Anda di halaman 1dari 9

PELECEHAN SEKSUAL DAN DAMPAK (PSIKOLOGIS, FINANSIAL,

DAN FISIK ) YANG DAPAT TERJADI PADA


KEHIDUPAN KORBANNYA

Dhifa Apriliana Rosadi / 185030207141005


Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Email: Dhifaapriliana@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini menjelaskan tentang dampak dari pelecehan seksual terhadap


kondisi mental korban. Dari beberapa literatur yang dijadikan referensi penulisan
artikel ini, ditemukan bahwa tidak hanya kondisi mental atau psikologis dari korban
pelecehan seksual yang terpengaruh. Tetapi, kondisi fisik pun juga terpengaruh.
Pelecehan seksual jika berlanjut dapat menjadi kekerasan seksual. Pelecehan seksual
tidak hanya terjadi secara langsung, namun juga dilakukan melalui sosial media.
Pelecehan seksual dapat mengakibatkan gangguan mental terhadap korban. Korban
dapat mengalami trauma psikologis dan seksual. Korban pelecehan seksual tidak
terbatas pada wanita saja. Korban pelecehan seksual juga terjadi kepada anak-anak
dan pria. Kecenderungan pelecehan seksual terjadi kepada anak-anak hampir sebesar
wanita. Kecenderungan pelecehan seksual pada pria paling sedikit karena pria
cenderung menjadi pelaku dan bukan korban. Pelecehan seksual pada dasarnya
Merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan
terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga
dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap
perempuan adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal
perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan asasi di segala bidang. Berbagai kasus pelecehan seksual dan kejahtan
kesusilaan yang melibatkan berbagai golongan dalam masyarakat di suatu tindakan
yang sangat tidak manusiawi.

Kata Kunci : Pelecehan seksual, Kekerasan seksual, Psikologis, Trauma

PENDAHULUAN
Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual
harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja
merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan masalah hukum semua
negara di dunia atau merupakan masalah global (Romli 1995, 103).
Wanita merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang indah, wanita sebagai
keindahan dunia sering kali menjadi subjek kekaguman lelaki. Wanita terkadang
menyadari bahwa mereka adalah ciptaan terindah Tuhan sehingga mereka senang jika
dikagumkan. Namun, kekaguman ini dapat membahayakan jika berubah menjadi
hasrat terpendam karena tidak bisa menyatakn rasa kagum dan tidak bisa memiliki.
Kenapa berbahaya? Karena rasa kekaguman yang terpendam ini dapat berubah dari
sesuatu yang lembut menjadi mengerikan, kekaguman memiliki bentuk ekstrim
sendiri yaitu fanatik. Fanatik cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan, sehingga hasrat yang terpendam itu meluap menjadi
sebuah tindakan, tindakan itu adalah pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak
diinginkan atau tidak dikehendaki yang berakibat mengganggu diri si penerima.
Pelecehan seksual tidak terbatas pada bayaran seksual bila ia menghendaki sesuatu,
pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi
seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku,
ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, semua dapat digolongkan menjadi
pelecehan seksual (S.W Utami, 2016).
Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapapun, baik wanita, anak-anak, dan
bahkan pria. Pada pria biasanya terjadi di dalam penjara dimana napi terkuat
‘memangsa’ napi terlemah atau terbaru. Mereka seperti itu karena mereka memiliki
hasrat birahi yang menumpuk lalu tidak ada wanita untuk melampiaskannya.
Sehingga mereka harus beradaptasi dan menerima apa saja yang ada.
Pelecehan seksual pada wanita dapat terjadi dimana pun dan kapan pun. Bentuk
pelecehan seksual terhadap perempuan pun tidak hanya sebatas persentuhan atau
pemerkosaan saja. Ada yang disebut dengan cat calling. Cat calling sering temui di
kehidupan sehari-hari. Contohnya kata kata “wey cewe”, “hai sexy”, yang keluar dari
mulut orang orang pelaku pelecehan seksual.
Anak-anak juga sering menjadi korban pelecehan seksual dimana mereka mudah
untuk dilumpuhkan dan tidak memberikan banyak perlawanan. Pelecehan terhadap
anak-anak banyak dilakukan oleh mereka yang mempunyai penyakit pedofil, yaitu
kelainan hasrat seksual terhadap anak-anak. Ironisnya, pedofil ini cenderung
merupakan orang-orang terdekat dengan mereka, seperti paman dan bibi mereka,
guru-guru mereka, penjaga atau pengasuh mereka, dan bahkan orang tua mereka.
Pada peristiwa pelecehan seksual sebagian besar korban adalah perempuan dan
pelakunya hampir pasti laki-laki. Tidak berarti bahwa tidak ada laki-laki yang
mengalami pelecehan seksual, namun jumlah dan proporsinya tergolong kecil.
Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual sudah begitu meresahkan dan
mencemaskan masyarakat, sehingga tidak dapat dipandang dari sudut sempit saja.
Apabila ingin mengetahui akar permasalahannya, maka harus berani untuk masuk ke
berbagai wilayah aspek kehidupan yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku
manusia, termasuk kejahatan kesusilaan dan pelecehan. Perilaku manusia tidak
muncul dengan sendirinya, tetapi berkembang melalui suatu proses akibat pengaruh
lingkungan, seperti lingkungan alam dan aspek sosiologis, politis, ekonomi, budaya
(agama termasuk didalamnya) yang ada di dalamnya.
Pelecehan Seksual dapat menyebabkan kekerasan seksual jika berlanjut.
Kekerasan seksual berawal dari pelecehan seksual yang sering dianggap biasa oleh
masyarakat umum. Karena sudah dianggap biasa, maka para pelaku semakin
memberanikan diri untuk melakukan kekerasan seksual.
Saat ini banyak ditemui kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak
dan remaja. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang
dapat menjadi korban maupun pelaku pemerkosaan tanpa mengenal usia, status,
pangkat, pendidikan, dan jabatan. Kekerasan seksual merupakan salah satu kekerasan
fisik yang termasuk dalam salah satu tindakan kriminal. Pelaku tindak kekerasan
seksual melakukan tindakan tersebut untuk memuaskan hasratnya secara paksa.
Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan hubungan seksual
secara paksa, namun termasuk juga aktivitas lain seperti melihat meraba, penetrasi
(tekanan), pencabulan dan pemerkosaan. Seseorang dikatakan sebagai korban
kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan
psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga
sosial dan kultural, selain itu dapat juga terjadi kerugian harta benda.
Kemungkinan dampak yang muncul dari kekerasan seksual adalah depresi, fobia,
dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama, ada pula
yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual
dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari pemerkosaan.
Bagi korban pemerkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada
kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Maka dari itu, artikel ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu pelecehan seksual?
2. Bagaimana itu dapat terjadi?
3. Apa dampak psikologis, finansial dan fisik dari kehidupan korbannya?
4. Bagaimana cara pikir korban setelah mengalami kejadian tersebut?
5. Bagaimana pelecehan seksual pada era digitalisasi ini?
PEMBAHASAN
Pelecehan seksual adalah terminologi yang paling tepat untuk memahami
pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas,
mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok/tidak
senonoh, perilkau tidak senonoh (mencolek, meraba, mengeus, memeluk dan
sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidsk
senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan
menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga
perkosaan. (Sumera 2013, 5)
Pemerkosaan cukup populer di kalangan masyarakat sebagai suatu bentuk
kekerasan seksual terhadap perempuan, meskipun cara pandang atas kejadian tersebut
masih bias patriarkhis, yaitu kecenderungan melihat korban sebagai pemicu kejadian.
Sesungguhnya rentang kekerasan seksual bukan hanya pemerkosaan saja melainkan
sangat bervariasi dan modus operandinya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Kekerasan seksual mengacu pada suatu perlakuan negatif (menindas, memaksa,
menekan, dan sebagainya) yang berkonotasi seksual, sehingga menyebabkan
seseorang mengalami kerugian.
Pelecehan seksual karena rentangnya yang demikian luas, dapat terjadi
dimanapun selama ada percampuran lelaki dan perempuan ataupun di komunitas yang
homogen. Pelecehan seksual juga banyak terjadi di tempat kerja. Pelaku pelecehan
seksual biasanya adalah laki-laki dengan posisi jabatan lebih tinggi ataupun setara.
Hal itu disebabkan karena di tempat kerja, terdapat hubungan yang cukup intens
antara laki-laki dan perempuan, dan atmosfir kerja memungkinkan tumbuh suburnya
praktek pelecehan seksual. Meskipun demikian, pelecehan seksual juga banyak terjadi
di luar tempat kerja atau di tempat-tempat umum, dan bahkan sangat umum
ditemukan bahwa pelakunya adalah orang yang tidak dikenal oleh korban, seperti
misalnya pelecehan seksual di dalam bis umum, di jalanan, di pasar dans sebagainya.
Secara umum ada tiga aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan seksual
yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi seksual), aspek situasional
(apakah ada perbedaan di mana atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek
legalitas (dalam keadaan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).
Berdasarkan aspek perilaku, pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak
dikehendaki penerimanya, dimana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk
baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk
umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik, dimana
pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik.
Pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak
diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus
menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar
yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau
aktivitas seksual perempuan permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan
ancaman tidak langsung maupun terbuka.
Pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik di antaranya adalah tatapan yang
sugestif terhadap bagian-bagiantubuh (menatap payudara, pinggul atau bagian tubuh
yang lain), lirikan yang menggoda dan mengejap-ngejapkan mata, rabaan; mencakup
cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium, gangguan seksual seperti
rabaan atau ciuman yang terjadi karena situasi yang sangat mendukung misalnya di
lift, koridor dan ruang lain yang sepi setelah jam kerja, tawaran kencan dengan
imbalan promosi atau memojokkan perempuan untuk dicium, proposisi seksual,
tekanan yang halus untuk aktivitas seksual, usaha perkosaan dan perkosaan itu sendiri.
Dipandang dari aspek situasional, pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja
dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari
setiap ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan,
tempat kerja, dan pendapatan. Perempuan yang mendobrak ke dalam pekerjaan yang
secara tradisional didominasi oleh laki-laki juga akan lebih sering mengalami
pelecehan seksual daripada perempuan lain.
Pelecehan seksual bukanlah masalah individu semata, tetapi lebih jauh lagi
merupakan masalah kejahatan yang berakar pada nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi,
dan politik di dalam masyarakat tersebut. Pelecehan seksual pun memberikan dampak
yang sangat mendalam. Terkadang pelecehan seksual berubah menjadi kekerasan
seksual, biasanya kekerasan seksual meninggalkan bekas fisik akibat kekerasan fisik
yang dilakukan. Namun juga ada dampak finansial dan psikologis yang berpengaruh
pada mental korban.
Dampak psikologis akibat pelecehan seksual meliputi perasaan terhina, putus asa,
marah, dikucilkan, dikhianati, kesepian, perasaan terintimasi, frustasi, risih, degradasi
dan bersalah. Dampak psikologis yang dialami oleh subjek dapat digolongkan
menjadi tiga bagian, yaitu, Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk
melakukan aktifitas sehari-hari. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk
berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung
sendiri. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana
hati serta menyalahkan diri sendiri.
Dampak individual secara finansial yaitu keluarnya perempuan dari jabatan
akibat tiadanya tindakan dari supervisor, laporan yang unfavorable dalam file
personalia, pengurangan tanggung jawab, pemotongan gaji ataupun tindakan
pendisiplinan sehingga mereka akan mengalami hambatan peningkatan penghasilan
dan promosi.
Dampak fisik muncul ketika pemaksaan fisik terjadi maupun ketika terkait
dengan somatisasi. Dampak-dampak individual secara psikologis dan finansial
tersebut akan menimbulkan gangguan fisik berupa sakit kepala, pusing, kehilangan
berat badan, maag, kehilangan nafsu makan, sulit tidur, dan kelelahan yang amat
sangat sehingga membutuhkan perawatan terapuitik untuk membantunya melepaskan
diri dari gangguan tersebut.
Banyak faktor yang mendasari mengapa korban kesulitan untuk dapat
mengidentifikasi dan menerima pelecehan seksual yang ia alami, yaitu: kebingungan
(tidak tahu bagaimana harus menggambarkan pada dirinya sendiri tentang apa yang
terjadi), dan merasa malu akibat dari sikap mempersalahkan korban oleh orang lain
yang memposisikan korban menjadi “yang bersalah” seperti cara berpakaian, gaya
hidup dan kehidupan pribadi; rasa bersalah pada apa yang terjadi, mempersalahkan
diri sendiri, rasa dipermalukan (tidak bisa menerima ide bahwa ia adalah korban, atau
perasaan bahwa seharusnya ia dapat menghentikan pelecehan itu), penyangkalan
(tidak mau percaya bahwa hal itu sungguh terjadi), minimizing atau defence
mechanism (mengatakan pada diri sendiri bahwa “itu bukan persoalan besar,” “saya
terlalu sensitif saja,” atau “saya adalah pemalu”).
Si korban bersikap demikian karena orang lain mengatakan dia harus begitu,
takut (terhadap balas dendam pelaku), takut diasingkan atau tidak disukai lingkungan,
takut si pelaku menghadapi masalah ketika perilaku itu dihentikan atau merasa
bertanggung jawab atas akibat dari perilaku pelaku, adaptasi terhadap perlakuan ini
karena mungkin sudah terjadi berulang kali untuk waktu yang lama, sehingga ia
merasa tidak ada apapun yang dapat dilakukan atau menganggap bahwa “aku
memang akan mengalami hal ini” dan “harus dapat mengatasinya” dengan diam, mati
rasa (ketika korban ingin memutuskan dirinya secara emosional dari pengalaman
tersebut,
Selain itu ia mungkin juga akan menghindari orang atau tempat yang
mengingatkannya akan peristiwa yang sangat menyakitkan tersebut), terpicu kembali
(ingatan yang muncul ketika membicarakannya lagi memberikan beban yang terlalu
berat atau kecemasan/rasa sakit), tidak diakui (merasa tidak ada orang yang percaya
atas laporan-nya), fitnahan (motif atau karakter korban mungkin akan diserang oleh
pelaku atau teman-temannya dengan mengatakan hal-hal yang mendiskreditkan
korban), pelecehan sesama jenis kelamin (khawatir akan dipertanyakan orientasi
seksnya), maskulinitas (bagi laki-laki sebagai korban, mungkin takut orang akan
mempertanyakan maskulinitasnya atau tidak menikmati perhatian seksual yang
diberikan, dan orientasi seksual (Triwijati 2007, 1).
Wanita yang mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanak mungkin
akan menghadapi berbagai masalah dalam hubungan dengan lawan jenis. Efek
psikologis dari kekerasan seksual pada masa kanak-kanak dapat berupa perasaan
terisolasi, tidak berdaya dan ketakutan. Kesulitan yang dialami oleh wanita yang
mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanak sangat beragam baik dalam
hubungan seksual maupun dalam hubungan non seksual. Wanita yang mengalami
kekerasan seksual kerap mengalami gangguan seksualitas dan penghindaran terhadap
hubungan seks. Dampak psikologis lainnya adalah wanita akan berpikir bahwa semua
lelaki akan menyakitinya (Ulum, Lestari, & Hertinjung 2010, 127).
Pelecehan seksual pada era digitalisasi ini juga tidak hanya terjadi di kehidupan
nyata. Kehidupan nyata ini dimaksud sebagai interaksi fisik antar pelaku dan korban.
Pelecehan seksual sudah berevolusi menyesuaikan perkembangan zaman. Pelecehan
seksual sudah mulai digitalisasi dimana pelecehan terjadi di kolom komen sosial
media. Hal ini banyak terjadi di aplikasi-aplikasi live seperti Bigo, Instagram, dan
lain-lain. Terdapat banyak komentar yang sangat merendahkan martabat seorang
wanita. Seperti komentar meminta untuk membuka pakaian, pertanyaan - pertanyaan
personal, dan sebagainya. Di kolom komentar Instagram pun juga sama. Komentar-
komentar yang seakan terlihat memuji namun sangat tidak pantas untuk diucapkan di
ruang publik. Komentar - komentar body shaming yang sangat menghina postur tubuh
atau bahkan paras wanita di media yang dapat dilihat orang banyak.
Pelecehan seksual dewasa ini sudah jauh melampaui batas dan sudah seharusnya
dilawan. Masyarakat harus sadar akan pelecehan seksual dan harus memberikan
simpati atau bahkan empati kepada korban bukan menyalahkan korban. Jika
pemikiran masyarakat tidak berkembang seperti bagaimana pelecehan seksual
berkembang, maka pelecehan seksual tidak akan hilang dan akan terus berkembang.

KESIMPULAN
Pelecehan seksual merupakan terminologi yang tepat untuk memahami
pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual secara umum memiliki 3 aspek yaitu
aspek perilaku, aspek situasional, dan aspek legalitas. Pemerkosaan merupakan hal
yang terkenal dalam lingkup masyarakat sebagai kekerasan seksual terhadap wanita,
meskipun banyak dari masyarakat tersebut memberikan kewajaran terhadap pelaku
secara tidak langsung. Pelecehan seksual terlalu diremehkan di masyarakat sehingga
dinilai biasa saja. Dengan pengaruh Globalisasi, dimana wanita Indonesia mengikuti
tata busana barat yang lebih ‘terbuka’, dinyatakan sebagai pancingan terhadap
pemerkosaan. Hal ini menyebabkan sehingga bukan lagi pelaku yang disalahkan
melainkan korban. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar dimana wanita yang
berpakaian rapih dan tidak mengundang pandangan mata pun juga terkena pelecehan
seksual.
Pelecehan seksual tidak hanya sebatas bersentuhan fisik. Memandang bagian-
bagian tertentu wanita pun juga termasuk sebagai pelecehan seksual. Catcalling dan
body shaming pun termasuk pelecehan seksual. Catcalling adalah memanggil genit
wanita atau menggoda wanita dengan sautan-sautan asal dan tidak beradab. Body
shaming adalah bentuk pelecehan seksual yang tidak memuji keindahan badan wanita
melainkan mengolok-olok. Seperti misalkan wanita berbadan besar. Secara seksual
mereka dinilai berdasarkan ukuran badan mereka.
Pelecehan seksual dewasa ini juga sudah mulai berevolusi dimana tidak harus
bersentuhan secara fisik, tapi dapat dilakukan dari setiap bagian di dunia ini. Dengan
majunya perkembangan teknologi, pelecehan seksual dapat dilakukan melalui media
sosial. Media sosial dewasa ini merupakan tempat terjadinya pelecehan seksual
terbesar. Hanya perlu mengetik di kolom komentar dan selesai. Aplikasi live seperti
Bigo merupakan wadah pelecehan seksual dimana banyak yang meminta hal-hal yang
tidak wajar. Instagram juga sebagai wadah pelecehan seksual online berkembang.
Dengan komentar di kolom komentar postingan foto, banyak komentar-komentar
yang sangat merendahkan martabat wanita.
Pelecehan seksual tidak akan berakhir apabila tingkat kesadaran masyarakat
masih rendah. Pelecehan seksual tidak akan berakhir apabila korban masih disalahkan
dan tidak diberikan simpati ataupun empati. Pelecehan seksual harus berakhir
bagaimanapun caranya. Korban dan masyarakat harus berani menyuarakan pelecehan
seksual agar semakin lama semakin berkurang dan lama kelamaan habis pelecehan
seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung:
Andar Maju.

Sari, DP. 2018. Dampak Psikologis Korban Pelecehan Seksual. Online:


https://sumberpost.com/2018/04/23/dampak-psikologis-korban-pelecehan-seksual/.
Diakses pada tanggal 9 Desember 2018.

Sumera, Marcheyla. 2013. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap


Perempuan, Jurnal Lex et Societatis, Volume I, Nomor 2. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.

Triwijati, N.K.E.. 2007. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Surabaya: Raja


Grafindo Persada.

Ulum, PN. Lestari, Sri & Hertinjung, W.S. 2010. Romantisme Wanita Korban
Kekerasan Seksual Pada Masa Kanak-Kanak. Yogyakarta: Refika Aditama.

Utami, S.W. 2016. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Pelecehan Seksual Pada
Remaja Di Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai