Abstract
The objectives of this research was to observe landslide susceptibility zonation at Secang
Watershed and evaluate the accuracy of SINMAP model performance.
The applied methodology that used in this research were field survey method, qualitative
analysis method, quantitative analysis method and comparative analysis. Survey method were
consists of observation, collecting actual landslide data, and soil sampling (undisturbed
sample). Qualitative and quantitative analysis method were employed to measure variables
input of SINMAP. Comparative method consists of validation and evaluation to modeling
result. The accuration of SINMAP result was validated using success rate.
The result shows that Secang Watershed were dominated by medium-very high susceptibility
class. Very high susceptibility class covered an area about 5,8 km2 (36,46 %). High
susceptibility class covered an area about 7,21 km2 (34,8%). Medium susceptibility class
covered an area about 4,45 km2 (21,29 %). The rest of 12,73% Secang Watershed area was
classifed as safe area. Secang Watershed morphology that dominated by hills with steep slope
and high rainfall was the main factor lead to high susceptibility to landslide. Validation of the
model using success rate showed that SINMAP can predict landslide susceptibility class with
value up to 79 % and almost all of landslide inventory was at medium-very high landslide
susceptibility class.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Longsoran adalah salah satu proses geodinamis yang secara alami membentuk
geomorfologi bumi. Kejadian longsor umumnya terjadi di daerah pegunungan, dan menjadi
permasalahan bila menimbulkan bencana yang menghilangkan harta benda dan jiwa (Talib,
1997; Weerasinghe et al., 2002). Daerah Aliran Sungai (DAS) Secang yang berada pada
wilayah perbukitan terdenudasi cukup rentan terhadap kejadian longsoran. Lereng yang
curam, material penyusun yang rapuh, dan curah hujan yang tinggi memicu terjadinya
longsor. Perbukitan terdenudasi yang secara umum tersusun oleh material yang telah mudah
lapuk merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya gerakan massa tanah menuruni
1
lereng akibat adanya gaya gravitasi pada lereng-lereng yang curam. Aktivitas manusia seperti
pemotongan lereng untuk jalan dan pemukiman memperbesar potensi lereng menjadi tidak
stabil. Panizza (1996) menerangkan bahwa peningkatan populasi manusia diikuti oleh
meningkatnya kebutuhan sumberdaya alam, ruang, teknologi dan taraf hidup menimbulkan
perubahan terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi berbagai kejadian alam seperti tanah
longsor yang mampu merugikan manusia. Membuat peta zonasi rawan longsor yang memiliki
informasi kerentanan medan terhadap kekritisan lereng (slope failure) dapat dijadikan sebagai
salah satu solusi untuk berbagai kebutuhan di bidang pembangunan dan mitigasi bencana
(Talib, 1997).
Model deterministik merupakan model yang memperhitungkan faktor aman lereng
(safety factor) terhadap keruntuhan lereng sehingga mampu menghasilkan informasi bahaya
longsor. Pengukuran dan studi geoteknis dilakukan untuk menilai tingkat stabilitas lereng
(Jibson et al., 2000; Westen, 2004). Salah satunya model deterministik SINMAP (Stability
Index Mapping) yang dikembangkan oleh Pack et al (1998). Penelitian terdahulu (Pack at al.,
1998; Weerasinghe, 2002; Jelinek dan Wagner, 2007; Fowze et al., 2008; Klimes, 2008)
zonasi rawan longsor dengan menggunakan SINMAP memiliki keakuratan hasil pemodelan
longsor yang dapat diandalkan. Salah satu validasi yang dilakukan adalah dengan mengetahui
jumlah kejadian longsor yang terjadi pada klas stabilitas lereng yang dihasilkan model.
Berdasarkan penelitian tersebut hasil pemodelan menunjukkan bahwa titik longsor banyak
terjadi pada klas lereng yang tergolong tidak stabil. Validasi yang dilakukan oleh Klimes
(2007) dengan menggunakan success rate untuk mengetahui keakuratan hasil model SINMAP
menunjukkan bahwa model mampu menghasilkan peta zona rawan langsor yang akurat.
Metode komparatif yakni dengan melihat hasil pemodelan longsor dengan jumlah kejadian
longsor pada tiap klas menunjukkan bahwa kejadian longsor terbanyak terjadi pada klas
stabilitas lereng yang dianggap tidak stabil.
1.2. Permasalahan
DAS Secang berada pada wilayah perbukitan terdenudasi yang rawan terhadap
gerakan massa seperti longsoran. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan data
kejadian longsor daerah penelitian dari PSBA tahun 2008 ditemukan gerakan massa baik
berupa jatuhan batuan, longsoran, nendatan, dan rayapan tanah. Pemotongan lereng untuk
pemukiman dan jalan akan mengganggu tingkat stabilitas lereng yang terancam longsor.
Akibatnya timbul kerugian baik material maupun kehilangan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan
2
suatu upaya pengurangan risiko bencana dengan membuat suatu peta rawan longsor di DAS
Secang Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo.
Model deterministik dengan memanfaatkan SINMAP (Stability Index Mapping) yang
berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) diharapkan dapat mewujudkan peta zonasi rawan
longsor terbaik secara kuantitatif, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi risiko
bencana. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1. Bagaimana persebaran daerah rawan longsor di DAS Secang?
2. Bagaimana tingkat keakuratan SINMAP dalam memetakan daerah rawan longsor di
DAS Secang?
3
Gambar 1.1. Skema Model Stabilitas Lereng Tak Terhingga
(Sinmap User Manual, 1998)
Dengan faktor aman (FS) dihitung dengan persamaan Hammond et al (1992) :
Cr Cs Cos 2 [ s g(D - D w ) ( s g - w g) D w ] tan
SI
FS
D s g sin cos . . . . . (1.1)
dimana;
Cr = kohesi akar (root cohesion), N/m2
Cs = kohesi tanah (soil cohesion), N/m2
= sudut lereng, derajat.
ρs = kerapatan massa tanah (soil wet density), kg/m3
ρw = rapat massa air (density of water), kg/m3
g = percepatan gravitasi (9,81 m/s2)
D = kedalaman tanah vertikal, m (meter)
Dw = kedalaman vertikal muka airtanah dengan lapisan permeabel (lapisan batuan), m
(meter)
= sudut geser dalam tanah (friction angle), derajat.
4
2) Besarnya debit aliran memiliki konsep kondisi aliran mantap, yakni dikontrol oleh
suplai curah hujan (R).
3) (1) dan (2) dinyatakan dengan persamaan matematis :
q=R.A . . . . . . . (1.3)
4. Oleh karena suatu lereng tersusun atas material (tanah) dengan sifat fisik
(permeabilitas) dan dengan ketebalan tertentu, maka akan mempengaruhi respon
lereng terhadap hujan. Hal ini terkait dengan adanya tekanan air pori. Dalam SINMAP
direpresentasikan dengan transmisivitas tanah, dimana:
T = (ks)*h . . . . . . . (1.4)
dengan,
T = transmissivitas tanah, (m2/jam)
ks = konduktivitas hidraulik atau permeabilitas tanah, (m/jam)
h = ketebalan tanah, (m)
SINMAP menggunakan rumus T/R untuk memenuhi data hidrologi lereng yang dibutuhkan.
R merupakan debit airtanah pada keadaan mantap (steady state recharge) yang diperoleh dari
data curah hujan harian. Sehingga besarnya nilai indeks kelembaban topografi dinyatakan
dengan rumus :
Ra
w Min .1 . . . . . . . (1.5)
T sin
dengan,
w = indeks kelembaban topografi
R = curah hujan maksimum rerata harian, mm/hari
a = luasan daerah tangkapan (catchment area), m2
T = Transmisivitas tanah, m2/jam
Persamaan 1.2 dan persamaan 1.5 dijadikan dasar untuk menentukan nilai indeks
stabilitas lereng (SI) model SINMAP, sehingga:
Ra
C cos [1 - min r ] tan
T sin
SI FS
sin . . . . . . . (1.6)
Nilai indeks yang dihasilkan antara (SI < 0) – (SI > 1,5) dan terdiri dari enam klas tingkat
kestabilan lereng. Secara berurutan dari klas yang terkecil (1) hingga besar (6) menunjukkan
kondisi daerah dengan lereng stabil hingga tidak stabil.
5
Tabel 1.1. Klasifikasi Indeks Stabilitas Lereng SINMAP
Kondisi Klas Kategori Keterangan
Metode penelitian yang digunakan yakni metode survei (observasi), metode analisis
kualitatif, metode analisis kuantitatif, dan analisis komparatif. Metode survei dilakukan dalam
rangka kerja lapangan untuk melakukan pengamatan, pengukuran ketebalan tanah dan
pengambilan sampel tanah. Sistem pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan sistem
satuan bentuklahan.
Metode analisis kualitatif dan analisis kuantitatif dilakukan untuk melakukan
pemerian baik secara deskriptif maupun numerik terhadap variabel-variabel input yang
6
dibutuhkan oleh model. Metode komparatif dilakukan untuk kegunaan validasi terhadap hasil
pemodelan longsor dengan longsor aktual yang terjadi. Validasi dilakukan dengan melihat
hasil pemodelan longsor dengan banyaknya kejadian longsor pada tiap klas kerawanan dan
dengan menggunakan succes rate untuk mengetahui derajat keberhasilan model.
2.1. Pemilihan Daerah Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah DAS Secang yang berada di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo. Topografi yang berbukit hingga bergunung dengan kemiringan
lereng yang terjal sangat berpotensi untuk terjadinya gerakan massa. Berdasarkan pemantauan
di lapangan cukup banyak ditemukan hasil proses gerakan massa seperti longsoran tanah
maupun jatuhan batuan. Pemotongan lereng untuk jalan maupun permukiman dikhawatirkan
menjadi pemicu terjadinya longsor. Tersedianya data kejadian longsor menjadi salah satu
alasan lain dipilihnya daerah ini sebagai lokasi penelitian.
2.2. Pengumpulan Data-Data
2.2.1. Data Kejadian Longsor
Data kejadian longsor diperoleh dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM 10
tahun (1998-2008). Selanjutnya dilakukan cek lapangan untuk memperoleh data bila ada
kejadian longsor aktual yang terjadi. Untuk kebutuhan model SINMAP maka informasi
persebaran longsor dibutuhkan dalam bentuk titik (point).
2.2.2. DEM (Digital Elevation Model)
Data DEM diperoleh dari hasil analisis peta kontur daerah penelitian dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.2. ekstensi 3D-Analyst. Titik ketinggian juga
disertakan untuk menghasilkan kualitas data DEM yang baik.
2.2.3. Data Geoteknik dan Fisik Tanah
Data-data geoteknik diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel tanah dan
analisis laboratorium. Sampel tanah yang diambil adalah jenis sampel tanah tidak terganggu
(undisturbed sample) untuk analisis kuat geser tanah. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling yang mendasarkan pada pertimbangan satuan
bentuklahan dan kemudahan lokasi untuk dicapai. Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri
dari kohesi tanah, kohesi akar, sudut geser dalam tanah, permeabilitas tanah, massa jenis
tanah, dan ketebalan tanah. Data kohesi tanah dan sudut geser dalam diperoleh dari hasil
analisis uji kuat geser langsung (direct shear strest) di laboratorium. Selanjutnya dihitung
nilai indeks kohesi ( C ) :
C = (Cr + Cs) \ (h.s.g)
dengan,
7
C : indeks kohesi
Cr : kohesi akar
Cs : kohesi tanah. kg/cm2
h : kedalaman tanah, m
s : massa jenis tanah, kg/m2
g : gravitasi 9,81 m/s2
Ketebalan tanah diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap adanya singkapan atau
bekas galian tanah, yang diukur mulai dari permukaan tanah hingga batas batuan dasar
(bagian keras). Dalam penelitian ini nilai kohesi akar diperoleh dengan mengacu pada tetapan
nilai indeks vegetasi. Sedangkan massa jenis tanah diperoleh dengan melakukan analisis BV
(kerapatan massa tanah).
2.2.4. Data Hidrologi
Data hidologi yang dibutuhkan terdiri dari data curah hujan harian dan permeabilitas
tanah untuk memperoleh nilai indeks kelembaban topografi. Dari data curah hujan harian
yang tersedia diamati dan dipilih curah hujan maksimum selama enam hari berturut-turut.
Kemudian dihitung reratanya untuk memperoleh data curah hujan rerata maksimum enam
harian pada setiap bulan (R). Enam hari hujan dianggap sebagai waktu yang efektif untuk
menyebabkan lereng menjadi tidak stabil akibat meningkatnya kejenuhan tanah. Selanjutnya
dari hasil perhitungan rerata hujan maksimum enam harian tersebut diambil nilai terkecil
sebagai Rmin (curah hujan minimum model), dan nilai terbesar sebagai Rmaks (curah hujan
maksimum model).
Nilai permeabilitas tanah diperoleh dari hasil uji permeabilitas di laboratorium, untuk
memenuhi parameter hitung transmisivitas tanah pada persamaan (1.4). Selanjutnya nilai
transmisivitas (T) dan curah hujan (R) digunakan untuk memenuhi parameter model indeks
kelembaban topografi (T/R).
8
model dilengkapi dengan informasi berupa lokasi (kordinat) dan tipe dari gerakan massa.
Langkah berikutnya mengoperasikan algoritma SINMAP hingga menghasilkan indeks
stabilitas lereng dalam bentuk peta.
Hasil akhir SINMAP adalah peta persebaran indeks stabilitas lereng daerah penelitian,
dan informasi statistik hasil analisis dalam bentuk grafik scatter plot serta tabel persentase
tingkat dan persebaran longsor lokasi penelitian. Tabel statistik memberikan informasi
kondisi stabilitas lereng tiap satuan bentuklahan yang terdiri dari kriteria klas stabilitas lereng,
luas daerah tiap klas stabilitas, persentase klas kerawanan longsor, kerapatan longsor dan
persentasenya, serta jenis gerakan massa yang terdapat di satuan bentuklahan tersebut.
Selanjutnya, hasil analisis model dibandingkan dengan kondisi longsor aktual yang terjadi
dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik menggunakan succes rate.
Data Geoteknik
DEM
& Fisik Tanah
9
dengan persen kumulatif longsor aktual pada sumbu y. Titik hasil pengeplotan kemudian
dihubungkan dan dihitung luasan area dibawah grafik untuk memperoleh besaran nilai
success rate sebagai derajat keberhasilan model.
Model SINMAP pada tahap akhir menghasilkan Peta Indeks Stabilitas Lereng yang
kemudian dijadikan sebagai Peta Tingkat Kerawanan Longsor DAS Secang (Gambar 3.2) dan
tabel statistik hasil pemodelan longsor model SINMAP (Tabel 3.1) berikut grafik scatter plot
(Gambar 3.1) yang menggambarkan kondisi kerawanan longsor di DAS Secang. Indeks
stabilitas dimulai dari nilai 0 yang menggambarkan kondisi lereng tidak stabil hingga nilai
(>1,5) dengan kondisi lereng stabil.
Tabel 3.1. Hasil Statistik Indeks Stabilitas dan Kerawanan Longsor DAS Secang Model
SINMAP
Luas Daerah (km2) 2,64 0,31 0,38 4,45 7,21 5,8 20,71
% 12,73% 1,5% 1,82% 21,5% 34,8% 28% 100%
Jumlah Longsor 0 0 2 14 17 20 53
% Longsor 0% 0% 3,77% 26,42% 32,08% 37,74% 100%
Kerapatan
0 0 5,31 3,14 2,36 3,45 2,56
Longsor*
Sumber : hasil perhitungan statistik model SINMAP
( * ) : jumlah longsor/luas daerah
Berdasarkan Tabel 3.1 diperoleh bahwa persebaran tingkat kerawanan longsor di DAS
Secang hasil analisis model SINMAP didominasi oleh tingkat kerawanan longsor sedang
hingga sangat tinggi. Tingkat kerawanan longsor sangat tinggi meliputi 28% dari total luas
DAS Secang atau seluas 5,8 km2 dengan total kejadian longsor sebanyak 20 titik longsor dari
53 titik longsor yang terjadi. Dari total titik kejadian longor dibandingkan dengan luas daerah
kerawanan maka diperoleh nilai kerapatan longsor 3,45 per longsor per km2. Yang berarti
bahwa ditemukan rata-rata 3 kejadian longsor pada setiap luasan 1 km2. Tingkat kerawanan
longsor tinggi meliputi 34,8% dari total luas DAS atau seluas 7,21 km2 dengan kejadian
longsor sebanyak 17 titik longsor dan kerapatan longsor sebesar 2,36 per longsor per km2.
Sedangkan 21,5 % dari total luas DAS Secang atau seluas 4,45 km2 termasuk dalam tingkat
10
kerawanan longsor sedang atau tingkat stabilitas lower threshold. Terdapat 12,73% dari total
luas DAS Secang memliki tingkat stabilitas lereng stabil atau tidak rawan longsor. Artinya
DAS Secang secara umum termasuk dalam daerah yang memiliki potensi kejadian gerakan
massa tinggi baik jatuhan batuan, longsoran, maupun rayapan yang dikontrol oleh kondisi
kemiringan lereng yang curam, curah hujan yang tinggi, litologi, dan material tanah penyusun
bentanglahan DAS Secang.
Longsoran
Rayapan
Nendatan
Jatuhan
Gambar 3.1. Grafik SA (Slope – Area) - Plot Persebaran Tingkat Kestabilan Lereng DAS Secang
Gambar 3.1 merupakan grafik plot yang dihasilkan oleh model SINMAP
memperlihatkan persebaran titik longsor dan kondisi kestabilan lereng yang ditinjau dari
faktor kemiringan lereng sebagai absis dan total luasan daerah kajian sebagai ordinat.
Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa tingkat kestabilan lereng tidak stabil umumnya mulai
terjadi pada kemiringan lereng antara 10 derajat hingga 40 derajat dengan luasan wilayah
yang mencakup hampir 1000 m2. Diantara kerapatan titik plot yang terbentuk ditemukan pula
titik persebaran longsor yang terjadi. Secara umum kejadian longsor terjadi pada kondisi
lereng 10 derajat hingga 35 derajat yang meliputi luasan 10 hingga 1000 m 2. Dari grafik juga
dapat diketahui bahwa stabilitas lereng di daerah penelitian sangat ditentukan oleh kondisi
kemiringan lereng. Hal ini dapat dilihat dari sebaran titik sangat rapat pada kemiringan lereng
antara 10 – 30 derajat dan tipe gerakan massa yang paling sering terjadi adalah longsoran.
11
mencakup hampir 1000 m2. Diantara kerapatan titik-titik plot yang terbentuk
ditemukan pula titik persebaran longsor
Gambar 3.3. Grafik Persebaran Tingkat Kerawanan Longsor di Tiap Satuan Bentuklahan DAS Secang
Gambar 3.3 merupakan grafik yang menunjukkan persebaran kerawanan longsor di
tiap satuan bentuklahan di DAS Secang. Terdapat 14 satuan bentuklahan dan dua diantaranya
tidak dilakukan analisis karena merupakan bagian dari satuan bentuklahan berupa dataran.
Berdasarkan Gambar 3.3. diketahui bahwa persentase tingkat kerawanan longsor sangat tinggi
paling besar terdapat pada satuan bentuklahan lereng igir pegunungan denudasional Formasi
Bemmelen, igir perbukitan denudasional berbatuan andesit tua, dan lereng perbukitan
denudasional formasi nanggulan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kemiringan lereng yang
terjal menjadi penyebab utama terjadinya longsoran pada satuan bentuklahan tersebut. Dari
grafik (Gambar 3.3) dan Tabel 3.1 juga dapat diketahui bahwa tingkat kerawanan longsor
tinggi mendominasi hampir seluruh satuan bentuklahan di DAS Secang. Upaya konservasi
dapat dilakukan pada klas kerawanan longsor sedang hingga tinggi untuk mencegah lereng
agar tidak longsor karena pada dua klas kerawanan ini kondisi lereng dalam keadaan tidak
stabil terkondisi (conditional unstable) yang sewaktu-waktu dapat longsor bila terdapat faktor
pemicu eksternal seperti gempa bumi maupun pembebanan oleh aktivitas manusia. Oleh
karena itu, upaya pencegahan seperti pembuatan teras pada lereng yang curam, pembangunan
13
sturktur penahan khususnya pada lereng terjal di sepanjang jalan, dan berbagai upaya
konservasi lainnya dapat dilakukan dengan mengacu pada informasi klas kerawanan tersebut.
90
80
Persentase kejadian longsor
70
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Persentase model kerawanan longsor
Gambar 3.4. Grafik validasi success rate Hasil Model SINMAP Dalam Zonasi Kerawanan Longsor di
DAS Secang
Hasil validasi dengan menggunakan success rate (Gambar 3.4) menunjukkan bahwa
50% model prediksi longsor menjelaskan 80% kejadian longsor yang terjadi, 70% model
prediksi longsor menjelaskan 85% longsor aktual yang terjadi dan seterusnya. Atau dengan
14
menghitung luas area dibawah kurva diperoleh bahwa keberhasilan model SINMAP dalam
memprediksi longsor di DAS Secang mencapai 79%. Jumlah longsor terbanyak terdapat pada
klas rawan longsor sangat tinggi yakni sebanyak 20 kejadian longsor (Tabel 3.1). Sisanya
berada pada klas kerawanan longsor rendah dengan 2 titik longsor, klas kerawanan longsor
sedang dan tinggi masing-masing sebanyak 14 dan 17 titik longsor. Sedangkan pada klas
kerawanan longsor sangat rendah dan aman tidak ditemukan titik longsor. Hal ini
menunjukkan bahwa longsor aktual terjadi pada klas kerawanan longsor sangat tinggi
sebagaimana yang dihasilkan model SINMAP.
Menurut Varnes (1984) “The past and present are keys to the future” bahwa kejadian
longsor pada masa lalu dan sekarang dapat menerangkan kejadian longsoran di masa yang
akan datang. Daerah yang dianggap stabil atau memiliki kerawanan longsor rendah dengan
dibuktikan tidak pernah terjadinya longsoran, bukan berarti tidak akan mengalami
ketidakstabilan lereng (longsoran) pada masa yang akan datang. Aktivitas manusia seperti
pemotongan lereng dan kejadian alam berupa gempa bumi mampu memicu terjadinya
ketidakstabilan lereng.
Hal ini berlaku pada hasil pemetaan rawan longsor yang dihasilkan, bahwa daerah
dengan klas kerawanan longsor tertentu dapat meningkat klas kerawanannya apabila faktor
pemicu longsoran terjadi. Kondisi ini berlaku pada klas stabilitas lereng moderat stable –
quasi stable yang termasuk dalam kondisi lereng stabil terkondisi (conditional stable) dan
klas lereng lower threshold – upper threshold yang merupakan lereng dengan kondisi tidak
stabil terkondisi (conditional unstable). Apabila faktor eksternal seperti pemotongan lereng
oleh manusia maupun oleh alam akibat aliran airtanah dan gempa bumi terjadi, maka klas
lereng tersebut dapat meningkat kerawanannya menjadi klas kerawanan yang lebih tinggi.
Pemodelan analisis stabilitas lereng SINMAP yang secara umum mendasarkan
pendekatannya pada geoteknik dan model hidrologi lereng dengan disertai pendekatan
geomorfologi dianggap cukup terbatas dalam menilai tingkat kerawanan longsor di DAS
Secang. Model deterministik SINMAP terbatas pada pemodelan longsor aktual karena hanya
didasarkan atas hasil pengujian dan perhitungan terhadap parameter geoteknik tanah serta
kualitas data DEM yang digunakan. Apabila jumlah data kejadian longsor ditambahkan, maka
tidak akan diikuti dengan perubahan terhadap hasil pemodelan. Namun, akan semakin
meningkatkan kualitas validasi model yang dihasilkan. Dengan kata lain, bahwa model
deterministik SINMAP cukup baik secara spasial namun memiliki kelemahan pada analisis
temporalnya. Hal ini berbeda dengan model statistik, hasil pemodelan akan semakin baik
apabila data kejadian longsor semakin banyak karena model prediksi longsor merupakan
15
probabilitas dari kejadian longsor sebelumnya (Westen, 2004). Salah satu keunggulan model
statistik adalah pada faktor temporal yang cukup baik untuk menghasilkan prediksi longsor
potensial.
Selain itu, hasil pengukuran komponen geoteknik seperti uji kuat geser dengan
menggunakan uji geser langsung yang dilakukan di laboratorium dinilai cukup subjektif.
Ketidakstabilan dalam memutar tuas pemutar uji geser langsung, kesalahan laboran dalam
pengujian seperti membaca nilai dan waktu uji serta kondisi sampel tanah mempengaruhi nilai
parameter geoteknik sebagai salah satu data masukan model SINMAP. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perbandingan terhadap metode lain dan uji ketelitian hasil pengukuran geoteknik
untuk melihat perbedaan kekuratan data yang diperoleh.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis model SINMAP, maka diketahui bahwa DAS Secang
didominasi oleh daerah dengan tingkat kerawanan longsor sedang hingga sangat tinggi.
Daerah dengan tingkat kerawanan longsor sedang meliputi total luasan sebesar 21,5% atau
seluas 4,45 km2 dengan jumlah longsor 14 titik longsor. Daerah dengan tingkat kerawanan
longsor tinggi meliputi total luasan sebesar 34,8% atau 7,21 km2 dengan jumlah longsor 17
titik longsor. Daerah dengan kerawanan longsor sangat tinggi mencakup luasan sebesar 28%
dari total luas DAS Secang atau 5,8 km2 dengan jumlah longsor 20 titik longsor. Morfologi
yang didominasi oleh perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal dan curah hujan yang
tinggi merupakan faktor utama yang menyebabkan sebagian besar DAS Secang memiliki
kerawanan longsor tinggi. Daerah yang termasuk dalam daerah aman seluas 2,64 km2
(12,73%).
Hasil validasi dengan success rate menunjukkan bahwa model SINMAP mampu
memprediksi tingkat kerawanan longsor di DAS Secang dengan nilai keberhasilan model
mencapai 79%. Sebanyak 51 kejadian longsor (96%) terjadi pada klas kerawanan longsor
sedang hingga sangat tinggi. Hasil zonasi rawan longsor model SINMAP menghasilkan peta
longsor aktual yang dapat diandalkan karena cukup baik secara spasial, namun memiliki
kelemahan dalam aspek temporal.
Daftar Pustaka
Fowze, J.S.M., D.Buena, A.S. Daag., M. K.Hazarika., L. Samarkoon. 2006. Spatial Modeling
Of Rain-Triggered Landlsides A Case Study In Southern Leyte Province,
Philippines. Paper Online. Diakses tanggal 1 Desember 2009 dari http: www.aars-
acrs.org/acrs/proceeding/ACRS2007/Papers/TS2.4.
16
Huang, J.C., S.J. Kao. 2006. Optimal Estimator for Assessing Landslide Model Performance.
Hydrology and Earth System Sciences, Vol. 10, hal. 957-965.
Jibson, R.W., E.L. Harp, and J.A. Michael. 1998. A method for producing digital probabilistic
seismic landslide hazard maps: An Example from The Los Angeles, California,
Area. USGS Open File Report 98-113. USA.
Klimes, Jan. 2008. Analysis Of Preparatory Factors Of Landslides, Vsetínské Vrchy
Highland, Czech Republic. Acta Research Reports, No. 17, hal 47-53.
Pack, R.T., D.G. Tarboton, C.N. Goodwin. 1998. SINMAP User’s Manual. Utah State
University, Terratech Consulting Ltd., Canadian Forest Products Ltd And C.N.
Goodwin Fluvial System Consulting.
Pack, R.T., D.G. Tarboton, C.N. Goodwin. 1998. The SINMAP Approach to Terrain Stability
Mapping. Paper Submitted to 8th Congress of the International Association of
Engineering Geology, Vancouver. British Columbia.
Panizza, Mario, 1996. Environmental Geomorphology. Elsevier Science B.V. Amsterdam.
Samodra, Guruh. 2008. Studi Geomorfologi Penilaian Kerentanan Longsor Dengan Metode
Heuristik-Statistik di Das Kayangan Kulonprogo. Skripsi. Fakultas Geografi UGM.
Yogyakarta.
Talib, Jasmi Ab. 1997. Slope Instability and Hazard Zonation Mapping Using Remote
Sensing and GIS Techniques in the Area of Cameron Highlands,
Malaysia.GISdevelopment. Diakses tanggal 25 Oktober 2009, dari http:
www.gisdevelopment.net/../ts30001.asp.
Thornbury, W.D., 1958. Principles of Geomorphology. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Van Westen, C.J. 2004. Geo-Information Tools for Landslide Risk Assessment. An Overview
of Recent Developments. Diakses tanggal 10 Oktober 2009, dari http: www.
Itc.nl/../vanwesten.pdf.
Varnes, D.J. 1984. Landslide Hazard Zonation : A Review of Principles and Practice.
UNESCO. Paris.
Jelinek, Robert., Peter Wagner. 2007. Landslide hazard zonation by deterministic analysis.
Springer-Verlag Article. Diterima pada 3 Juli 2007.
Weerasinghe, K.M, H.V.M.P. Abeywickrema., J.S.M Fowze, L. Samarakoon, 2002. Use of A
Deterministic Slope Stability Predicting Tool For Landslide Vulnerability
Assessment in Ratnapura Area, Sri Lanka. NBRO’s Paper. SriLanka.
Zuidam, Van R.A and Cancelado,. 1979. Terrain Analysis and Classification Using Aerial
Photographs,. International Institute For Aerial Survey and Earth Science (ITC)
350, Boulevard Al Enschede, The Netherlands.
17