Anda di halaman 1dari 51

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAATPALU
TUTORIAL KASUS
29 September 2018

PARALISIS PLEKSUS BRACHIALIS + HIPERBILIRUBINEMIA

DisusunOleh:

Agistiya Magfirah, S.Ked (13 17 777 14 251)


Elika Dwi Cahyani, S.Ked (13 17 777 14 204)
Chairul Arifin, S.Ked (13 17 777 14 257)
Rezha Rivaldi, S.Ked (11 17 777 14 194)

Pembimbing :
dr. Suldiah, Sp.A

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018
IDENTITAS

Nama : By Ny. N

Jenis kelamin : laki-laki

Lahir pada tanggal/usia : 22-09-2018/ 4 hari

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Suku bangsa : Bugis

Nama ayah : Tn. S

Pekerjaan :-

Pendidikan :-

Nama ibu : Ny. N

Pekerjaan :-

Pendidikan :-

Kasus
Seorang bayi laki-laki berusia 2 hari dibawa ke bagian Perinatologi Resiko Tinggi,
pasien ini merupakan rujukan dari Rumah Sakit Nasana Pura, bayi lahir pada
tanggal 22 September 2018. Dirujuk dengan keluhan lengan kanan tidak bergerak
sejak lahir, sedangkan pada ekstremitas lainnya tampak aktif dan normal. Pasien
juga masuk dengan keluhan kuning yang tampak pada tubuhnya. Kuning pada
tubuh bayipada hari pertama bayi datang ke Rumah Sakit terlihat kuning dari
kepala sampai pusat perut, kemudian pada hari kedua perawatan terlihat kuning
seluruh tubuh. Lalu kuning berangsur menghilang karena sudah dilakukan 2 kali
fototerapi. Pada hari perawatan ke 5 didapatkan kuning dari kepala sampai pusat
perut. Dari status rujukan didapatkan bahwa bayi tampak kuning muncul kurang
dari 24 jam setelah lahir. Riwayat kehamilan usia kandungan 36 minggu. Dan
merupakan kehamilan kedua, riwayat ibu dengan pinggul kecil. riwayat
pemeriksaan kandungan dilakukan hanya 1 kali, pada usia 34 minggu, Bayi lahir
spontan, letak belakang kepala, langsung menangis, ketuban jernih, persalinan
lama lebih dari 4 jam, ketuban pecah dini. Riwayat persalinan sebelumnya pada
anak pertama dilakukan secara sectio cesaria.

• Riwayat kehamilan/persalinan
Bayi lahir dengan spontan, letak belakang kepala. G2P1A0
• Pemeriksaan Fisik
Denyut jantung: 104 x / menit
Panjang badan lahir : 50cm

Respirasi : 66 x / menit

Berat badan lahir : 4000gram,

Suhu tubuh : 37,1 derajat celcius

Capillary refill time : (+)

• Pemeriksaan refleks :

 Refleks moro :

• Sistem pernapasan :

Sianosis (-), merintih (-), apneu (-), pernapasan cuping hidung (-), retraksi
dinding dada (-), suara pernapasan bronkovesikular (+/+), bunyi napas
tambahan (-)
Pemeriksaan penunjang

• Darah rutin

WBC 16,43 103/mm3 10,0-26,0


RBC 4.26 106/mm3 400-600
HGB 10.8 g/dl 13.5-19.5
HCT 43.3 34.4% 4.40-64.0
MCV 101.6 96 um3 100-112
PLT 27.4 103/mm3 200-400

• Skor downe :

1. Frekuensi napas :1

2. Retraksi :0

3. Sianosis :0

4. Merintih :0

5. Udara masuk : 0

Total skor :1

Kesimpulan : gangguan nafas ringan

• Sistem kardiovaskular

BJ I dan II : murni reguler

Bising jantung :-

• Sistem hematologi

Pucat :-

Icterus : (+) kramer (5)


• Sistem saraf

Aktifitas : aktif

Tingkat kesadaran : composmentis

Fontanela : datar

Sutura : belum tertutup

Refleks cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)

Kejang :-

• Sistem gastrointestinal

Kelainan dinding abdomen : -

Muntah : -

Diare : -

Peristaltik : (+) kesan normal, bising usus (-)

Umbilikus : tidak hiperemis, tidak bernanah, berbau

Anus / palatum : intake

• Sistem genitalia

Hipospadia/epispodia : -

Hidrocele :-

Hernia :-

Testis: +
• Pemeriksaan lain

Ekstremitas : lengkap, teraba hangat

Turgor kulit : kembali cepat

Trauma lahir : lengan kanan tidak bergerak

Kelainan kongenital : -

Ballard score

Maturitas neuromuskular Maturitas fisik


1. Sikap tubuh : 3 1. Kulit : 2

2. Persegi jendela : 3 2. Lanugo : 2

3. Recoil lengan :3 3. Payudara : 2

4. Tanda selempang : 2 4. Telinga : 3

5. Sudut poplitea : 3 5. Permukaan plantar : 3

6. Tumit ke kuping : 2 6. Genital : 3

Resume
Seorang bayi laki-laki berusia 2 hari dibawa ke bagian Perinatologi Resiko Tinggi
dengan keluhan lengan kanan tidak aktif sejak lahir dan ikterus. Ikterus pada
tubuh bayi di mulai sejak kurang dari 24 jam. Bayi lahir pada tanggal 22
September 2018 di Rumah Sakit Nasana Pura. Bayi lahir spontan, letak bokong
(Sungsang), langsung menangis, ketuban jernih. Sesak (-), sianosis (-), refleks
hisap (+), kembung (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), anus (+), palatum (+).
Riwayat kehamilan G2P1A0. Ibu bayi tidak memiliki riwayat penyakit maternal
dan tidak ada penyakit DM, baik pada ibu maupun pada keluarga dekat. Riwayat
antenatal care 1 kali kunjungan pada usia kehamilan pada usia 34 minggu.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Denyut jantung : 104 x / menit, Panjang
badan lahir : 50cm, Respirasi : 66 x / menit, Berat badan lahir : 4000gram, Suhu
tubuh : 37,1 derajat celcius , Capillary refill time : < 2 detik. Berat bada lahir 4000
gram. Score downe 1 (gangguan nafas ringan), ballard’s score 31 dengan estimasi
kehamilan 36-38 minggu, estimasi berdasarkan lubchenko : bayi cukup bulan
besar masa kehamilan.
PEMBAHASAN

1. PARALISIS PLEKSUS BRACHIALIS

A. ANATOMI PLEKSUS BRAKHIALIS


Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior
radiks saraf C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk
trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior.Trunkus berjalan
melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior
dari masing-masing dari trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior
dari trunkus-trunkus superior dan media membentuk membentuk fasikulus lateral. Divisi
anterior dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior
membentuk n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang
satu membentuk n. muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus
media untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang
pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris.

Gambar 1. Anatomi pleksus brakhialis


B. LESI PLEKSUS BRAKHIALIS

I. Definisi
Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf
yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal.
Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic
pada ekstremitas atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus
brakhialis atau pleksopati brakhialis

II. Etiologi
Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya :

1. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa
maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka,
cedera iatrogenic.

2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma,
malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ;
jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)

3. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan
sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae
dan paru.

4. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic
outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur
neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan
menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang
dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung
dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi
mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena
dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi
jaringan neurovaskuler.

5. Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab
yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi
klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu
dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan
dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.

III. Patofisiologi
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada
prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.

Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak
pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural,
dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.

Gambar 2. Patofisiologi lesi pleksus brakhialis

IV. Derajat Kerusakan


Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943)
dan Sunderland (1951).

Klasifikasi Sheddon, yaitu :

a. Neuropraksia
Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera
seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan
lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.

b. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk
endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari
lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai
serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila
dibandingkan motorik.

c. Neurotmesis
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun
dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan
dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan
paling berat.

Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam
5 tingkat, yaitu : 15

1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)


2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural
dan epineural masih intak.
4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi
epineural masih baik.
5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Gambar 3. Klasifikasi cedera saraf

V. Gambaran Klinis
Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan
bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai
banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis
dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular.
Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular

Pleksopati supraklavikuler

Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf
atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding
lesi infraklavikuler.

1. Lesi tingkat radiks


Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis
sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial
paralisis dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan
biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks.

Presentasi klinis pada lesi radiks :

Radiks Penurunan Refleks Kelemahan Hipestesi/kesemutan


saraf
C5 Biseps brakhii Fleksi siku Lateral lengan atas
C6 Brakhioradiialis Ekstensi pergelangan Lateral lengan bawah
tangan
C7 Triceps brakhii Ekstensi siku Jari tengah
C8 - Fleksi jari2 tangan Medial lengan bawah
T1 - Abduksi jari2 tangan Medial siku

Presentasi klinis diatas adalah untuk membantu penentuan level lesi radiks,
sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai miotom servikal berikut ini :
5
C5 : Rhomboideus, deltoid, biseps brachii, supraspinatus, infraspinatus, brachialis,
brachioradialis, supinator dan paraspinal

C6 : Deltoid, biseps brachii, brachioradialis, supraspinatus, infraspinatus, supinator,


pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis dan
paraspinal

C7 : Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis, triceps brachii
dan paraspinal

C8/T1 : Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor
digiti minimi, pronator kuardatus, abduktor pollicis brevis dan parapinal

Gambar 5. Gambar miotom servikal

2. Sindroma Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi
akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan
penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu
dengan kepala terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa
waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot
deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan
pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis).
Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis
mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep
biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari
lengan atas dan tangan.

3. Sindroma Klumpke’s Paralysis


Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada
bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan
kepala,sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian
tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. Presentasi klinis berupa
deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu
baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor
digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. Disabilitas
motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. Kelainan sensorik
berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.

4. Lesi di trunkus superior


Gejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan.
Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid,
seratus anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Trdapat gangguan
sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari
tangan.

5. Lesi di trunkus media


Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus
superior dan/atau trunkus inferior) Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps
dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik
biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan.

6. Lesi di trunkus inferior


Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks.
Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi,
selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi
pada aspek medial dari lengan dan tangan.
7. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang
jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid,
seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi
proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus).

Pleksopati Infraklavikuler

Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf


terminal. Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun
umumnya mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati
infraklavikuler biasanya adalah trauma dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun
terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur didekatnya (dislokasi
kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau humerus).

Gambaran klinis sesuai dengan lesinya :

1. Lesi di fasikulus lateral


Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah
yang dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala
klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah,
sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di
lateral lengan bawah dan jari 1 – III tangan.

2. Lesi di fasikulus medial


Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala
sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan
mengenai seluruh fungsi otot intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan
abduktor jari-jari tangan, juga fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara
keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan
sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan
bagian medial.

3. Lesi di fasikulus posterior


Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit
sensorik dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot
ekstensor lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit
sensorik terjadi pada daerah posterior dan lateral deltoid, juga aspek dorsal
lengan, tangan dan jari-jari tangan.

VI. Pemeriksaan Penunjang


 Radiografi
Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan
iikat sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus
cedera traumatik, penggunaan X-foto dapat membantu menilai adanya
dislokasi, subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera
pleksus tersebut.

Pemeriksaan radiografi :

1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada


vertebra servikal
2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau
humerus.
3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma
pada kasus paralisa saraf phrenicus.
Adanya benda asing seperti peluru juga dapat terlihat. Sedangkan pada kasus
cedera pleksus brakhialis traumatik yang berat. Narakas, melaporkan bahwa
umumnya terdapat trauma multipel pada kepala atau muskuloskletal lainnya.

CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang


tidak dapat dinilai oleh x-foto. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi
supraklavikular berat, yang berguna untuk membedakan lesi preganglionik
dan postganglionik. Kombinasi CT dan myelografi lebih sensitif dan akurat
terutama untuk menilai lesi proksimal (avulsi radiks). MRI dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan ikat sekitar lesi
dan penilaian pleksus brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak normal.

 Elektrofisiologi
Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action
Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9.

SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials) berguna untuk membedakan lesi


preganglionic atau lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak
didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionic.

EMG (Elektromiografi) dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi,


positive sharp wave (pada lesi axonal), amplitudo dan durasi. Dimana
denervasi terlihat setelah minggu ke-2.

VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama
karena beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif,
dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek
rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi pleksus
brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak
dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal.
Jika lesi sangat luas dan perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan
utama perbaikan bedah adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat
dilanjutkan dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.

Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah :

1. Pembedahan primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki
injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan
tergantung berat ringan lesi.

 Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf


 Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan
kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts
 Nerve grafting : Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak
mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n
lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris
pada n interosseus posterior
 Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada
kasus avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan
: hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal
nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual
neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada
spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi
saraf bersih dari benda tajam.

2. Pembedahan sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini
tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled
muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or
sliding osteotomies.

Perbaikan operatif sekunder setelah 2-4 minggu secara umum


direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan
primer atau grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis
satu saraf dengan yang lain dapat menjadi pilihan lainnya.

VIII. Prognosis
Prognosis lesi pleksus brakhialis bervariasi tergantung pada patofisiologi
yang mendasari, meliputi tempat dan derajat kerusakan saraf dan kecepatan
mendapat terapi. Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1
inci/bulan, sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda
pemulihan dapat dilihat.

Neuropraksia merupakan tipe kerusakan yang paling ringan dan


mempunyai prognosis yang paling baik, dimana perbaikan spontan dapat terjadi
beberapa minggu hingga bulan (3-4 bulan setelah cedera).4,16 Pada tipe
aksonotmesis, perbaikan diharapkan dapat terjadi dalam beberapa bulan dan
biasanya komplit kecuali terjadi atrofi motor endplate dan reseptor sensorik
sebelum pertumbuhan akson mencapai organ-organ ini. Perbaikan fungsi sensorik
mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan motorik karena reseptor sensorik
dapat bertahan lebih lama dibandingkan motor endplate (kira-kira 18 bulan).
Sedangkan neurotmesis, regenerasi dapat terjadi namun fungsional sulit kembali
sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya lesi jaringan
saraf, usia (dimana usia tua mengurangi proses pertumbuhan akson), status medis
pasien, kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi.

Untuk lesi pleksus brakhialis yang berat, hasil yang memuaskan dapat
terjadi pada lebih dari 70% pasien postoperatif setelah perbaikan primer dan 48%
setelah graft saraf. Kira-kira 50-85% pasien dengan TOS non-neurogenik
mengalami perbaikan dengan latihan.

Prognosis lesi pleksus brakhialis pada daerah supraklavikular kurang


memuaskan dibanding daerah infraklavikular, oleh karena biasanya disertai
dengan adanya avulsi radiks.

Pada neonatus dengan lesi pleksus brakhialis bila terdapat sedikit


kontraksi pada bulan pertama dan kontraksi pada bulan kedua maka kita dapat
mengharapkan pemulihan spontan yang komplit. Jika kontraksi belum terlihat
pada bulan ketiga biasanya pemulihan tidak akan mencapai fungsi normal
sepenuhnya.
2. Hiperbilirubinemia

A. Definisi

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada


minggu pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220
mikromol/L).

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin di dalam darah melampui 1


mg/dL(17,1umol/L). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin
yang melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau dapat
terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk mengekskresikan bilirubin yang di
hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini, bilirubin bertumpuk di
dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar 2-2,5
mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian warnanya
berubah menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus.Istilah
jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti “kuning”) atau ikterus
(dari bahasa Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera
atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada
jaringan.

Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk
tersebut adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender
menjadi kuning.” Pada neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5
mg/dl.

Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar


bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature
pada 15 mg/dL pada hari kelima.

Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang


ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin
tidak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada
bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua
yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-fisiologis.

Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang,
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.
Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari
berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula
kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu.

B. Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan


bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi –
reduksi.

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari


heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian
besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat
besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon
monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam
air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin
reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,


sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih
pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin
dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).

2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial,
selanjutnya dilapaskan kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru
lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin
yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut
dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang
terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat
nontoksik.

Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat –
obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut
akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.

Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

 Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )


 Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )
 Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole,
sulfamoxazole )
 Penicilin ( propicilin, cloxacillin )
 Lain – lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x – ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui
ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.

3. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma
hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di
transfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya

4. Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi


yang larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphospate glukuronosyl transferase (UDPG – T). Katalisa oleh enzim ini akan
merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan
kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.

5. Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam


kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui
feses. Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak
terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi
kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi
bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain
itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi
tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat
diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada
neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa
sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin.
Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa
eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya
kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau
kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan
ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu
ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek
umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses
ambilan bilirubin olah hepatosit.
C. Etiologi

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat


terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan
ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang
bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama,sedangkan mekanisme
yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah


merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus
yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah
hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun),
pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa
dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan
oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum
tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai
eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg /
100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk
mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus
sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam
pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di
temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap
sebagai cacat konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang


mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada
Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya
enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat
beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus
akan menghilang.

Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak
di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan
pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi.

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang.
Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan
dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu.
Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering
kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor


Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini
dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih
berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang
sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe
alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan
garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus
yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di
bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar
dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik
( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai
saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia
yang sama.

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah


merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel
darah merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah
merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester
darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital
yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia,
pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis,
hepatitis, sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).
D. Klasifikasi ikterus pada neonatus

Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan
nilai puncak 6-8 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5.
Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan
sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum <
5 mg/dL/hr.

Ikterus patologis : terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi


bilirubin serum > 5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI,
kadar bilirubin total serum > 17mg/dL. Ikterus menetap
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.

Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus


pada hari pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian
menghilang pada hari ke sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan
gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan,kecuali dalam
pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin tidak langsung yang
berlebihan.

Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan


pemeriksaan yang mendalam antara lain :

 Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama


 Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari
 Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
 Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur
 Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama
 Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg%pada setiap
waktu.
 Ikterus yang berkaitan dengan penyakit hemoglobin, infeksi,atau
suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.
E. Pembagian derajat ikterus

Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Derajat ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar


Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
III Sampai badan bawah 11,4 mg%
(dibawah umbilicus
sampai tungkai atas diatas
lutut)
IV Seluruh tubuh kecuali 12,4 mg%
telapak tangan dan kaki
V Seluruh tubuh 16,0 mg%
Bilirubin Ensefalopati Dan kernikterus

Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis


yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu
basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus
adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin
pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati

 Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan
reflek hisap buruk.

 Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas
dan hipertoni.

 Selanjutnya bayi akan demam, high – pitched cry, kemudian akan menjadi
drowsiness dan hipotoni.

Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup,
akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, displasia dental – enamel, paralysis upward gaze.

F. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
 Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar
 Letargi
 Kejang
 Tidak mau menghisap
 Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
 Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis
yang disertai ketegangan otot
 Perut membuncit
 Pembesaran pada hati
 Feses berwarna seperti dempul
 Muntah, anoreksia, fatigue,
 Warna urin gelap.

G. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.

1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi <24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO)

5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya


6. Hematoma sefal, ‘bruising’
7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)
8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan
10. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia
11. Polisitemia

Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)

2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi

3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

4. Riwayat inkompatibilitas darah

5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.


Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

H. Pemeriksaan penunjang

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc

• Bilirubin direk

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
I. Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin
(plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian
kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga
dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-
obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai
dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi
bilirubin.

1. Strategi Pencegahan

a. Pencegahan Primer

 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari


untuk beberapa hari pertama.

 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder

 Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

 Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap


timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang
harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari
setiap 8 – 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi

a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan


rhesus yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun
dan menurunkan tindakan transfusi tukar.

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan


ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubinsehingga
konjugasi bilirubin berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk
mengobatan hiperbilirubenemia padaneonatus selama tiga hari baru dapat
menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak
memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan
dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian
dilanjutkan secaraoral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan
dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.
Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil
yang berarti.

c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d. Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp )


dapat menurunkan kadar bilirubin serum.
e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartikdan
kasein holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat
cukup bulan yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses
dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi contro.

3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan
dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat
Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya
ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya.
Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan
mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lamputertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi
prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi
menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti
molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami
reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan
merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk
bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer
nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang
berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam
empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus
untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin
serum.Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi
melalui proses yang cepat.Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana
lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5%


neonatus kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan
membutuhkan fototerapi.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai


dengan umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada
neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of
Pediatrics (AAP).

Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang
merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik
bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan
spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah,
oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang
gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik
dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar
putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per
sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan
menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin
cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi.


Intensitas sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer
fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup signifikan dalam
menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar,
maka akan lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah
jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan
luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan
sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan
permukaan tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah
menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali
dengan menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar
bila diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan
dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari
tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana
intensitas sinar paling tinggi.

Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat


dan cukup bulan.
Usia ( Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi
jam ) terapi sinar tukar tukar dan
terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 (>340 (425 µmol/L)
µmol/L) µmol/L)
49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl
(>250 µmol/L) (>300µmol/L) (425 (510µmol/L)
µmol/L)
>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl
(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 (>510
µmol/L) µmol/L)

Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan
Sakit ( >37 minggu )

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan sakit


sehat :Kadar Total :Kadar Total Bilirubin
Bilirubin Serum (mg/dl) Serum (mg/dl)
Berat Terapi Transfusi Terapi sinar Transfusi
sinar tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan
kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive
jaundice.
Komplikasi terapi sinar

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam


penggunaan terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak
memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik
komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat sementara
yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.

Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi


Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972)
melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari
keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan
terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan
karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken
(1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder
yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya
bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah
akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat
dipertentangkan.
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah
muka, badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi
dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya
bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh
tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan
warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk
1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya
perubahan fungsi mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan
selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics
1970). Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi
sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan
dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan
kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas
kadang-kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat
sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti
adalah kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan
metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada
bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan
dengan manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi
sinar mempunyai tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah


yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama
yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar
(Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya


ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi.
Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan,
karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga
mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi
yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah
disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau
rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan
bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched


terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ----
160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena


umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan
bergantian.

b. ISOVOLUMETRIC

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri


umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang
sama.

c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan


polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan


golongan darah O rhesus positif.
Pelaksanaan tranfusi tukar:

1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu


persiapan, pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.

2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan


penerangan dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi
yang lengkap serta terjaga sterilitasnya.

3. Persiapan Alat.

a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap

b.Lampu pemanas dan alat monitor

c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril

d.Masker, tutup kepala dan gaun steril

e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah

f. Set tranfusi 2 buah

g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath

h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2


buah

i. Selang pembuangan

j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis

k.Meja tindakan
Indikasi

Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan


transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan
keputusan WHO tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum

Bayi Cukup Bulan Dengan Faktor


Usia
Sehat Risiko

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi


bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah
mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan (gram)


KadKadar Bilirubin
(mg/dL)

<>> > 1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada


indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang


mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11


– 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol


secara adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

 Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

 Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

 Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

 Perforasi pembuluh darah


Komplikasi tranfusi tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis


nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar

 Lanjutkan dengan terapi sinar

 Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:

a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan


tertulis dari orang tua penderita

b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus
segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya

c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering
kompres dengan NaCl fisiologis

d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika


kadar albumin <>

e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit,


dekstrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek,
albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD
dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah

f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai


tranfusi tukar

g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek
label darah).

Anda mungkin juga menyukai