Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab kematian utama di
Indonesia. Banyak orang terkena serangan jantung tanpa ada gejala apapun
sebelumnya. Selama 50 tahun terakhir, semakin banyak orang terkena
penyakit jantung koroner, dan beberapa faktor penyebab utamanya telah
diketahui (Zahrawardani dkk, 2013)
Menurut statistik dunia, ada 9,4 juta kematian setiap tahun yang
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dan 45% kematian tersebut
disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Diperkirakan angka tersebut akan
meningkat hingga 23,3 juta pada tahun 2030 (Ghani dkk, 2016).
Di Indonesia salah satu penyakit kardiovaskular yang terus menerus
menempati urutan pertama adalah penyakit jantung koroner. Menurut survei
Sample Registration System angka kematian penyakit jantung koroner 12,9%
dari seluruh kematian. Prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan
diagnosis dokter yang dilakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
sebesar 0,5% sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar
1,5%. Hasil Riskesdas ini menunjukkan penyakit jantung koroner berada
pada posisi ketujuh tertinggi Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia
(Ghani dkk ,2016).
Penyakit jantung koroner (PJK) ini masih merupakan masalah
kesehatan yang penting dan berdampak secara sosio-ekonomi karena biaya
obat-obatan yang cukup mahal, lamanya waktu perawatan dan pengobatan,
serta pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan dalam proses pengobatan.
Upaya pencegahan melalui deteksi dini faktor risiko dan upaya
pengendaliannya sangat penting dilakukan (Ghani dkk, 2016).
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit yang disebabkan
adanya plak yang menumpuk di dalam arteri koroner yang mensuplai oksigen
ke otot jantung. Penyakit ini termasuk bagian dari penyakit kardiovaskuler
yang paling umum terjadi (Ghani dkk, 2016).

2.2 Etiologi Penyakit Jantung Koroner


Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada prinsipnya disebabkan
oleh dua faktor utama yaitu:
1. Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit
arteri koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis
menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri
koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh
darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan
meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium (Brown, 2006).
2. Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan
lama kelamaan berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya,
gumpalan darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk
mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka.
Berkumpulnya gumpalan darah dibagian robek tersebut, yang kemudian
bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus. Trombosis ini
menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung, dapat
menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di
pembuluh darah otak menyebabkan stroke (Kusrahayu, 2004).
3

2.3 Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnyar. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi
tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan
marka jantung
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
4

nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG
awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan
yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat
sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap
6 jam dan setiap terjadi angina berulang (Perki, 2018)

2.4 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner


Sebagian besar PJK adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard) (Perki, 2018).

2.5 Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner


A. Faktor Utama
1. Hipertensi
Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya
PJK. Komplikasi hipertensi terhadap jantung yang paling sering adalah
Kegagalan Ventrikel Kiri, PJK seperti Angina Pektoris dan Miokard
Infark.
5

Perubahan hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena:


a. Meningkatnya tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung
dari berat dan lamanya hipertensi.
b. Mempercepat timbulnya arterosklerosis.
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner. Hal ini
menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard
infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding
orang normal. Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh
yang lebih besar. Kejadian PJK pada hipertensi sering dan secara
langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik.
Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia
45-75 tahun mendapatkan hipertensi sistolik merupakan faktor
pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard infark. Juga pada
penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami
miokard infark mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita
yang normotensi dengan miokard infark.
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara
PJK dan tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih
besar pada kelompok tekanan darah diastolik 90-104 mmHg
dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan pada
tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x lebih besar. Penelitian stewart
1979 & 1982 juga memperkuat hubungan antara kenaikan takanan
darah diastolik dengan resiko mendapat miokard infark. Apabila
Hipertensi sistolik dari Diastolik terjadi bersamaan maka akan
menunjukkan resiko yang paling besar dibandingkan penderita yang
tekanan darahnya normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster juga
6

melaporkan bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan Tekanan


darah sistolik diastolik dibandingkan Tekanan darah Diastolik saja.
Pemberian obat yang tepat pada Hipertensi dapat mencegah terjadinya
miokard infark dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga
diperhatikan efek samping dari obat- obatan dalam jangka panjang. oleh
sebab itu pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang jauh
lebih baik untuk menurunkan resiko PJK. Tekanan darah yang normal
merupakan penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan,
kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta pemasukan Na dan K
yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola
kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan
Tekanan darah sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian.
Fraser dkk. Orang-orang dengan kesegaran jasmani yang optimal
tekanan darahnya cenderung rendah. Penelitian di Amerika Serikat
melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka
kematian PJK sebayak 25%. Keadan ini mungkin akibat hasil dari
deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian betablocker dan
bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok.
2. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting
karena termasuk faktor resiko utama PJK di samping Hipertensi dan
merokok. Kadar Kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan makanan
sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah keturunan,
umur, dan jenis kelamin, obesitas, stress, alkohol, exercise. Beberapa
parameter yang dipakai untuk mengetahui adanya resiko PJK dan
hubungannya dengan kadar kolesterol darah:
a. Kolesterol Total
Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl,
bila > 200 mg/dl berarti resiko untuk terjadinya PJK meningkat.
7

Kadar Kolesterol Total


Normal Agak Tinggi Tinggi
<200mg/dl 2-239mg/dl >240mg/dl

b. LDL Kolesterol
LDL (Low Density Lipoprotein) kontrol merupakan jenis
kolesterol yang bersifat buruk atau merugikan: karena kadar LDL
yang meninggi akan rnenyebabkan penebalan dinding pembuluh
darah. Kadar LDL kolesterol lebih tepat sebagai penunjuk untuk
mengetahui resiko PJK dari pada kolesterol total.
Kadar LDL Kolesterol
Normal Agak Tinggi Tinggi
130mg/dl 130-159md/dl >160md/dl

c. HDL Koleserol
HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol merupakan
jenis kolesterol yang bersifat baik atau menguntungkan (good
cholesterol) : karena mengangkut kolesterol dari pembuluh darah
kembali ke hati untuk di buang sehingga mencegah penebalan
dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses
arterosklerosis.
Kadar HDL Kolesterol
Normal Agak Tinggi Tinggi
<45mg/dl 35-45mg/dl >45mg/dl

Jadi makin rendah kadar HDL kolesterol, makin besar


kemungkinan terjadinya PJK. Kadar HDL kolesterol dapat
dinaikkan dengan mengurangi berat badan, menambah exercise
dan berhenti merokok.
8

d. Rasio Kolesterol Total : HDL Kolesterol


Rasio kolesterol total: HDL kolesterol sebaiknya (4.5 pada
laki-laki dan 4.0 pada perempuan). makin tinggi rasio kolesterol
total : HDL kolesterol makin meningkat resiko PJK.
e. Kadar Trigliserida
Trigliserida didalam yang terdiri dari 3 jenis lemak yaitu
Lemak jenuh, Lemak tidak tunggal dan Lemak jenuh ganda. Kadar
triglisarid yang tinggi merupakan faktor resiko untuk terjadinya
PJK.
Kadar Trigliserida
Normal Agak Tinggi Tinggi
<150mg/dl 150-250mg/dl 250-500mg/dl

Kadar trigliserida perlu diperiksa pada keadaan sbb : Bila


kadar kolesterol total > 200 mg/dl, PJK, ada keluarga yang
menderita PJK < 55 tahun, ada riwayat keluarga dengan kadar
trigliserida yang tinggi, ada penyakit DM & pankreas.
3. Merokok
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu
faktor resiko utama PJK disamping hipertensi dan hiperkolesterolami.
Orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau
memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya.
Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak
akibat PJK pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan
perokok dan pada perempuan perokok 4.5x lebih dari pada bukan
perokok. Efek rokok adalah Menyebabkan beban miokard bertambah
karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi 02
akibat inhalasi co atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan
tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -
Hb. Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol
9

makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL


kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok
juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai
obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung
lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan
perokok.
Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan
berkurang 50 % pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok
dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10
tahun.
B. Faktor Resiko Lainnya
1. Umur
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat
PJK. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44
tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol
pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada
laki-laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun.
Pada perempuan sebelum menopause ( 45-0 tahun ) lebih rendah dari
pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar
kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-
laki.
2. Jenis kelamin.
Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada
1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan. Ini berarti bahwa laki-laki
mempunyai resiko PJK 2-3x lebih besar dari perempuan.
3. Geografis
Resiko PJK pada orang Jepang masih tetap merupakan salah satu yang
paling rendah di dunia. Akan tetapi ternyata resiko PJK yang meningkat
pada orang jepang yang melakukan imigrasi ke Hawai dan Califfornia.
Hal ini menunjukkan faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya dari
pada genetik.
10

4. Ras
Perbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok,
walaupun bercampur baur dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi .
Di Amerika serikat perbedaan ras perbedaan antara ras caucasia dengan
non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan resiko PJK pada non
caucasia kira-kira separuhnya.
5. Diet
Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di
dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika
rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar
kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa
nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar
kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari
pada Amerika.
Beberapa peetunjuk diet untuk menurunkan kolesterol :
• Makanan harus mengandung rendah lemak terutama kadar lemak
jenuh tinggi
• Mengganti susunan makanan dengan yang mengandung lemak tak
jenuh.
• Makanan harus mengandung rendah kolesterol
• Memilih makanan yang tinggi karbohidrat atau banyak tepung dan
berserat
• Makanan mengandung sedikit kalori bila berat badan akan
diturunkan pada obesitas dan memperbanyak exercise
6. Obesitas
Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan
> 21 % pada perempuan . Obesitas sering didapatkan bersama-sama
dengan hipertensi, DM, dan hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol . Resiko PJK akan
jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari BB ideal. penderita
yang gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menurunkan
11

kolesterolnya dengan mengurangi berat badan melalui diet ataupun


menambah exercise.
7. Diabetes.
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai
predisposisi penyakit pembuluh darah. Penelitian menunjukkan laki-
laki yang menderita DM resiko PJK 50 % lebih tinggi daripada orang
normal, sedangkan pada perempuaan resikonya menjadi 2x lipat.
8. Exercise.
Exercise dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki
kolaterol koroner sehingga resiko PJK dapat dikurangi. Exercise
bermanfaat karena :
• Memperbaiki fungsi paru dan pemberian 02 ke miokard
• Menurunkan BB sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang
bersama-sama dengan menurunkan LDL kolesterol
• Membantu menurunkan tekanan darah
• Meningkatkan kesegaran jasmani
9. Perilaku dan Kebiasaan lainnya
Dua macam perilaku seseorang telah dijelaskan sejak tahun 1950 yaitu :
Tipe A dan Tipe B. Tipe A umumnya berupaya kuat untuk berhasil,
gemar berkompetisi, agresif, ambisi, ingin cepat dapat menyelesaikan
pekerjaan dan tidak sabar. Sedangkan tipe B lebih santai dan tidak
terikat waktu . Resiko PJK pada tipe A lebih besar daripada tipe B.
10. Perubahan Keadaan Sosial Dan stress
Perubahan angka kematian yang menyolok terjadi di Inggris dan Wallas
. Korban serangan jantung terutama terjadi pada pusat kesibukan yang
banyak mendapat stress. Penelitian Supargo dkk ( 1981-1985 ) di FKUI
menunjukkan orang yang stress 11/2x lebih besar mendapatkan resiko
PJK stress disamping dapat menaikkan tekanan darah juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol darah.
11. Keturunan
Hipertensi dan hiperkolesterolemi dipengaruhi juga oleh faktor genetik.
12

2.6 Diagnosa Penyakit Jantung Koroner


1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina
tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan
kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan
tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National
Cholesterol Education Program) (Perki, 2018)
2. Pemeriksaan fisik
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan
nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang
perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA (Perki,
2018).
13

3. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua
pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua
pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat
mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan
keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB
(Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST
yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen
ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan
pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai
ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam,
bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST
di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia
<40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan
V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang
≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah
≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan
dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan
LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
14

kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum
hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG
sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, Avl Lateral
II, III, Avf Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran


EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif
dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti
ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas
tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan
angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST
yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan nonelevasi
segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP).
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05
mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan
dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang
tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan.
Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut (Perki, 2018).
15

Kemungkinan PJK adalah dengan gejala dan tanda:


1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal

Definitif PJK adalah dengan gejala dan tanda:


1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi
ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka
jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat.
Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang
nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive
cardiovascular care (ICVCU/ICCU) ( Perki, 2018)
4. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA (Perki,
2018)
5. Pemeriksaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang
gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan
pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta (Perki, 2018)
16

2.7 Tindakan Umum dan Langkah Awal


Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B) atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap
lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan
pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN)
dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas
IIa-B) (Perki, 2018).
17

TATALAKSANA
1. Angina Pektoris Stabil
a. Betablocker
Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana
hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang
menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi
iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan
kronotropik negative. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung
maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang.
Betablocker juga menghambat pelepasan renin di ginjal yang akan
menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (β1)
lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas
simpatomimetik intrinsic.
b. Calcium channel blocker (CCB)
CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis
betabloker, bila terjadi :
- TD yang tetap tinggi
- Angina yang persisten
- Atau adanya kontraindikasi absolute pemberian dari betabloker
CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah.
Selain itu, CCB juga akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
efek vasodilatasi koroner. Perlu diingat, bahwa walaupun CCB berguna
pada tatalaksana angina, tetapi sampai saat ini belum ada rekomendasi
yang menyatakan bahwa obat ini berperan terhadap pencegahan kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
c. ACE inhibitor (ACEi)
Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai
diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel
kiri merupakan pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua
guidelines yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus
18

sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi,


terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular. Pada pasien
hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga
direkomendasikan , khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar
yaitu ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada
pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir
kardiovaskular bila dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun
kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang sama.
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap
ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril
memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan
risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi.
e. Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular, seperti yang telah dinyatakan beberapa penelitian
terdahulu, sepertiVeterans Administrations Studies, MRC dan SHEP.
f. Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina
yang belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat
pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Tetapi sampai saat ini
tidak ada data yang mengatakan penggunaan nitrat dalam tatalaksana
hipertensi, selain dikombinasikan dengan hidralazin pada kasus-kasus
tertentu.
2.Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST
(IMA- NST) Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan
sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan
antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat
19

mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai


oksigen, sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal
meliputi tirah baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen,
nitrogliserin dan bila angina terus berlanjut dengan pemdapat diberikan
morfin sulfat. Perlu diingat bahwa pemberian nirat selama angka panjang
tidak direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai saat ini (PERKI,
2015).
3. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST) Seperti pada
IMA-NST, dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma
koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan
(PERKI, 2015).
20

BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Umur : 76 Tahun
Jenis kelamin : Pria
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Pulo brayan bengkel, asrama ex you 124 no 1-B
Status : Menikah
Pekerjaan : punairawan
Tanggal Masuk : 31 Desember2018
Tanggal keluar :-

II. ANAMNESA
Keluhan Utama : Nyeri dada
Telaah : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Putri Hijau dengan
Keluhan nyeri dada sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, nyeri dada sebelah kiri menjalar ke leher dan
punggung dan terasa seperti di timpa beban berat serta dada
dirasakan berdebar-debar, nyeri dada seperti ini sering
hilang timbul beberapa bulan terakhir dan mereda bila
beristirahat. Pasien merasa sesak nafas, terdapat keringat
dingin, mual (+) dan terdapat kelemahan pada lengan
sebelah kanan dan pasien sulit berbicara, muntah (-) BAB
dan BAK dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak ada


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak di Ketahui
Riwayat Penggunaan Obat : Tidak ada
21

Riwayat Sosial Ekonomi : Merokok (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Apatis GCS E:3, V:4, M:5
1. Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 66 x/menit Irreguler
Pernafasan : 30 x/menit
Temperature : 36,5 ºC
2. Kepala
Bentuk : Normochepali
Mata :Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Reflek
cahaya +/+
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Pernapasan cuping hidung -/-, tidak ada kelainan
Mulut : bibir sianosis (-)
3. Leher
JVP : 5+ 2 cm H₂O
Struma : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
4. Toraks
a. Paru – Paru
Inspeksi : Simetris kanan = kiri
Palpasi : Stem Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Ronchi basah
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
22

- Batas jantung kanan atas ICS II linea parasternalis dextra


- Batas jantung kanan bawah ICS IV linea midclavicularis dextra
- Batas jantung kiri atas ICS III linea parasternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah ICS VI linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung: BJ I > BJ II
Bunyi Tambahan : (-)
5. Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-) Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus dalam batas normal
6. Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem pretibia (+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hasil Laboratorium Tanggal 01 Januaro 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Rutin
Haemoglobin 13,22 g/dl L : 13-18
P : 12-14
Eritrosit 4,19 106/ul 4.5-6.5
Leukosit 8.720 /ul 4.000-11.000
Hematokrit 39.5 % L : 40-48
P : 37-43
Trombosit 256.100 /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 94.3 Fl 80-99
MCH 31.6 Pg 27-31
MCHC 33.5 % 30-37
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 5,21 % 0,80-8,10
23

Basofil 0,19 % 0,20-1,50


Neutrofil 74.97 % 43,50-73,50
Limfosit 12.89 % 15,20-43,30
Monosit 6.74 % 5,50-13,70
Kimia Klinik
Bilirubin Total 1.61 mg/dl <1
Bilirubin Direx 0.59 mg/dl <0,3
SGOT 30 U/L L : <35
P : <31
SGPT 17 U/L L : <45
P : <34
Ureum 54 mg/dl <50
Kreatinin 1.5 mg/dl L : 0,8-1,3
P : 0,6-1,2
Asam Urat 8.2 mg/dl L : <7
P : <5,7
Glukosa Sewaktu 114 mg/dl <200
Elektrolit
Natrium 110 mmol/L 135-145
Kalium 3,1 mmol/L 3,5-5,5
Kolida 154 mmol/L 96-106
24

2. Rontgen Thorax PA

Kesan: COR : Kardiomegali CTR 51%


25

3. EKG

Kesan : SR + RAD + RBBB + OMI Inferior


26

VI. DIAGNOSA KERJA


HHD+PJK

VII. PENATALAKSANAAN
1. Tirah Baring
2. O₂ 2-3 L/menit
3. IVFD Nacl 20 gtt/menit
4. Inj. Citicolin 250mg / 12 jam
5. Inj. Ranitidine 50mg/ 12 jam
6. Bisoprolol 5 mg 1 x 1/2
7. Alupurinol 1 x 300mg
8. Bicnat 3x1
27

BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit


Putri Hijau Medan atas nama Ny H, usia 76 tahun. Diagnosa ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
pasien telah di berikan pengobatan dan selanjutnya dilanjutkan dengan rawat inap
untuk beberapa hari..
28

DAFTAR PUSTAKA

Djohan, T.B.A., 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Medan: Ahli
Penyakit Jantung Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf
Ghani, L dkk., 2016. Faktor Risiko Dominan Penyakit Jantung Koroner di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan
Pelayanan Kesehatan. https://media.neliti.com/media/publications/67897-
ID-faktor-risiko-dominan-penyakit-jantung-k.pdf
PERKI. 2018. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. Jakarta: Centra
Communication. Edisi 4. http://www.inaheart.org/upload/file/Buku-ACS-
2018.pdf.
PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.
Edisi 1. http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hiper
tensi_pada_penyakit _Kardiovaskular_2015.pdf
Zahrawardani, D dkk., 2013. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung
Koroner di RSUP Dr Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang. file:///C:/Users/DWI/Downloads/
1341-2791-1-SM%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai