Anda di halaman 1dari 12

A.

Pemerolehan Fonologi
1. Teori Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1968).
Oleh karena ini sering juga disebut dengan teori Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan
“Pada intinya teori struktural universal mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi
berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang
mengatur setiap perubahan bunyi.”
Jakobson (dalam Chaer, 2009:202) melalui penelitiannya ia mengamati bahwa:
Pengeluaran bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel dan menemukan bahwa bayi yang
normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun
bunyi konsonan. Namun ketika bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka kebanyakan
bunyi-bunyi ini menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa
tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menimpulkan adanya dua tahap dalam
pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan bahasa
murni.

Jakomson memprediksi bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau oposisi


antara hambat bilabbial dengan hambat dental atau hambat alveolar lebih dahulu dari[ada
kontras-kontras di antaara bilabial dan velar atau di antara dental dengan velar. Lebih jauh,
Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat akan dahulu diperoleh daripada frikatif
dan afrikat dan yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r] dan
bunyi luncuran (glide) [y] dan [w] (Chaer, 2009:204).
Di dalam bukunya yang lain, Jakobson (dalam Chaer, 2009:204) mengemukakan
bahwa:
Pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan
bunyi vokal dimulai dari satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Jadi, pada waktu yang sama
konsonan bilabial, biasanya [p], dan vokal lebar, biasanya [a] membentuk satu model silabel
yang universal yaitu KV (konsonan+vokal) yang mencerminkan apa yang disebut “konsonan
optimal+vokal optimal”. Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna
dalam ucapan kanak-kanak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi, misalnya [pa +
pa].

Jakobson (dalam Chaer, 2009:204—205) menjelaskan bahwa urutan pemerolehan


kontras fonemik bersifat universal. Artinya, bisa terjad dalam bahasa apa pun dan oleh kanak-
kanak mana pun. Maka setelah konsonan bilabial dan vokal lebar, akan muncul oposisi bunyi
oral dan bunyi nasal kemiduan diikuti oleh oposisi labial dan dental/alveolar. Jadi, menurut
Jakobson urutan pemerolehan konsonan adalah bilabial-dental (alveolar) – palatal – velar. Ini
berarti apabila seorang anak telah dapat membunyikan konsonan frikatif, berarti dia juga
telah mampu membunyikan bunyi-bunyi hambat. Munculkan konsonan belakang oleh kanak-
kanak menandakan bahwa ia juga telah menguasai konsonan depan. Inilah yang oleh
Jakobson disebut hukum-hukum implikasi. Namun, perlu diingat bahwa yang diperoleh anak-
anak bukanlah bunyi-bunyi secara satu per satu, melainkan dalam oposisinya (kontrasnya)
dengan bunyi-bunyi lain dalam sistem hukum-hukum di atas.
Seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap kanak-kana tidak
menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapan kanak-kanak. Yang menentukan urutan
munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa
dunia. Jika suatu bunyi sering muncul dalam bahasa-bahasa dunia, maka bunyi-bunyi itu akan
lebuh dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak, meskipun bunyi itu jarang muncul dalam
data masukan yang didenganr oeh kanak-kanak (Jakobson dalam Chaer, 2009:205).

2. Teori Generatif Struktural Universal


Teori struktural iniversal yang diperkenalkan oleh Jakobson telah diperluas oleh
Moskowitz dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generatif yang diperkenalkan oleh
Chomsky dan Halle. Yang paling menonjol dari teori Moskowitz ini adalah ‘penemuan
konsep’ dan ‘pembentukan hipotesis’ berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak
berdasarkan data linguistik utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang
didengarnya sehari-hari.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) berpendapat bahwa sejak awal proses
pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia
dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini termasuk ‘kemampuan nurani’
yang dimiliki bayi sejak dilahirkan. Kemudian pada masa membabel bayi mengembangkan
kemampuan inguistiknya dengan cara menyesuaikan ucapan-ucapannya dengan persepsi
bunyi yang didengarnya. Hal ini membuat si bayi semakin mampu mengenal dirinya sebagai
anggota masyarakat manusia di sekitarnya. Selanjutnya Moskowitz juga mengatakan sejak
awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi
bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Sesudah kanak-kanak menemukan unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka
kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata
yang merupakan satu satuan bunyi di bawah kata ini. Unit suku kata ini dipahami kanak-
kanak sebagai satu fitur suku kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Setelah
menguasai unit suku kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni konsonan atau
vokal. Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak dengan kanak-
kanak lain. pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang lebih kecil
yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa membedakan makna.
Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut teori Roman Jakobson.
Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebut idiom-idiom fonologi. Menurut
perkembangannya idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif.
Yang dimaksud dengan idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap
awal telah menyamai bentuk yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya, bentuk semakin dekat, dan seterusnya menjadi tepat.
Sedangkan yang dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah menyamai
bentuk orang dewasa itu berubah kebentuk yang lebih primitif (Moskowitz dalam Chaer,
2009:208).

3. Teori Proses Fonologi Alamiah


Teori proses fonologi alamiah diperkenalkan oleh David Stampe, yakni suatu teori
yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak 1965.
Menurut Stampe proses fonologi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami
penindasan (supresi), pembatasan dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi
fonemik orang dewasa (Chaer, 2009:208—209).
Menurut Chaer (2009:209) suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang
saling bertentangan. Umpamanya, terdapat suatu proses yang menjadikan semua bunyi
hambat menjadi tidak bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi
arus udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun
bunyi-bunyi ini akan menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika
kedua proses ini terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dna saling
bertentangan. Sebuah bunyi hambat tidak akan mungkin secara serentak bersuara dan tidak
bersuara pada lingkungan yang sama. Masalahnya yang bertentangan ini dapat dipecahkan
dengan iga cara berikut.
a. Menindas, salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila kanak-kanak
telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka beraarti dia telah
berhasial menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan oral bunyi itu.
b. Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya,
proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja, sedangkan
bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c. Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara
secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara, lalu
diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi
secara bersamaan.

4. Teori Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson setelah dia merasa tidak puas
dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang
sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap
bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan
fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka Weterson
menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih
berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya
melihat dari analisis artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak
dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.”
Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer, 2009:212) mengatakan bahwa:
Ia menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak dengan
fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak anya mengucapkan kembali bagian
ucapan yang makan waktu kurang 0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah
elemen vokal dan konsonan yang mencapai artikulasi kuat.

Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah masalah sejauh mana kanak-kanak
dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam persepsi dan pengeluaran bunyi. Karena
masalah ini menyangkut pengeluaran dan persepsi, maka pengkajian pemerolehan fonologi
haruslah pula dari sudut artkulasi dan akustik. Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena
kita tidak tahu apa sebenarnya yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya
kepadanya. Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi [pleit]
menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi [p] dan [b], kita
tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip]. Karena lebih mudah
mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya. Untuk memecahkan masalah ini,
Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa: orang dewasa lebih banyak ‘membuat
kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada cara artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh
perhatian pada tempat artkulasi untuk setiap pengucapan karena mereka tidak mampu
menghadapi segala-galanya pada waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).
5. Teori Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang
menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting
dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan
dari Piaget. Menurut Ingram (dalam Chaer, 2009:212) “Kanak-kanak memperoleh sistem
fonologi orang dewasa dengancara menciptakan strukturnya sendiri dan kemudian mengubah
struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan
fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk
menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus mengakui adanya ketiga
peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak. Perkembangan fonologi kanak-kanak harus
dapat menerangkan tiga peringkat yaitu, persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Karena
fonologi membicarakan kontras-kontras dan berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap
morfem, maka kanak-kanak haruslah berusaha memperoleh kontras-kontras dalam
pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram sejalan dengan tahap-tahap
perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap persepsi yang belum prosuktif itu terdapat dua
subtahap yaitu tahap vokalisasi praucapan dan tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan adalah tahap sebelum kata-kata
pertama muncul yang dimulai dengan mendekut ketika berumur empat bulan. Kemudian
diikuti dengan membabel. Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya,
melainkan merupakan suatu kegiatan yang agak teratur dan maju berkelanjutan. Membabel
ini bukan merupakan satu latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses
pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata
(holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak
belum memperoleh rumus-rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah menganalisis data
ucapan dari sejumlah kanak-kanak, Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak
seluruhnya benar. Umpamanya, menurut teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang
muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak
muncul. Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak
yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang aktif, yang dimulai ketika
berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa penting yaitu terjadinya pertumbuhan
kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak
mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat
dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak
berumur tiga tahun enam bulan (Chaer, 2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-
tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur. Ucapan
kanak-kanak selalu berubah antara ucapan yang benar dan tidak benar secara progresif
sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi
melalui bebrapa proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.

B. Pemerolehan Sintaksis
1. Teori Tata Bahasa Pivot
Chaer (2009:183—184) kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak
dimulai oleh Braene, Bellugi, Brown dan Fraser, dan Miller dan Ervin. Menurut kajian awal
ini ucapan dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jeniskata menurut posisi dan frekuensi
munculnya kata-kata itu di dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian dikenal dengan
kelas pivot dan kelas terbuka. Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang
disebut teori tata bahasa pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah
kata-kata fungsi, sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi atau kata penuh
seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.
Menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:185) “Tata bahasa pivot yang
muncul sebagai akibat dari discovery prosedure menyatkan bahwa pemerolehan sintaksis
kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot. Namun, cara
ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai.” Selain itu, pakar-pakar seperti
Bloom, Bowerman, dan Brown menyatakan sebagai berikut.
a. Kata-kata pivot bisa muncul juga sendirian.
b. Kata-kata pivot dapat juga bergabung dengan kata pivot lain dalam sebuah kalimat.
c. Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak terdapat juga kat-kata dari kelas lain
selain kelas pivot dan kelas terbuka.
d. Tata bahasa pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata.
e. Pembagian kata-kata pivot dan kelas terbka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lainl selain
bahasa Inggris.
Chaer (2009:186) menyatakan “Akhirnya bisa dikatakan bahwa ucapan dalam kalimat
dua kata oleh kanak-kanak telah menunjukkan penggunaan bahasa yang lebih produktif
dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis.”

2. Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani


Tata bahasa generatif transformasi dari Chomsky sangat terasa pengaruhnya dalam
pengkajian perkembangan sintaksis kanak-kanak. Menurut Chomsky hubungan-hubungan
tata bahasa tertentu seperti ‘subject-of, predicate-of, dan direct object-of’ adalah bersifat
universal dan dimiliki oleh semua bahasa yang ada di dunia ini.
Berdasarkan teori Chomsky tersebut, Mc. Neil (dalam Chaer, 2009: 186) menyatakan
“Pengetahuan kank-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal ini adalah
bersifat ‘nurani’. Oleh karena itu, akan langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis
kanak-kanak sejak tahap awal. Jadi, pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-
hubungan tata bahasa universal ini.”
Bowerman (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan:
Teori hubungan tata bahasa nurani yang dikemukakan Mc. Neil kurang mendapat dukungan.
Menurut Bowerman kanak-kanak menggunkan rumus-rumus urutan sederhana untuk kata-
kata yang dapat mengisi bermacam-macam fungsi semantik. Usaha kanak-kanak untuk
menggabungkan kata-kata timbul dari penemuannya mengenai cara untuk menyempaikan
hubungan-hubungan semantik bahasa yang sedang diperolehnya. Jadi, konsep hubungan tata
bahasa merupakan perkembangan lanjutan ketika kanak-kanaknya akhirnya menyadari bahwa
kata benda dengan peran-peran semantik yang berbeda diperlakukan dengan cara yang sama
dalam hubungannya dengan kelas-kelas kata kerja yang berbeda. Namun, yang kurang dalam
pandangan Bpwerman ini adalah mengapa kanak-kanak hanya menggunakan beberapa jenis
gabungan tertentu untuk menyampaikan ubungan-hubungan semantik itu.

3. Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi


Bloom (dalam Chaer, 2009:188) menyatakan “Hubungan-hubungan tata bahasa tanpa
merujuk pada informasi situasi (konteks) belumlah mencukupi untuk menganalisis ucapan
atau bahasa kanak-kanak. Maka untuk dapt menganalisis ucapan kanak-kanak itu informasi
situasi ini perlu diperhatikan.” Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa suatu gabungan kata telah
digunakan oleh kanak-kanak dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang
berlainandi antara kata-kata dalam gabungan itu (Bloom dalam Chaer, 2009:188).
Dari beberapa penjelasan tersebut, Chaer (2009:189) menyimpulkan bahwa pandangan
Mc. Neil dan Bloom mengenai perkembangan sintaksis kanak-kanak ada persamaannya, yang
satu dan yang lainnya saling menunjang. Hanya bedanya kalau Mc. Neil merujuk pada
struktur tata bahasa nurani, sednagkan Bloom merujuk kepada informasi situasi dlam
menjelaskan hubungan kata-kata dalam ucapan kanak-kanak itu. Satu hal yang belum jelas
dari teori Bloom ini adlah dari mana kanak-kanak itu mendapatkan gabungan-gabungan kata
yang bisa digunakan itu dalam situasi-situasi yang berlainan. Bloom dan Bowerman belum
dapat menerangkan dengan jelas maslah ini.

4. Teori Kumulatif Kompleks


Teori kumulatif kompleks dikemukakan oleh Brown berdasarkan data yang
dikumpulkannya. Menurut Brown (dalam Chaer, 2009: 189—190):
Urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks
semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang edang diperoleh itu. Jadi, sama
sekali tidak ditentukan oleh frekwensi munculnya morfem atau kata-kata itu dlam ucapan
orang dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang sedang memperoleh
bahasa Inggris yang diteliti Brown, ternyata morfem yang pertama dikuasai adalah bentuk
progressive-ing dari kata kerja, padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan
orang dewasa.

Simanjuntak (dalam Chaer, 2009: 190) menjelaskan bahwa setelah progressive-ing


baru muncul kata depan in, kemudian on, dan diikuti oleh bentuk jamak ‘s. Sedangkan artikel
the dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orangdewasa baru muncul pada
tahap ke-8. Urutan perkembangan sintaksis yang dilaporkan oleh Brown hampir sama dengan
urutan perkembangan hubungan-hubungan semantik sintaksis yang dilaporkan oleh sejumlah
pakar lain.

5. Teori Pendekatan Semantik


Teori pendekatan semantik ini menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:190)
pertama kali diperkenalkan oleh Bloom. Dalam hal ini Bloom mengintegrasikan pengetahuan
semantik dalam pengjkajian perkembangan sintaksis ini berdasarkan terori generatif
transformasinya.
Menurut Chaer (2009: 191) “Teori pendekatan semantik menemukan struktur ucapan
itu berdasarkan hubungan-hubungan semantik.” Jadi, teori hubungan tata bahasa nurani
menerapkan struktur sintaksis orang dewasa, yaitu:
K  FN + FV
Pada ucapan-ucapan kanak-kanak, sedangkan teori pendekatan semantik menemukan
struktur:
Agen + Kerja + Objek, atau
Agen + Keja, atau
Objek + Kerja
Pada ucapan kanak-kanak, yaitu struktur yang menggambarkan hubungan-hubungan
semantik. Namun, menurut Bowerman dan Brown (dalam Chaer, 2009:191) hubungan-
hubungan semantik ini tidak selalu sejalan atau sesuai dengan hubungan-hubungan sintaksis
yang diterapkan.

C. Pemerolehan Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan anak untuk menyampaikan sesuatu
sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut Dardjowidjojo (2010:258), saat anak
senyum dan menjulurkan tangannya untuk meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah
memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi, Darjowidjojo meneliti cucunnya bernama Echa
untuk meneliti pemerolehan leksikon. Echa baru mampu mengeluarkan bunyi yang dapat
dikenal sebagai kata sekitar umur 1;5. Agar lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini,
Dardjowidjojo menjelaskan tiga hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang dikuasai, cara
anak menentukan makna, dan cara anak menguasai makna kata. Ketiga hal tersebut akan
dijelaskan satu per satu sebagai berikut.

1. Macam Kata yang Dikuasai


Macam kata yang dikuasai anak dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Dardjowidjojo
menyebutnya prinsip sini dan kini. Apabila seorang anak tinggal di perkotaan dan dirawat
oleh orangtua yang berkecukupan. Si anak akan memperoleh kata-kata nomina yang berada
dekat dengannya seperti bola, kucing, anjing, sepatu, kelinci, dan sebagainya. Sebaliknya,
apabila seorang anak dibesarkan di lingkungan pedesaan, anak tersebut akan memperoleh
kata padi, bebek, sawah, cangkul, sapi,dan sebagainya.
Anak-anak lebih dulu menguasai kata utama (nomina, verba, dan adjektiva). Dari
hasil peneliatian Dardjowidjojo terhadap cucunya, Echa lebih banyak menguasai nomina
daripada verba. Selama lima tahun Echa memiliki kemampuan menguasai nomina rata-rata
49%, verba menduduki posisi kedua dengan rata-rata 29%, adjektiva menduduki posisi ketiga
dengan rata-rata 13%, dan kata fungsi paa urutan terakhir dengan rata-rata 10%.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak memperoleh hirarki kata kategori dasar,
yakni tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Contoh untuk menyebutkan perkutut
Bangkok, anak tidak akan menyebutnya binatang atau makhluk, perkutut Bangkok, atau
perkutut sekalipun. Anak lebih memilih menyebut perkutut Bangkok dengan burung. Input
penyebutan tersebut berasal dari bahasa ibu si anak.
2. Cara Anak Menentukan Makna
Menurut Dardjowidjojo, dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti
prinsip-prinsip universal yang di antaranya overextension (penggelembungan makna). Anak-
anak cenderung mengambil salah satu fitur makna ketika diperkenalkan dengan konsep baru.
Contohnya Echa yang diperkenalkan dengan semut, dia mengambil fitur ukuran untuk
mengenali semut tersebut yaitu berukuran kecil. Hal itu menyebabkan, pada saat Echa
melihat nyamuk, dia juga menyebut nyamuk tersebut dengan semut karena sama-sama
berukuran kecil.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa penggelembungan dapat berdasarkan bentuk,
ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur. Di samping penggelembungan, anak juga memakai
underextension (penciutan makna). Anak akan mebatasi makna hanya pada referen yang
dirujuk sebelumnya. Contohnya Echa yang melihat boneka beruang di rumahnya dinamai
dengan Tedy Bear, tetapi beruang yang dia lihat di buku atau televisi dinamai beruang.

3. Cara Anak Menguasai Makna Kata


Dardjowidjojo menemukakan bahwa anak tidak menguasai makna kata secara
sembarangan melainkan menggunakan strategi. Misalnya ketika anak menggunakan strategi
pertama yaitu strategi referensi dengan menganggap bahwa kata pastilah akan merujuk pada
benda, perbuatan, proses, atau atribut. Contoh bila kata cabai, anak akan melekatkan kata
cabai dengan benda berwarna merah.
Strategi kedua adalah strategi cakupan objek. Pada strategi ini, kata yang merujuk
pada suatu objek akan merujuk pada keseluruhan objek itu. Contoh sepeda akan merujuk
pada benda yang yang memiliki roda, rantai, ban, tempat duduk, dan sebagainya.
Strategi ketiga adalah strategi peluasan. Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak
hanya merujuk pada pada objk aslinya tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok
yang sama. Contoh anak yang diperkenalkan dengan kucing yang berbulu hitam akan
menyebut kucing yang berbulu putih sebagai kucing.
Strategi keempat adalah cakupan ketegorial. Strategi ini menyatakan bahwa kata
dapat diperluas pemakaiannya untuk objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang
sama. Contoh burung perkutut sebagai burung yang memiliki sayap, maka ketika melihat
beo, merpati, dan jenis burung lainnya akan tetap disebut si anak sebagai burung.
Strategi kelima adalah nama baru-kategori tak bernama. Strategi ini adalah strategi
yang digunakan si anak ketika ia mendengar kata baru tetapi belum menemukan rujukannya,
maka si anak akan menganggap kata tersebut sebagai kata baru dan menempelkan maknanya
kepada objek, perbuatan, atau proses yang dirujuk kata itu.
Strategi keenam adalah konvensionalitas. Strategi ini digunakan untuk mengenalkan
hal-hal di sekitarnya dengan bahasa yang kira-kira mudah dipahami anak. Contoh ketika
mengenalakan burung perkutut Bangkok, anak akan dikenalkan dengan sebutan burung yang
nerujuk pada perkutut Bangkok tersebut.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak-anak lebih mudah menguasai kata-kata
yang bermakna konkret daripada bermakna abstrak. Anak akan lebih mudah mengenali kata
kursi daripada agama. Selain itu, anak juga akan sulit memahami kata-kata yang memiliki
pengertian relatif seperti besar, kecil, keras, pelan, luas, sempit, dan sebagainya.

D. Pemerolehan Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem berdasarkan bentuknya ada dua
macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai
potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk kalimat sedangkan
morfem terikat merupakan morfem yang belum memiliki arti, maka morfem ini belum
mempunyai potensi sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem harus digabung dengan
morfem bebas. Morfem terikat ada dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat
sintaksis. Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar
yaitu prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan gabungan).
Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang menunjukkan
fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada
tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan.
Dari transkip data 1 sampai 8 diperoleh data yaitu ujaran pada anak-anak yang
berumur 2-3 tahun pada data 1 dan data 4 belum muncul morfem yang memeroleh afiksasi,
bahkan banyak morfem yang sebagian seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya
/sudah/, /belum/, /bersama/, /menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun pada data 5–
8 sudah muncul morfem yang mendapatkan proses afiksasi mendapat prefiks maupun sufiks,
namun infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun terdapat
morfem yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun belum menunjukkan
pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan morfologi kebanyakan kata-kata
yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai muncul pada umur tiga tahun. pada usia
empat tahun prefiks formal {ber-} dan {meN-} sudah mulai muncul walaupun masih jarang
muncul. Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi sufiks {-
kan} dan {-i} yang menjadi {-in} pada /dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).

Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk. 2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Usia Dini di Desa Beraban,
Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id. Diunduh 22 Maret 2016).

Anda mungkin juga menyukai