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologic
yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau
fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru
(Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran
radiologic luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim
paru.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.
 Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.4
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan TB adalah :

1. Mengobati penyakit TB itu


2. Mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat
5. Mengurangi (menurunkan) penularan TB terhadap orang lain
Pengobatan anti tuberkulosis di kelompokkan menjadi dua fase: fase yang pertama
adalah fase intensif (awal) yang bertujuan membunuh dengan cepat sebagian besar
kuman dan mencegah resistensi obat, dan fase yang kedua adalah fase lanjutan, yang
bertujuan membunuh kuman yang dormant (tidak aktif). Pada fase intensif di berikan
4 macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol atau streptomisin).
Pada fase lanjutan di berikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan sesuai dengan
perkembangan klinis. Dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini (tabel.2).2,4

Tabel 1. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan dosisnya


Tabel 2. Regimen pengobatan TB Milier menurut WHO6

Fase intensif Fase lanjutan Referensi

2HRZE 4RH WHO (pedoman therapi)

2HRZ (S or Eth) 7-10RH American Academy of


Pediatrics

6HRZEth Tidak ada (regimen Donald, 1998


total untuk 6 bulan)

Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB,


perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan
(tappering off) selama 2-6 minggu.7

2.9 Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis,
dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu
menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi radiologis pada pasien
TB milier perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran
milier pada foto toraks biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur
menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga
beberapa bulan.6,8

2.10 KOMPLIKASI
Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks.
Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi
6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi
pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga
bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi
dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe
lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan
akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah.
Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut
dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema). Efusi pleura
ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami
imuniti rendah.
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam
rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara
paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah
(empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.

2.11 PROGNOSIS
Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat, ketersediaan obat
dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien dengan tb paru tidak
diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :7
50% meninggal
25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
25% manjadi kasus kronis yang tetap menular
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas
1. Nama : Ny. HD
2. Umur/tgl lahir : 31 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
5. Nomor RM : 17.96.25
6. Alamat : Manggopoh
7. Status perkawinan : Kawin
8. Negeri Asal : Indonesia

Anamnesis
Keluhan utama :
Mual meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Mual meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual sudah
dirasakan ± 10 yang lalu.
 Demam (+) 10 hari, tidak tinggi, menggigil, bersifat hilang timbul, karena
demamnya pasien berobat ke puskesmas, kemudian dirujuk ke RSUD Lubuk
Basung untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
 Sesak napas meningkat sejak 1 minggu yang lalu. Sesak tidak menciut, sesak
dirasakan meningkat terutama jika batuk dan beraktivitas.
 Batuk meningkat sejak 1 minggu yang lalu, dahak kuning kental. Batuk sudah
dirasakan sejak 1,5 bulan yang lalu
 Batuk darah (-)
 Sakit Kepala (+)
 Nyeri dada (-)
 Keringat malam (+) 3 minggu yang lalu
 Penurunan nafsu makan (+) sejak 2 bulan yang lalu.
 Penurunan berat badan (+) sejak 2 bulan yang lalu, tapi pasien tidak tahu berapa
kg.
 BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat tuberculoma di regio leher kiri dan aksila kiri sejak 2 tahun yang lalu,
berobat ke dokter spesialis bedah dan obat-obatan herbal
 Riwayat minum OAT (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat keganasan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat minum OAT (-) dalam keluarga
 Riwayat hipertensi (-) dalam keluarga.
 Riwayat DM (-) dalam keluarga.
Riwayat pekerjaan, sosial-ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan
Pasien seorang ibu rumah tangga. Tidak merokok. Free sex (-), alcohol (-), tatto
(-)

Pemeriksaan umum
 Kesadaran : CMC
 Tekanan darah : 150/100
 Nadi : 96x/menit
 Suhu : 36,9ºC
 Pernapasan : 20x/menit
 Sianosis : (-)
 Keadaan umum : sedang
 Keadaan gizi : sedang
 Tinggi badan : 150 cm
 Berat badan : 40 kg
 Edema : (-)
 Anemis : (+)
 Ikterus : (-)
Kulit : tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening : Pembesaran KGB (+) supraclavicular dan aksila,
ukuran 1x1 cm, tidak terfiksir
Kepala : Normocephal
Rambut : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak diperiksa
Hidung : tidak diperiksa
Tenggorokan : tidak diperiksa
Gigi dan mulut : tidak ada kelainan
Leher
 JVP : 5 - 2 cmH2O
 Deviasi trakea : (-)
Paru depan
 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan (statis)
Pergerakan kiri dan kanan sama(dinamis)
 Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama
 Perkusi : sonor kiri dan kanan
 Auskultasi : SN bronkovesikular, rh +/+, wh -/-
Paru belakang
 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan (statis)
Pergerakan kiri dan kanan sama(dinamis)
 Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama
 Perkusi : sonor kiri dan kanan
 Auskultasi : SN bronkovesikular, rh +/+, wh -/-
Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
 Perkusi : Atas : RIC II
Kanan : RIC IV LPSD
Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
 Auskultasi : Reguler, bising jantung (-)
Perut
 Inspeksi : tidak membuncit, distensi (-)
 Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : BU (+) N
Alat kelamin : tidak diperiksa
Ekstremitas : edema -/-, clubbing finger -/-
Pemeriksaan penunjang
Foto toraks
Pasien perempuan usia 31 tahun foto thorax diambil di RSUD Lubuk Basung
tanggal 1 Februari 2019. foto sentris, simetris, densitas sedang dengan gambaran TB
Milier.
Kesan:
TB Milier.
Laboratorium (01/02/2019)
- Hb : 9,2
- Leukosit : 10.200
- Trombosit : 458.000
- Ht : 28%
- GDS : 127
- Ureum : 20
- Kreatinin : 1.0
- SGOT : 24
- SGPT : 24
- Tes Widal
S.Typ.O : (+) s.d 1/80
S.Typ.H : (+) s.d 1/80
- BTA Sputum belum diperiksa
Kesan:
Anemia ringan, leukositosis
Diagnosis Kerja
TB Milier dalam pengobatan regimen OAT hari ke-4 + Sindrom Dyspepsia
Diagnosis Banding
- Demam Tifoid
Tatalaksana
- IVFD RL 8jam/kolf
- Inj. Ranitidine 2x1
- Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
- PCT 3x500mg
- Sucralfat Syr 3x2cth
- OAT kategori 1 (3 Tablet FDC)

Follow-up
05-02-2019
S/ sesak napas (+)
Batuk (+) berdahak (+)
Demam (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 140/90
Nadi : 100
Nafas : 24
Suhu : 36,7
Paru : SN bronkovesikuler, rh +/+, wh -/-
A/ TB Milier dalam pengobatan regimen OAT hari ke-3 + Dyspepsia
P/ Awasi TTV
- IVFD RL 8jam/kolf
- Inj. Ranitidine 2x1
- Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
- PCT 3x500mg
- Sucralfat Syr 3x2cth
- OAT kategori 1 (3 Tablet FDC)
06-02-2019
S/ Sesak napas (+)
Batuk (+) berdahak (+)
Demam (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 150/100
Nadi : 100
Nafas : 24
Suhu : 36,7
Paru : SN bronkovesikuler, rh +/+, wh -/-
A/ TB Milier dalam pengobatan regimen OAT hari ke-4 + Dyspepsia
P/ Awasi TTV
- IVFD RL 8jam/kolf
- Inj. Ranitidine 2x1
- Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
- PCT 3x500mg
- Sucralfat Syr 3x2cth
- OAT kategori 1 (3 Tablet FDC)
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 31 tahun datang dengan keluhan mual


dan muntah meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual sudah
dirasakan sejak 10 hari yang lalu. Riwayat batuk sejak 1,5 bulan yang lalu, batuk
berdahak. Sesak nafas juga dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, sesak tidak menciut,
sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan batuk. Batuk merupakan refleks pertahanan
yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk
merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian
bawah. Rangsangan yang biasanya menyebabkan batuk adalah rangsangan mekanik,
kimia, dan peradangan. Proses peradangan batuk ini dicetuskan oleh adanya benda
asing oleh tubuh. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Pada pasien ini
batuk sudah dirasakan sejak 1,5 bulan yang lalu, secara teori gejala yang dialami
pasien ini sesuai dengan gejala tuberkulosis paru.

Pada pasien ini juga mengeluhkan sesak nafas. Sesak napas terjadi ketika
adanya ketidaksesuaian antara perintah untuk ventilasi yang dikirim oleh batang
otak dan umpan balik sensorik dari dada. Sesak napas bisa disebabkan oleh banyak
hal. Penyebab penting sesak napas diantaranya berasal dari obstruksi jalan napas
atas, penyakit saluran napas bawah, penyakit parenkim paru, penyebab pernapasan
lain, penyebab kardiovaskular, dan penyebab lainnya..

Dari anamnesis juga didapatkan riwayat demam 10 hari yang lalu. Pasien
juga mengalami keringat malam dan sejak 2 bulan ini juga terjadi penurunan nafsu
makan disertai penurunan berat badan.

Keringat malam adalah suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada


malam hari yang diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang
berlebihan. Suhu tubuh normal manusia memiliki irama sirkadian di mana paling
rendah pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1°C dan meningkat menjadi 37.4 °C
atau lebih tinggi pada sore hari sekitar pukul 18.00 sehingga kejadian demam atau
keringat malam mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara
suhu tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten
pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberkulosis
menyebabkan demam pada malam hari. Ada pendapat keringat malam pada pasien
tuberkulosis aktif terjadi sebagai respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu
tumor necrosis factor alpha (TNF-α ) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun di
mana mereka bereaksi terhadap bakteri infeksius (M.tuberculosis). Monosit yang
merupakan sumber TNF-α akan meninggalkan aliran darah menuju kumpulan
kuman M.tuberculosis dan menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak
dapat mengeradikasi bakteri secara keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten
makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut
untuk mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF-α yang
dikeluarkan secara berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam,
keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat badan di mana semua ini merupakan
karakteristik dari tuberculosis.
Demam timbul sebagai akibat respon sinyal kimia yang bersirkulasi yang
menyebabkan hipotalamus mengatur ulang suhu tubuh ke temperatur yang lebih
tinggi untuk sesaat. Selanjutnya suhu tubuh akan kembali normal dan panas yang
berlebihan akan dikeluarkan melalui keringat. Untuk lebih jelasnya berikut adalah
fase demam. Pertama yaitu fase inisiasi di mana vasokonstriksi kutaneus akan
menyebabkan retensi panas dan menggigil untuk menghasilkan panas tambahan.
Ketika set point baru tercapai maka menggigil akan berhenti. Dengan menurunnya
set point menjadi normal, vasodilatasi kutaneus menyebabkan hilangnya panas ke
lingkungan dalam bentuk berkeringat
Penurunan berat badan pada tuberkulosis dapat disebabkan oleh produksi
mediator inflamasi. Dalam hubungan kompleks antara tuberkulosis, status gizi dan
respon imun pejamu, mediator yang mungkin berperan adalah leptin. Dalam sebuah
penelitian di Indonesia, konsentrasi leptin plasma secara signifikan ditekan pada
pasien tuberkulosis.

Pada pemeriksaan fisik paru pada pasien ini, dari auskultasi ditemukan suara
nafas bronkovesikuler dan ditemukan ronkhi di kedua paru. Pada laboratorium,
didapatkan hemoglobin 9,2 gr/dL, leukosit 10.200/mm3, trombosit 458.000/mm3,
ureum 20, kreatinin 1,0, SGOT 24, SGPT 24. Pada pasien ini belum dilakukan
pemeriksaan BTA sputum. Pada pasien ini juga ditemukan hasil tes widal (+)
sehingga bisa didapatkan diagnosis lain dari pasien ini adalah demam tifoid. Dari
pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia ringan, pasien TB sering memiliki
komorbiditas tambahan seperti anemia yang dapat menyebabkan hasil pengobatan
menjadi lebih buruk. Anemia terutama disebabkan oleh asupan zat besi yang rendah
dan bioavailabilitas yang rendah. Kesan bilirubin total yang meningkat, disertai
peningkatan SGOT/SGPT menunjukan adanya gangguan pada fungsi hepar akibat
penggunaan OAT jangka panjang terutama isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid.
Hasil pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya penyebaran hematogen infiltreat
milier di kedua lapangan paru. Disimpulkan kesan foto adalah TB milier.
Berdasarkan penjabaran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien adalah TB milier.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson LJ, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int J


Tuberc Lung Dis 2004;8:636-47.
2. World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2010. WHO, Geneva,
Switzerland,2010.
3. Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in Review 2010;31:13-
26.
4. Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in
children. Arch Dis Child. 2000;83:342-46.
5. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Dalam: Buku pedoman nasional
penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2, cetakan I. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006.
6. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta.
IDAI;2008.h.162-261.
7. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia;
Saunders;2011.h.960-71.
8. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
9. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for national
tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children.
Geneva: World Health Organization;2006;1205-11.
10. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic
ATLAS of intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
11. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD,
penyunting. Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
12. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam:
Rom W, Garay SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology. Edisi
ke-5. Volume I;2004.
13. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada.
Disampaikan pada Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV.
Surabaya. 1 April, 2002.
14. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia
2010;3(2):1-5.
15. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-López,
and Iris Estrada. Immunology, pathogenesis, virulence. In: tuberculosis 2007
from basic science to patient care. 2007:157-205. Diunduh dari
www.tuberculosistextbook.com.
16. Barreto ML, et al. Neonatal BCG protection against tuberculosis lasts for 20
years in Brazil. Int Tuberc Lung Dis 2005;10:1171-3.
17. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari
Pediatri 2009;11(3):207-11.
18. Subagyo A, Aditama TY, Sutoyo DK, Partakusuma LG. Pemeriksaan
Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):6-19.
19. Roth JG, Baker SK. Miliary tuberculosis. Dalam: Rom WN, Garay SM,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia;2003.h.960-71.
20. Kirks DR. The pediatric ER chest: what every radiologist should know. Dalam:
Nash DH, Petterson H, penyunting. Pediatric Radiology. Edisi pertama.
London: Merit Communications,1992:h.165-75.
21. Guidi R, Bolli V, Lanza C, Biagetti C, Osimani P, Benedictis FM.
Macronodular hepatosplenic tuberculosis. Acta Radiologica Short Reports
2012;1:21
22. Weir RE. Persistence of the immune response induced by BCG vaccination.
BMC Infectious Diseases 2008;8:1-9.
23. Sterne JA, Rodrigues LC, Guedes. Does the efficacy of BCG decline with time
since vaccination? Int tuberc Lung Dis 1998;3:200-7.
24. Muhammad A, Sianipar O. Telaah pustaka. Penentuan defisiensi besi anemia
penyakit kronis menggunakan peran indeks sTfR-F. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory.2005;12:9-15.

Anda mungkin juga menyukai