Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

pemerintah negara Indonesia memiliki tugas yang cukup berat dan luas.
Pemerintah dituntut untuk melindungi dan menguasai kekuasaan negara demi
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia ,mencerdaskan kehidupan bangsa,
melindungi rakyat dan memberikan pelayanan pada rakyat. Maka dari itu pemerintah
mendapat freies ermessen/diskresi, atau kewenangan untuk turut campur dalam
berbagai bidang kegiatan hukum tata perintahan.
Pemilihan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, negara hukum yang
dinamis dengan freies ermessen/diskresi, menurut E.Utrecht mengundang
konsekuensi sendiri dalam bidang perundang-undangan, yakni diberikannya
kewenangan bagi pemerintahan membuat peraturan perundangan baik atas inisiatif
sendiri maupun atas delegasi yang diterima dari UUDNRI serta menafsirkannya
sendiri.
Dalam hukum tata pemerintahan penggunaan asas diskresi atau freies
ermessen sering dilakukan oleh aparat pemerintah karena beberapa faktor-faktor
yang mendukung dilakukannya diskresi. Contohnya ialah peraturan gubernur Jawa
Timur (Pak de Karwo) yang melarang kerapan sapi di Madura dengan kekerasan atau
alat yang membahayakan sapi tersebut. Kemudian keputusan walikota solo (Pak
Jokowi) yang menolak dibangunnya pasar modern dikawasan budaya. Contoh contoh
lainnya banyak sekali. Penggunaan asas diskresi dalam praktet-praktek tata
pemerintahan juga tidak sembarangan karena juga harus berpedoman pada asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Menurut Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan
dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan draft bulan Juli 2008
didalam pasal 6 mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat
pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan
pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam
administrasi pemerintahan.

1
Kemudian beberapa ahli hukum banyak merumuskaan mengenai asas
diskresi, menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat
mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Menurut Saut P. Panjaitan,
diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman)
merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet
matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut
Laica Marzuki, diskresi adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau
pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam
kaitan menjalankan bestuurzorg.
Menurut Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak
atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai
freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi
Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid)
daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Gayus T. Lumbuun
mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat
negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik
melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga
syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya,
dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”
Kekuasaan diskresi terdapat pada kekuasaan menjalankan jabatan yang
dimiliki pejabat publik. Kekuasaan diskresi merupakan jenis kekuasaan untuk
menggunakan wewenangan berdasarkan inisiatif pejabat. Kekuasaan ini diberikan
oleh undang-undang dengan maksud agar pejabat dapat menjalankan tugas
sebagaimana mestinya. Kondisi seperti inilah jabatan rawan untuk diselewengkan,
karena bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah
terdapat niat untuk menarik keuntungan pribadi atau pun keuntungan kelompok1.
Penggunaan diskresi mempunyai syarat-syarat khusus, agar dalam menggunakan
kewenangannya, pejabat tidak berlaku sewenang- wenang.

1
Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta:
2010), halaman1-2.

2
Permasalahan yang menyangkut kebijakan tidak sedikit yang diproses dan
dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan
polemik2. Pejabat terperangkap menjadi koruptor karena tugas mereka yang melekat
pada jabatan itu. Tanda tangan pejabat harus ada dalam kebijakan itu, sehingga
merekalah yang bertanggung jawab jika ternyata menimbulkan kerugian negara yang
akhirnya dianggap sebagai tindak pidana korupsi, walaupun dana yang dihasilkan
tidak dinikmati pejabat tersebut3.

Kebijakan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, tentu


dilematis, padahal kebijakan adalah bagian dari suatu sistem. Pejabat pemerintah
yang takut mengambil kebijakan, maka roda pemerintahanpun tidak akan berjalan
sesuai harapan. Tidak jarang pejabat pemerintah mengalami keraguan dalam
menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan
wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai perbuatan korupsi
yang berlindung dibalik kebijakan.

Contohnya pada kasus Bullogate yang bermula dari kebijakan yang diambil
mantan Presiden B.J.Habibie dalam menanggulangi kerawanan pangan dan dalam
keadaan krisis kepercayaan kepada pemerintah yang meluas sebagai dampak
pemerintah sebelumnya. Alasan kebijakan yang diambil B.J.Habibie:

1. Bantuan dari luar negeri tidak datang sesuai jadwal yang diharapkan;
2. Anggaran untuk penyelesaian masalah- masalah yang tak terduga, dalam
hal ini sembako dan penyalurannya pada APBN tahun 1998/1999, sangat
terbatas dan anggaran sudah berjalan;
3. Pemerintah harus segera bereaksi untuk mengembalikan citra
kepercayaan pemerintah yang waktu itu sedang merosot di masyarakat.

Cara mengatasi hal tersebut, B.J.Habibie mengambil kebijakan cepat yakni


mengundang Menko Kesra, Menperindag/Kepala Bulog, dan Mensesneg untuk
menjajagi kemungkinan pemanfaatan dana non-budgeter Bulog sebesar Rp.40 miliar

2
Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi?, halaman 1-2. Makalah
disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum, Bengkulu 16
NOV 2018
3
Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum
terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011) halaman 143-144

3
dan segera diserahkan kepada Mensesneg untuk program pengadaan dan pembagian
sembako kepada masyarakat miskin. Presiden memerintahkan kepada Mensesneg
guna mengkoordinasikan pelaksanaan pengadaan dan pembagian sembako.

Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


dan diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Akbar Tanjung, Dadang Sukandar,
Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama, tetapi Mahkamah Agung
mengeluarkan Putusan Vrijspraak (putusan bebas).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan berikut :

1. Bagaimana diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan


tugas dalam situasi darurat?
2. Apa batasan perbuatan melawan hukum yang berdampak hukum
administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi
darurat?
3. Bagaimana praktik Diskresi di Indonesia

4
BAB II

PEMBAHASAN

3.1 Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas
dalam Situasi Darurat

Diskresi (freies ermessen) merupakan kewajiban pemerintah dalam sebuah


negara kesejahteraan (welfare state), yang mana tugas pemerintah yang utama dalam
negara kesejahteraan adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan
kesejahteraan bagi warga negara. Diskresi yang ada di Indonesia muncul bersamaan
dengan adanya pemberian tugas bagi pemerintah untuk melaksanakan dan
merealisasikan tujuan negara Indonesia. Situasi darurat dapat dipahami sebagai daya
paksa yang terdapat di dalam Pasal 48 KUHP “barangsiapa melakukan perbuatan
karena daya paksa, tidak dipidana.”

Di dalam membuat keputusan tata usaha negara, menurut Muchsan landasan


yang dapat digunakan oleh aparat pemerintahan ada dua yaitu :
1. Wet matig (menggunakan landasan peraturan perundang-undangan/Yuridis)
Dalam landasan wet matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah
peraturan undang-undang baik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUDNRI), Ketetapan MPR yang masih berlaku, Undang-
Undang/Perpu, Peraturam pemerintah, peraturan daerah provinsi dan kota.
Wet matig ini merupakan landasan yang ideal.
2. Doel matig (menggunakan landasan kebijakan)
Dalam landasan Doel matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan
ialah kebijakan. Dalam hal ini Produk hukum sudah ada, tetapi
dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum tata
pemerintahan dikenal adanya azas diskresi/freies ermessen (asas kebebasan
bertindak). Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas
legalitas, karena sikap tindak adminsitrasi negara harus dapat diuji
berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun
berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis seperi asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

5
Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian
yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak
tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Jika kita melihat azas
diskresi, jika dilaksanakan administrasi negara terkesan bertindak sewenang-wenang,
tetapi jika tidak dilaksanakan maka tujuan pembangunan nasional akan terhambat.
Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan pemerintah
(eksekutif) dalam menggunakan asas diskresi/freies ermessen maka perlu diatur
pembatasan penggunaan asas diskresi.
Kebijakan diperbolehkan sebab dalam hukum tata pemerintahan terdapat
teori diskresi. Namun menurut Muchsan asas diskresi ini menimbulkan dilema :
a. Di satu pihak apabila diskresi selalu digunakan, akan terjadi perbuatan
pemrintah yang sewenang-wenang.
b. Tetapi sebaliknya jika pemerintah takut melakukan diskresi, maka tujuan
pembangunan nasional yang mulia, adil dan makmur sulit terwujud.
c. Kalau dilakukan dengan negatif oleh pemerintah maka timbul semena-
mena atau sembarangan atau penyalahgunaan wewenang.
d. Kalau tidak dilakukan atau digunakan tidak berwujud seuatu yang
bermanfaat.

Diskresi dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut4:

a. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang


penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah tersebut menuntut
penyelesaian dengan segera;
b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah
memberikan kebebasan sepenuhnya.

Pemberian diskresi kepada pejabat pemerintah merupakan konsekuensi logis


dari konsep negara kesejahteraan, tetapi dalam kerangka negara hukum, diskresi
tidak dapat digunakan tanpa batasan. Atas dasar tersebut, maka diskresi memiliki
unsur-unsur:

4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hal 152

6
a. Sebagai bentuk dari konsekuensi dari konsep negara kesejahteraan;
b. Merupakan bentuk sikap dari campur tangan pemerintah atau pejabat
administrasi negara;
c. Dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
muncul secara tiba-tiba atau belum dimuat dalam ketentuan undang-undang;
d. Diambil berdasarkan inisiatif sendiri dari pemerintah;
e. Bertujuan untuk memberikan pelayanan publik;
f. Dimaksudkan untuk mengisi kekurangan peraturan perundang- undangan;
g. Tidak bertentangan dengan sistem hukum atau pun norma-norma dasar.

Diskresi merupakan wewenang bebas, maka diskresi melekat pada jabatan.


Sesuatu yang melekat pada jabatan, maka penggunaan diskresi pada dasarnya adalah
dalam rangka melaksanakan kewenangan jabatan. Tindakan seorang pemangku
jabatan hanya mengikat jabatan kalau dia melakukan suatu tindakan jabatan
(ambtshandeling), yaitu tindakan yang dilakukan dalam kualitasnya sebagai pejabat.
Supaya dapat dibedakan dari tindakan pribadi (prive handeling), maka digunakan
alat-alat formal seperti nama jabatan, cap jabatan, kertas jabatan, sampul jabatan,
tandatangan ketua serta sekretaris, dan sebagainya5.

Pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi, selama dilakukan dalam


lingkungan formil wewenangnya atau dilakukan dalam rangka melaksanakan
kewenangan jabatan, semua konsekuensi yang timbul akan menjadi tanggung jawab
dari jabatan yang diemban6.

Parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara adalah


detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-
wenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana pun memiliki kriteria yang
membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara, yaitu unsur
wederrechtelijkheid dan menyalahgunakan kewenangan. Manakala aparatur negara

5
Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Disertasi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1993, halaman 20,
6
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Press, 2014), halaman 201

7
melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan
hukum, pengadilan mana yang akan memproses hal tersebut7.

Di dalam pasal 24 undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi


pemerintahan menyebutkan tentang syarat-syarat pelaksanaan diskresi sebagai
berikut8:

a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
d. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
e. dilakukan dengan iktikad baik.

2.2 A. Batasan Perbuatan Melawan Hukum yang Berdampak Hukum


Administrasi dalam Melaksanakan Tugas dalam Situasi Darurat

Pejabat administrasi negara telah dilengkapi dengan kewenangan-


kewenangan baik yang bersifat atributif maupun yang bersifat delegatif. Agar tugas
pelayanan publik tetap mencapai hasil maksimal, pejabat administrasi diberikan
kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan konkret yang harus ditangani secara tepat, sementara terhadap
permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum
penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum administrasi
negara disebut wewenang bebas (diskresi).

Tidak pernah ada wewenang bebas sepenuhnya, sebab dalam kerangka


hukum modern, hal ini berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh pejabat
administrasi tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari maksud diberikan
wewenang itu kepadanya. Wewenang bebas yang diberikan mengandung suatu
kewajiban bahwa pejabat administrasi negara harus selalu menentukan keputusan

7
Indriyanto Seno Adji,...Op.Cit., halaman 3
8
UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan

8
yang terbaik untuk menghadapi situasi konkret.15 Sifat wewenang pemerintah, yaitu
yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama keputusan-keputusan (besluiten)
dan ketetapan-ketetapan (beschikking) oleh organ pemerintahan sehingga dikenal
ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan bebas9.

Harus juga dipahami bahwa bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang


dirumuskan dalam peraturan dasarnya, tetap harus berlaku norma- norma tidak
tertulis yang disebut dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Layak10.
Kebijakan yang diambul pejabat pemerintah tidak diperkenankan Hakim biasa untuk
mengadilinya. Bukanlah pengadilan yang dapat menilai kebijakan penguasa dengan
diskresinya, sehingga kebijakan pemerintah tidak boleh dicampuri oleh Hakim
Umum. Pembatasan terhadap Beleidsvrijheid itu adalah apabila terdapat perbuatan
yang masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan perbuatan sewenang-
wenang, dan pola penyelesaian terhadap penyimpangan ini adalah melalui Peradilan
Tata Usaha Negara11.

B. Batasan Perbuatan Melawan Hukum yang Berdampak Hukum


Administrasi dan Hukum Pidana dalam Melaksanakan Tugas dalam
Situasi Darurat

Penyimpangan kekuasaan pada pejabat publik dapat berupa penyalahgunaan


wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dapat
dilihat pada Pasal 3 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini mengatur tentang penyalahgunan wewenang oleh
seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan dimana akibat perbuatannya itu
merugikan Keuangan Negara. Jelas bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan
suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pasal 3 Undang- undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:

9
Indohartono, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga
Penulisan dan Pengembangan
10
Rusli K.Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk,
Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Press, 2001), halaman 187
11
Ibid., halaman 10-11

9
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp.50.000.000 (limah puluh jutarupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).”

Unsur-unsur dalam rumusan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah setiap orang, dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan bentuk tindak
pidana korupsi pokok. Ketentuan pasal ini tidak menyebutkan unsur secara melawan
hukum sehingga Penuntut Umum tidak perlu membuktikannya. Sifat melawan
hukum tersebut sudah terdapat pada unsur-unsur yang lain12, sedangkan unsur
penting atau bagian inti (bestanddelen) yang harus didefinisikan atau diberikan
pembatasan oleh pembentuk undang- undang yaitu unsur ketiga. Hal ini diperlukan
karena pengertian penyalahgunaan wewenang merupakan ruang lingkup (domain)
dari hukum.

Penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana


korupsi, apabila suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik
dalam hal tertentu dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak atau
belum mengaturnya, atau peraturan yang ada yang mengatur tentang tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik atau pejabat administrasi negara
tersebut menyimpang dari seharusnya dilakukan, dengan maksud atau sengaja untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain sehingga dapat menyebabkan kerugian
keuangan atau perekonomian negara yang sebagaimana dengan tegas telah diatur
oleh undang-undang dan dengan batas :

12
Hari Sasangka, Komentar Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2007), halaman 11

10
a. Diskresi yang digunakan menyimpang dari tujuan peraturan yang
mendasari kewenangan pejabat publik dan
b. Diskresi yang digunakan oleh pejabat publik dimaksudkan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
sehingga dapat merugiakan keuangan atau perekonomian negara.

2.3 Praktik Diskresi Di Indonesia


1. Hakim
Diskresi dalam Masalah Hukum
Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja"
suatu peraturan, menerapkan undang-undang dan prosedur. Cara berpikir
hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi dangkal,
menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita bisa diingatkan kembali pada
pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda, yang mengatakan
"hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi
salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.
Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna
lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila
"pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan
hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga
sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi
juga dengan "telinga sosial” dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga
dapat menyelami kaedah yang merupakan roh yang menjadi landasan suatu
hokum.
Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan hukum
tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam
memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa.
Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan
kewenangan diskresi:
a. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar
ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan.
Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar
melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15

11
tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang
menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi
Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan.
Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari
perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak
dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba.
b. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri
Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan
161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu
menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan
10 tahun penjara .
c. Putusan hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh,
yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan
Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas
tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam
tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan
makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan
penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi
yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar
karena Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai
menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.
d. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori
hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan
itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih
dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang
hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di
zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan
progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan
dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya
Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepala Kepolisian RI
dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang
mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai

12
tersangka tidak/ kurang tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban.
Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk
selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam
membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari
narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa
memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak.
Contoh penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi
pemerintahan adalah surat edaran, juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh
lembaga administrasi Negara.
2. Polisi
Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, (1997, 25-26)
mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act in
certain condition or situation; in accordance with official’s or an official
agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals,
belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian
adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk
bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan
keputusan nuraninya sendiri) Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi
untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam
menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang
ditanganinya.
Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam
praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat
kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam
penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang
pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
menyebutkan:
a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.

13
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud
dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang
dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari
tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi
pemicu keengganan aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya
dalam pemeriksaan kasus pidana, di antaranya rendahnya pemahaman aparat
kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi
dipandang sebagai tindakan manipulasi (illegal), ketakutan akan munculnya
penilaian negatif dari masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian
dianggap sebagai akal-akalan pihak kepolisian untuk memperoleh
keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara. Padahal, dalam praktik
pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak berasal
dari pihak berperkara, khususnya pihak korban.
Menurut Chryshmanda (2008), tindakan diskresi yang dilakukan aparat
kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu:

1) Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara


individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang
diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada
saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya,
seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan
kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu
lintas berwarna merah. Hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan,
2) Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau
pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk
menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku

14
pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah
tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi
didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan
dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara
mereka.

Dalam pemaparannya tentang diskresi, James Q Wilson mengemukakan


ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan,
yaitu:

1) Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas


alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya
dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan
dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;
3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian
pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan
memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan
4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu
dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.

Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa


dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka
penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat. Beberapa perundang-
undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya
dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:

1. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan:
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan
lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam

15
rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian
Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;


2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
4. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
dan
5. menghormati hak asasi manusia.

3. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan: untuk
kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan:
yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik
untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

16
Terkait penerapan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana,
ada beberapa pertimbangan yang umum dijadikan pegangan, antara lain:

1. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan


mengingat melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan
selesai dalam jangka waktu lama.
2. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung
jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin
bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana
yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.
3. Adanya keinginan agar perkara selesai secara win-win solution,
mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak
yang kalah dan ada yang menang;
4. Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban, sehingga
korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.

3. Penghulu
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, suci dan bernilai ibadah. Oleh
sebab itu, menjalankan pernikahan haruslah mengetahui tata cara serta syarat
rukunnya terlebih dahulu, tanpanya maka pernikahan tersebut tidak sah,jika
ternyata dalam prakteknya sesuai dengan ajaran Nabi ( syarat dan rukunnya
terpenuhi ) maka pelaksanaan pernikahan tersebut hukumnya Haram yang
dalam bahasa KH Ahmad Rifa’i disebut Haram Syuru’.Anehnya sang
penghulu yang nota benenya adalah para Sarjana Syariahpun terkesan asal-
asalan dalam menikahkannya terutama yang menyangkut masalah penetapan
saksi yang disyaratkan Adil sebagaimana sabda Nabi :” La Nikaha Illa Bi
waliyyin wa Syahidaiyil aadil ( tidak sah nikahnya kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil ). Dengan alasan harus menikahkan di banyak tempat,
maka sang petugas inipun kadang tidak mengindahkan lagi aturan-aturan
Hukum Islam. Padahal seorang ulama’ kharismatik Abad XIX KH Ahmad
Rifa’i telah menyampaikan kritiknya yang cukup tajam kepada para Qadhi
atapun penghulu dalam Kitab Tabyiinal Ishlah, beliau berkata dengan sangat
lantang.”

17
Di Negara Indonesia, praktek pernikahan menjadi ajang untuk
memperkaya diri bagi sebagian orang, baik itu RT, RW maupun
Penghulunya. Pungutan-pungutan liar yang terjadi membuat biaya pernikahan
menjadi sangat mahal dan mencekik leher bagi golongan ekonomi lemah.
Tarif yang dikenakan berkisar antara 500.000 hingga 1.000.000, dan itu harus
dibayarkan di muka, kalau tidak maka sang penghulu tidak akan mau datang
untuk menikahkannya. hal ini mendapat kecaman dengan sangat pedas dari
Guru besar warga Rifaiyyah tersebut. bahkan beliau dengan sangat tegas
mengatakan Haram mengambil upah aqad nikah yang dilakukan oleh para
penghulu. Beliau berkata . “Wa yahrumu ‘alal haakimi tholabul ujroti ‘ala
‘aqdinnikaahi, wa yajuzu qobuluhu min ghairi tholabin.”( haram
hukumnyaatas hakim, mengambil upah atas pelaksanaan aqad nikah, dan
boleh menerimanya apabila tanpa meminta ).
Pernyataan beliau ini sangat jelas, bahwa HARAM meminta upah atau
menentukan biaya pernikahan atau pasang tarif untuk pelaksanaan akad
nikah, namun boleh menerimanya seandainya diberi tanpa harus memintanya.
Sementara itu, jika sang hakim atau qadhi atau penghulu menetapkan biaya
nikah yang telah jelas keharamannya maka ia telah jatuh ke dalam lubang
kefasikan.
Pembatasan Penggunaaan Asas Diskresi
Di Indonesia penggunaan asas diskresi harus dibatasi, yakni pemerintah boleh
menggunakan tapi ada batasannya supaya tidak berlebihan dan sewenang-wenang.
Menurut Muchsan ada 4 (empat) pembatasan terhadap penggunaan asas diskresi
yaitu :
1. Apabila terjadi kekosongan hukum (recht vacum)
Dimana realitas yang terjadi gerak kehidupan masyarakat ternyata lebih
cepat, daripada peraturan yang ada, sehingga membutuhkan hukum yang
cepat pula. Contohnya kasus seorang wanita yang hamil duluan sebelum
pernikahan resmi, hal itu membutuhkan hukum yang mengatur mengingat
dimana hukum positif kita tidak mengatur hal tersebut.
2. Apabila ada kebebasan penafsiran (interpretasi)

18
Hal ini dikarenakan didalam produk hukum atau peraturan perundang-
undangan yang ada menimbulkan makna yang ambiguitas dan multitafsir,
sehingga adanya diskresi dikarenakan kebebasan penafsiran (interpretasi)
yang dilakukan aparat pemerintah. Contohnya ialah keputusan Bang Ali
Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) mengenai Penghasilan asli daerah,
retribusi atau pajak daerah sehingga terjadi pelegalan judi dan tempat
prostitusi di Jakarta untuk menunjung pembangunan DKI Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara Indonesia.
3. Apabila ada delegasi undang-undang
Dengan adanya pendelegasian undang-undang para aparat pemerintah dapat
melakukan diskresi contohnya : (HO) hinder ordonantie di dalam HO
disebutkan “pemberian ijin oleh kepala daerah asal tidak berbahaya”. Di
dalam HO tidak disebutkan unsur-unsur bahaya. Ini artinya, undang-undang
(HO) memberikan delegasi kepada masing-masing daerah untuk membuat
sendiri unsur-unsur bahaya.
4. Demi pemenuhan kepentingan umum (public interest)
Machiavelli mengatakan: “demi kepentingan umum halalkan segala cara.”
Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk
undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat
yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang
dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai
kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah
(eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah
(eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum.
Menurut Muchsan, seandainya ada pengaturan mengenai kepentingan umum
maka unsur-unsur kepentingan umum secara teoritis, yaitu:
1. Berbentuk proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara
2. Penggunaannya atau pelaksanaannya oleh negara
3. Dalam penggunaannya harus bersifat non profit oriented atau tidak
berorientasi mencari keuntungan melainkan pelayanan yang prima terhadap
kepentingan masyarakat.

19
Sementara menurut Sjachran Basah, secara tersirat berpendapat bahwa
pelaksanaan freies ermessen atau asas diskresi tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama”.

Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah


untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang
membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur
tentang hal tersebut. Namun dalam melakukan diskresi aparat pemerintah juga
harus memeliki kewenangan yang didelegasikan undang-undang dan dilakukan
semata-mata demi kepentingan umum.

Peranan penggunaan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan Indonesia


sangat signifikan karena asas diskresi yang diberikan pada aparat pemerintahan
di Indonesia tidak sembarangan melainkan ada batasan-batasan yang harus
diketahui serta asas-asas umum pemerintahan yang baik yang menjadi pedoman
untuk melakukan diskresi. Dengan adanya asas diskresi yang bertanggung jawab
aparat pemerintah dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan negara yang
mensejahterakan bangsa Indonesia dan diskresi yang digunakan tidak asal-asal
melainkan dilakukan semata-matas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
ada dengan tetap berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Apabila aparat pemerintahan dalam melakukan diskresi ternyata


menyalahgunakan wewenangnya maka dapat di gugat di pengadilan tata usaha
negara dan pastinya Hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang
baik sebagai batu uji atau landasan terhadap diskresi yang dilakuan. Menurut
muchsan asas-asas umum pmerintahan yang baik yang cocok di Indonesia hanya
terdiri dari 5 saja yakni :

1. Astaas kepastian hukum


2. Asas permainan yang layak
3. Asas kecermatan
4. Asas keseimbangan

20
5. Asas ketetapan dalam mengambil sasaran

Kelima asas tersebut sudah dipakai oleh hakim menjadi yurisprudensi,


sehingga aparat pemerintah seharusnya memahami betul ketika mengambil
kebijakan diskresi
.

tidak melanggar asas-asas umum pemerintahn yang baik. Dapat dikatakan


hukum tata pemerintahan memberikan ruang yang bebas terhadap aparat
pemerintahan untuk melakukan tugas pemerintahan dengan diberikan asas
diskresi namun juga memberi peringatan yang tegas mengenai tidak
disalahgunakannya asas diskresi tersebut.

Peranan asas diskresi dalam penggunaanya oleh aparat pemerintah harus


dilakukan dengan cermat karena aktivitas-aktivitas dalam penyelenggaran negara
sangatlah padat, dinamis dan bergerak terus mengikuti tantangan dan
perkembangan jaman. Aparat pemerintahan yang menggunakan tentunya sudah
mengerti bahwa apa yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkan pada
masyarakat dan Tuhan Yang Maha esa, ini sesuai dengan pendapat Sjachran
Basah di atas.

Dengan adaya asas diskresi ini banyak sekali kepala daerah yang ada
diprovinsi-provinsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas pemerintahan dapat
menjadi bantuan yang signifikan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
di daerahnya yang pastinya setiap daerah memiliki tingkat perbedaan antara satu
dengan yang lain. Sehingga dapat dikatakan peranan asas diskresi dalam hukum
tata pemerintahan meringankan tugas para aparat pemerintahan untuk
mewujudkan tujuan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah
Indonesia, kesejahteraan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
berpartisipasi pada perdamian dunia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

21
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian penulisan hukum yang


berjudul “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas
dalam Situasi Darurat”, ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pemberian diskresi kepada pejabat pemerintah merupakan konsekuensi


logis dari konsep negara kesejahteraan, tetapi dalam kerangka negara
hukum, diskresi tidak dapat digunakan tanpa batasan.
2. bahwa bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang dirumuskan dalam
peraturan dasarnya, tetap harus berlaku norma- norma tidak tertulis yang
disebut dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Layak. Kebijakan
yang diambul pejabat pemerintah tidak diperkenankan Hakim biasa untuk
mengadilinya.
3. Asas diskresi/freies ermessen dalam hukum administrasi negara adalah
kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang
dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna
menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang
aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara?


(Jakarta: 2010),

Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi?, halaman 1-2.


Makalah disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau
Dari Hukum, Bengkulu 16 NOV 2018

Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan
Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986),

Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Disertasi, Universitas Indonesia,


Jakarta, 1993

Dr, elektison somi, joni simamora, dkk, Hukum administrasi negara, fakultas Hukum
Universitas Bengkulu, bengkulu, 2014

Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia Press, 2014)

Rusli K.Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk,


Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia Press, 2001).

Hari Sasangka, Komentar Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2007),

UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan.

23
24

Anda mungkin juga menyukai