Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem
sosial, keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat.
Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan
keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai
perubahan oleh faktor perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak
dan karakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan.
Pada beberapa negara isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang
mengemuka. Meningkatnya angka perceraian dianggap sebagai salah satu
indikasi dari merosotnya nilai-nilai keluarga ini. Kasus perceraian di
Indonesia, sebagaimana dipaparkan dalam laman Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama MA (www.badilag.net) juga mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2007 jumlah perceraian yang diputus oleh pengadilan agama
sebanyak 167.807 kasus, meningkat menjadi 213.960 kasus pada tahun
2008, dan 223.371 kasus pada tahun 2009.
Selain itu terungkap pula data bahwa lembaga keluarga tidak selalu
menjadi tempat yang baik bagi perkembangan anak. Hal ini terlihat dari
meningkatnya jumlah kekerasan anak yang dilakukan oleh orang terdekat,
termasuk keluarga. Menurut data Susenas 2006 (www.menegpp.go.id)
angka korban kekerasan anak mencapai 2,29 juta (3%) dengan jumlah kasus
di pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Bila dilihat dari sisi pelaku
kekerasan, maka sebesar 61,4% dilakukan oleh orang tua. Pelaku berikutnya
berturut-turut adalah tetangga (6,7%), famili (3,8%), guru (3%), rekan
(0,8%), dan majikan (0,4%).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari keluarga?
2. Apa yang dimaksut struktur keluarga?
3. Apa relasi dalam keluarga?
4. Bagaimanakah keberfungsian keluarga?
5. Apa yang dimaksut teori sistem keluarga ?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui definisi dari keluarga
2. Untuk Mengetahui struktur keluarga
3. Untuk Mengetahui relasi dalam keluarga
4. Untuk Mengetahui keberfungsian keluarga
5. Untuk Mengetahui teori sistem keluarga

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Keluarga


Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para
ilmuwan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga
yang bersifat universal. Salah satu ilmuwan yang permulaan mengkaji
keluarga adalah George Murdock. Dalam bukunya Social Structure,
Murdock menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang
memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan
terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965). Melalui surveinya terhadap 250
perwakilan masyarakat yang dilakukan sejak tahun 1937, Murdock
menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga
poligami (polygamous family), dan keluarga batih (extended family).
Berdasarkan penelitiannya, Murdock menyatakan bahwa keluarga inti
merupakan kelompok sosial yang bersifat universal. Para anggota dari
keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok sosial, melainkan juga
menjalankan empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual,
reproduksi, pendidikan, dan ekonomi.
Kesimpulan Murdock mengenai keluarga inti sebagai definisi
keluarga yang bersifat universal mendapatkan sanggahan dari berbagai
ilmuwan sosial. Definisi Murdock dianggap terlalu bersifat struktural
walaupun ia juga menjelaskan empat fungsi yang terintegrasi dalam
keluarga inti. Ira Reiss (1965), salah satu pengkritik Murdock, berpendapat
bahwa bukti lintas budaya menunjukkan adanya suatu masyarakat yang
menjadikan kepuasan seksual, fungsi reproduksi, dan kerja sama ekonomi
tidak melekat dalam jenis hubungan yang disebut keluarga. Selanjutnya
Reiss mengajukan suatu ciri spesifik yang melekat dalam keluarga, yaitu
proses sosialisasi pemeliharaan (nurturant socialization). Dengan demikian,
menurut Reiss keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam
pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi
pemeliharaan terhadap generasi baru.

3
Pandangan berbeda diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang
menganggap definisi Reiss kurang bersifat nominal, karena menekankan
pada berlakunya fungsi tertentu. Pandangan Weigert dan Thomas
didasarkan pada pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada generasi
berikutnya dalam rangka menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang
dapat menjalankan fungsinya. Komponen budaya yang perlu ditransmisikan
mereka sebut dengan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (symbolic
patternvalue). Menurut mereka keluarga adalah suatu tatanan utama yang
mengomunikasikan pola-pola nilai bersifat simbolik kepada generasi baru.
Pada periode berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk
mengetahui bagaimana orang awam mengonsepsi keluarga. Temuannya
menunjukkan adanya kesesuaian antara konsep keluarga oleh awam dan tiga
perspektif pengertian keluarga utuh dari Ascan F. Koerner dan Mary Anne
Fitzpatrick. Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang
keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu
definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi intersaksional.
1. Definisi struktural
Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran
anggota keluarga, seperti orangtua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi
ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari
perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal
usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan
(families of procreation), dan keluarga batih (extended family).
2. Definisi fungsional
Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-
tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup
perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan
pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-
tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3. Definisi transaksional
Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan
keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas

4
sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman
historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada
bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. Pada umumnya, fungsi
yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan dan merawat anak,
menyelesaikan masalah, dan saling peduli antaranggotanya tidak
berubah substansinya dari masa ke masa (Day, 2010). Namun,
bagaimana keluarga melakukannya dan siapa saja yang terlibat dalam
proses tersebut dapat berubah dari masa ke masa dan bervariasi di antara
berbagai budaya.
2.2.Struktur Keluarga
Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga
batih (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya
hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu : suami-ayah, istri-ibu, dan anak-
sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga
sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun
orangtua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga
inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah dan
memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti hubungan antara suami
istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan,
sedangkan anak-anak tergantung pada orangtuanya dalam hal pemenuhan
kebutuhan afeksi dan sosialisasi.

Adapun keluarga batih adalah keluarga yang didalamnya menyertakan


posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee,1982) :

1. Keluarga batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga


bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi manakala seorang
anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam
rumah orangtuanya.
2. Keluarga batih adalah keluarga berumpun (linear family). Bentuk ini
terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal
bersama kedua orangtuanya.

5
3. Keluarga batih adalah keluarga beranting (fully extended). Bentuk ini
terjadi manakala di dalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu)
yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.

Menurut Lee (1982) kompleksitas struktur keluarga tidak ditentukan oleh


jumlah individu yang menjadi anggota keluarga, tetapi oleh banyaknya
posisi sosial yang terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu, besaran
keluarga (family size) yang ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota,
tidak identik dengan struktur keluarga (family structure). Walaupun
keduanya memiliki pertalian yang positif, namun keduanya tetap
merupakan jenis variabel yang berbeda.

Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh


dan dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak.
Walaupun demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999),
proses yang berlangsung dalam keluarga lebih besar pengaruhnya terhadap
akibatan-akibatan pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah
dan kepuasan hidup. Proses dalam keluarga tersebut mencakup proses yang
terjadi dalam relasi pasangan, relasi orangtua-anak, dan relasi kakak-adik.
Atau secara lebih spesifik berupa kelekatan orangtua-anak, supervisi
orangtua kepada anak dan perilaku kontrol dalam pengasuhan (Leiber,
Mack, & Featherstone, 2009).

2.3.Relasi Dalam Keluarga


Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan
perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi
pasangan suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi
yang baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul
lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung).
Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam
suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau
keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi,
misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan
paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi yang terjadi dalam keluarga

6
biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan
karakteristik relasi tersebut.

1. Relasi Pasangan Suami Istri


Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi
landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.
Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi
suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan
melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat
dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian
adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana di
ungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas
rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai
dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai
oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik.
Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam
melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Walaupun demikian,
komunikasi berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan,
bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah
untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila
kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal
itu menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung
dengan baik.
Dalam konsep perkawinan yang tradisional berlaku pembagian tugas
dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah dilakukan karena segala
urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab istri,
sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan perkembangan
kini telah semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut.
Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-sama

7
bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran
atau berbagi tugas dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun
pekerjaan domestik. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya peran ayah
dan ibu dalam perkembangan anak juga mendorong keterlibatan pasangan
untuk bersama-sama dalam pengasuhan anak. Keberhasilan membangun
kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu
indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.
Menurut David H. Olson dan Amy K.Olson (2000), terdapat sepuluh
aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak
bahagia, yaitu : komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan
kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang,
keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual. Di
antara sepuluh aspek tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah
komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi
konflik.
Aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan
keyakinan individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam
relasi berpasangan. Strategi resolusi konflik pasangan dapat dibedakan
menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua hal yang sering kali membuat
resolusi konflik tidak efektif adalah tindakan menyalahkan orang dan
mengungkit persoalan yang telah lalu. Adapun resolusi konflik yang
konstruktif dapat dilakukan dengan :
1) Menentukan pokok permasalahan
2) Mendiskusikan sumbangan masing-masing pada permasalahan
yang muncul
3) Mendiskusikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
4) Menentukan dan menghargai peran masing-masing terhadap
penyelesaian masalah.
2. Relasi Orang Tua Anak
Menjadi orang tua merupakan suatu tahapan yang dijalani oleh
pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat

8
kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi
pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan.
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Menurut Thomson
hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi
peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan
kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain semenjak dini.
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi
orang tua anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment
theory) yang pertama kali dicetuskan oleh Jhon Bowlby (1969). Pada masa
awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang
mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur merawatnya.
Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya (Rosen & Rothbaum,
2003). Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem
kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Turner, 2005).
Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006),
yakni sebagai ikatan emosi yang terjadi diantara manusia yang memandu
perasaan dan perilaku.
Selain teori kelekatan, hubungan antara orang tua-anak juga dapat
dijelaskan dengan pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua
(parental acceptance-rejectiontheory) yang dikembangkan oleh Rohner
(Schwartz, Zambonga, Revart, Kim, Weisskirch, Williams, Besamin, &
Finley, 2009). Menurut Rohner dkk,. Persepsi anak terhadap penerimaan
dan penolakam orang tua atau sosok signifikan yang lain akan
memengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang
dikembangkan dalam menghadapi masalah.
Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi kedalam dua
masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirection ality)
pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa
berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang
hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi

9
pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang
memengaruhi akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang
sehat, prestasi akademik, dan problem perilaku. Para ilmuan mulai
mengenali bahwa baik orang tua maupun anak merupakan agen bagi proses
sosialisasi.
Menurut Chen, khualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan
tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),
kepercayaan (trust), afektif positif (possitive affect), dan ketanggapan
(responssiveness) dalam hubungan mereka.
3. Relasi Antar Suaudara
Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang
berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan tergantung pada
masa kana-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Pada masa kanak-
kanak pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat
karakterisktik, yaitu : jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak kelahiran,
dan jenis kelamin (Steelman & Koch, 2009 ).
Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara
orang tua dalam memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan
waktu yang lebih sedikit atau interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan
perawatan terhadap anak kedua dibanding dengan anak pertama,
terutama bila anak kedua perempuan (Jacobs & Moss 1976).
Pola satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing
dalam memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Dalam perspektif ini
seseorang anak dapat mengalami kemunduran perkembangan (regresi)
yang disebabkan oleh kelahiran adiknya. Selain itu juga terdapat suatu
kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber
dayanya secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang lahir
kemudian.
Walaupun berbagai penelitian menunjukan berbagai hal negatif dalam
hubungan antarasaudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivalry,
namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger Tallman
& Hsiao, 2003), antara lain :

10
1) Sebagai tempat ujia coba (testing ground). Saat bereksperimen
dengan perilaku anak, anak akan mencobanya terhadap saudaranya
sebelum menunjukannya pada orang tua atau teman sebayanya.
2) Sebagai guru, biasanya anak yang lebih besar, kerena memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak
mengajari adiknya.
3) Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negoisasi.
4) Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama
dan konflik.
5) Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan
kesetiaan.
6) Sebagai pelindung dari saudaranya.
7) Sebagai menerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya
terhadap adiknya.
8) Sebagai membuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku
dikenalkan pada keluarga.

2.4.Keberfungsian Keluarga
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak
secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan
sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya.
Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan
masyarakat dari generasi ke generasi.
Menurut Berns (2004), keluarga memiliki 5 fungsi dasar yaitu :
1. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi
yang ada didalam masyarakat.
2. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tekni dari generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
3. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

11
4. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung,
makanan, dan jaminan hidup.
5. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak.
2.5.Teori Sistem Keluarga
Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang
memiliki bagian-bagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Randal D.
Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Keseluruhan (the family as awhole). Memahami keluarga tidak dapat
dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan. Dalam
pendekatan keluarga sebagai sistem, perhatian utama justru diberikan
pada bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian memberikan fokus
pada individu.
2. Struktur (underlying structures). Suatu kehidupan keluarga berlangsung
berdasarkan suatu struktur, misalnya pola interaksi antara anggota
keluarga yang menentukan apa yan terjadi didalam keluarga. Bila Freud
mencoba mengungkapkan hal-hal yang melandasi pikiran manusia,
seseorang peniliti atau terapis keluarga akan berusaha mengungkapkan
pola-pola didalam keluarga dengan mengamati bagaimana keluarga
memecahkan masalah, bagaiman anggota keluarga anggota
berkomunikasi satu sama lain, dan bagaimana keluarga mengalokasikan
sumber dayanya.
3. Tujuan (families have goals). Setiap keluarga memiliki tujuam yang
ingin mereka raih, tetapi untuk mengungkapkan tujuan keluarga ini
seorang peniliti atau terapis perlu memiliki keterampilan observasi yang
memadai untuk dapat melihat pola-pola yang berulang didalam keluarga
sebelum tema atau tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki
rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga
yang lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga
tergantung seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga
terhadap upaya pencapaian tujuan.

12
4. Keseimbangan (equilibrium). Sebuah sepeda motor, sebagai sebuah
sistem yang tertutup dan mekanistik, mungkin suatu saat dapat mogok
karena kehabisan bensi. Untuk membuatnya berjalan lagi, kita tidak
perlu bersusah-susah, cukup mengisi tangki bensinnya. Tidak demikian
hal nya dengan keluarga yang merupakan sistem terbuka dan bersifat
dinamis. Dalam menggapai tujuannya keluarga akan menghadapi situasi
dan kondisi diluar dirinya yang berubah dan berkembang.
5. Kelembaman (morphostatis). Selain berusaha mencapai keseimbangan
dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi, keluarga juga
mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidapan sehari-
hari agar berlangsung dengan baik.
6. Batas-batas (boundaries). Setiap sistem-sistem memiliki batas-batas
terluarnya yang membuatnya terpisah atau berbeda dengan sistem yang
lain. Batas-batas ini muncul manakala dua atau lebih sistem atau
subsistem bertemu, berinteraksi, atau bersama-sama. Beberapa sistem
memiliki batas-batas yang kukuh dan kuku, sementara yang lainnya
mungkin memiliki batas-batas yang mudah tembus. Apabila batas-
batasnya mudah tembus berarti keluarga memiliki batas-batas yang
tidak rapat. Pada kenyataannya ada keluarga yang batas-batasnya sangat
mudah tembus seperi saringan, sementara keluarga yang lain sangat
protektif dan sulit ditembus seperti dinding-dinding istana.
7. Subsistem. Didalam keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya
subsistem pasangan suami istri, subsistemrelasi orang tua-anak,
subsistem peran orang tua. Salah satu tugas utama dari subsistem
keluarga adalah menjaga batas-batas keluarga.
8. Equifinality dan equipotentiality. Secara sederhana gagasan tentang
equinality berarti bahwa berbagai permulaan dapat membawa pada hasil
akhir yang sama, sementara suatu permulaan yang sama dapat pula
membawa pada hasil akhir yang berbeda. Sebagai contoh, berbagai
kajian tentang interaksi orang tua anak memperlihatkan bahwa
keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari orang tua dapat
menyebabkan hasil yang berbeda. Sikap orang tua yang sangat tanggap

13
(over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak menjadi
berprestesi (overachieve) dan dapat pula menyebabkan sebagian anak
yang lain menjadi kurang berprestasi (underachieve). Contoh lainnya
adalah anak-anak yang memiliki orang tua yang pecandu alkohol dapat
menyebabkan anak ikut mencandu alkohol atau bersikap anti-alkohol.
Demikian juga pasangan orang tua dapat semakin meningkat
kebersamaanya oleh sebab kelahiran atau kematian anaknya. Adapun
equipotentiality berarti bahwa suatu psebab dapat menghasilkan suatu
akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan mengikuti sebab
tersebut.

Pendekatan teori sistem memandang keluarga sebagai kelompok


yang memiliki sistem hierarki (Hendry, 1994), yang artinya bahwa
terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga
ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu dan relasi dua pihak
(dyadic). Proses saling mempengaruhi antarabagian didalam keluarga
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung (Shaffer, 2002).
Pengaruh langsung (indirect effect) dapat berupa pengaruh satu pihak
terhadap hubungan dua pihak yang lain, atau pengaruh hubungan dua
pihak terhadap pihak yang lain.Dengan pendekatan teori sistem, para
peneliti dan terapis keluarga akan memberikan fokus perhatian pada
tindakan yang dapat dilakukan dalam menanggapi suatu peristiwa dari
pada memerhatikan penyebab suatu peristiwa.

14
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ada beragam definisi keluarga yang diajukan oleh pra ahli. Definisi
keluarga yang kucup komprehensif menurut Hill adalah rumah tangga yang
memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi
ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada disuatu jaringan.
Struktur keluarga terdapat dua macam, yakni keluarga inti dan
keluarga batih. Ada tiga bentuk keluarga batih, yaitu keluarga bercabang,
keluarga berumpun, dan keluarga beranting. Struktur keluarga tidak
ditentukan oleh jumlah orang yang berada didalamnya, tetapi oleh
banyaknya posisi sosial yang terdapat dalam keluarga.
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri,
kemudian diikuti relasi orang tua-anak dan relasi antarsaudara. Relasi yang
ada didalam keluarga bersifat dinamis, dan dapat membawa pengaruh
positif dan negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi.
Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingsn dan
kekukuhannya dalam menghadapi tantangan. penyumbang bagi kesehatan
dan kesejahteraan bagi anggota didalamnya.
Teori sistem menjadi salah satu pendekatan yang sering digunakan
dalam kajian keluarga. Teori sistem dicetus pertama kali oleh Minuchin.
Teori sistem memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang mempunyai
struktur, senantiasa berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan situasi
kondisi untuk mempertahankan kontinuitasnya.
3.2.Saran

15
Diharapakan kepada pembaca dapat memahami lebih luas tentang
konsep keluarga sebagai sistem. Kami sebagai penulis memerlukan saran
dan kritik yang baik demi membangun keberhasilan dan kelengkapan
makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga ; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik

dalam Keluarga. Kencana : Jakarta

17

Anda mungkin juga menyukai