FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAATPALU
TUTORIAL KASUS
29 September 2018
DisusunOleh:
Pembimbing :
dr. Suldiah, Sp.A
Nama : By Ny. N
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Kasus
Seorang bayi laki-laki berusia 2 hari dibawa ke bagian Perinatologi Resiko Tinggi,
pasien ini merupakan rujukan dari Rumah Sakit Nasana Pura, bayi lahir pada
tanggal 22 September 2018. Dirujuk dengan keluhan lengan kanan tidak bergerak
sejak lahir, sedangkan pada ekstremitas lainnya tampak aktif dan normal. Pasien
juga masuk dengan keluhan kuning yang tampak pada tubuhnya. Kuning pada
tubuh bayipada hari pertama bayi datang ke Rumah Sakit terlihat kuning dari
kepala sampai pusat perut, kemudian pada hari kedua perawatan terlihat kuning
seluruh tubuh. Lalu kuning berangsur menghilang karena sudah dilakukan 2 kali
fototerapi. Pada hari perawatan ke 5 didapatkan kuning dari kepala sampai pusat
perut. Dari status rujukan didapatkan bahwa bayi tampak kuning muncul kurang
dari 24 jam setelah lahir. Riwayat kehamilan usia kandungan 36 minggu. Dan
merupakan kehamilan kedua, riwayat ibu dengan pinggul kecil. riwayat
pemeriksaan kandungan dilakukan hanya 1 kali, pada usia 34 minggu, Bayi lahir
spontan, letak belakang kepala, langsung menangis, ketuban jernih, persalinan
lama lebih dari 4 jam, ketuban pecah dini. Riwayat persalinan sebelumnya pada
anak pertama dilakukan secara sectio cesaria.
• Riwayat kehamilan/persalinan
Bayi lahir dengan spontan, letak belakang kepala. G2P1A0
• Pemeriksaan Fisik
Denyut jantung: 104 x / menit
Panjang badan lahir : 50cm
Respirasi : 66 x / menit
• Pemeriksaan refleks :
Refleks moro :
• Sistem pernapasan :
Sianosis (-), merintih (-), apneu (-), pernapasan cuping hidung (-), retraksi
dinding dada (-), suara pernapasan bronkovesikular (+/+), bunyi napas
tambahan (-)
Pemeriksaan penunjang
• Darah rutin
• Skor downe :
1. Frekuensi napas :1
2. Retraksi :0
3. Sianosis :0
4. Merintih :0
5. Udara masuk : 0
Total skor :1
• Sistem kardiovaskular
Bising jantung :-
• Sistem hematologi
Pucat :-
Aktifitas : aktif
Fontanela : datar
Kejang :-
• Sistem gastrointestinal
Muntah : -
Diare : -
• Sistem genitalia
Hipospadia/epispodia : -
Hidrocele :-
Hernia :-
Testis: +
• Pemeriksaan lain
Kelainan kongenital : -
Ballard score
Resume
Seorang bayi laki-laki berusia 2 hari dibawa ke bagian Perinatologi Resiko Tinggi
dengan keluhan lengan kanan tidak aktif sejak lahir dan ikterus. Ikterus pada
tubuh bayi di mulai sejak kurang dari 24 jam. Bayi lahir pada tanggal 22
September 2018 di Rumah Sakit Nasana Pura. Bayi lahir spontan, letak bokong
(Sungsang), langsung menangis, ketuban jernih. Sesak (-), sianosis (-), refleks
hisap (+), kembung (-), muntah (-), BAB (+), BAK (+), anus (+), palatum (+).
Riwayat kehamilan G2P1A0. Ibu bayi tidak memiliki riwayat penyakit maternal
dan tidak ada penyakit DM, baik pada ibu maupun pada keluarga dekat. Riwayat
antenatal care 1 kali kunjungan pada usia kehamilan pada usia 34 minggu.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Denyut jantung : 104 x / menit, Panjang
badan lahir : 50cm, Respirasi : 66 x / menit, Berat badan lahir : 4000gram, Suhu
tubuh : 37,1 derajat celcius , Capillary refill time : < 2 detik. Berat bada lahir 4000
gram. Score downe 1 (gangguan nafas ringan), ballard’s score 31 dengan estimasi
kehamilan 36-38 minggu, estimasi berdasarkan lubchenko : bayi cukup bulan
besar masa kehamilan.
PEMBAHASAN
I. Definisi
Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf
yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal.
Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic
pada ekstremitas atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus
brakhialis atau pleksopati brakhialis
II. Etiologi
Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya :
1. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa
maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka,
cedera iatrogenic.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma,
malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ;
jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan
sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae
dan paru.
4. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic
outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur
neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan
menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang
dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung
dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi
mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena
dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi
jaringan neurovaskuler.
5. Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab
yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi
klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu
dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan
dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
III. Patofisiologi
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada
prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak
pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural,
dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.
a. Neuropraksia
Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera
seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan
lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.
b. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk
endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari
lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai
serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila
dibandingkan motorik.
c. Neurotmesis
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun
dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan
dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan
paling berat.
Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam
5 tingkat, yaitu : 15
V. Gambaran Klinis
Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan
bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai
banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis
dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular.
Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular
Pleksopati supraklavikuler
Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf
atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding
lesi infraklavikuler.
Presentasi klinis diatas adalah untuk membantu penentuan level lesi radiks,
sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai miotom servikal berikut ini :
5
C5 : Rhomboideus, deltoid, biseps brachii, supraspinatus, infraspinatus, brachialis,
brachioradialis, supinator dan paraspinal
C7 : Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis, triceps brachii
dan paraspinal
C8/T1 : Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor
digiti minimi, pronator kuardatus, abduktor pollicis brevis dan parapinal
2. Sindroma Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi
akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan
penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu
dengan kepala terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa
waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot
deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan
pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis).
Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis
mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep
biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari
lengan atas dan tangan.
Pleksopati Infraklavikuler
Pemeriksaan radiografi :
Elektrofisiologi
Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action
Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9.
VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama
karena beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif,
dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek
rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi pleksus
brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak
dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal.
Jika lesi sangat luas dan perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan
utama perbaikan bedah adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat
dilanjutkan dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.
Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah :
1. Pembedahan primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki
injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan
tergantung berat ringan lesi.
2. Pembedahan sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini
tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled
muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or
sliding osteotomies.
VIII. Prognosis
Prognosis lesi pleksus brakhialis bervariasi tergantung pada patofisiologi
yang mendasari, meliputi tempat dan derajat kerusakan saraf dan kecepatan
mendapat terapi. Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1
inci/bulan, sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda
pemulihan dapat dilihat.
Untuk lesi pleksus brakhialis yang berat, hasil yang memuaskan dapat
terjadi pada lebih dari 70% pasien postoperatif setelah perbaikan primer dan 48%
setelah graft saraf. Kira-kira 50-85% pasien dengan TOS non-neurogenik
mengalami perbaikan dengan latihan.
A. Definisi
Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk
tersebut adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender
menjadi kuning.” Pada neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5
mg/dl.
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang,
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.
Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari
berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula
kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu.
B. Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin
2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial,
selanjutnya dilapaskan kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru
lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin
yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut
dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang
terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat
nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat –
obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut
akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
3. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma
hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di
transfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya
4. Konjugasi Bilirubin
5. Eksresi Bilirubin
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi
bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain
itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi
tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat
diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada
neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa
sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin.
Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa
eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya
kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau
kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan
ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu
ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek
umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses
ambilan bilirubin olah hepatosit.
C. Etiologi
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk
mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus
sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam
pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di
temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap
sebagai cacat konjugasi bilirubin.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak
di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan
pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang.
Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan
dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu.
Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering
kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan
nilai puncak 6-8 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5.
Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan
sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum <
5 mg/dL/hr.
Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan
reflek hisap buruk.
Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas
dan hipertoni.
Selanjutnya bayi akan demam, high – pitched cry, kemudian akan menjadi
drowsiness dan hipotoni.
Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup,
akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, displasia dental – enamel, paralysis upward gaze.
F. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar
Letargi
Kejang
Tidak mau menghisap
Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis
yang disertai ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.
G. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi <24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO)
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
H. Pemeriksaan penunjang
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
I. Penatalaksanaan
1. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
2. Penggunaan Farmakoterapi
3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan
dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat
Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya
ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya.
Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan
mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lamputertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi
prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi
menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti
molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami
reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan
merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk
bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer
nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang
berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam
empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus
untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin
serum.Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi
melalui proses yang cepat.Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana
lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang
merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik
bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan
spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah,
oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang
gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik
dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar
putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per
sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan
menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin
cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan
Sakit ( >37 minggu )
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada
bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan
dengan manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi
sinar mempunyai tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar
2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi
yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah
disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau
rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan
bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
b. ISOVOLUMETRIC
3. Persiapan Alat.
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
i. Selang pembuangan
k.Meja tindakan
Indikasi
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus
segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering
kompres dengan NaCl fisiologis
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek
label darah).