Anda di halaman 1dari 36

Pada akhir 2009 Kejaksaan Agung RI kembali melarang kurikulum 2004 karena tidak mencantumkan kata ‘PKI’ di

buku. Keputusan ini sungguh mengejutkan masyarakat belakang G30S. Di tingkat lapangan, sejumlah kejaksaan
karena sejak lengsernya Suharto pada pertengahan negeri/tinggi memperluas pelarangan tidak hanya pada
1998 hingga 2006 boleh dikatakan tidak terjadi 13 judul buku, tapi juga pada buku-buku teks sejarah
pelarangan buku oleh pemerintah. Memang pada masa lain. Tidak hanya pelarangan yang dilakukan kejaksaan,
Suharto berkuasa, pemerintah acap kali melarang buku tetapi juga pemusnahan dengan cara membakar buku-
yang dianggap menyebarkan gagasan subversif dan buku teks yang disita. Karena UU Kejaksaan RI yang baru
mengganggu ketertiban umum. Gerakan reformasi tidak lagi memberi kewenangan pada Kejaksaan Agung
pada 1998 berhasil merebut kembali kemerdekaan untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung
berkumpul, berserikat dan berpendapat setelah puluhan bergayut pada UU peninggalan keadaan darurat periode
tahun diberangus dibawah pemerintahan Suharto. Demokrasi Terpimpin, yaitu UU No. 4/PNPS/1963, untuk
Kemenangan itu dikukuhkan dengan amandemen membenarkan keputusannya. Lebih dari itu keputusan
kedua Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR RI yang pelarangan diambil secara tertutup, rahasia dan
memasukkan pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia. sewenang-wenang oleh satu bagian dalam Kejaksaan
Kemudian DPR RI mencabut kewenangan Kejaksaan Agung, ‘clearing house’, yang anggotanya tak diketahui
Agung melarang peredaran barang cetakan melalui UU publik.
No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Berbagai kelompok maupun individu melihat kembalinya
Semenjak reformasi kehidupan pers dan berekspresi yang pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung ini sebagai tanda
bebas dan terbuka tumbuh dengan sehat dalam berbagai bahaya lahirnya otoritarianisme baru yang mengancam
bentuk media massa, baik cetak maupun elektronik. kebebasan mengeluarkan pikiran melalui tulisan serta
Penerbitan berbagai tema buku, termasuk tema-tema hak untuk mendapatkan, mencari, memperoleh, memiliki,
sosial politik yang kritis, bermunculan. Pameran buku menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dalam skala nasional diselenggarakan secara teratur seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 dan
sehingga minat baca di kalangan masyarakat meningkat. yang diperjuangkan gerakan reformasi selama ini.
Diskusi-diskusi tentang buku acapkali digelar, baik
Pamflet ini untuk mengingatkan kembali masyarakat
oleh kalangan akademisi maupun khalayak pembaca.
luas akan bahaya pelarangan buku yang sewenang-
Upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti
wenang adalah ancaman bagi Hak Asasi Manusia,
diamanahkan mukadimah UUD 1945 berlangsung lancar
pelanggaran terhadap konstitusi dan pengkhianatan
dengan segenap aktifitas yang berkaitan dengan dunia
terhadap perjuangan reformasi untuk membentuk tata
perbukuan dan baca-membaca.
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Keputusan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung Serta memberikan gambaran kepada khalayak tentang
kembali terjadi, mulanya pada 2006 kemudian semakin anatomi rezim pelarangan buku di Indonesia yang
agresif pada 2007 dengan melarang 13 buku teks berlangsung dari zaman ke zaman sebagai ancaman atas
sejarah untuk SLTP dan SLTA yang mengacu pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

3
SETIAP ORANG BERHAK ATAS KEBEBASAN MEMPUNYAI
DAN MENGELUARKAN PENDAPAT; DALAM HAL INI
TERMASUK KEBEBASAN MENGANUT PENDAPAT
TANPA MENDAPAT GANGGUAN, DAN UNTUK MENCARI,
MENERIMA, DAN MENYAMPAIKAN KETERANGAN-
KETERANGAN DAN PENDAPAT DENGAN CARA APAPUN
DAN DENGAN TIDAK MEMANDANG BATAS-BATAS.
(PASAL 19 DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA)

Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak


Sipil dan Politik, yang disahkan melalui UU No. 12 Tahun
2005 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan
pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,
menerima dan memberikan informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara
lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau
melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

4
UNDANG­UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
 
MUKADDIMAH
 
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus diha-
puskan, karena tidak sesuai dengan peri­kemanusiaan dan peri­
keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sam-


pailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang ke-
merdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan dido-


rongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebang-
saan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan de-
ngan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerin-


tah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indo-
nesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mema-
jukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan ke-
merdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang­-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang­undang.

Pasal 28 E
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi de-
ngan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28 I
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan peme-
nuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, teru-
tama pemerintah. 

5
Pembaharuan dalam kebijakan kolonial di awal abad menghasilkan terbitan sendiri dengan pandangan politik
XX yang dikenal dengan sebutan Politik Etis membuka berbeda juga menjadi ancaman bagi pemerintah. Rakyat
jalan bagi kaum bumiputra untuk memperoleh harus dicegah dari pengaruh agitasi dan propaganda
pendidikan modern dan meningkatkan kemampuan politik yang disebarkan melalui ‘batjaan liar’. Penyediaan
mereka membaca dan menulis. Pemerintah kolonial bahan bacaan yang murah, mudah diperoleh, dan
Belanda menyadari bahwa memberi pendidikan bermutu menurut standar Eropa menjadi bagian penting
dapat melahirkan gagasan-gagasan pembebasan dari rencana pemerintah menjaga perkembangan moral
yang akan membahayakan kekuasaan mereka. Dalam dan kebudayaan kaum pribumi.
pandangan penguasa, rakyat pribumi harus dibimbing
Untuk merumuskan pengetahuan yang layak
bangsa Belanda untuk memasuki dunia modern dan
disampaikan kepada rakyat penguasa Hindia Belanda
diperkenalkan kepada peradaban Barat yang lebih maju
mendapat bantuan dari ilmuwan-ilmuwan kolonial yang
agar mencapai persesuaian antara Barat dan Timur. Sejak
mendalami beragam agama/kepercayaan, bahasa, seni
dini pemerintah menentukan apa yang patut dan tidak
dan budaya suku-suku bangsa Nusantara. Misalnya,
patut diketahui rakyat bumiputra antara lain dengan
Snouck Hurgronje yang secara khusus mempelajari
mengendalikan produksi dan distribusi bahan bacaan.
Islam untuk menaklukkan perlawanan rakyat Aceh dan
Pendidikan di sekolah memberi ketrampilan dasar bagi mencegah ajaran Islam menjadi doktrin politik untuk
kaum pribumi agar tenaga mereka dapat dimanfaatkan alat berlawan kaum pribumi. Di bidang bahasa dikenal
untuk menjalankan mesin birokrasi pemerintah kolonial C. A. van Ophuijzen yang meneliti dan mengembangkan
dan perusahaan-perusahaan Eropa. Di luar sekolah, sistem ejaan bahasa Melayu Riau. Hasil penelitian
pemerintah melihat ada kebutuhan pendidikan mental- van Ophuijzen kemudian menjadi acuan pemerintah
spiritual agar rakyat tidak berpegang pada ajaran-ajaran untuk menetapkan bahasa Melayu Riau atau ‘Melayu
agama atau adat yang kolot dan takhayul. Munculnya Tinggi’ sebagai bahasa resmi pengajaran sejak
kelompok-kelompok terpelajar pribumi yang mulai 1901. Bahasa Melayu Pasar yang sudah berkembang
6
melalui penerbitan Tionghoa peranakan dan pribumi
dikesampingkan dan disebut ‘Melayu Rendah’.
Ilmuwan-ilmuwan ini pula yang kemudian membakukan
apa yang kita anggap sebagai hukum, adat-istiadat,
tradisi, sastra, bahkan sejarah.

Pada 14 September 1908 pemerintah mendirikan bermutu. Lembaga ini kemudian dikenal sebagai Balai
Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur Poestaka (BP).
(Komisi Bacaan Rakyat) yang dipimpin G. A. J. Hazeu,
Rinkes melihat bahwa BP tidak hanya berperan untuk
seorang doktor dalam bidang bahasa dan sastra
menyediakan bacaan-bacaan ringan, tetapi juga
Nusantara dari Universitas Leiden dan Penasehat
mendorong minat baca dan membentuk selera rakyat
Gubernur Jendral untuk urusan bumiputra. Komisi
tentang sastra. BP menerjemahkan dan mengadaptasi
ini bertugas memilih ‘buku-buku baik yang dapat
karya-karya pengarang Eropa yang terkenal, seperti
menjadi bacaan bagi penduduk pribumi’ dan memberi
Alexander Dumas, Charles Dickens, dan Mark Twain ke
pertimbangan kepada Direktur Pendidikan yang
dalam bahasa Melayu, Jawa, Madura dan Sunda. Selain
mengurus sekolah-sekolah pribumi. Awalnya tema-tema
itu BP juga menerbitkan hikayat, cerita rakyat dan kisah
bacaan yang dipilih komisi ini berkisar pada pelajaran
perwayangan dari khazanah kesusastraan Jawa, Melayu
ketrampilan teknik, pertanian, tanaman dan ilmu alam
dan Sunda. Belakangan BP mendorong penulis-penulis
atau yang berkaitan dengan sikap dan perilaku yang baik.
pribumi untuk menghasilkan karya-karya mereka sendiri
Komisi ini berkembang pesat terutama di bawah dalam bahasa Melayu Tinggi, seperti Marah Rusli, Sutan
pimpinan D. A. Rinkes. Pada 1917 Rinkes dipercayai Takdir Alisjahbana, dan Armijn Pane.
untuk menata-ulang komisi ini menjadi sebuah lembaga
Untuk memperlancar peredaran hasil penerbitan BP
otonom, Kantoor voor de Volkslectuur, yang secara khusus
pemerintah mendirikan perpustakaan, Taman Poestaka,
mengatur pengumpulan naskah, pencetakan, penerbitan
di sekolah-sekolah pribumi dan di tempat-tempat publik.
dan peredaran buku-buku yang dianggap pemerintah
Antara 1918 dan 1926 sekitar 2.500 perpustakaan
7
didirikan di seluruh kawasan Hindia Belanda. BP juga
memiliki jalur distribusi tersendiri di toko-toko buku,
kantor pos, dan truk yang berfungsi sebagai toko buku
keliling untuk mencapai pelosok Jawa.
Hingga masa sebelum perang koleksi BP mencapai 2000
jilid. Diantara koleksi tersebut boleh dikatakan tidak ada
yang memuat masalah politik, apalagi kritik terhadap
pemerintah kolonial. Perbincangan tentang seksualitas
yang terlalu terbuka dan rinci, misalnya dalam novel
Mata Gelap karangan Mas Marco Kartodikromo, juga
tidak mendapat tempat dalam khazanah kesusastraan
BP. Tema yang kerap diangkat dalam roman-roman
BP adalah kawin paksa, seperti dalam kisah Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah kolonial BP
menjalankan kontrol yang ketat terhadap barang cetakan
sejak dari pemilihan dan penyuntingan naskah sampai
pada penjualan. Di bidang kesusastraan pengaruh BP
masih terasa sampai masa kini. Karya-karya sastra hasil
penulis Tionghoa, Eropa peranakan, maupun pribumi
yang sudah beredar jauh sebelum BP berdiri tersingkir
dari sejarah kesusastraan Indonesia modern.

8
Tahun 1920-1926 adalah masa menjamurnya bacaan di Hindia Belanda.
liar sekaligus terbukanya ruang yang demokratis bagi
Latar beberapa bacaan itu mengenai beberapa kota di
arena pergerakan. Bacaan liar adalah bagian yang
Hindia Belanda seperti Semarang, Surabaya, Batavia
tak terpisahkan dari “mesin pergerakan” yaitu untuk
yang menjadi pusat kekuasaan, perdagangan dan
mengikat dan menggerakkan kaum kromo – kaum buruh
industri. Kaum pergerakan juga menyerap gagasan
dan kaum tani yang tak bertanah. Bacaan merupakan
dari luar dan menuangkannya dalam bacaan. Arena
penyampai pesan dari organisasi atau aktivis pergerakan
pergerakan sebagai bagian tak terpisahkan dari bacaan
kepada rakyat. Melalui bacaan liar rakyat mengenal
liar.
kata-kata baru yang berkaitan dengan gerak perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial, seperti kapitalisme, Penerjemahan dan penyaduran karya-karya revolusioner
sosialisme, internasionalisme, beweging (pergerakan), yang diproduksi percetakan milik Tionghoa peranakan
staking (pemogokan), dan vergadering (rapat umum). – muncul sejak pertengahan abad ke-19 – sangat
mendorong perkembangan bacaan liar. Kaum Tionghoa
Bacaan liar melukiskan situasi pergerakan, eksploitasi
peranakan juga memberikan dana kepada kaum
kolonial, mendorong pembacanya untuk berpartisipasi
pergerakan melalui pemasangan iklan. Masyarakat Arab
dan bergerak bersama kaum pergerakan untuk
juga mempunyai percetakan yang bernama NV Setia
menentang kediktatoran kolonial, memantulkan harapan
Oesaha, pimpinan Hasan Ali Soerati, yang menerbitkan
masa depan tanah airnya, mengandung penglihatan
surat kabar Central Sarekat Islam, Oetoesan Hindia.
baru atas dunia dan penolakan terhadap gagasan lama.
Bacaan menjadi instrumen politik kesadaran kolektif Kaum bumiputera baru mempunyai penerbitan sendiri
masyarakat kolonial. pada 1906-1912 dengan munculnya NV Javasche
Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften
Produksi bacaan berupa surat kabar, novel, buku, syair
“Medan Priaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Tirto
hingga teks lagu, antara lain misalnya karya Semaoen
menjadi pelopor pergerakan nasional yang memelopori
(Hikajat Kadiroen), Mas Marco Kartodikromo (Student
bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputera.
Hidjo, 1918; Sair Rempah-rempah, 1918; Matahariah,
Selain itu ada percetakan Insulinde yang disokong oleh
1919;), Tan Malaka (Parlemen atau Soviet, 1921); dan
H.M. Misbach dan menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco,
esai-esai yang mengritisi kekuasaan kolonial dan modal
3 jilid, 1914), percetakan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api
9
dan Tram) yang menerbitkan koran Si Tetap.
Dalam rangka pendidikan politik rakyat, pada 1924 di
Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur
PKI. Komisi ini menerbitkan “literatuur socialisme”
– kaum pergerakan memahaminya sebagai bacaan
untuk menentang dan penyebarluasan bacaan dari
kaum modal, juga untuk melawan dominasi bacaan
yang diproduksi Balai Poestaka. Komisi secara terbuka
menentang produksi bacaan Balai Poestaka yang disebut
sebagai geest kapitalisme (kapitalisme jiwa).
Pemerintah kolonial tidak pernah mengeluarkan undang-
undang khusus untuk melarang peredaran bacaan liar,
tapi mereka berusaha menghambat kelanjutannya
dengan menguasai percetakan, penerbitan dan
peredaran bahan bacaan melalui Balai Poestaka.
Pemerintah melakukan pelarangan ketika terjadi aksi
perlawanan yang dimotori atau didukung organisasi-
organisasi pergerakan. Misalnya, ketika pada tahun
1920 terjadi pemogokan buruh percetakan van Dorp –
yang disusul dengan buruh-buruh percetakan sejumlah
surat kabar, yang didukung Sarekat Islam Semarang –
pemerintah menyita buku-buku karangan Mas Marco dan
menutup toko-toko buku milik organisasi ini.
Pemerintah juga memenjarakan pengarang-
pengarang yang dianggap menyebarkan kebencian
terhadap penguasa, seperti yang terjadi pada R.M.
Soeardi Soerjaningrat, Douwes Dekker dan dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dalam kasus penerbitan pamflet
“Seandainya Saya Seorang Belanda”, yang ditulis Soeardi
dalam rangka menyambut perayaan pembebasan
Belanda dari kekuasaan Perancis. Pemenjaraan juga
dialami Darsono, Mas Marco dan Semaoen.
Runtuhnya bacaan liar erat dengan
perkembangan politik nasional, khususnya
pemberontakan nasional 1926 1927.
Pemberangusan organisasi radikal diiringi
pula dengan pemberangusan produksi bacaan
liar sejak pemberontakan itu. Pemberangusan
bacaan liar, pembuangan dan pembuian
pengarang liar pasca pemberontakan itu tetap
tak mematikan gagasan kaum pergerakan,
meskipun dalam bentuk dan isi yang berbeda,
antara lain seperti serikat buruh yang tetap
aktif dan tumbuhnya gerakan radikal
pascapemberontakan.

10
11
10-17 Juli 1945: 26 Februari 1946:
Setelah melalui perdebatan, Pemerintah Indonesia
sidang kedua BPUPKI (Badan menghapuskan sejumlah pasal
Penyelidik Usaha Persiapan penyebar kebencian (haatzaai
Kemerdekaan Indonesia) sepakat artikelen) saat mengadopsi Het
untuk memasukkan jaminan Wetboek van Strafrecht voor
atas hak warga negara untuk Nederlandsch Indies menjadi
berserikat, berkumpul, dan KUHP (Kitab Undang-undang
berpendapat di dalam rancangan Hukum Pidana). Pasal-pasal
UUD (Undang-undang Dasar). penyebar kebencian yang
dihapuskan dengan UU
17 Agustus 1945:
No. 1 Tahun 1946 tentang
Proklamasi kemerdekaan
Peraturan Hukum Pidana,
Republik Indonesia
diantaranya Pasal 153 bis
dan Pasal 153 ter, serta Pasal
161 bis. Ketiga pasal tersebut
pada masa kolonial Belanda
digunakan untuk menjerat
kaum pergerakan, termasuk
para penulis yang mengkritik
kebijakan kolonial, diantaranya
Suwardi Suryaningrat, Mas Marco
18 Agustus 1945: Kartodikromo, dll.
PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia)
mengesahkan rancangan UUD
sebagai dasar negara Republik
Indonesia. Pasal 28 UUD
1945 menjamin ’kemerdekaan
berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya’.

12
Pidato Mohammad Hatta dalam Sidang Kedua BPUPKI
Paduka Tuan Ketua, sidang yang terhormat!
Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Syusa [Ketua] Panitia Kecil Perancang Undang-undang
Dasar, saya setujui. Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh
dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan
negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang
saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat
dalam Undang-undang Dasar yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa
nanti di atas Undang-undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu
bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum negara sebagai sekarang ini
mungkin timbul suatu keadaan ”cadaver discipline” seperti yang kita lihat di Rusia dan
Jerman, inilah yang saya kuatirkan.
... kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat
supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara
pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha
bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara
baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya
fasal yang mengenai warga-negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan
kepada misalnya tiap-tiap warga-negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga–negara
jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut di sini hak untuk berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain.

13
Pencabutan Persbreidelordonantie

Indonesia diguncang krisis politik, seperti Pada 12 Juli 1954 Soekarno mencabut
jatuh-bangunnya kabinet, menajamnya Persbreidelordonnantie 1931 yang selama masa
ketegangan di antara pimpinan sipil dan kolonial Belanda digunakan untuk membatasi
militer, dan timbulnya pemberontakan- kebebasan pers dengan UU No. 23 Tahun 1954.
pemberontakan oleh sejumlah perwira militer Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa alasan
di Jakarta (Peristiwa Oktober, 17 Oktober 1952), pencabutan adalah:
disusul dengan pemberontakan militer yang
lebih besar dan lebih terorganisir di hampir “Mengingat akan dasar Negara kita, ialah
seluruh bagian di Sumatera, Sulawesi, dan demokrasi, lebih Negara demokrasi jang
Jawa Barat (PRRI/Permesta dan DI/TII). Upaya bertjorak Negara hukum, sifat sifat mana
memadamkan pemberontakan-pemberontakan menghendaki peperiksaan umum, kesempatan
ini memberi dalih bagi militer, khususnya minta peradilan lebih tinggi untuk tiap
Angkatan Darat, untuk memperkuat peran tiap kali anggota masjarakat diganggu dalam
mereka dalam menentukan kebijakan politik haknja; dan pula karena pasal 19 Undang
daerah maupun nasional. undang Dasar Sementara dengan tegas dan
Di tengah situasi itu, pers secara terbuka dengan penuh mengakui kebebasan mempunjai
memberitakan korupsi dan konflik di dan mengeluarkan pendapat dari setiap orang,
tubuh militer, kecaman terhadap kebijakan maka dilingkungan Negara Republik Indonesia
pemerintah, serta konflik politik antar- dengan Undang undang Dasar Sementaranja tidak
pimpinan parpol. ada tempat lagi untuk terus berlangsungnja
aturan jang dimaksud ini.”

14 September 1956:
KSAD Mayjen AH Nasution
mengumumkan Peraturan Sepanjang 1957, tidak kurang
Kepala Staf AD selaku Penguasa 33 penerbitan dilarang. Puluhan
Militer No. PKM/001/9/1956 wartawan diinterogasi, belasan
untuk mengontrol kebebasan diantaranya ditahan di rumah tahanan
berekspresi, terutama militer. Pemimpin redaksi harian
pemberitaan pers. Dengan
Bintang Timur ditahan selama sebulan
Peraturan tersebut, AD setiap
saat dapat menyeret penerbit, karena dianggap menghina pimpinan
penulis, atau bahkan percetakan Masyumi, Jusuf Wibisono. Tak lama
dan agen penyalur barang kemudian pemimpin redaksi harian
cetakan yang dianggap memuat Indonesia Raya, Mochtar Lubis,
atau mengandung ‘pernyataan divonis hukuman penjara karena
permusuhan, kebencian, atau
dinilai menghina pejabat negara,
penghinaan’ atau ‘menerbitkan
keonaran’ ke pengadilan. Roeslan Abdoelgani.
Persoalannya, batasan atas
konsep-konsep di atas
bergantung sepenuhnya pada
tafsiran AD.

Pada September 1957, penguasa


militer melarang terbit sepuluh surat
dan tiga kantor berita, diantaranya
Kantor Berita Antara.

14
Peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer Staat van Oorlog en Beleg
No. PKM/001/9/1956 Ordonnantie 1939

“Melarang mentjetak, menerbitkan, menjatakan akan Pasal 11


datangnja, menawarkan, menjiarkan, menempelkan, (1)Kuasa militer berhak
memperdengarkan atau memiliki tulisan tulisan, mengadakan peraturan
gambar gambar, klise klise dan lukisan lukisan pembatasan perihal
jang memuat atau mengandung ketjaman ketjaman, mencetak, menerbitkan,
persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan mengumumkan,
terhadap Presiden atau Wakil Presiden, sesuatu menyampaikan,
kekuasaan atau sesuatu madjlis umum, atau seorang menyiarkan, menempelkan,
pegawai negeri pada waktu atau sebab mendjalankan memperdagangkan, atau
pekerjaan dengan sjah, lain dari itu memuat atau memiliki tulisan
mengandung pula pernjataan permusuhan, kebencian tulisan, gambar
atau penghinaan di antaranya terhadap golongan gambar, klise klise dan
golongan penduduk; seterusnja tulisan tulisan lukisan lukisan, atau
itu memuat berita berita atau pemberitahuan melarangnya sama sekali
pemberitahuan jang menerbitkan keonaran di antara satu dan lainnya.
kalangan rakyat.”
(2)Kuasa militer berhak
juga untuk menutup
percetakan percetakan.

20 Oktober 1957:
UU SOB dibatalkan dan diganti
dengan undang-undang baru,
yakni UU No. 74 Tahun 1957
tentang Keadaan Bahaya.

17 Desember 1957:
14 Maret 1957: Dengan menggunakan UU No. 74
Kabinet Ali Sastroamidjojo pada pagi hari membubarkan diri karena Tahun 1957, Presiden Sukarno
dilanda korupsi dan mismanagement yang fatal. 30 menit kemudian menyatakan seluruh wilayah
pemerintah memberlakukan keadaan darurat perang dengan UU Negara Republik Indonesia dalam
SOB (Regeling op de Staat van Oorlog en Beleg, Staatsblad 1939, No. “keadaan perang”.
582) untuk merespon pemberontakan-pemberontakan daerah yang
semakin menguat. UU No. 74 Tahun 1957
Tentang Pencabutan
Antara Maret 1957 hingga 1 Mei 1963, Penguasa Perang memiliki “Regeling op de Staat
kekuasaan tak terbatas untuk memberlakukan sensor dan Van Oorlog en Beleg”
pelarangan terbitan. Nasib dunia penerbitan semakin memburuk dan Penetapan “Keadaan
karena para penguasa militer di berbagai daerah dengan leluasa Bahaya”
dapat mengambil tindakan untuk membungkam pers, terutama
yang memberitakan militer tanpa merujuk pada sumber yang Pasal 33
berwenang atau pada bagian penerangan militer sendiri. Penguasa keadaan
perang berhak melarang
Enggak Bahau’ddin yang menggantikan Mochtar Lubis sebagai untuk sementara waktu
pemimpin redaksi Indonesia Raya ditangkap dan diinterogasi oleh pertunjukkan pilem pilem
Polisi Militer atas perintah Komando Militer Jakarta Raya. 24 April dan sandiwara sandiwara,
1957, Komando Militer Jakarta Raya menutup harian Indonesia pencetakan, penerbitan,
Raya bersama-sama dengan harian Pedoman dan Bintang Timur. pengumuman, penyampaian,
Sementara itu, penguasa militer Surabaya menjebloskan pemimpin penyebaran, perdagangan
redaksi Trompet Masjarakat ke penjara selama sebulan karena dan penempelan tulisan
dianggap ‘menghina pemerintah’. tulisan berupa apapun
juga, lukisan lukisan,
kilse klise dan gambar
gambar.
15
1959:
Status keamanan negara diubah dari “keadaan perang” ke “keadaan
bahaya” dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam UU tersebut,
Penguasa Perang berhak mengontrol berbagai bentuk ekspresi dan
menutup percetakan.

Penguasa Perang diantaranya melarang peredaran buku karya


Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia pada
1959 dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang No.


23/Perpu/1959

Pasal 40
Penguasa Perang berhak:
1. melarang pertunjukan pertunjukan, pencetakan,
penerbitan, pengumuman,
penyampaian, penyebaran, perdagangan dan
penempelan tulisan tulisan berupa apapun
juga, lukisan lukisan, klise klise dan gambar
gambar;

2. menutup percetakan.

5 Juli 1959:
Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden yang
menyatakan bahwa Indonesia berada dalam ’keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara, nusa dan bangsa’. Dekrit menyatakan
pembubaran Dewan Konstituante, pemberlakuan kembali UUD
1945, dan pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara.

16
Pram dan Larangan Buku-Bukunya
BUKU, bagi Pramoedya Ananta Toer, dianggap seperti anaknya sendiri. Setelah dewasa,
mereka lepas dari orangtua dan bisa membangun hidup sendiri. “Maka, mau dilarang,
diinjak, ataupun dibakar, itu merupakan sejarah buku itu sendiri,” kata ayah enam orang
anak itu.
Dengan prinsip seperti itu, ia tak merasa perlu berutang budi kepada mereka yang
meminta pemerintah agar mencabut pelarangan buku-bukunya. Walau tak bisa dimungkiri,
sebagaimana umumnya pengarang, Pram akan senang bila buah pikirannya dibaca orang.
Inilah yang mungkin terjadi pada buku Hoakiau di Indonesia. Buku karangannya yang
dilarang dan dalam waktu dekat akan dicetak lagi ini diduga bakal laris terjual. Ketika
diterbitkan pada 1960, belum lagi turun dari percetakan, 10 ribu eksemplar buku itu
sudah habis terjual. Cetakan berikutnya, dua kali lipat jumlahnya, langsung disita
begitu turun dari mesin.
“Buku itu dilarang karena saya dituduh berkhianat menjual negara ke RRC,” kata Pram.
Ketika itu Menteri Luar Negeri Soebandrio memang sedang terlibat polemik dengan RRC. Ide
buku itu, menurut Pram, berangkat dari penindasan pemerintah terhadap warga Tionghoa.
Dengan membuat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1955, saat itu pemerintah melarang
warga Tionghoa berdagang di desa-desa. Bahkan, menurut Pram lagi, sikap diskriminasi
itu merembet ke pembunuhan warga Cina di Jawa Barat.
Dari peristiwa inilah, Pram tergerak membela mereka dengan menulis surat di koran
Bintang Timur. Tulisannya itu ternyata mendapat perhatian luas dari pembaca, sampai
kemudian diterjemahkan ke bahasa Kamboja, Burma, dan Tiongkok. Penerbit Bintang Press
pun tertarik untuk membukukannya.
Hoakiau di Indonesia ini mempunyai kenangan khusus baginya karena buku itu menyebabkan
ia ditahan. Saat itu, ia dipanggil oleh Penguasa Perang Tertinggi untuk diwawancarai
oleh Mayor Sudharmono, yang belakangan menjadi wakil presiden. “Lalu, oleh petugas
CPM, saya dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo,” cerita Pram. Tiga bulan ia
meringkuk di tempat ini sebelum dipindahkan ke LP Cipinang. Keluarganya tak tahu
di mana ia berada, padahal saat itu anaknya yang nomor enam dilahirkan. Mereka baru
mengerti setelah diberi tahu seorang pejabat rumah tahanan Budi Utomo, Jakarta Pusat.
Soal penahanan sebenarnya bukan hal yang asing bagi putra kelahiran Blora, Jawa Tengah
itu. Tahun 1947 ia sudah pernah ditahan oleh pemerintah Belanda di penjara Bukitduri,
Jakarta Selatan. Tapi aksi itu tak memadamkan semangatnya untuk terus berkarya. Dari
tangannya lahir Cerita dari Blora, Perburuan dan Keluarga Gerilya, yang bisa beredar di
masyarakat.
Namun, setelah itu, pelarangan seolah melekat pada buku-bukunya, terutama setelah
selama 14 tahun (1965-1979) ia dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat Lekra,
organisasi kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Padahal, dari Pulau Buru inilah lahir
novel-novel yang luar biasa. Sayang, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,
dan Rumah Kaca itu tak bisa beredar karena pemerintah menilai buku-buku tersebut
berwarna komunis. Ketika sudah keluar dari Pulau Buru, bukunya Sang Pemula dan Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu juga tak luput dari pelarangan.
Upaya pembungkaman yang dilakukan pemerintah ini tak sepenuhnya efektif karena secara
sembunyi-sembunyi orang bisa mendapatkan buku-buku tersebut. Akankah buku Hoakiau
di Indonesia yang akan diterbitkan ulang itu bakal dilarang lagi? Semoga saja tidak.
Sebab, kata penerima hadiah Magsasay ini, buku tersebut adalah dokumentasi yang
relevan dengan peristiwa kerusuhan anti-Cina yang sekarang terjadi. Paling tidak,
kerusuhan pada l740 di Batavia, yang menyebabkan sekitar 10 ribu warga Tionghoa
terbunuh, bisa dijadikan pengalaman agar peristiwa serupa tak terulang.
(Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/BK/mbm.19981006.BK95613.id.html)

17
Dua puisi dalam buku kumpulan
puisi Agam Wispi, Matinya
Seorang Petani (Jakarta: Bagian
Penerbitan Lekra, 1961), yang
dilarang Penguasa Perang pada
1960an.
 
Latar belakang puisi pertama
“Latini” adalah penggusuran
tanah di Kediri, sedang puisi
kedua “Matinya Seorang Petani”
adalah peristiwa penggusuran
petani di Tanjung Morawa.
 
 
Penguasa Perang Tertinggi LATINI
(Peperti) menerbitkan Peraturan 23 April 1963:
Peperti No. 3 Tahun 1960 yang Presiden Soekarno menerbitkan latini, ah latini
melarang penerbitan surat kabar Penetapan Presiden No. 4 Tahun gugur sebagai ibu
dan majalah yang tidak berbahasa 1963 tentang Pengamanan anak ketjil dalam gendongan
Latin, Arab atau daerah. Dengan terhadap Barang-barang Cetakan
demikian, harian beraksara Cina yang Isinya dapat Mengganggu latini, ah latini
dilarang. gugur diberondong peluru
Ketertiban Umum dalam
baji mungil dalam kandungan
rangka kampanye menentang
imperialisme di bidang tanah dirampas
kebudayaan. suami dipendjara
tengkulak mana akan
beruntung?

desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
Seiring dengan rencana
pembesar mana akan
mengakhiri status darurat berkabung?
perang, kewenangan gugur latini sedang masjumi
melarang buku beralih berganti baju
dari pihak militer selaku gugur pak tani dan dadanya
Penguasa Perang ke diberondong peluru
Kejaksaan Agung. gugur djenderal, mulutnya
manis hatinya palsu
Banyak pelarangan, bahkan
pembakaran buku terjadi dalam beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
rangkaian kampanye ini, terutama
aku datang pada mereka
buku-buku yang dianggap
aku pulang padamu
menyebarkan pandangan liberal. sedang tanah kering dikulit
kita makan samasama
Sasaran utamanya adalah kudian muram
perpustakaan dan lembaga latini, ah latini
kebudayaan asing seperti USIS tapi, ah, kaum tani
di Jakarta dan Surabaya, serta kita yang berkabung akan
MBAD kembali melarang brosur lembaga dan individu yang mebajarnya suatu hari
Demokrasi Kita karya mantan dianggap ‘kaki tangan imperialis’.
wakil presiden Mohammad Hatta Mengacu pada Penpres (Dari antologi:”Matinya Seorang Petani”,
yang dimuat pertamakali dalam Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan
No. 4 Tahun 1963, karya- Rakjat”, Jakarta ...)
majalah Pandji Masjarakat. Brosur karya sastrawan yang ikut
ini berisi kritik tajam terhadap menandatangani ‘Manifes
pribadi Presiden Soekarno. Kebudayaan’ dilarang.
Hamka sebagai pimpinan redaksi
Pandji Masyarakat ditangkap dan
majalahnya dilarang.

18
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1963
PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA
DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan
membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu
perlu diadakan pengamanan terhadapnya;

b. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang


disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar
negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia.

Menimbang pula:
bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan jalannya revolusi dalam
mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PENETAPAN PRESIDEN TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG BARANG CETAKAN YANG ISINYA
DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM

Pasal 1
(1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang
dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.
(2) Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti
tercantum dalam ayat (1) tersebut. dicantumkan dalam Berita-Negara.
(3) Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan,
menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang
terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan
setinggitingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah.

Pasal 2
(1) Dalam waktu 48 jam setelah selesai dicetak, maka pencetak wajib mengirimkan
satu exemplar barang cetakan yang dicetak, yang jenisnya tercantum dalam ayat (3),
kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dengan dibubuhi tanda-tangan pencetak.
(2) Dalam hal barang cetakan dicetak diluar negeri tetapi diterbitkan di Indonesia,
maka kewajiban tersebut ayat (1) diatas jatuh pada penerbitan di Indonesia.
(3) Barang cetakan yang dimaksud adalah buku-buku, brosur- brosur, bulletin-
bulletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, penerbitan-penerbitan
berkala, pamfletpamflet, poster-poster, surat-surat yang dimaksudkan untuk
disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak ramai dan barang-barang lainnya
yang dapat dipersamakan dengan jenis barang cetakan yang ditentukan dalam pasal
ini.
(4) Pelanggaran atas ketentuan ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
sepuluh ribu rupiah.

19
Pasal 3
(1) Setiap barang cetakan harus dibubuhi nama dan alamat si pencetak dan
penerbitnya.
(2) Pencetak yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (1) dihukum dengan hukuman
denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.

Pasal 4
Menteri Jaksa Agung berwenang untuk menunjuk barang cetakan dari luar negeri yang
tertentu untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum diedarkan di Indonesia.

Pasal 5
(1) Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi jenis-jenis barang
cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri.
(2) Yang dimaksudkan dengan jenis barang cetakan dalam pasal ini ialah jenis yang
didasarkan atas jenis bahasa, huruf atau asal dari barang cetakan.

Pasal 6
Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan
pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang
memelihara ketertiban umum.

Pasal 7
Apabila Menteri Jaksa Agung tidak menetapkan lain, maka barang-barang cetakan
terlarang berasal dari luar Indonesia yang berada dalam kekuasaan kantor-kantor
pos dikembalikan kepada alamat sipengirimnya diluar negeri.

Pasal 8
Yang dimaksudkan dengan barang cetakan dalam Penetapan ini ialah tulisan-tulisan
dan gambar-gambar yang diperbanyak dengan mesin atau alat-alat kimia.

Pasal 9
Barang cetakan yang dikeluarkan oleh atau untuk keperluan Negara dikecualikan dari
penetapan ini.

Pasal 10
Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 11
Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap
orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden ini dengan
penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 April 1963.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.
SUKARNO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 April 1963
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.
MOHD. ICHSAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1963 NOMOR 23

20
PENJELASAN
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1963
TENTANG
PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA
DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM

PENJELASAN UMUM

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghadapi barang-barang cetakan baik berasal dari
dalam maupun luar negeri yang isinya membahayakan kepentingan Rakyat dan Negara.
Tidak jarang penerbitan-penerbitan asing yang masuk ke Indonesia melancarkan
kecaman dan hinaan terhadap Rakyat dan Negara; merusak kepercayaan Rakyat terhadap
Revolusi, pimpinannya dan Sosialisme yang dibina bersama antara Rakyat dan
Negara, hal mana penyebarannya di Indonesia harus dicegah.

Selebaran-selebaran yang bersifat subversief baik berasal dari dalam dan luar
negeri masih perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, juga bacaan-bacaan
yang isinya dapat merusak akhlak.

Ketentuan ini sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memungkinkan diadakannya sensor


preventief oleh Pemerintah terhadap penerbitan dalam negeri; akan tetapi dengan
ketentuan ini Pemerintah dapat bertindak cepat apabila terdapat barang cetakan
dari dalam negeri yang isinya dapat membahayakan kepentingan Rakyat dan Negara
yang sedang membina Sosialisme.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pengertian “mengganggu ketertiban umum” haruslah dihubungkan dengan dasar-dasar
tatatertib kehidupan dari Rakyat dan Negara pada suatu saat. Merusak kepercayaan
Rakyat terhadap Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional adalah contoh terkemuka
akan tetapi tidak satu-satunya dari pengertian mengganggu ketertiban umum.
Tulisan-tulisan dan gambar yang merugikan akhlak dan memajukan pencabulan adalah
contoh jenis lain dari pengertian tersebut. Jenis-jenis tulisan apa yang tidak
dapat ditolerir untuk dibaca oleh masyarakat, sangat erat pula hubungannya dengan
kesadaran hukum Rakyat pada suatu ketika, dengan peristiwa-peristiwa yang dialami
Rakyat dan Negara, dengan kepribadian Indonesia dan lain-lainnya.

Apakah sesuatu tulisan bisa diartikan dapat mengganggu ketertiban umum,


diserahkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk menilainya.

Pasal 2
Barang cetakan yang wajib dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan adalah terbatas
seperti yang dicantumkan dalam pasal 2. Jadi tidak semua barang cetakan
dimaksudkan oleh pasal 8 wajib dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan setempat. Akan
tetapi wewenang Menteri Jaksa Agung untuk melarang barang cetakan yang tersebut
dalam pasal 1 tidak dibatasi oleh jenis-jenis barang cetakan yang wajib dikirimkan

21
contohnya kepada Kejaksaan.

Pasal 3
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 4
Dengan ketentuan pasal ini dimungkinkan untuk melakukan penyaringan terhadap
barangbarang cetakan yang akan dimasukkan ke Indonesia.

Pasal 5
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 6
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 7
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 8
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 9
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam
Penetapan ini antara lain:

a. Bepalingen op den invoer verspreiding binnen Indonesia van gevaarlyke


buitenlandsche drukwerken, S. 1900-317 jo 319.
b. Pasal 13 dari Reglement op de Drukwerken, S.1956-74.

Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan.

Mengetahui:
MENTERI/PEJABAT SEKRETARIS NEGARA,
Ttd.
A.W. SURJOADININGRAT (S.H.).
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2533

22
1 Oktober 1965:
Terjadi Peristiwa G30S yang tiga
minggu kemudian disusul dengan
Peristiwa 1965.
1 Mei 1963:
Presiden Soekarno mencabut
pemberlakuan status “keadaan
bahaya” di seluruh wilayah negeri
dan menyatakan “keadaan tertib
sipil” melalui Penetapan Presiden
No. 4 Tahun 1962 tentang
Keadaan Tertib Sipil.

27 Juli 1963 14 September 1964


Ketegangan politik berlanjut Presiden Sukarno membentuk
ketika Presiden Sukarno Penguasa Pelaksanaan Dwikora
mengumumkan pada bahwa Daerah (Pepelrada) untuk
Indonesia akan melancarkan memimpin kampanye ”Ganyang
operasi “Ganyang Malaysia.” Malaysia” di daerah. Lembaga
Dengan berlangsungnya ini kerap menjatuhkan larangan
Konfrontasi dengan Malaysia, terhadap buku-buku tertentu dan
Indonesia sekali lagi berada membubarkan pertemuan yang
dalam situasi yang dekat dengan dianggap menghalangi jalannya
“keadaan bahaya.” revolusi Indonesia. Operasi penghancuran PKI dan
ormas-ormas kiri melibatkan
tindak vandalisme oleh massa
anti-komunis yang digerakkan
militer, termasuk aksi pembakaran
buku di kantor CC PKI, Universitas
Res Publica, dll.

Pada akhir Desember 1965,


Departemen P & K menyatakan:
1.mencabut larangan peredaran
buku-buku karya sastrawan
penandatangan ’Manifes
Kebudayaan’
2.melarang 70 buku bahasa
dan kesusastraan karya para
pengarang Lekra
3.melarang 87 sastrawan Lekra
untuk berkarya.
23
Hingga 1991, Pemerintah Orde Baru mengacu
pada UU No. 4/PNPS/1963 untuk melakukan
pelarangan buku.

5 Juli 1969:
Untuk tetap mempertahankan
kekuasaan dalam mengontrol
peredaran barang cetakan,
Pemerintahan Suharto dan
DPR melalui UU No. 5 Tahun
1969 menyatakan mengadopsi
Penetapan Presiden No. 4 Tahun
1963 menjadi undang-undang.
Penulisan Penetapan Presiden
tersebut diubah menjadi UU No.
4/PNPS/1963.

28 Desember 1978: 18 Januari 1979:


Pada 1970an, peran Taiwan, Berdasarkan surat dari
Hongkong, dan RRC dalam Kopkamtib, Dirjen Pembinaan
perekonomian dan politik di Pers dan Grafika melarang aksara
Asia Pasifik makin menguat. Cina dalam penerbitan pers dan
Indonesia tidak bisa mengelak non-pers di Indonesia.
untuk tidak berhubungan dengan
mereka. Oleh karena itu, Menteri Juni 1979:
Perdagangan dan Koperasi Radius Jaksa Agung melalui SK No.
Prawiro mengeluarkan putusan Kep-029/JA/6/1979 melarang
yang menyatakan bahwa untuk peredaran barang cetakan
kepentingan pembinaan dan dengan bahasa dan aksara Cina
pengembangan kebudayaan Mandarin atau dialek lainnya.
Indonesia demi kesatuan
dan persatuan bangsa serta
peningkatan pembinaan kesatuan
bahasa nasional, dipandang
perlu mengeluarkan larangan
mengimpor, memperdagangkan
dan mengedarkan segala jenis
barang dalam huruf/aksara Cina
yang berasal dari impor.

24
UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

Pasal 30
Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum,
kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
pengawasan peredaran barang cetakan;

UU No. 16 Tahun Kejaksaan


Republik Indonesia yang
mengubah wewenang Kejaksaan
Agung atas peredaran barang
cetakan dari ‘pengamanan’
22 Juli 1991: menjadi ‘pengawasan’.
Pemerintah Orde Baru dan
DPR menerbitkan UU No. 5 Karena tidak memiliki
Tahun 1991 tentang Kejaksaan kewenangan lagi untuk melarang
Republik Indonesia yang Hasta Mitra yang barang cetakan, Kejaksaan Agung
memberikan kewenangan penuh didirikan pada kemudian me-reaktivasi kembali
pada Kejaksaan Agung untuk
‘mengamankan’ peredaran barang
pertengahan 1980an UU No. 4/PNPS/1963 untuk
melarang peredaran 22 judul
cetakan. dalam rangka buku selama periode 2006-2009.
menerbitkan buku karya
Selama pemerintahan Orde
Baru ratusan buku dan pamflet
Pramoedya Ananta Toer,
dilarang beredar. Sebagian merupakan perusahaan
penulisnya ditahan dengan penerbitan yang
tuduhan subversif. Alasan
Kejaksaan Agung melarang
bukunya paling banyak
peredaran buku-buku tersebut dilarang. Sedang
diantaranya adalah karena buku- Pramoedya Ananta Toer
buku tersebut memuat ajaran
komunisme, menodai agama,
adalah penulis yang
memuat pornografi, menghina karyanya paling banyak
kepala negara, memuat aksara dilarang.
Cina, dll.

MPR periode 1999-


UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan 2004 menerbitkan
RI Perubahan Kedua
UUD Negara
Pasal 27 Republik Indonesia
(3) Dalam bidang ketertiban dan Tahun 1945
ketenteraman umum, kejaksaan turut yang di dalamnya
menyelenggarakan kegiatan: memuat jaminan
c. pengamanan peredaran barang atas hak berekpresi
cetakan; dan memperoleh
informasi sebagai
Bagian Penjelasan Pasal 27 ayat (3) bagian dari hak
butir (c) disebutkan: Gerakan asasi manusia.
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam Reformasi berhasil
ayat ini bersifat preventif dan/
atau edukatif sesuai dengan
menumbangkan
peraturan perundang undangan yang kekuasaan Soeharto
belaku. Yang dimaksud dengan “turut dan merebut kembali
menyelenggarakan” adalah mencakup
kegiatan kegiatan membantu, turut
tiga kebebasan dasar:
serta, dan bekerja sama. Dalam turut berserikat, berkumpul,
menyelenggarakan tersebut, kejaksaan dan berpendapat.
senantiasa memperhatikan koordinasi
dengan instansi terkait.
25
UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

Jaminan atas hak


berekspresi
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan
dengan undang undang.

Pasal 28E
(3) Setiap orang Penerbitan Buku di Indonesia
berhak atas kebebasan Pada periode 1945-1966, di Indonesia terhitung sekitar
berserikat, berkumpul, 1.000 judul buku diterbitkan penerbit-penerbit partikelir
dan mengeluarkan
setiap tahunnya.
pendapat.
Menginjak periode 1966-1981, angka itu beranjak menjadi
Jaminan atas hak untuk 2.000 judul buku per tahun. Pada akhir 1965 hingga awal
tahu (the right to know) 70an, industri penerbitan nasional sempat mengalami
guncangan karena subsidi kertas dicabut. Jumlah anggota
Pasal 28F
IKAPI yang awalnya 300 penerbit turun hingga 25% pada
Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan akhir 1965.
memperoleh informasi UNESCO melaporkan, pada 1973 Indonesia mengalami
untuk mengembangkan book starvation (paceklik buku). Saat itu, tidak satu pun
pribadi dan lingkungan
judul buku diterbitkan oleh para penerbit nasional.
sosialnya, serta
berhak untuk mencari, Pada 70an Indonesia pernah mengadakan proyek buku
memperoleh, memiliki, Inpres. Kucuran dana dari pemerintah untuk menyukseskan
menyimpan, mengolah, dan proyek itu memicu kelahiran ratusan penerbit baru. Namun,
menyampaikan informasi seiring penghentian proyek itu, banyak penerbit gulung
dengan menggunakan
tikar.
segala jenis saluran yang
tersedia. Menurut data IKAPI, produksi buku di Indonesia menjelang
krisis ekonomi 1997/1998 mencapai 5.000 hingga 6.000
judul per tahun. Jumlah itu makin menurun selama krisis
hingga hanya 2.500-3.000 judul per tahun.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association
Kanada, produksi buku paling tinggi
dipegang oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100
ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja Inggris
memproduksi 110.155 judul buku. Posisi kedua ditempati
Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada
tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak
65.430 judul buku. Sementara Indonesia, pada 2002 hanya
memproduksi 2.700 judul buku.
Pada 2008, jumlah buku yang terbit di Indonesia
mengalami peningkatan, yaitu mencapai 8.000 judul.

26
27
DEMOKRASI TERPIMPIN
Praktek
pelarangan buku
di Indonesia
muncul pertama
kali pada
akhir 1950an,
seiring dengan
meningkatnya
kekuasaan
militer dalam
perpolitikan
Indonesia.
Penerapan status darurat untuk menghadapi
berbagai pemberontakan sejumlah perwira
militer yang menamakan gerakannya
PRRI-Permesta dan DI-TII memberi dalih
pada KSAD Mayjen AH Nasution selaku
Penguasa Militer, untuk melarang peredaran
barang-barang cetakan yang dianggap
memuat atau mengandung 'ketjaman-
ketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan
penghinaan' terhadap pejabat negara,
memuat atau mengandung 'pernjataan
permusuhan, kebencian atau penghinaan'
terhadap golongan-golongan masyarakat,
atau menimbulkan 'keonaran'. Batasan atas
konsep-konsep itu sepenuhnya ditentukan
oleh penafsiran subyektif AD.

28
Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan dan imperialisme). Soekarno kemudian menerbitkan
pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 yang memberi
penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk
menutup tiga kantor berita – termasuk di antaranya melarang peredaran barang-barang cetakan yang
Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Seperti
belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. pada kasus aturan pelarangan barang cetakan oleh
Pada 1959, Penguasa militer melarang peredaran buku penguasa militer, batasan atas konsep ‘ketertiban umum’
karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau juga diserahkan pada tafsiran subyektif Kejaksaan Agung.
di Indonesia dan memenjarakan penulisnya selama
Akan tetapi, militer yang masih memiliki pengaruh
satu tahun. Setidaknya tiga buku kumpulan puisi juga
kuat dalam perpolitikan lokal dan nasional, juga ikut
dilarang beredar. Salah satu buku kumpulan puisi adalah
memanfaatkan aturan ini. Buku-buku yang secara
karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanahair
sewenang-wenang dianggap memuat gagasan nekolim
tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam
dilarang.
Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya
Seorang Petani (Lekra, 1961). Pamflet Demokrasi Kita
karya Mohammad Hatta juga tidak lolos dari pelarangan.
Pada 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang menghapuskan kontrol efektif terhadap
kekuasaannya. Memasuki paruh pertama 1960an,
Presiden Soekarno mencanangkan kampanye Ganyang
Malaysia (Dwikora) dan Rebut Irian Barat (Trikora) dalam
rangka menyelesaikan revolusi nasional. Kampanye itu
meningkatkan sentimen anti-nekolim (neo-kolonialisme

Di tengah situasi ini, 20 seniman dan budayawan


mengeluarkan sebuah pernyataan publik yang kemudian
dikenal dengan nama “Manifes Kebudayaan”. Karena
pandangan berkesenian mereka dianggap mengganggu
konsolidasi bangsa untuk ‘menyelesaikan jalannya
revolusi, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menyatakan
melarang pernyataan tersebut. Kementerian Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan menanggapi pernyataan Soekarno
dengan melarang penggunaan buku-buku karya para
pendukung Manifes Kebudayaan sebagai bahan ajar.
Sedang berbagai penerbitan, kecuali majalah Basis, tidak
berani mempublikasi karya-karya mereka, atau menerima
asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Para pendukung
Manifes Kebudayaan kembali bebas berkarya setelah
terjadinya Peristiwa 1965.

29
Pelarangan karya pendukung Manifes
Kebudayaan
Pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan
pernyataan yang isinya melarang Manifes Kebudayaan:
Kami, Presiden Republik Indonesia, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar
Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi
keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi,
dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa,
apa yang disebut Manifesto Kebudayaan yang
disingkat menjadi Manikebu dilarang.
Sebab larangan itu ialah karena Manifesto
Politik Republik Indonesia sebagai pancaran
telah menjadi garis besar haluan negara dan
tidak mungkin didampingi dengan manifesto
lain, apalagi kalau manifesto lain itu
menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap
revolusi dan memberikan kesan berdiri di
sampingnya, padahal demi suksesnya revolusi
maka segala usaha kita jalankan di atas rel
revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol
dan bahan indoktrinasi lain-lainnya.
(Sumber: Antara, 10 Mei 1964)

Sejak keluarnya pernyataan itu, 20 sastrawan


penandatangan Manifes Kebudayaan mengalami kesulitan
dalam mempublikasi dan mengedarkan karya-karya
mereka. Majalah Sastra yang merupakan penampung
utama karya-karya mereka berhenti terbit karena kesulitan
manajemen dan keuangan setelah pelarangan. Penerbitan
lain, kecuali majalah Basis, menolak mempublikasi karya-
karya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak
dicantumkan. Pada April 1965 ’Pimpinan Departemen
PD dan K’ melarang karya-karya pendukung Manifes
Kebudayaan digunakan sebagai bahan ajar. Keputusan itu
baru dicabut oleh Deputi Menteri Pendidikan Dasar pada Peristiwa 1965
Juni 1966. yang terjadi
pada periode ini
menjadi titik balik
bagi Indonesia.
Dimulai dari
peristiwa G30S,
yang kemudian
berlanjut pada
penumpasan dan
penghancuran
lembaga-lembaga
yang dianggap
berafiliasi pada
PKI serta anggota-
anggotanya.
30
Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada
10 Oktober 1965. Lembaga ini memiliki
wewenang besar untuk mengambil tindakan
apa saja dalam rangka ’memulihkan
keamanan dan ketertiban’. Hasilnya: jutaan
orang diperkirakan mengalami kekerasan,
dibunuh dan ditangkap tanpa proses
peradilan karena didakwa sebagai anggota
atau simpatisan PKI dan ormas-ormas yang
berafiliasi dengannya. Secara perlahan,
kekuatan kiri dimusnahkan dari Indonesia,
tidak hanya dengan cara menumpas
organisasi-organisasinya, tapi juga dengan
menciptakan sikap anti terhadap ideologinya.

Selain membentuk lembaga pengawasan keamanan dan Ketetapan ini menjadi alat penting untuk mengontrol
ketertiban ini, pemerintah juga menetapkan: masyarakat secara luas dan menjadi dasar penyusunan
berbagai peraturan yang mengekang kebebasan
Tap MPR XXV/MPRS/1966 yang membubarkan
berekspresi dan berkumpul yang tidak terbatas pada
PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme-
bekas anggota PKI atau pengikut Marxisme-Leninisme/
Leninisme/Komunisme.
Komunisme.
31
Pada Oktober 1989 ketika Kejaksaan Agung
membentuk Clearing House yang berfungsi
meneliti isi sebuah buku dan memberi
rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung.
Melalui SK No. Kep-114/ JA/ 10/ 1989,
clearing house secara resmi bekerja di bawah
Jaksa Agung dan terdiri atas 19 anggota
dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang
pengawasan media massa, Bakorstanas,
Bakin, Bais, ABRI (kemudian menjadi BIA),
Sama seperti pada masa
Orde Lama, Kejaksaan Departemen Penerangan, Departemen
Agung sebenarnya hanya Pendidikan dan Kebudayaan, serta
menerima pengaduan dari Departemen Agama.
lembaga-lembaga lain dan
menerbitkan SK pelarangan
berdasarkan pengaduan
Lembaga pemerintah lain lain buku-buku karangan
tersebut. Dari konsideran
selain kejaksaan agung Soepardo SH, Pramoedya
surat-surat keputusan
yang melarang buku adalah Ananta Toer, Utuy T.
pelarangan memang terlihat
Departemen Pendidikan Sontani, Rivai apin, Rukiyah,
bahwa lembaga-lembaga lain
dan Kebudayaan melalui dan Panitia Penyusun
seperti BAKIN, Bakorstanas,
Instruksi Menteri Pendidikan Lagu Sekolah Jawatan
Bais, ABRI, Polri, Departemen
Dasar dan Kebudayaan RI Kebudayaan. Sedangkan
Agama, secara rutin mengirim
no. 1381/1965 tentang lampiran kedua berisi
pandangannya langsung
Larangan Mempergunakan 52 buku-buku karangan
kepada Jaksa Agung. Dalam
Buku-buku Pelajaran, pengarang-pengarang
prakteknya, memang posisi
Perpustakaan dan LEKRA yang harus dibekukan
Jaksa Agung Muda bidang
Kebudayaan yang Dikarang seperti Sobron Aidit, Jubar
Intelijen (JAM Intel) yang
oleh Oknum-oknum dan Ayub, Klara Akustian/ A.S
hampir selalu ditempati oleh
Anggota-anggota Ormas/ Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi,
perwira tinggi militer, dengan
Orpol yang Dibekukan Hadi Sumodanukusumo,
mudah berhubungan dengan
Sementara Waktu Riyono Pratikto, F.L Risakota,
semua instansi penyelenggara
Kegiatannya, disertai dengan Rukiah, Rumambi, Bakri
’ketertiban dan ketentraman
dua buah lampiran. Lampiran Siregar, Sugiati Siswadi,
umum’ dalam mengumpulkan
pertama berisi 11 daftar Sobsi, Utuy Tatang. S,
informasi tentang buku-buku
buku pelajaran yang dilarang Pramoedya Ananta Toer,
’rawan’.
pemakaiannya, antara Agam Wispi, dan Zubir A.A.

Menteri Perdagangan dan Koperasi juga mengeluarkan dari Departemen P&K, ijin beredar dari Kejaksaan Agung
Keputusan Menteri no. 286/ KP/ XII/ 78 yang diturunkan dan importir pelaksana harus memiliki TAPPI(S) serta
dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar ditunjuk oleh Departemen Perdagangan dan Koperasi
Negeri No. 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79 melarang impor, setelah mendengar pendapat Kejaksaan Agung. Dalam
perdagangan dan pengedaran segala jenis barang prakteknya, selain menyita buku, pemerintah juga
cetakan dalam huruf/ aksara dan bahasa Cina. Pada menyita dan memusnahkan kaset dan CD berirama
masa itu, pemerintah Cina yang berideologi komunisme, mandarin serta beraksara Cina. Tindakan pelarangan ini
dianggap berbahaya dan mengimpor barang cetakannya selain berkaitan dengan pemutusan hubungan dengan
dapat membuka kesempatan untuk menyebarluaskan Cina, juga terkait dengan politik diskriminasi warga
ideologi tersebut. Larangan ini membuat pengecualian Tionghoa di dalam negeri.
untuk barang cetakan yang bersifat ilmiah, namun
barang-barang tersebut harus memperoleh persetujuan
32
”Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer

Pelarangan Karya para Pengarang nama Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD &
Lekra K), mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan
70 judul karya para sastrawan Lekra sebagai bahan ajar,
Dalam rangka operasi pembasmian Gerakan 30 serta melarang 87 nama yang dikategorikan sastrawan
September 1965 salah satu target serangan militer Lekra dan kolumnis majalah/surat kabar kiri untuk
adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Para berkarya. Instruksi itu tidak pernah dicabut hingga saat
anggota organisasi kebudayaan ini menjadi korban ini.
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang,
pembunuhan kilat dan penghilangan paksa, penyiksaan, Sebagian di antara para pengarang terlarang yang
kerja paksa dan pembuangan, dan berbagai tindak namanya tercantum dalam daftar PD & K, juga para
kekerasan lain. pengarang Lekra lain yang namanya lupa dicantumkan
Setiadi tapi tetap mengalami pemberangusan, akhirnya
Pada 12 Maret 1966, Soeharto mengumumkan harus berganti nama atau hidup di pengasingan agar
pelarangan dan pembubaran Lekra serta organisasi- dapat tetap berkarya. Baru setelah kejatuhan Soeharto
organisasi kiri lainnya. Namun sebelum itu, pada 30 dan gerakan Reformasi berhasil merebut kembali tiga
Desember 1965, Pembantu Menteri Bidang Teknis kebebasan dasar, karya-karya mereka bermunculan
Pendidikan, Kol. (Inf.) Drs. Setiadi Kartohadikusumo, atas kembali.

33
Palagan, penyair dan koresponden majalah Tebuireng,
Tindakan Subversif serta aktif di majalah Refleksi yang diterbitkan Forum
Selain mengukuhkan UU no. 4/ Pnps/ 1963, Studi Kebudayaan Refleksi-Yogyakarta. Ia ditangkap
pemerintah Orde Baru juga mengadopsi UU no. 11/ pada 20 Juni 1988, dengan tuduhan menyimpan
Pnps/ 1963 tentang anti subversif, yang melarang buku-buku terlarang dan menyelenggarakan rapat-
tindakan-tindakan yang dapat menggoyahkan rapat gelap atau diskusi tanpa ijin pihak yang berwajib.
pemerintahan atau menghilangkan kepercayaan Persidangan BIN baru dimulai pada 25 April 1989 dan
rakyat terhadap pemerintah. UU yang terakhir ini divonis 8 tahun penjara.
juga ditelurkan pada masa keadaan darurat perang
di jaman pemerintahan Sukarno. Alhasil, pada masa Selain BS dan BIN, Bonar Tigor Naipospos, mahasiswa
Orde Baru, tindakan pelarangan buku tidak semata- FISIP UGM yang menjadi koordinator seksi diskusi
mata berdiri sendiri namun hampir selalu terkait KSSPY juga ditangkap. Ia dituduh ’berusaha
dengan dua hal lain yaitu usaha membangkitkan menghidupkan atau menyebarkan ataupun setidak-
komunisme dan tindakan subversif. tidaknya menonjolkan kembali ajaran Marxisme/
Komunisme’ yang nyata-nyata telah dilarang di
Kasus-kasus berikut ini memperlihatkan dengan jelas Indonesia; menyebarkan rasa permusuhan atau
bagaimana pelarangan buku dikawinkan dengan menimbulkan permusuhan, kegoncangan atau
tuduhan penyebaran ideologi komunis dan tindakan kegelisahan di antara kalangan penduduk atau
subversif. masyarakat yang bersifat luas; memikat orang lain
Kasus Pemenjaraan 3 Mahasiswa UGM untuk turut menghidupkan atau menyebarkan ajaran
(Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho Marxisme/ Komunisme dengan cara-cara yang sama
dan Bonar Tigor Naipospos) seperti pada dakwaan primer; menyimpan, memiliki,
Bambang Subono (BS) adalah mahasiswa Fisip UGM mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan,
Yogyakarta. Pada 12 Juni 1988, ia tertangkap sedang menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali
memperjual-belikan buku Rumah Kaca, Anak Semua barang cetakan terlarang’ yaitu Bumi Manusia, Anak
Bangsa dan Gadis Pantai di tengah keramaian penonton Semua Bangsa, Gadis Pantai, Jejak Langkah dan Hikayat
pentas drama ”Tahanan” di sport hall Kridosono, Yogya. Siti Mariah. Sidang kasus BTN dimulai pada Juni 1990
Buku Rumah Kaca sendiri telah dilarang beredar dan berakhir pada Oktober 1990 dengan vonis penjara
pada 8 Juni 1988 melalui SK Kejagung no. KEP-061/ 8 tahun 6 bulan penjara.
JA/6/1988, sedangkan Anak Semua Bangsa dilarang
melalui SK Kejagung no. Kep 052/JA/5/1981. Kodim Keputusan pengadilan terhadap ketiga terdakwa
0734 Yogyakarta kemudian memeriksa rumah BS di mengundang protes dari mahasiswa. Sebanyak 10
kawasan Jatimulyo, dan menyita 20 buku yang dianggap orang yang tergabung dalam Komite Pembelaan
berbau ajaran komunis dan Marxis-Leninis. Pemberitaan Mahasiswa (KPM) UGM melakukan aksi protes terhadap
media massa kemudian menggolongkan tindakan keputusan tersebut dengan berpakaian ala klux klux
BS sebagai penyebarluasan ideologi komunisme klan. Mereka berusaha mensosialisasikan masalah-
dan mengajak masyarakat agar tidak ’bersikap lunak’, masalah yang dihadapi mahasiswa seperti tidak adanya
meskipun BS mengakui bahwa ia menjual buku-buku kebebasan akademik, keterbelengguan mahasiswa, dan
tersebut semata-mata untuk mendapat uang saja. sebagainya. Aksi lainnya terjadi pada 8 September 1990
Ia dituduh: melakukan kegiatan yang menyebarkan yang kemudian dikenal dengan Jumat Jogja Berdarah.
atau mengembangkan paham/ ajaran komunis-
Marxisme-Leninisme; melakukan perbuatan yang dapat
Kasus Pemecatan 3 Mahasiswa UI
Pada 24 September 1981, senat mahasiswa fakultas
menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan
ilmu-ilmu sosial UI mengundang Pramoedya untuk
negara atau kewibawaan pemerintah yang sah;
mempresentasikan papernya tentang Sikap dan
melakukan perbuatan yang dapat menyebarkan rasa
Peran Intelektual Dunia Ketiga, terutama Indonesia.
permusuhan, perpecahan, pertentangan dan kekacauan
Diskusi ini dibubarkan dan keempat mahasiswa yang
serta kegelisahan di kalangan masyarakat luas karena
termasuk dalam pihak penyelenggara ditangkap.
telah mengedarkan buku-buku tersebut. BS akhirnya
Mereka dibebaskan sekitar Oktober 1981, namun
dijatuhi hukuman 7 tahun penjara pada 1989 dan
dipecat dari UI. Dalam surat keputusan rektor UI no.
kemudian dibebaskan bersyarat pada 1994.
064/ SK/R/UI/1981, disebutkan bahwa ketua dan
anggota pengurus senat mahasiswa telah melanggar
Ketika kesatuan intel mengobrak-abrik tempat
ketentuan-ketentuan tertulis dan bahwa diskusi yang
tinggal BS, mereka menemukan surat tagihan dari
diselenggarakan tidak mendapatkan ijin dari Rektor UI.
perpustakaan Sleman kepada BS untuk segera
Surat ini juga menyatakan bahwa Rafendi Jamin, Widi
mengembalikan buku karya Maxim Gorky, Ibunda.
Krastawan, Verdi Jusuf dan Alexander Irwan dicabut
Buku tersebut tidak ditemukan di rumah BS, namun ia
kedudukannya sebagai mahasiswa dan warga UI.
mengakui bahwa buku Ibunda dipinjam oleh Bambang
Isti Nugroho (BIN). BIN adalah seorang karyawan
laboratorium fisika UGM, koordinator kelompok studi

34
Gerakan Reformasi berhasil merebut kembali
kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan
berpendapat setelah puluhan tahun diberangus
di bawah Rezim Orde Baru. Kemenangan tersebut
dikukuhkan oleh MPR melalui Perubahan Kedua
UUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, DPR
mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk
melarang peredaran barang cetakan melalui UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Buku yang dilarang pertamakali, memutar balik sejarah karena Roosa, Dalih Pembunuhan Massal:
pada era ini adalah pamflet yang tidak mencantumkan kata ’PKI’ Gerakan 30 September dan Kudeta
ditulis Ma’sud Simanungkalit yang dibelakang ‘G-30-S’ dan tidak Suharto (ISSI & Hasta Mitra, 2008)
berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati memasukkan Peristiwa Madiun serta karya Rhoma Dwi Yulianti
dalam Al Qur’an. Karena UU Kejaksaan 1948. Di tingkat lapangan, sejumlah dan Muhiddin M Dahlan, Lekra tak
RI yang baru tidak lagi memberi kejaksaan negeri/tinggi memperluas Membakar Buku: Suara Senyap Lembar
kewenangan pada Kejaksaan pelarangan tidak hanya pada 13 Kebudayaan Harian Rakyat 1950-
Agung untuk melarang peredaran judul buku, tapi juga pada buku-buku 1965 (Yogyakara a: Merakesumba,
buku, maka Kejaksaan Agung teks sejarah lain. Kejaksaan Tinggi 2008). Buku-buku itu dilarang
bergayut pada UU peninggalan Pangkal Pinang bahkan memperluas karena dianggap ‘dapat mengganggu
keadaan darurat periode Demokrasi pelarangan hingga mencakup ketertiban umum’. Kejaksaan Agung
Terpimpin, yaitu No. 4/PNPS/1963, 54 judul buku sejarah . Tidak memonopoili definisi atas ‘ketertiban
untuk membenarkan keputusannya. hanya pelarangan yang dilakukan umum’ dan tidak merasa perlu
kejaksaan, tetapi juga pemusnahan membuktikan bahwa peredaran buku
Pada 2007 Kejaksaan Agung
dengan cara membakar buku-buku itu memang meresahkan masyarakat.
bertindak semakin agresif dengan
teks yang disita. Padahal buku-buku itu telah beredar
melarang 13 buku teks sejarah
selama satu tahun atau lebih tanpa
untuk SLTP dan SLA yang mengacu Selanjutnya, pada akhir 2009
menimbulkan gejolak sama sekali.
pada Kurikulum 2004. Kejaksaan Kejaksaan Agung melarang lima
Agung berdalih buku-buku tersebut buku, diantaranya karya John

Pelarangan buku masih dapat terus terjadi di masa


mendatang selama UU No. 4/PNPS/1963 terus
dipertahankan. Pada awal Januari 2010, Menteri
Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengumumkan akan
merekomendasikan pada Kejaksaan Agung untuk
melarang peredaran 20 judul buku.
35
informasi lebih lanjut kunjungi situs web:
http://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku

Anda mungkin juga menyukai