Anda di halaman 1dari 12

Apa itu Stres dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

VIRGINIA PRAMESWARI OCTOBER 6, 2017 28

FacebookTwitterWhatsAppLine
Apa itu stres? Bisakah kita hidup tanpa stres? Pada titik apa stres menyeret orang ke gangguan
mental lain? Bagaimana pula cara mengatasi stres dengan cara yang tepat? Semua dibahas tuntas di
artikel ini oleh dokter yang fokus mendalami neurosains.

Beberapa waktu lalu, publik dunia dihebohkan dengan kasus bunuh diri Chester Bennington, vokalis
band Linkin Park. Chester dilaporkan bunuh diri karena stres yang membuatnya depresi
berkepanjangan sejak lama. Jauh sebelum kasus bunuh diri Chester, publik Indonesia juga
dihebohkan dengan kasus bunuh diri manajer JKT48. Katanya sih karena stres kerja yang bertekanan
tinggi. Ada pula kasus bunuh diri yang dilakukan secara live melalui Facebook oleh seorang lelaki
yang stres ditinggal anak istri.
Stres lagi, stres lagi. Entah itu depresi, gangguan psikologi lain, hingga kasus bunuh diri; semuanya
berawal dari stres. Kehebohan di media sudah seharusnya membuat kita sadar bahwa kita tidak bisa
menganggap remeh stres. Bahayanya jelas kita lihat dan kita dengar. Sudah saatnya untuk
semakin aware dengan isu kesehatan mental ini.
Tapi apa stres itu sebenarnya? Bisakah kita hidup tanpa stres? Pada titik apa stres bisa menyeret
seseorang ke berbagai bentuk gangguan mental? Bagaimana pula cara mengatasi stres dengan baik?
Apa itu Stres?
Secara sederhana, stres adalah perasaan terganggu, terusik, atau terancam subjektif yang
timbul karena adanya gangguan dari lingkungan seseorang. Segala bentuk gangguan yang
(berpotensi) menimbulkan stres disebut dengan stressor, seperti:
 binatang yang kita takuti tiba-tiba muncul di kamar,
 suara berisik,
 adegan menyeramkan di film horor,
 antrian dipotong,
 berjalan di tempat tinggi,
 nembak gebetan,
 masalah keuangan,
 tugas dan ujian sekolah,
 presentasi di depan umum,
 konflik dengan orang terdekat,
 dll.
Pokoknya stressor adalah segala hal yang bisa membuat kita merasa terganggu. Mulai dari hal remeh
seperti suara berisik tetangga hingga masalah besar yang berpotensi merusak kehidupan seseorang.
Bisakah Kita Hidup Tanpa Stres?
Kita tidak hidup sendiri. Kita adalah bagian dari sistem kehidupan. Sebagai individu yang memiliki
kebutuhan dan hidup bersama dengan milyaran makhluk hidup lainnya di lingkungan yang dinamis,
adalah sebuah kegilaan untuk berharap segala hal secara ajaib berjalan sesuai keinginan kita. Stres
tidak bisa dihindari.

Tapi.. stres bukanlah hal yang mutlak negatif. Stres merupakan mekanisme penting untuk
bertahan hidup dan bisa memotivasi kita dalam menghadapi tantangan atau kegiatan sehari-hari.
Coba deh lihat kurva di bawah ini.

Yerkes Dodson Human


Performance dan Kurva Stress
Kurva di atas adalah piramida Yerkes-Dodson yang menunjukkan hubungan stres dengan performa
seseorang. Kita bisa lihat bahwa:

Ternyata stres dalam dosis yang tepat diperlukan untuk memaksimalkan


performa seseorang
Namun memang respon stres yang berlebihan malah akan menimbulkan distress dan gangguan
klinis, seperti perasaan lelah terus-menerus, burnout, cemas, dan perasan tidak nyaman.
Emang gimana sih tubuh kita merespon stressor (sumber stres) sampe bisa memaksimalkan performa
kita tapi juga bisa menjatuhkan kita?
Gimana Tubuh Kita Merespon Stres?
Ketika kita merasa terancam atau bahaya, entah itu nyata atau masih imajinasi saja, tubuh menjadi
siaga dan mengaktifkan mekanisme “stress response”. Sistem stress response akan mengeluarkan
beberapa senyawa stress mediators. Senyawa tersebut antara lain:
 hormon noradrenalin
 hormon adrenalin
 hormon kortisol
Selain di stress response, hormon noradrenalin dan adrenalin berperan di berbagai proses tubuh lain.
Berbeda dengan kortisol yang khusus dikeluarkan dalam mekanisme stress response. Makanya,
kortisol sering juga disebut sebagai hormon stres.
Apa sih gunanya kortisol si hormon stres ini?

Ketika belajar tentang sistem pencernaan, kita tau kalo gula atau glukosa adalah sumber energi yang
vital untuk manusia, terutama untuk otak. Kortisol di sini berperan untuk meningkatkan suplai
glukosa dalam darah yang kemudian di-convert menjadi energi. Bersama dengan noradrenalin dan
adrenalin, hormon kortisol membuat konsentrasi kita menjadi tajam, pacu jantung dan tekanan darah
pun meningkat saat kita merasa terancam/stres.
Stres adalah mekanisme bertahan hidup yang “dikembangkan” secara biologis sejak zaman nenek
moyang. Salah satu ancaman utama manusia primitif adalah binatang buas. Misalnya, seorang
manusia purba tiba-tiba ketemu dengan seekor ular. Ia pun merasa terancam (stressor). Sistem
stresnya teraktivasi, keluarlah hormon stres (kortisol). Sistem simpatiknyajuga teraktivasi, keluarlah
hormon adrenalin dan noradrenalin. Kombinasi kerja ketiga hormon ini membuat detak jantung
meningkat sehingga ia bisa berbuat sesuatu (fight or flight response): Ambil batu atau kabur??
Sumber:
psychlopedia.wikispaces.com
Bayangin kalo tubuh tidak menjadi siaga ketika ada ancaman. Yang ada si manusia purba itu masih
kalem dan keburu jadi santapan si ular. Karena esensial untuk bertahan hidup, mekanisme stress
response ini diturunkan terus hingga sekarang. Bedanya, stressor manusia modern sudah sangat
beragam dibandingkan kehidupan zaman primitif. Dalam kehidupan sehari-hari, hal sepele seperti
kelupaan kunci rumah pun bisa membuat kita terusik.
Karena pada dasarnya mekanisme stress response ini aktif ketika ada bahaya, tubuh biasanya
memusatkan energi pada hal yang menunjang untuk bertindak cepat (instant action) menanggapi
bahaya. Beberapa fungsi tubuh lain (seperti sistem pencernaan, otak, dll) biasanya menjadi kurang
aktif karena dirasa kurang “penting” pada momen kritis tersebut. Kortisol membuat logika kita
bengkok dan kadang tidak bisa berpikir jernih di bawah kondisi stres. Coba ingat-ingat lagi
kelakukan-kelakuan aneh yang kita lakukan saat sedang stres. Kadang ga habis pikir kenapa kita bisa
bertindak seperti itu. Hehee..

Kapan Stres Tidak Menguntungkan Lagi?


Stres berdasarkan durasinya bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

Stres Akut
Stres akut adalah stres yang dialami dalam waktu singkat dan respon tubuh kembali normal.
Misalnya, saat ketemu ular tadi, si manusia purba memutuskan untuk kabur. Setelah memastikan
keadaan aman, ia tidak merasa terancam lagi. Stres reda.
Konsentrasi kortisol akan mencapai maksimal setelah 15-30 menit dan menurun perlahan 60-90
menit setelahnya. Inilah yang disebut dengan mekanisme adaptasi (coping) yang efektif: respon
stres aktif dengan cepat ketika dibutuhkan untuk menghadapi stressor dan mereda setelahnya.

Stres Kronis
Stres kronis adalah kondisi di bawah stres minimal 3-4 minggu dan setelahnya si penderita jadi
reaktif terhadap berbagai stressor. Misalnya, ketika seseorang kuliah di jurusan yang ga bikin
nyaman atau tinggal di rumah yang selalu dipenuhi dengan adu mulut. Ia terekspos stressor itu terus-
menerus dalam jangka waktu yang lama. Dia pun jadi sensitif dengan banyak stressor lain.
Kok bisa gitu?

Seperti yang dipelajari di Sistem Regulasi di kelas 11 SMA, kita tau kalo hormon beredar di
pembuluh darah. Hormon kortisol keluar dan beredar di pembuluh darah, sama seperti hormon-
hormon lain dalam tubuh. Kortisol membutuhkan reseptor untuk bisa berfungsi. Dua reseptor penting
yang berperan dalam proses stres adalah Mineralocorticoid Receptor(MR) dan Glucocorticoid
Receptor (GR).
Ketika orang stres dalam jangka waktu yang lama, kedua reseptor kortisol akan teraktivasi terus-
menerus sampai akhirnya terjadi ketidakseimbangan jumlah kedua reseptor (MR/GR imbalance).
Ketidakseimbangan kedua resptor inilah yang menyebebakan gangguan homeostasis di dalam otak.
Akibatnya, terjadi kegagalan mekanisme adaptasi: timbul gangguan dalam menyikapi stres. Pada
titik inilah stres bisa menyeret orang ke gangguan psikologis lainnya, seperti gangguan
kecemasan (anxiety), depresi, Alzheimer, dll.
Hal ini dibuktikan dengan studi binatang, yaitu
melalui eksperimen freezing behaviour pada tikus. Beberapa tikus dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu control group dan experiment group. Awalnya, tikus dari kedua grup ini diletakkan di sebuah
labirin. Mereka dibuat familiar dengan jalur labirin itu sampe mereka bisa menemukan dan hafal
jalur keluar dari labirin. Lalu, eksperimen dilanjutkan dengan memberikan stres pada
tikus experiment group. Salah satu stres binatang adalah bertemu dengan predator. Pada eksperimen
ini, tikus di experiment group akan dipaparkan dengan predatornya, kucing. Ketika binatang merasa
terancam, mereka cenderung diam dan tidak bergerak (freezing). Setelah itu, mereka diuji kembali di
labirin. Ternyata, tikus dari experiment group jadi lupa jalan keluar dari labirin yang tadinya mereka
hafal. Tikus yang terkena paparan kucing predator mengalami gangguan ingatan dibandingkan
dengan tikus yang tidak terpapar predator.
Dalam jangka waktu panjang, stres menyebabkan bagian otak Hippocampus mengecil.
Fungsi Hippocampus berkaitan dengan ingatan. Ketika struktur Hippocampus mengecil, terjadilah
gangguan pembentukan ingatan pada individu dengan stress kronis. Orang jadi mudah lupa, tidak
bisa mengikuti pelajaran atau materi baru di sekolah, dan timbul gangguan konsentrasi.
Selain itu, hormon stres membuat pacu jantung dan tekanan darah kita meningkat. Bukan sesuatu
yang bagus untuk terus-terusan berada di kondisi begini. Makanya, stres sering juga dikaitkan dengan
gagal jantung dan stroke yang bisa berakhir pada kematian.

Kenapa Reaksi Orang-Orang Berbeda Terhadap Stres?


Seperti yang disebutkan di awal, stres adalah reaksi yang SUBJEKTIF.

Ada yang langsung stres melihat kamar yang berantakan. Ada yang santae ae.
Ada yang gugup saat harus tampil di depan banyak orang. Ada yang malah bersinar under the
spotlight.
Ada yang bisa mengatasi tekanan saat ujian berlangsung. Ada yang malah tidak bisa perform sama
sekali ketika ujian berlangsung.

Kenapa kok reaksi orang terhadap stres bisa berbeda-beda?

Wah, banyak faktor yang mempengaruhi kapasitas orang dalam menanggapi stres. Mudah untuk
berpikir bahwa kapasitas ini banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tapi ketika kita tahu bahwa
stres adalah respon biologis tubuh, faktor biologis pun berperan dalam mempengaruhi kapasitas
seseorang bereaksi terhadap stres, mulai dari jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan,
lingkungan, gaya hidup, dan lain-lain.
Jenis Kelamin dan Stres
Salah satu penemuan menarik adalah pengaruh jenis kelamin pada respon stres. Ada banyak data
penelitian yang menunjukan bahwa respon stres lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Hal
ini disebabkan karena pada perempuan hormon stres lebih gampang dibentuk dan beredar di sirkulasi
daripada laki-laki. Hormon seksual perempuan juga diduga mempengaruhi respon stress. (Goel N
2014)

Jam Biologis
Faktor lain yang cukup menarik adalah irama circardian atau jam biologis seseorang. Orang dengan
gangguan tidur, dinas malam, sering berpergian dan mengalami jetlag; memiliki kemungkinan yang
lebih besar menderita gangguan terkait stres ketimbang orang yang tidur teratur dan bekerja di siang
hari dan tidur di malam hari.

Stres pada Masa Kandungan (prenatal stress)


Stres saat kehamilan dapat memberi dampak yang buruk bagi janin yang dikandungnya. Hal ini
dikarenakan kortisol juga dapat menembus plasenta dan mempengaruhi perkembangan janin.
Berdasarkan studi pada binatang, stres pada kehamilan menyebabkan gangguan kognitif,
meningkatkan kecenderungan penyalahgunaan obat, dan berkaitan dengan gangguan kecemasan dan
depresi si janin yang dilahirkannya.

Stres pada Usia Muda (Early Life Stress)


Masa kanak-kanak adalah waktu yang penting untuk perkembangan otak. Pembentukan sel-sel saraf
atau neurogenesis juga sangat aktif dalam usia muda. Berbagai penelitian pada binatang
menyimpulkan bahwa gangguan pada masa kanak-kanak, trauma psikologis ataupun fisik memiliki
pengaruh yang penting dalam perkembangan fungsi dan struktur otak sampai pada usia dewasa.

Salah satu penelitian yang terkenal adalah eksperimen maternal deprivation pada binatang. Pada
eksperimen ini, bayi mencit/tikus dipisahkan dari induknya selama 24 jam. Selama 24 jam, bayi tikus
akan kehilangan kontak fisik dengan induknya sehingga mengakibatkan aktivasi respon stress.
Ketika bayi ini mencapai usia dewasa, ditemukan kelainan pada struktur otak yang berperan penting
dalam stress (hippocampus) dan ambang batas hormon kortisol yang lebih mudah teraktivasi
dibandingkan dengan binatang yang tidak dipisahkan dengan induknya ketika masih bayi.
via GIPHY

Gimana Cara Mengatasi Stres?


Sekarang kita masuk ke pertanyaan utama yang ditunggu-tunggu, gimana cara mengatasi stres? Kita
perlu manajemen stres yang baik. Manajemen stres BUKAN bertujuan untuk menghilangkan stres.
Ingat, stres adalah bagian dari kehidupan. Stressor ada di mana-mana.

Manajemen stres bertujuan membuat kita jadi lebih baik dalam menghadapi
stres.
Stres bukan sekedar masalah emosi. Stres adalah respon biologis. Oleh karena itu, dalam me-
manage stres, kita sebaiknya mengambil perspektif biologis dan neurosains. Gimana cara meredam
hormon stres agar tidak terus-terusan menimbulkan ketidakseimbangan di dalam tubuh?
Nah, beberapa tips berikut ini adalah langkah-langkah yang udah terbukti secara ilmiah mengurangi
dampak stres bagi tubuh. Dengan kata lain, langkah-langkah di bawah ini udah terbukti bisa
“mengakali” kerja kortisol, noradrenalin, dan adrenalin. Baik dengan cara menurunkan kadar kortisol
serta menurunkan pacu jantung dan tekanan darah. Ataupun dengan mengeluarkan hormon-hormon
kesenangan (endorphin dan oksitosin) yang dapat menetralkan efek hormon stres.

Langkah-langkah di atas diharapkan bisa menenangkan pikiran orang stres. Tapii,, tidak akan
menyelesaikan masalah. Langkah-langkah di atas “hanya” bikin rileks. Ketika tubuh dan pikiran
udah rileks, baru deh kita bisa lebih siap dan tenang mengatasi si sumber masalah, facing the “devil”.
Nah, gimana cara mengatasinya? Tentunya, solusi untuk tiap permasalahan itu unik bergantung
dengan kondisi diri dan lingkungan. Tapi di sini, gw akan berbagi tips untuk memudahkan mencari
solusi masalah, biar ga galau sendiri.

1. Ubah cara pandang terhadap stres


Banyak banget orang yang langsung kelabakan ketika berhadapan dengan masalah yang membuatnya
stres. Merasa hidup ini ga adil. Atau bahkan menganggap dirinya manusia gagal.

Sebuah penelitian menunjukkan orang yang mengalami banyak stres dan percaya bahwa stres
berdampak buruk bagi kesehatannya, punya risiko kematian 43% lebih tinggi. Di sisi lain, orang
yang mengalami banyak stres tapi tidak memandang stres sebagai sesuatu yang buruk, punya risiko
kematian yang rendah, bahkan lebih rendah dari orang yang mengalami sedikit stres.
So, can stress kill you? Only if you believe it can. ?
Ketika lo menghadapi stressor, jantung lo berdegup kencang, nafas jadi cepat dan ga teratur, badan
lo keringetan. Mungkin lo terbiasa mengangapnya sebagai tanda kalo lo ga merespon tekanan yang
ada dengan baik. Tapi gimana kalo memandangnya sebagai tanda bahwa tubuh lo mengumpulkan
kekuatan untuk menghadapi tantangan yang ada? Jantung yang berdegup kencang berarti
menyiapkan lo untuk beraksi. Nafas yang menjadi cepat berarti tubuh memasok oksigen lebih banyak
ke otak. Itu semua cara tubuh untuk membantu lo bangkit menghadapi tantangan yang ada.
Ingat, stres adalah bagian dari kehidupan. Stressor ada di mana-mana. Ingat pula, kapasitas tiap
orang dalam menghadapi stres itu berbeda. Dengan menyadari dalam-dalam hal ini, justru
seharusnya kita sadar kalo kita butuh stres untuk memaksimalkan potensi diri. Kita jadi bisa
mengubah stres dari musuh menjadi “teman”. Kita jadi bisa memanfaatkan stres untuk meningkatkan
kualitas diri ke level yang mungkin ga terbayangkan sebelumnya.

2. Kenali diri lebih baik dan lakukan persiapan yang matang


Oke, ketika lo udah bisa rileks dan punya sudut pandang yang lebih baik tentang stres, what’s next?
Kita tau kalo kita ga bisa berpikir jernih di bawah kondisi stres. Jadi, jangan cuek dan membiarkan
logika yang bengkok itu mengambil kendali di saat-saat penting.

Seorang psikolog bernama Gary Klein mengusulkan prospective hindsight. Mumpung masih dalam
keadaan normal, kita sebaiknya memikirkan segala skenario terburuk yang mungkin terjadi saat
berhadapan langsung dengan stressor. Lalu, siapkan strategi untuk tiap kemungkinan skenario yang
ada. Jika skenario tersebut benar-benar terjadi, kita tinggal mengeksekusi strategi yang sudah
direncanakan sejak awal.
Untuk bisa memikirkan skenario terburuk yang mungkin terjadi, tentunya kita harus mengenali diri
sendiri. Misalnya nih, lo selalu nervous ketika menghadapi ujian besar, seperti ujian nasional atau
SBMPTN. Nah, coba lo pikirin deh hal-hal apa aja yang berpotensi membuat lo pribadi terusik.
 Apa khawatir waktu yang tersedia ga cukup buat ngerjain semua soalnya?
 Apa suka sakit perut tiba-tiba di tengah ngerjain soal?
 Apa ga bisa konsen kalo ruangan ujiannya dingin?
 Dll.
Trus siapkan deh cara tepat untuk mengatasi kepanikan kita jika hal tersebut terjadi sesuai dengan
kepribadian lo.

 Ikut try out rutin supaya bisa bikin manajemen waktu yang baik dalam menjawab soal pas ujian
dan jadi terbiasa dengan suasana ujian.
 Rencanakan menu sarapan yang cukup membuat berenergi tapi tidak bikin sakit perut.
 Siapkan jaket atau sweater untuk mengantisipasi ruangan yang dingin.
 dll
Jika kita tidak tahu bagaimana cara menenangkan diri dalam menghadapi presentasi, ujian,
atau deadline, biasanya kita malah akan semakin memperparah ke-stres-an kita dan semakin tidak
bisa berkonsentrasi atau bahkan black out. Akan lebih baik kalau mengenali diri sendiri dan
kelemahan kita, mempersiapkan segala sesuatu dengan baik.

3. Manfaatkan lingkungan sosial


Pernah dengar hormon oksitosin? Mungkin lo pernah denger kalo oksitosin
adalah attachment hormone / love hormone / cuddle hormone, dsb. Yep, oksitosin biasanya
dikeluarkan tubuh ketika kita memeluk, berinteraksi, atau sedang bonding dengan orang yang kita
sayangi. Oksitosin adalah hormon yang membuat kita dekat dan peduli dengan orang lain, entah itu
orang tua, pasangan, saudara, sahabat, dan anak.
Ketika kita stres, tubuh kan merespon dengan mengeluarkan kortisol. Yang jarang diangkat adalah
ternyata di saat yang bersamaan, tubuh juga mengeluarkan hormon oksitosin. Artinya, secara
biologis, tubuh meminta kita untuk share masalah kita ke orang terdekat. Ketika kita merasa tertekan,
kadang rasanya ingin memendam segala kegalauan itu sendiri. Tapi ternyata, tubuh justru meminta
kita mencari dukungan sosial ketika sedang stres. Ketika hidup menjadi sulit, respon stres
alamiah tubuh ingin kita dikelilingi oleh orang yang peduli sama kita.

Sumber: onlymyhealth.com
Amazing ga sih, respon stres alamiah kita sudah punya mekanisme sendiri untuk mengatasi stres. Dan
kuncinya ada di human connection. Jadi, janganlah menyangkal insting biologis itu. Jika seseorang
dalam kondisi stres mengisolasi dirinya sendiri, besar kemungkinan untuk makin terjerumus di dalam
perasaan stres itu.
Di sinilah keluarga dan sahabat berperan penting untuk menangani stress. Jika ada masalah yang
tidak bisa diselesaikan sendirian, carilah orang lain untuk membantu menyelesaikan masalah ataupun
sekedar berbagi.

4. Mencari bantuan profesional


Jika masalah yang dihadapi terlalu berat, jangan ragu-ragu untuk meminta bantuan profesional, yaitu
para ahli kesehatan mental. Gw sarankan untuk mengunjungi psikolog terlebih dahulu. Jangan sampe
ketuker dengan psikiater ya. Psikolog itu lulusan jurusan Psikologi, sedangkan psikiater adalah
dokter medis yang punya spesialisasi Kedokteran Jiwa. Psikolog umumnya fokus ke aspek sosial,
mulai dari curhat, membantu klien mencari solusi, dan melakukan terapi psikologis. Di sisi lain,
sebagai dokter, seorang psikiater memiliki “wewenang” memberikan obat untuk kasus-kasus yang
lebih rumit, seperti hiperaktif, halusinasi, schizophrenia, dan ketidakseimbangan otak lainnya.

Sumber: idealmedical.org
Coba browsing lembaga konseling psikologi di kota lo. Cari tau puskesmas atau rumah sakit yang
punya layanan psikolog. Universitas yang punya Fakultas Psikologi juga biasanya punya lembaga
yang membuka konseling psikologi untuk umum. Lo juga bisa cari lembaga swasta, non-profit, atau
komunitas lain yang menerima konseling psikologi. Tinggal cari lembaya yang kira-kira bisa
mengakomodasi masalahmu.
Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI)
Walaupun mempunyai layanan konsultasi Human Resource untuk perusahaan-perusahaan besar, LPT
UI juga menerima konseling masalah pribadi.
Yayasan Pulih
Memiliki fokus utama untuk penanganan psikologis peristiwa traumatis (kekerasan seksual, bencana
alam, konflik sosial, dll), Yayasan Pulih juga melakukan konseling psikologi umum.
Into the Light
Ini adalah komunitas yang fokus meningkatkan awareness pencegahan bunuh diri. Into the Light juga
menyediakan layanan pendampingan curhat konseling sebaya.
Anyway, kalo lo tau lembaga lain yang menyediakan layanan konseling psikologi
yang recommended, boleh lho di-share di comment section. Siapa tau bermanfaat buat teman kita

yang membaca artikel ini


****
Oke deh, sampai di sini dulu kupasan gw tentang stres. Semoga apa yang gw share di sini bisa
bermanfaat dan mengubah cara pandang lo terhadap stres. Ketika kita bisa menjadikan stres sebagai
“teman”, kita bisa menghindar terjerumus ke bagian yang lebih kelam lagi dalam hidup. Sebaliknya,
kita bisa lebih optimis dan percaya diri menghadapi tantangan hidup.
Referensi

Anda mungkin juga menyukai