Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ENERGI

DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) SEBAGAI


SUMBER ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

Disusun oleh:
Alfonsina Abat A.T. (115061100111027)
Citra Dewi Rakhmania (125061100111002)
Fiindah Mahfiroh Basudewi (125061100111022)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
berkenan memberikan rahmat dan petunjukNya kepada kami sehingga makalah,
“DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell) sebagai Sumber Energi Alternatif Ramah
Lingkungan” ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang ada.
Materi-materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mahasiswa dalam mempelajari konversi DSSC menjadi energi. Kiranya dengan
mempelajari makalah ini mahasiswa akan mampu memahami pemanfaatan energi
alternatif terbarukan yakni DSSC dan rangkaian proses di dalamnya untuk diubah
menjadi sumber energi alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dikarenakan adanya keterbatasan penulis. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Malang, Mei 2013

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia memiliki kehausan yang tidak terpuaskan terhadap energi. Itu
terbukti dari permintaan global terhadap energi yang telah meningkat tiga kali
lipat sejak tahun 1950. Hingga sekarang penggunaannya setara dengan 10.000 juta
ton minyak setahun. Namun, mayoritas pasokan energi tersebut masih tergantung
pada bahan bakar fosil, yakni batubara, minyak bumi, dan gas (Hendroko, 2008).
Bahan bakal fosil merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,
artinya manusia tidak dapat membuatnya karena bahan bakar fosil terbentuk dari
organisme yang terkubur jutaan tahun yang lalu, bahan bakar fosil telah
memenuhi kebutuhan manusia selama beberapa abad (Parning,2007).
Data Departemen Energi AS tahun 2002 menyebutkan bahwa minyak akan
habis dalam kurung waktu 36,5 tahun tehitung sejak tahun 2002. Dua laporan
mutakhir dari Congressional Research Services (CRS), yaitu tahun 1985 dan
2003, kepada Komisi Energi di Kongres juga menyebutkan bahwa jika tidak ada
perubahan pola pemakaian, cadangan minyak bumi hanya akan cukup 30-50 tahun
lagi. Kondisi Indonesia idem ditto. Jika tidak ada penemuan ladang minyak dan
kegiatan ekplorasi baru, cadangan minyak di Indonesia diperkirakan hanya cukup
untuk memenuhi konsumsi selama 18 tahun mendatang. Sementara itu, cadangan
gas cukup untuk 60 tahun dan batu bara sekitar 150 tahun (Hendroko, 2008).
Dari ulasan diatas dapat dikatakan, masalah global yang utama adalah
lingkungan hidup dan krisis energi (Parning,2007). Istilah krisis energi mengacu
pada kekurangan, atau kenaikan harga yang membumbung untuk satu atau lebih
bentuk energi begitu banyak sehingga menyebabkan polusi dan kerusakan
lingkungan yang membahayakan kesehatan dan kesejahtraan manusia. Masalah
utama dan masalah yang berkaitan dengan penanganan krisis energi ialah
ketergantungan pada sumber minyak dari luar negeri, kestabilan dan sikap politik
banyak pemerintahan yang memasok minyak, permintaan yang membesar atas
minyak oleh negara-negara lain, dan harga minyak yang relatif tinggi (Khisty,
2006).
Kebutuhan yang meningkat terhadap energi juga pada kenyataanya
bertabrakan dengan kebutuhan umat manusia untuk menciptakan lingkungan yang
bersih dan bebas dari polusi. Berbagai konsideran ini menuntut perlunya
dikembangkan sumber energi alternatif yang dapat menjawab tantangan di atas
tersebut (Yuliarto, 2011). Kita harus mulai mengubah arah yang semula hanya
memburu energi (energy-hunting) dari energi fosil ke upaya membudidayakan
energi (energy-farming).
Energi surya merupakan salah satu energi terbarukan yang sedang giat
dikembangkan saat ini. Salah satu aplikasi energi surya adalah pemanfatannya
dalam konversi energi cahaya menjadi listrik yaitu dengan sel surya. Indonesia
sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan sel surya sebagai salah satu
sumber energi masa depan, mengingat posisi Indonesia pada garis khatulistiwa
yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di hampir seluruh
Indonesia sepanjang tahun. Pengembangan sel surya menjadi sebuah tuntutan
ketika manusia dihadapkan pada berbagai kerusakan lingkungan akibat
penggunaan bahan bakar fosil dan global warming. (Kumara, 2012)
Perkembangan yang menarik dari teknologi sel surya saat ini salah satunya
adalah sel surya yang dikembangkan oleh Gratzel. Sel ini sering juga disebut
dengan sel Grätzel atau dye sensitized solar cells (DSSC) atau sel surya berbasis
pewarna tersensitisasi (SSPT). DSSC tidak memerlukan material dengan
kemurnian tinggi sehingga biaya proses produksinya yang relatif rendah. Berbeda
dengan sel surya konvensional dimana semua proses melibatkan material silikon
itu sendiri (Kumara, 2012). Selain itu sel surya silikon sangat rentan mengalami
masalah keterbatasan bahan baku. Sehingga, dibutuhkan sebuah bentuk energi
matahari dan energi terbaharukan yang dapat mengurangi biaya proses
produksinya dan mempunyai ketersidaan bahan baku yang tak terbatas, dimana
hal ini akan menjadi sangat menarik dan kritis (Goswami, 2007). DSSC
merupakan salah satu kandidat potensial sebagai sel surya generasi mendatang
(Kumara, 2012).

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pemanfaatan DSSC sebagai sumber energi alternatif ramah
lingkungan
2. Mengatahui prinsip dan cara kerja DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell)
3. Mengetahui cara pembuatan DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell)
1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui pemanfaatan DSSC sebagai sumber energi alternatif
ramah lingkungan
2. Dapat mengatahui prinsip dan cara kerja DSSC (Dye-Sensitized Solar
Cell)
3. Dapat mengetahui cara pembuatan DSSC (Dye-Sensitized Solar Cell)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Solar Sel


Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari alam seperti cahaya
matahari dan angin yang dapat diperbarui secara alamiah. Penggunaan energi
melalui solar cell atau sel surya merupakan alternatif yang paling potensial
(Wulandari, 2012)
Pada tahun 2007, Amerika Serikat yang bersumber dari Yale lebih memilih
menggunakan green power dalam kehidupan sehari-hari. Sekitar 7 dari 10
responden yang disurvei menjawab bahwa mereka akan membeli solar panels dan
67% akan membeli kendaraan bermotor hybrid. (Pandur, 2009)
Sel-sel photovoltaic surya adalah alat semikonduktor yang dibuat dari
silicon yang mengubah energi matahari menjadi electron-elektron yang bergerak,
di samping generator dan turbin mekanik yang de facto menyediakan seluruh
listrik di dunia saat ini. (Flavin, 1995). Sel surya bekerja menggunakan energi
matahari dengan mengkonversi secara langsung radiasi matahari menjadi listrik
(Hardeli, 2011).
Saat ini total kebutuhan energi di seluruh dunia mencapai 10 Terra Watt
(setara dengan 3 x 1020 Joule/ tahun) dan diprediksi jumlah ini akan terus
meningkat hingga mencapai 30 Terra Watt pada tahun 2030. Sementara total
energi matahari yang sampai di permukaan bumi adalah 2,6 x 1024 Joule setiap
tahunnya. Sebagai perbandingan, energi yang bisa dikonversi melalui proses
fotosintesis di seluruh permukaan bumi mencapai 2,8 x 1021 J setiap tahunnya.
Jika kita lihat jumlah energi yang dibutuhkan dan dibandingkan dengan energi
matahari yang tiba di permukaan bumi, maka sebenarnya dengan menutup 0,05%
luas permukaan bumi (total luas permukaan bumi adalah 5,1 x 108 km2) dengan
solar cell yang memiliki efisiensi 20%, seluruh kebutuhan energi yang ada di
bumi sudah dapat terpenuhi. (Yuliarto, 2011)

2.2 Perkembangan Solar Sel


2.2.1 Solar Sel Silikon
Ilmuwan Prancis, Edmund Becquerel pada tahun 1839 menemukan bahwa
cahaya yang jatuh pada materi tertentu dapat menyebabkan percikan listrik yang
dikenal dengan ”photoelectric effect” sehingga muatan ini dapat diperbanyak,
dalam kondisi yang tepat, membentuk arus listrik (Flavin, 1995). Pada tahun 1954
, sebuah kelompok Bell yang terpisah menemukan bahwa alat silicon yang mereka
uji menghasilkan listrik pada saat menghadap matahari. Ketika kedua pekerjaan
tersebut disatukan, maka mereka berhasil menyelesaikan suatu pemecahan,
dimana sel silicon yang mengubah 4% dari cahaya matahari yang datang menjadi
listrik yang berkekuatan lima kali lebih banyak dibanding dengan sel selenium
terbaik (Flavin, 1995).

Gambar 1. Efisiensi Sel Photovoltalic Laboran, dari 1978


Sampai Februari 1994 (Flavin, 1995)
Suatu pendekatan yang sedang ditindaklanjuti oleh para peneliti yaitu
mengembangkan sel-sel surya dengan efisiensi tinggi yang dibuat dari bahan baku
seperti gallium arsenide yang telah mencapai efisiensi setinggi 33% di
laboratorium. Sel-sel seperti ini dapat digunakan bersama dengan lensa dan kaca
pemantul yang memfokuskan sinar ke dalamnya, sehingga sangat mengurangi
bahan semi konduktor (Flavin, 1995).
Alat pengimpun (concentrators) dari alat ini tidak mampu menggunakan
sinar matahari yang tersebar, sehingga alat ini lebih cocok digunakan di daerah
tinggi dan panas seperti gurun pasir dan daerah kering lainnya (Flavin, 1995).
Secara sederhana solar sel terdiri dari persambungan bahan semikonduktor
bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari
maka akan terjadi aliran elektron, aliran electron inilah yang disebut sebagai aliran
arus listrik (Widodo, 2003).

Gambar 2. Struktur film tipis solar sel secara umum (Widodo, 2003)
Kondisi kelebihan elektron dan hole tersebut bisa terjadi dengan mendoping
material dengan atom dopant. Sebagai contoh untuk mendapatkan material silikon
tipe-p, silikon didoping oleh atom boron, sedangkan untuk mendapatkan material
silikon tipe-n, silikon didoping oleh atom fosfor. Ilustrasi dibawah
menggambarkan junction semikonduktor tipe-p dan tipe-n. (Septiana, 2012)

Gambar 3. Junction antara semikonduktor tipe-p (kelebihan hole) dan tipe-n


(kelebihan elektron). (Septiana, 2012)
Peran dari p-n junction ini adalah untuk membentuk medan listrik sehingga
elektron (dan hole) bisa diekstrak oleh material kontak untuk menghasilkan listrik.
Ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n terkontak, maka kelebihan elektron akan
bergerak dari semikonduktor tipe-n ke tipe-p sehingga membentuk kutub positif
pada semikonduktor tipe-n, dan sebaliknya kutub negatif pada semikonduktor
tipe-p (Septiana, 2012).
Sel surya yang banyak digunakan sekarang ini berbahan dasar silikon yang
merupakan hasil dari perkembangan pesat teknologi semikonduktor anorganik.
Walaupun sel surya sekarang didominasi oleh bahan silikon, namun mahalnya
biaya produksi membuat harganya lebih mahal daripada sumber energi dari fosil.
Untuk itu diperlukan sel surya yang murah dengan kinerja sel tinggi dan sel surya
organik bisa menjadi suatu solusi. Sel ini mudah dibuat dari material organik,
tidak mahal, ringan, fleksibel dan beraneka warna (Hardeli, 2011).
2.2.2 Solar Sel Organik
Teknologi DSSC telah berkembang selama bertahun-tahun.
Perkembangannya dirinci di bawah ini :
 Pada tahun 1991, Michael Grätzel dan Brian O’Regan telah menemukan
“Dye-sensitized Solar Cells” yang biasa disebut sel Grätzel.
 Pada tahun 1995, pewarna yang digunakan dalam sel percobaan yang sensitif
hanya untuk frekuensi high end dari spektrum cahaya (cahaya biru dan UV).
 Pada tahun 1999, versi yang lebih baru diperkenalkan dengan respon
frekuensi tinggi yang efisien bahkan pada panjang gelombang merah dan
infra-merah. Pewarna yang digunakan dalam sel-sel memiliki warna coklat-
hitam pekat disebut sebagai pewarna hitam, dan memiliki efisiensi
keseluruhan hampir 90%. Sayangnya, mudah rusak di bawah intensitas
cahaya yang tinggi.
 Pewarna baru telah diperkenalkan yang memiliki berbagai sifat khusus,
termasuk 1-etil-3-methylimidazolium tetrocyanoborate (EMIB (CN) 4), yang
merupakan suhu yang stabil, dan tembaga-diselenium (Cu (In, GA) SE2) ,
yang memberikan peningkatan efisiensi konversi.
 Para peneliti mencari penggunaan titik-titik kuantum untuk mengubah cahaya
energi tinggi menjadi beberapa elektron, dengan menggunakan solid-state
elektrolit untuk respon suhu yang lebih baik dan memodifikasi doping TiO2
untuk dicocokkan dengan elektrolit yang sedang digunakan.
 TiO2 nanopartikel berbasis dye-sensitized solar sel memberikan efisiensi
lebih dari 10%. Molekul-molekul dye teradsorpsi ke permukaan TiO2
nanoparticle sinter. Sinar matahari ditampung oleh dye, dan elektron
diinjeksikan ke TiO2 mana diteruskan melalui nanopartikel TiO2 untuk
mencapai elektroda.
 Pada tahun 2004, peneliti dari University of California di Santa Barbara
menggambarkan kinerja dan desain oksida sel surya dye-sensitized nanowire
berbasis seng. Nanowires mengaktifkan jalur konduksi elektron langsung
antara substrat dan titik photogeneration menghasilkan transpor elektron yang
lebih tinggi dibandingkan dengan film nanopartikel sinter. Perangkat
memiliki efisiensi kolektor cahaya di bawah 10%, menunjukkan bahwa
efisiensi dan kepadatan diperkuat oleh peningkatan luas permukaan nanowire.
 Sebagian besar penelitian pada DSSC difokuskan pada peningkatan
absorbansi spektral dengan membuat modifikasi dalam dye, meningkatkan
lubang transportasi, penggantian cairan elektrolit dengan menggunakan
polimer atau padatan ionik dan meningkatkan transpor elektron menggunakan
alternatif struktur core-shell atau celah pita lebar bahan semikonduktor.
(Soutter, 2012)

2.3 DSSC
2.3.1 Pengertian DSSC
Sel surya yang mendominasi pasar pada saat ini adalah sel surya bebasis
silikon yang memiliki efisiensi yang tinggi sekitar 15-20%. Namun karena masih
memiliki banyak kelemahan, antara lain proses produksinya yang membutuhkan
proses fabrikasi yang sangat kompleks (pemurnian, proses kristalisasi, dan
fabrikasi) menyebabkan harga jualnya relatif mahal. Untuk itu dikembangkan sel
surya jenis baru yang murah, sederhana dalam proses produksinya dan ramah
lingkungan, yaitu Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) atau Sel Surya Pewarna
Tersensitisasi (SPPT) (Prasetyowati, 2012).
Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) atau disebut juga sel Grätzel pertama kali
ditemukan oleh Michael Gratzel dan Brian O’Regan pada tahun 1991 di École
Polytechnique Fédérale de Lausanne, Swiss. Berbeda dengan sel surya
konvensional, DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia yang menggunakan
elektrolit sebagai medium transport muatan untuk mengkonversi cahaya matahari
menjadi energi listrik. Efisiensi konversinya telah mencapai 10-11% (Muliani,
2012).
Teknologi DSSC muncul dari konsep fotosintesis buatan yang mencoba
meniru kemampuan tanaman untuk mengubah sinar matahari menjadi energi yang
berguna. Pada DSSC, klorofil digantikan oleh warna penyerap cahaya, di mana
molekulnya tereksitasi ke bentuk energi yang lebih tinggi oleh cahaya yang
masuk. Energi ini dikumpulkan oleh struktur elektrolit dan katalis, yang
strukturnya lebih seperti daun pada fotosintesis (Kumara, 2012).
2.3.2 Keuntungan DSSC
Keuntungan DSSC dibanding dengan sel surya jenis lainnya, antara lain :
- DSSC merupakan teknologi solar generasi ketiga yang paling efisien yang
tersedia, menyerap lebih banyak cahaya matahari per luas permukaan daripada
panel surya berbasis silikon (Gratzel, 2003).
- Proses fabrikasinya lebih sederhana tanpa menggunakan peralatan yang rumit
dan mahal sehingga biaya fabrikasinya lebih murah (Kumara, 2012).
- DSSC dapat bekerja dalam kondisi cahaya rendah seperti sinar matahari tidak
langsung dan langit mendung (Nadeak, 2012).
- Bahan bakunya mudah didapat dan melimpah (Nadeak, 2012)
- Keunggulan DSSC mengarah langsung ke efisiensi yang lebih tinggi pada
kisaran suhu (Wulandari, 2012)
2.3.3 Material DSSC
Material penyusun Dye Sensitized Solar cell (DSSC) antara lain elektroda
kerja yang terdiri dari substrat kaca Transparant Conductive Oxide (TCO), metal
oksida Titanium Dioxide (TiO2), dye alami, elektrolit, dan elektroda pembanding
(katoda) : platina atau karbon hitam yang dilapiskan ke sebuah kaca konduktor
(gambar 4).

Gambar 4. Struktur Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)(Kumara, 2012)


1. Substrat (Kaca ITO)
Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparant
Conductive Oxide) yang merupakan kaca transparan konduktif. Material
substrat itu sendiri berfungsi sebagai badan dari sel surya dan film
konduktifnya berfungsi sebagai media transport muatan (elektron). Material
yang umumnya digunakan yaitu flourine-doped tin oxide (SnF atau FTO) dan
Indium Tin Oxide (ITO). Material ini banyak digunakan karena pada proses
pefilm material TiO2 ke substarat, diperlukan proses sintering
(proses pemanasan dibawah titik leleh dalam rangka membentuk fase kristal
baru sesuai dengan yang diinginkan) pada temperatur 400-500oC dan kedua
temperatur tidak mengalami cacat pada rentang temperatur tersebut (Kumara,
2012).
2. Sebuah metal-oksida / oksida semikonduktor (TiO2, ZnO atau SnO2)
Sebuah metal-oksida / oksida semikonduktor (TiO2, ZnO atau SnO2)
digunakan sebagai kolektor elektron sekaligus sebagai anoda. Penggunaan
oksida semikonduktor dalam fotoelektrokimia dikarenakan kestabilannya
menghadapi fotokorosi. TiO2 paling banyak digunakan karena efisiensinya
lebih tinggi dari yang lain. TiO2 merupakan bahan semikonduktor yang
bersifat inert, stabil terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia. Film
TiO2 memiliki band gap yang tinggi (>3eV) dan memiliki transmisi optik
yang baik. Lebar pita energinya yang besar (> 3eV), dibutuhkan dalam DSSC
untuk transparansi semikonduktor pada sebagian besar spektrum cahaya
matahari. TiO2 yang digunakan pada DSSC umumnya berfasa anatase karena
mempunyai kemampuan fotoaktif yang tinggi. TiO2 dengan struktur nanopori
yaitu ukuran pori dalam skala nano akan menaikan kinerja sistem karena
struktur nanopori mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi
sehingga akan menaikan jumlah dye yang teradsorb yang implikasinya akan
menaikan jumlah cahaya yang terabsorb. (Kumara, 2012).
3. Dye
Dye yang teradsorpsi pada permukaan TiO2 merupakan zat pewarna yang
berfungsi sebagai penyerap (absorbsi) cahaya matahari untuk menghasilkan
elektron. Dye yang banyak digunakan dan mencapai efisiensi tertinggi yaitu
jenis ruthenium kompleks. Namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa
dan ruthenium kompleks komersil berharga sangat mahal. Alternatif lain
dengan menggunakan dye dari tumbuhan. Proses fotosintesis pada tumbuhan
telah membuktikan adanya senyawa pada tumbuhan yang dapat digunakan
sebagai dye, antara lain : antosianin, klorofil, dan xantofil. Didapatkan
efisiensi konversi energi yang lebih baik pada turunan dyes klorofil tersebut
karena memiliki gugus carboxylate (Kumara, 2012).

Gambar 5. Perbesaran adsorbsi dye pada substrat dan


oksida semikonduktor (Karasovec, 2009)
4. Elektrolit
Elektrolit berfungsi untuk meregenerasi dye. Elektrolit yang digunakan pada
DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam
pelarut. Karakteristik ideal dari pasangan redoks untuk elektrolit DSSC yaitu :

1. Potensial redoksnya secara termodinamika berlangsung sesuai dengan


potensial redoks dari dye untuk tegangan sel yang maksimal.
2. Tingginya kelarutan terhadap pelarut untuk mendukung konsentrasi yang
tinggi dari muatan pada elektrolit.
3. Pelarut mempunyai koefisien difusi yang tinggi untuk transportasi massa
yang efisien.
4. Tidak adanya karakteristik spektral pada daerah cahaya tempak untuk
menghindari absorbsi cahaya daatng pada elektrolit.
5. Kestabilan yang tinggi baik dalam bentuk tereduksi maupun teroksidasi.
(Kumara, 2012)

5. Katoda
Katalis dibutuhkan untuk merpercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide
pada TCO. Platina, material yang umum digunakan sebagai katalis pada
berbagai aplikasi, juga sangat efisien dalam aplikasinya pada DSSC. Sebagai
alternatif, Kay & Gratzel mengembangkan desain DSSC dengan
menggunakan counter-elektroda karbon sebagai film katalis. Karena luas
permukaanya yang tinggi, counter-elektroda karbon mempunyai keaktifan
reduksi triiodide yang menyerupai elektroda platina (Kumara, 2012).

2.4 Prinsip dan Cara Kerja DSSC


2.4.1 Prinsip Kerja DSSC

Gambar 6. Diagram Sistematik DSSC (Millington, 2009)


Elektroda kerja pada DSSC merupakan kaca yang sudah dilapisi oleh TiO2
yang telah terabsorbsi oleh dye, yang mana TiO2 berfungsi sebagai collector
elektron sehingga dapat disebut sebagai semikonduktor tipe-n. Struktur nano pada
TiO2 memungkinkan dye yang teradsorpsi lebih banyak sehingga menghasilkan
proses absorbsi cahaya yang lebih efisien. Pada elektron pembanding dilapisi
katalis berupa karbon untuk mempercepat reaksi redoks pada elektrolit. Pasangan
redoks yang umumnya dipakai yaitu I-/I3- (iodide/triiodide) (Kumara, 2012).
Pada DSSC dye berfungsi sebagai donor elektron yang menyebabkan
timbulnya hole saat molekul dye terkena sinar matahari. Sehingga dye dapat
dikatakan sebagai semikonduktor tipe-p. Ketika molekul dye terkena sinar
matahari, electron dye tereksitasi dan masuk ke daerah tereduksi yaitu film
titanium dioksida (Rita, 2012).
2.4.2 Cara Kerja DSSC

Gambar 7. Diagram Sistematik Energi dan Prinsip Operasi DSSC (Luque, 2011)
Pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer
elektron, sedangkan proses yang terjadi di dalam DSSC dapat dijelaskan sebagai
berikut :
(1) Ketika foton dari sinar matahari menimpa elektroda kerja pada DSSC,
energi foton tersebut diserap oleh larutan dye yang melekat pada
permukaan partikel TiO2. Sehingga elektron dari dye mendapatkan energi
untuk dapat tereksitasi. Elektron tereksitasi dari ground state (D)
ke excited state (D*). Reaksinya :
D + cahaya  D*
(2) Elektron yang tereksitasi dari molekul dye tersebut akan diinjeksikan ke
pita konduksi (ECB) TiO2 dimana TiO2 bertindak sebagai akseptor /
kolektor elektron. Molekul dye yang ditinggalkan kemudian dalam
keadaan teroksidasi (D+). Reaksinya :
D* + TiO2  e-(TiO2) + D+
(3) Setelah mencapai elektroda TCO, elektron akan ditransfer melewati
rangkaian luar menuju elektroda pembanding (elektroda karbon) melalui
rangkaian eksternal.
(4) Dengan adanya katalis pada elektroda pembanding, elektron dapat
diterima oleh elektrolit. Elektrolit redoks biasanya berupa pasangan iodide
dan triodide (I-/I3-) yang bertindak sebagai mediator elektron sehingga
dapat menghasilkan proses siklus dalam sel. Hole yang terbentuk pada
elektrolit (I3-), akibat donor elektron pada proses sebelumnya,
berekombinasi dengan elektron membentuk iodida (I-). Reaksinya :
2I3- + 2e- 3I-
(5) Iodida digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi,
sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini
terjadi konversi langsung dari energi cahaya matahari menjadi energi
listrik. Elektron yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan bereaksi
dengan elektrolit menuju dye teroksidasi. Dengan adanya donor elektron
oleh elektrolit (I-) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground
state) dan mencegah penangkapan kembali elektron oleh dye yang
teroksidasi. Sehingga dye kembali ke keadaan awal dengan persamaan
reaksi :
D+ + e-(elektrolit)  elektrolit + D (Kumara, 2012)
Tegangan yang dihasilkan oleh sel surya TiO2 tersensitisasi dye berasal dari
perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semikonduktor TiO2 dengan
potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks (I-/I3-). Sedangkan arus yang
dihasilkan dari sel surya ini terkait langsung dengan jumlah foton yang terlibat
dalam proses konversi dan bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye
yang digunakan (Kumara, 2012)

2.5 Pembuatan DSSC


Pembuatan Koloid TiO2
Bubuk komersial dari TiO2, seperti P25 (Degussa atau Nippon Aerosil),
dapat digunakan untuk proses fabrikasi dari fotoelektrota. Koloid TiO2 dibuat
dengan menghidrolisiskan Ti(IV) alkoksida, seperti isopropoksida dan butoksida,
dimana bahan-bahan tersebut selalu digunakan untuk menghasilkan solar sel
dengan performa yang tinggi. Secara umum, bentuk TiO2 dalam anatase lebih
stabil untuk dijadikan elektroda dibandingkan dengan bentuk TiO2 rutile.
Pembuatannya melalui beberapa langkah :
1. Mengendapkan dengan menghidrolisis Ti alkoksida menggunakan 0,1 M
HNO3
2. Peptisasi dengan memanaskan pada suhu 80°C selama 8 jam, diikuti
penyaringan.
3. Pertumbuhan Hidtrotermal dengan autoclaving pada 200 hingga 250°C selama
12 jam.
4. Membersihkan dengan sinar ultrasonic dengan ultrasonic.
5. Mengatur konsentrasi dengan evaporator. (Luque, 2011)
Pengendapan berkaitan dengan mengkontrol hidrolisis dari Ti alkoksida,
seperti Ti isopropoksida. Untuk menghasilkan monodispersi partikel sesuai
ukuran yang diinginkan, hidrolisis dan kinetik kondensasi harus benar-benar
terkontrol. Ti-Alkoksida sesuai dimodifikasi dengan asam asetat atau
menghasilkan koloid asetil asetonat yang mempunyai luas permukaan (>200 m2 g-
1
) dan partikel terkecil berdiameter (5 – 7 nm). Hasil perptisasi dalam pemisahan
dari agglomerates untuk partikel utama, setelah agglomerates berukuran besar
hilang akibat penyaringan. Autoclaving dari larutan koloid timah TiO2 untuk
pertumbuhan pertumbuhan partikel utama berukuran 10-25 nm dan juga sampai
batas tertentu dapat meningkatkan anatase kristalinitas. Pada autoclaving bersuhu
tinggi, terjadi pertumbuhan partikel lebih dan pembentukan rutil juga terjadi,
terutama pada temperatur di atas 240°C. Elektroda disusun dengan menggunakan
koloid diautoclave pada/atau di bawah suhu 230°C dihasilkan elektroda
transparan, sedangkan yang terbuat dari koloid diautoclave pada suhu yang lebih
tinggi dihasilkan elektroda tembus cahaya atau tak tembus cahaya. Setelah
autoclaving, endapan yang didispersikan kembali menggunakan prosesor
ultrasonik yang dilengkapi dengan Ti-utama (misalnya Sonics & Bahan Inc, 400-
600 W). Larutan koloid kemudian diatur konsentrasinya pada suhu 45°C
menggunakan evaporator berputar untuk mencapai konsentrasi yang diinginkan
11% berat TiO2 (Luque, 2011).
Penyiapan Elektroda TiO2
Film TiO2 dibuat dengan salah satu dari dua metode berikut :
Teknik Doktor Blade
Untuk meningkatkan porositas film, 0,02-0,07 g glikol polietilen (PEG,
dengan berat molekul 20000) ditambahkan sebagai pengikat untuk 1 mL dari
larutan koloid TiO2 terkonsentrasi (TiO2, 11% berat). Jika bubuk komersial seperti
P25 digunakan, bubuk akan tersebar dengan mencampurkannya dengan air, juga
di tambahkan stabilisator partikel seperti asetilaseton, dan surfaktan nonionik
seperti Triton X. Larutan koloid TiO2 tersebar pada substrat TCO dan kemudian
disinter pada 450°C selama 30 menit di bawah air. Film TiO2 yang dihasilkan
transparan (Luque, 2011).
Percetakan
Koloid TiO2 dipisahkan dari air dan diasamkan, dicuci dengan hati-hati, dan
kemudian dicampur dengan EC sebagai pengikat dan α-terpineol sebagai pelarut
dalam etanol, menghasilkan TiO2 pasta organik setelah etanol diuapkan. Pasta
tersebut dicetak pada substrat TCO menggunakan mesin sablon dan kemudian
disinter pada 500°C selama 1 jam di bawah air. Ketebalan film mudah dikontrol
dalam pencetakan layar dengan pemilihan komposisi pasta (yaitu % berat TiO2
nanopartikel dalam pasta), ukuran layar mesh, dan pengulangan pencetakan
(Luque, 2011).

Film disiapkan oleh kedua metode memiliki ketebalan film dari 5 sampai 15
μm dan massa film sekitar 1 sampai 2 mg cm-2. Ketebalan film yang optimal
adalah 13 sampai 14 μm. Film-film memiliki porositas 60 sampai 70%. Porositas
tinggi menghasilkan difusi efektif mediator redoks ke dalam film. Kekasaran
faktor (ditampilkan di atas) untuk film 10-μm mencapai sekitar 1000,
memungkinkan adsorpsi dalam jumlah besar fotosensitizer dan akibatnya
meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. TiO2 Film dibuat dari 10 sampai 20
nm partikel TiO2 yang transparan (Luque, 2011).
Hamburan properti dari film ini adalah penting bagi peningkatan LHE dari
film dye berlapis, sehingga menghasilkan kinerja IPCE perbaikan sel. Ini efek
hamburan dalam film TiO2 telah diteliti secara rinci. Jalur panjang dari insiden
ringan dan oleh karena itu penyerapan karena zat warna teradsorpsi dapat
ditingkatkan dengan hamburan cahaya dalam film TiO2. Hal ini dapat dilakukan
dengan penambahan beberapa besar TiO2 partikel kecil dalam partikel TiO2
selama persiapan Film, karena partikel yang lebih besar memiliki luas permukaan
kecil dan akibatnya tidak dapat menyerap sejumlah besar pewarna. Sebuah
simulasi hamburan cahaya dalam elektroda TiO2 dari DSSC memprediksi bahwa
campuran cocok kecil partikel TiO2 (misalnya 20 nm diameter) dan partikel yang
lebih besar (250-300 nm diameter), yang merupakan pusat-hamburan cahaya yang
efektif, memiliki potensi untuk meningkatkan penyerapan cahaya matahari secara
signifikan. Sebenarnya, photocurrent dari DSSCincreased dengan menggunakan
film hamburan dibandingkan untuk film transparan. Perbaikan dalam
photoresponse dari DSSC karena efek hamburan diamati terutama di wilayah-
energi rendah (misalnya 650-900 nm). Nilai IPCE yang diperoleh di wilayah
merah lebih tinggi dari apa yang ditunjukkan oleh spektrum penyerapan zat warna
dalam larutan. Di sisi lowenergy, bagian penting dari radiasi insiden menembus
film karena koefisien penyerapan rendah pewarna, sedangkan foton 500 sampai
650 nm dapat diserap terutama dekat antarmuka TCO/ TiO2 karena koefisien
absorpsi yang besar. Beberapa refleksi dari cahaya-energi rendah sangat
hamburan film mengakibatkan penyerapan cahaya meningkat dan karenanya
meningkatkan photoresponse dari apa penyerapan solusi spektrum menunjukkan
(Luque, 2011).
Ini juga telah melaporkan bahwa TiCl4 pengobatan film secara signifikan
meningkatkan kinerja sel, terutama photocurrent. Setelah pencetakan, TiO2 film
tenggelam dalam 0,1-0,5 M TiCl4 larutan air pada suhu ruang dan kemudian
disinter pada 450°C selama 30 menit. Ada kemungkinan bahwa TiCl4 pengobatan
meningkatkan photocurrent dengan meningkatkan hubungan antara partikel TiO2
(Luque, 2011).
Fiksasi Dye pada Film TiO2
Setelah penyusunan TiO2 film, pewarna fotosensitizer N3 diserap ke
permukaan TiO2. Film-film yang dicelupkan dalam larutan pewarna (0,2-0,3 mM
dalam etanol atau tert-butanol-asetonitril, 1:1 larutan campuran) diikuti dengan
penyimpanan pada suhu kamar selama 12 sampai 18 jam. Perawatan ini
menghasilkan warna intens film. Sebelum digunakan, film ini dicuci dengan
alkohol atau asetonitril untuk menghilangkan kelebihan pewarna tak teradsorpsi
dalam nanopoori TiO2 Film (Luque, 2011).
Eelektroda Redox
Solusi organik yang mengandung ion redoks yodium telah digunakan
sebagai elektrolit redoks. Pelarut organik tipikal adalah pelarut nitrile memiliki
viskositas relatif rendah, seperti asetonitril, propionitril, methoxyacetonitrile, dan
methoxypropionitrile, yang menghasilkan tingkat tinggi konduktivitas ion. Telah
dilaporkan bahwa derivatif imidazolium, seperti iodida 1,2-dimetil-3-
hexylimidazolium (DMHImI) dan iodida 1,2-dimetil-3-propylimidazolium
(DMPImI), menurunkan resistensi dari larutan elektrolit dan meningkatkan kinerja
fotovoltaik. Sebuah komposisi elektrolit khas yang menghasilkan kinerja sel surya
tinggi untuk photosensitizers Ru kompleks dilaporkan oleh kelompok Gratzel
adalah campuran 0,5 M DMHImI, 0,04 M LII, 0,02 M I2, dan 0,5 M tert-
butylpyridine (TBP) dalam asetonitril. Seperti dibahas sebelumnya, TBP
menggeser tingkat konduksi-band dari elektroda TiO2 ke arah negatif dan
menekan arus gelap yang sesuai dengan pengurangan ion I3- oleh elektron
disuntikkan, yang mengarah ke peningkatan tegangan (Luque, 2011).
Elektroda Counter
Tergagap Pt pada substrat TCO (5-10 mg cm-2, atau ketebalan 200 nm) telah
biasanya digunakan sebagai elektroda lawan. Ketika Pt tergagap menghasilkan
efek seperti cermin, photocurrent sedikit meningkat karena efek cahaya refleksi.
Selain itu, aktivitas elektrokatalitik dari Pt-tergagap TCO elektroda untuk reduksi
ion-ion tri-iodida ditingkatkan dengan pembentukan Pt koloid di permukaan.
Sejumlah kecil larutan beralkohol dari H2PtCl6 dijatuhkan pada permukaan Pt-
tergagap TCO substrat, diikuti dengan pengeringan dan pemanasan pada 385°C
selama 10 menit, sehingga pembentukan Pt koloid di permukaan. Sifat dari
elektroda lawan Pt langsung mempengaruhi faktor isi dari sel surya. Sebuah
diinginkan rapat arus pertukaran sesuai dengan aktivitas elektrokatalitik untuk
pengurangan ion tri-iodida adalah 0,01-0,2 A/cm-2 (Luque, 2011).
Menggabungkan Elektroda TiO2 dan Elektroda
Kita dapat dengan mudah membuat sebuah DSSC membukanya dan
mengukur kinerja PV. Sebuah film spacer, seperti polietilena (15 - sampai 30-μm
tebal), ditempatkan pada photoelectrode TiO2 dye berlapis dan kemudian larutan
elektrolit dijatuhkan pada permukaan TiO2 elektroda menggunakan pipet (satu
atau dua tetes). Elektroda counter ditempatkan di atas elektroda TiO2, dan
kemudian dua elektroda diikat bersama-sama dengan dua klip pengikat. Jika titik
lebur film polimer rendah seperti Surlyn digunakan sebagai pengganti film spacer,
kita dapat membuat sel disegel setelah kemasan dari sel menggunakan resin
(misalnya etilena vinil asetat, EVA) untuk stabilitas jangka panjang (Luque,
2011).

Gambar 7. Skala Fabrikasi DSSC. (Luque, 2011)


BAB III
KESIMPULAN

DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia yang menggunakan elektrolit


sebagai medium transport muatan untuk mengkonversi cahaya matahari menjadi
energi listrik, dimana efisiensi konversinya telah mencapai 10-11% (Muliani,
2012).
Teknologi DSSC muncul dari konsep fotosintesis buatan yang mencoba
meniru kemampuan tanaman untuk mengubah sinar matahari menjadi energi yang
berguna. Pada DSSC, klorofil digantikan oleh warna penyerap cahaya, di mana
molekulnya tereksitasi ke bentuk energi yang lebih tinggi oleh cahaya yang
masuk. Energi ini dikumpulkan oleh struktur elektrolit dan katalis, yang
strukturnya lebih seperti daun pada fotosintesis (Kumara, 2012).
Prinsip Kerja DSSC

Pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer
elektron (Kumara, 2012). Dye berfungsi sebagai donor elektron yang
menyebabkan timbulnya hole saat molekul dye terkena sinar matahari. Ketika
molekul dye terkena sinar matahari, electron dye tereksitasi dan masuk ke daerah
tereduksi yaitu film titanium dioksida (Rita, 2012). TiO2 berfungsi sebagai
collector elektron. Struktur nano pada TiO2 memungkinkan dye yang teradsorpsi
lebih banyak sehingga menghasilkan proses absorbsi cahaya yang lebih efisien.
Pada elektron pembanding dilapisi katalis berupa karbon untuk mempercepat
reaksi redoks pada elektrolit (Kumara, 2012).
Cara Kerja DSSC
Ketika foton dari sinar matahari menimpa elektroda kerja pada DSSC,
energi foton diserap oleh larutan dye, sehingga elektron dari dye mendapatkan
energi untuk dapat tereksitasi. Elektron yang tereksitasi tersebut akan diinjeksikan
ke TiO2 dimana TiO2 bertindak sebagai akseptor / kolektor elektron, kemudian
molekul dye teroksidasi (D+). Setelah mencapai elektroda TCO, elektron akan
ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda pembanding (elektroda
karbon). Dengan adanya katalis pada elektroda pembanding, elektron dapat
diterima oleh elektrolit. Elektrolit redoks bertindak sebagai mediator elektron
sehingga dapat menghasilkan proses siklus dalam sel. Elektrolit (I3-)
berekombinasi dengan elektron membentuk iodida (I-). Iodida digunakan untuk
mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, terbentuklah suatu siklus
transport elektron. Elektron yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan
bereaksi dengan elektrolit menuju dye teroksidasi, sehingga molekul dye kembali
ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron
oleh dye yang teroksidasi. (Kumara, 2012)
Tegangan yang dihasilkan oleh sel surya TiO2 tersensitisasi dye berasal dari
perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semikonduktor TiO2 dengan
potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks (I-/I3-). Sedangkan arus yang
dihasilkan dari sel surya ini terkait langsung dengan jumlah foton yang terlibat
dalam proses konversi dan bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye
yang digunakan (Kumara, 2012)
Cara Pembuatan DSSC
Pembuatan Koloid TiO2
Mengendapkan partikel koloid TiO2 dengan menghidrolisis Ti alkoksida
menggunakan 0,1 M HNO3. Peptisasi partikel kolod TiO2 dengan memanaskan
pada suhu 80°C selama 8 jam, diikuti dengan penyaringan. Autoclaving larutan
koloid timah TiO2 pada suhu 200-250°C selama 12 jam. Elektroda yang disusun
dari proses Autoclaving dibersihkan dengan sinar ultrasonic. Konsentrasi larutan
koloid diatur menggunakan evaporator berputar (Luque, 2011).
Penyiapan Elektroda TiO2
Koloid TiO2 dipisahkan dari air dan diasamkan, dicuci dengan hati-hati, dan
kemudian dicampur dengan EC sebagai pengikat dan α-terpineol sebagai pelarut
dalam etanol, menghasilkan TiO2 pasta organik setelah etanol diuapkan. Pasta
tersebut dicetak pada substrat TCO menggunakan mesin sablon dan kemudian
disinter pada 500°C selama 1 jam di bawah air (Luque, 2011).
Fiksasi Dye pad Film TiO2
Setelah film TiO2 disusun, film-film dicelupkan dalam larutan pewarna
diikuti dengan penyimpanan pada suhu kamar selama 12 sampai 18 jam. Film ini
dicuci dengan alkohol atau asetonitril untuk menghilangkan kelebihan pewarna
tak teradsorpsi dalam nanopoori TiO2 Film (Luque, 2011).
Eelektroda Redoks
Solusi organik yang mengandung ion redoks yodium (ion I3-) telah
digunakan sebagai elektrolit redoks. (Luque, 2011).
Elektroda Counter
Sejumlah kecil larutan beralkohol dari H2PtCl6 dijatuhkan pada permukaan
Pt-tergagap TCO substrat, diikuti dengan pengeringan dan pemanasan pada 385°C
selama 10 menit (Luque, 2011).
Mengabungkan Elektroda TiO2 Elektroda
Sebuah film spacer, ditempatkan pada photoelectrode TiO2 dye berlapis dan
kemudian larutan elektrolit dijatuhkan pada permukaan TiO2 (satu atau dua tetes).
Elektroda counter ditempatkan di atas elektroda TiO2, dan kemudian dua
elektroda diikat bersama-sama dengan dua klip pengikat (Luque, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Flavin, Christopher. 1995. Gelombang Revolusi Energi. Jakarta : IKAPI


Goswami, D. Yogi. 2007. Advances in Solar Energy: An Annual Review of
Research and Develoμment Volume 17. USA : American Solar Energy
Society.
Hardeli. 2011. Pembuatan Prototipe Dye Sensitized Solar Cells (DSSC)
Menggunakan Ubi Jalar Ungu, Wortel dan Kunyit Sebagai Sumber Zat
Warna. Padang : UNP
Hendroko, Roy, Rama Prihandana. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju
Negeri Mandiri Energi. Jakarta: Niaga Swadaya.
Ksidty, C. Jotin, B. Kent Lall. 2006. Dasar-Dasar Rekayasa Teknologi. Jakarta :
Erlangga.
Karasovec, U. O., Berginc, M., Hocevar, M., and Topic, M. 2009. Unique
TiO2 paste for high efficiency dye-sensitized solar cell. Solar Energy
Materials & Solar Cell, Vol. 93, pp. 379 – 381.
Kumara, Maya Sukma Widya, Drs. Gontjang Prajitno, M.Si. 2012. Studi Awal
Fabrikasi Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) Dengan Menggunakan
Ekstraksi Daun Bayam (Amaranthus Hybridus L.) Sebagai Dye
Sensitizer Dengan Variasi Jarak Sumber Cahaya Pada DSSC. Surabaya :
Digilib ITS.
Leque, Antonio, Steven Hegedus. 2011. Handbook of Photovoltalic Science and
Engineering. UK : John Willey & Sons.
Millington, K.R.. 2009. Dye-Sensitized Cells. Australia : Elsevier B. V.
Muliani, Lia., Rosa, Erlyta Rosa., Hidayat, Jojo., dkk. Pembuatan Sel Surya
Berbasis Dye-Sensitized Menggunakan Substrat Fleksibel. Bandung :
Teknik Fisika Fakultas Teknik Industri ITB.
Nadeak, S. M. Reynard. 2012. Variasi Temperatur dan Waktu Tahan Kalsinasi
terhadap Unjuk Kerja Semikonduktor TiO2 sebagai Dye Sensitized
Solar Cell (DSSC) dengan Dye dari Ekstrak Buah Naga Merah.
Surabaya : Teknik Material dan Metalurgi ITS.
Pandur, Servas. 2009. Energynomics : Ideologi Terbaru Dunia. Jakarta: Gramedia
Parning, Horale, Tiopan. 2007. Kimia SMA Kelas X Semester Pertama. Jakarta :
Yudhistira Ghalia Indonesia.
Prasetyowati, Rita. 2012. Sel Surya Berbasis Titania sebagai Sumber Energi
Listrik Alternatif. Yogyakarta : Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.
Septiana, Wilman. 2012. Sel Surya : Struktur dan Cara Kerja. Medan : USU
Soutter, Will. 2012. Soaking Up the Sun : Drexel-Penn Partnership to Develop
More Efficient Dye-Sensitized Solar Panels. Philadephia : Britt
Faulstick.
Widodo, Tjatur, Rusminto. 2003. Solar Cell : Sumber Energi Masa Depan yang
Ramah Lingkungan. ITS : Surabaya
Wulandari, Henni, Eka. 2012. Studi Awal Fabrikasi Dye Sensitized Solar Cell
(DSSC) Menggunakan Ekstraksi Bunga Sepatu (Hibiscus Rosa Sinensis
L.) sebagai Dye Sinsitizer dengan Variasi Lama Absorpsi Dye.
Surabaya : ITS.
Yuliarto, Brian, PhD. 2011. Solar Sel. Bandung : ITB

Anda mungkin juga menyukai