Materi Psiko
Materi Psiko
Pemerolehan Fonologi
1. Teori Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1968).
Oleh karena ini sering juga disebut dengan teori Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan
“Pada intinya teori struktural universal mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi
berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang
mengatur setiap perubahan bunyi.”
Jakobson (dalam Chaer, 2009:202) melalui penelitiannya ia mengamati bahwa:
Pengeluaran bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel dan menemukan bahwa bayi yang
normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun
bunyi konsonan. Namun ketika bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka kebanyakan
bunyi-bunyi ini menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa
tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menimpulkan adanya dua tahap dalam
pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan bahasa
murni.
4. Teori Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson setelah dia merasa tidak puas
dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang
sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap
bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan
fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka Weterson
menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih
berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya
melihat dari analisis artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak
dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.”
Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer, 2009:212) mengatakan bahwa:
Ia menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak dengan
fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak anya mengucapkan kembali bagian
ucapan yang makan waktu kurang 0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah
elemen vokal dan konsonan yang mencapai artikulasi kuat.
Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah masalah sejauh mana kanak-kanak
dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam persepsi dan pengeluaran bunyi. Karena
masalah ini menyangkut pengeluaran dan persepsi, maka pengkajian pemerolehan fonologi
haruslah pula dari sudut artkulasi dan akustik. Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena
kita tidak tahu apa sebenarnya yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya
kepadanya. Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi [pleit]
menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi [p] dan [b], kita
tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip]. Karena lebih mudah
mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya. Untuk memecahkan masalah ini,
Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa: orang dewasa lebih banyak ‘membuat
kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada cara artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh
perhatian pada tempat artkulasi untuk setiap pengucapan karena mereka tidak mampu
menghadapi segala-galanya pada waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).
5. Teori Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang
menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting
dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan
dari Piaget. Menurut Ingram (dalam Chaer, 2009:212) “Kanak-kanak memperoleh sistem
fonologi orang dewasa dengancara menciptakan strukturnya sendiri dan kemudian mengubah
struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan
fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk
menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus mengakui adanya ketiga
peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak. Perkembangan fonologi kanak-kanak harus
dapat menerangkan tiga peringkat yaitu, persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Karena
fonologi membicarakan kontras-kontras dan berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap
morfem, maka kanak-kanak haruslah berusaha memperoleh kontras-kontras dalam
pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram sejalan dengan tahap-tahap
perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap persepsi yang belum prosuktif itu terdapat dua
subtahap yaitu tahap vokalisasi praucapan dan tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan adalah tahap sebelum kata-kata
pertama muncul yang dimulai dengan mendekut ketika berumur empat bulan. Kemudian
diikuti dengan membabel. Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya,
melainkan merupakan suatu kegiatan yang agak teratur dan maju berkelanjutan. Membabel
ini bukan merupakan satu latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses
pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata
(holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak
belum memperoleh rumus-rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah menganalisis data
ucapan dari sejumlah kanak-kanak, Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak
seluruhnya benar. Umpamanya, menurut teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang
muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak
muncul. Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak
yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang aktif, yang dimulai ketika
berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa penting yaitu terjadinya pertumbuhan
kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak
mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat
dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak
berumur tiga tahun enam bulan (Chaer, 2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-
tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur. Ucapan
kanak-kanak selalu berubah antara ucapan yang benar dan tidak benar secara progresif
sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi
melalui bebrapa proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.
B. Pemerolehan Sintaksis
1. Teori Tata Bahasa Pivot
Chaer (2009:183—184) kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak
dimulai oleh Braene, Bellugi, Brown dan Fraser, dan Miller dan Ervin. Menurut kajian awal
ini ucapan dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jeniskata menurut posisi dan frekuensi
munculnya kata-kata itu di dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian dikenal dengan
kelas pivot dan kelas terbuka. Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang
disebut teori tata bahasa pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah
kata-kata fungsi, sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi atau kata penuh
seperti kata-kata berkategori nomina dan verba.
Menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer, 2009:185) “Tata bahasa pivot yang
muncul sebagai akibat dari discovery prosedure menyatkan bahwa pemerolehan sintaksis
kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot. Namun, cara
ini menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai.” Selain itu, pakar-pakar seperti
Bloom, Bowerman, dan Brown menyatakan sebagai berikut.
a. Kata-kata pivot bisa muncul juga sendirian.
b. Kata-kata pivot dapat juga bergabung dengan kata pivot lain dalam sebuah kalimat.
c. Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak terdapat juga kat-kata dari kelas lain
selain kelas pivot dan kelas terbuka.
d. Tata bahasa pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata.
e. Pembagian kata-kata pivot dan kelas terbka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lainl selain
bahasa Inggris.
Chaer (2009:186) menyatakan “Akhirnya bisa dikatakan bahwa ucapan dalam kalimat
dua kata oleh kanak-kanak telah menunjukkan penggunaan bahasa yang lebih produktif
dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis.”
C. Pemerolehan Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan anak untuk menyampaikan sesuatu
sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut Dardjowidjojo (2010:258), saat anak
senyum dan menjulurkan tangannya untuk meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah
memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi, Darjowidjojo meneliti cucunnya bernama Echa
untuk meneliti pemerolehan leksikon. Echa baru mampu mengeluarkan bunyi yang dapat
dikenal sebagai kata sekitar umur 1;5. Agar lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini,
Dardjowidjojo menjelaskan tiga hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang dikuasai, cara
anak menentukan makna, dan cara anak menguasai makna kata. Ketiga hal tersebut akan
dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
D. Pemerolehan Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem berdasarkan bentuknya ada dua
macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai
potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk kalimat sedangkan
morfem terikat merupakan morfem yang belum memiliki arti, maka morfem ini belum
mempunyai potensi sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem harus digabung dengan
morfem bebas. Morfem terikat ada dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat
sintaksis. Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar
yaitu prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan gabungan).
Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang menunjukkan
fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada
tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan.
Dari transkip data 1 sampai 8 diperoleh data yaitu ujaran pada anak-anak yang
berumur 2-3 tahun pada data 1 dan data 4 belum muncul morfem yang memeroleh afiksasi,
bahkan banyak morfem yang sebagian seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya
/sudah/, /belum/, /bersama/, /menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun pada data 5–
8 sudah muncul morfem yang mendapatkan proses afiksasi mendapat prefiks maupun sufiks,
namun infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun terdapat
morfem yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun belum menunjukkan
pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan morfologi kebanyakan kata-kata
yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai muncul pada umur tiga tahun. pada usia
empat tahun prefiks formal {ber-} dan {meN-} sudah mulai muncul walaupun masih jarang
muncul. Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi sufiks {-
kan} dan {-i} yang menjadi {-in} pada /dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).
Referensi:
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk. 2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Usia Dini di Desa Beraban,
Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id. Diunduh 22 Maret 2016).