Anda di halaman 1dari 6

Biografi Asrul Sani - Pelopor Sastrawan Angkatan 45 dan Sutradara Film

Asrul Sani
Asrul Sani adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia. Sebagai
Sastrawan ia termasuk ke dalam kelompok Sastrawan Angkatan '45. Tahun 2000 Asrul
menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.

Asal usul
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926. Ia merupakan anak bungsu dari tiga
orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang
Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya
Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.

Pendidikan
Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (sekolah dasar
bentukan pemerintah kolonial Belanda) di Bukit Tinggi pada 1936. Lalu ia melanjutkan SMP di
SMP Taman Siswa, Jakarta pada 1942. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran
Hewan, Bogor. Akan tetapi, minatnya akan Sastra sempat mengalihkan perhatiannya dari kuliah
kedokteran hewan sehingga Asrul sempat pindah ke Fakultas Sastra UI dan, dengan beasiswa
Lembaga Kebudayaan Indonesi- Belanda, mengikuti pertukaran ke Akademi Seni Drama,
Amsterdam pada 1952 walaupun akhirnya kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga
memperoleh gelar dokter hewan pada 1955. Pada masa kuliah itu juga Asrul sempat mengikuti
seminar kebudayaan di Harvard University pada 1954. Setelah tamat kedokteran hewan, Asrul
kembali mengejar hasratnya akan seni sastra dengan melanjutkan kuliah dramaturgi dan
sinematografi di South California University, Los Angeles, Amerika Serikat (1956) dan
kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).

Karier
Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya
sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan
buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak
mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka
juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai
manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.
Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis
cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke
dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para
kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun
’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).
Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia
film. Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P,
dua dari banyak karya yang lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Jam Malam (mendapat
penghargaan dari FFI, 1955), Apa yang Kau Cari Palupi? (mendapat Golden Harvest pada
Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan
namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972),
Jembatan Merah (1973), Bulan di atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya. Salah
satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang
dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.

Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang
kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI
(Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik NU, yang mulai
berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi
Ketua Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan
LESBUMI, Abad Muslimin.
Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU, terpilih lagi
pada periode 1971-1976 mewakili PPP. Sementara itu sejak tahun 1968 terpilih sebagai anggota
DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pada tahun 1976-79 menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970
diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi Rektor LPKJ
(Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini bernama IKJ. Pernah beberapa kali duduk sebagai
anggota Badan Sensor Film, tahun 1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua Dewan Film
Nasional, Sejak tahun 1995 menjadi anggota BP2N (Badan Pengembangan Perfilman Nasional).
Akibat sederet karya pada bidang seni dan pengabdian pada negara, pada tahun 2000 lalu, ia
dianugerahi Bintang Mahaputra oleh pemerintah Republik Indonesia.
Karya
Sastra

 Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950)
 Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
 Mantera (kumpulan sajak, 1975)
 Mahkamah (drama, 1988)
 Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)
 Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)

Film

 Titian Serambut Dibelah Tudjuh, 1959


 Pagar Kawat Berduri (1963)
 Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970)
 Jembatan Merah (1973)
 Salah Asuhan (1974)
 Bulan di Atas Kuburan (1976)
 Kemelut Hidup (1978)
 Di Bawah Lindungan Ka'bah (1981)
Biografi Amir Hamzah - Sastrawan Indonesia Angkatan Pujangga Baru

Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera


Alias : Amir Hamzah | Tengku Amir Hamzah
Lahir : Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur,
Hindia Belanda .Selasa, 28 Februari 1911
Meninggal: 20/31946 (umur 35) Kwala Begumit,
Binjai, Langkat, Indonesia.
Makam: Masjid Azizi, Tanjung Pura,
Langkat, Sumatera Timur, Indonesia
Pekerjaan: Sastrawan, Penyair,
Pejabat Pemerintahan Daerah.
Bahasa: Indonesia, Melayu.
Kebangsaan: Indonesia.
Suku bangsa: Melayu.
Aliran sastra: Simbolisme.
Tema: Cinta, Agama
Karya terkenal: Boeah Rindoe (1937),
Njanji Soenji (1941).
Pasangan : Tengkoe Poeteri Kamiliah
Anak: Tengkoe Tahoera
Ayah : Tengku Muhammad Adil
Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra
Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura,
Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit,
Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun). Ia adalah sastrawan Indonesia
angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Dia lahir dalam lingkungan
keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat).

Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang
paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur,
Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa
terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe.

Pendidikan
Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di
Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir
Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian,
Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO
Menjangan dan lulus pada tahun 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS
(Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah.
Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Amir Hamzah adalah seorang
siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan
kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak
tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti
kamar seorang g4dis remaja.
Sekitar tahun 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan
seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah
hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937
ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil
tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia
memenuhi tugas kekeratonannya.
Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra
sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis
beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu yang terbit
pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan
Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS
Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai
tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan
studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di
dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah
Poedjangga Baroe.
Karya
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah
Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “M4buk” dan
“Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali
karya sastra yang dibuat oleh Amir Hamzah.

Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan


dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah
Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Meninggal dunia
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah.
Dia menjadi salah satu korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo. Kala itu
pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir
Hamzah pada 7 Maret 1946. Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu
dihukum mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid
Azizi. Amir Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18
prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya
itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang
merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa
tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik
batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa
Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum,
serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.

Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, sedangkan karya-karyanya
selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi
umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair
Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya
penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai