PENDAHULUAN
Pada bab ini disajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah dalam
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta ruang lingkup penelitian dalam
hal ini penelitian pada campur kode pada mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.
1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan banyak
mahasiswa yang menggunakan bahasa daerah . Faktor penggunaan campur kode dan
alih kode dapat berupa pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, maupun
perubahan topik pembicaraan. Suwito berpendapat bahwa campur kode adalah suatu
keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling
memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain, unsur-unsur yang
menyisip tersebut tidak lagi memunyai fungsi sendiri. Peristiwa campur kode dan alih
kode sering dijumpai dalam tuturan masyarakat Indonesia.
B. Pembatasan Masalah
Berdasaran identifikasi masalah diatas dengan fenomena kebahasaan campur
kode yang ditemukan, penulis mencoba meneliti campur kode bahasa daerah kedalam
bahasa Indonesia dalam diskusi kelompok mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, rumusan masalah
pada penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.
2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode pada
Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017
PPAPK.
3. Bagaimana dampak campur kode dan alih kode yang terjadi dalam diskusi
kelompok Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Kelas B 2017 PPAPK.
2
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan
Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.
2. Mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode pada
Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017
PPAPK.
3. Mendeskripsikan dampak campur kode dan alih kode yang terjadi dalam diskusi
kelompok Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Kelas B 2017 PPAPK.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat menambah khazanah ilmu dan referensi kajian
bidang ilmu sosiolinguistik dan alih kode dan campur kode. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat, yaitu :
a. memberikan pengetahuan kepada pengajar mengenai deskripsi campur kode
sebagai sumber belajar pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia;
3
2. Faktor penyebab terjadinya tuturan Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa
Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK bentuk campur kode identifikasi ragam,
keinginan menjelaskan dan menafsirkan, dan identitas pribadi..
4
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan,
sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda,
Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional
(bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut
dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya
dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian
kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari
bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian,
ragam, gaya, dan register.
B. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain.
Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency)
dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang
penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing
bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing
fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala
peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya
dan
2. alih kode intern
bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
5
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu
tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih
kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan
berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya
penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka
berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan
dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang
bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan
serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak
mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya
pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
C. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya
pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana perubahan bahasa
oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi, pada campur
6
kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson,
1996:53). Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:46), campur kode dilakukan oleh
penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal,
melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa
datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi,
yakni tingkah laku. Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan
bahasa campur demi kemudahan belaka sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial
atau sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem
tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar
belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya
berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: campur kode ke dalam (innercode-
mixing), merupakan campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya dan campur kode ke luar (outer code-mixing), merupakan campur kode yang
berasal dari bahasa asing. Adapaun latar belakang terjadinya campur kode dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type), merupakan latar belakang
sikap penutur dan kebahasaan (linguistik type) merupakan latar belakang keterbatasan
bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan
untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena
adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa. Beberapa wujud campur kode antara lain berupa penyisipan kata, frasa, klausa,
ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan
asing).
7
D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi
dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun
terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing
bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi,
sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah
berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur
bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur
menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga
tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain
disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases)
dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
E. Kedwibahasaan
Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode dan sosialisasi bahasa
tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu
sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada abad
ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh Sutikno,
1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua bahasa seperti
penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian
bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama
baiknya. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena
8
dapat diartikan bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa
kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh Haugen (dalam Pujihastuti 2010:12) bahwa
dwibahasa adalah tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai
secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup
menjadikan seorang itu disebut dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa seorang
dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif, produktif
sebagaimana dituntut Bloomfield melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan
reseptis dalam bahasa kedua. Mackey (dalam Mutmainnah 2008:47) menggambarkan
kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau lebih
oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan
turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan di atas dapat
disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan seseorang dalam
menggunakan dua bahasa, baik bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua
dalam berkomunkasi.
F. Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme umumnya digunakan untuk menjelaskan suatu
heterogenitas budaya, atau merujuk pada eksistensi pluralitas etnik dan berbagai
kelompok budaya dalam masyarakat (Sundrijo 2007). Pernyataan tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap orang dengan berbagai latar belakang kebudyaan yang
berbeda dapat hidup secara damai tanpa mengorbankan kekhasan budayanya dan tidak
menimbulkan konflik akibat perbedaan budaya di antara mereka.
Tilaar (dalam Ekoati 2010) menyatakan bahwa multkulturalisme merupakan
upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang membawa suatu komunitas
dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Oleh karena proses pendidikan
adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan
melalui proses pendidikan. Penanaman pengakuan terhadap keragaman etnis dan
9
budaya masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini merupakan upaya merespons
fenomena konflik etnis dan sosial-budaya yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Tilaar (2004:29) menggambarkan masyarakat multikultural adalah masyarakat yang
penuh resiko karena masyarakat itu berubah dengan cepat sehingga meminta manusia
untuk mengambil sikap dan melakukan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau hanyut
bersama perubahan itu.
Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk
dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-
perbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian dan dengan demikian
akan tercipta kesejahteraan umat manusia (Nugroho 2009:15).
10
yang menonjol dalam kegiatan belajar mengajar English Conversation di kelas X
program ICT SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
Dalam hal ini ada persamaan dengan penelitian yang tersebut di atas dengan
penelitian yang akan penulis teliti, yaitu sama-sama membahas tentang alih kode dan
campur kode, penelitian yang penulis teliti juga terdapat perbedaan dibandingkan
ketiga penelitian tersebut di atas. Penelitian yang pernah dilakukan I Gusti Putu Antara
dan Ni Nyoman Garminah, membahas masalah campur kode dalam pemakaian bahasa
Bali yang dikaitkan dengan ranah bahasa, topik pembicaraan, serta partisipan yang
dilibatkan dalam komunikasi.
Sementara R. Jamaluddin membahas tentang campur kode dalam wujud kata,
frasa, idiom, pengulangan kata, klausa, dan faktor utama penggunaan campur kode.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hanifatul Hijriati Penelitian ini membahas
masalah wujud alih kode dan campur kode dalam kegiatan pembelajaran English
Conversation dan faktor-faktor penentu peristiwa alih kode dan campur kode yang
menonjol dalam kegiatan belajar mengajar.
Hal ini tentu saja berbeda dengan penelitian yang akan penulis teliti yaitu
penulis lebih fokus membahas “Alih Kode dan Campur Kode yang digunakan
Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B
2017 PPAPK dalam diskusi kelompok”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini belum pernah diteliti sebelumnya.
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
12
B. Lokasi Penelitian
Lokai penelitian adalah lokasi proses studi yang digunakan untuk memperoleh
pemecahan masalah penelitian berlangsung. Dalam rangka mendapatkan data-data
yang akurat, penulis mengadakan penelitian di Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa
Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK. Kegiatan diskusi kelompok di Fkip Untan
Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK dilakukan pada
sore hari dari mulai pukul 15.30 sampai dengan pukul 17.00. Penelitian ini dimulai
dengan pengumpulan data dan proses penelitian dilakukan pada bulan November –
Desember 2018.
13
Hal-hal yang tidak sempat di catat selama pencatatan akan di konfirmasikan dan di
sempurnakan melalui hasil rekaman.
2. Wawancara
Dalam pengumpulan data, penulis juga menggunakan metode wawancara
mengenai campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok. Wawancara
adalah suatu percakapan dengan tujuan untuk memperoleh konstruksi yang terjadi
sekarang tentang orang, kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan,
kerisauan dan sebagainya, rekonstruksi keadaan tersebut berdasarkan pengalaman
masa lalu.
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara secara bebas, Pedoman
wawancara tidak terstuktur ini digunakan agar memperoleh data atau jawaban dari
narasumber secara mendalam dan sesuai dengan data yang diharapkan penulis.
Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka dalam penelitian ini penulis berperan
sebagai orang yang memberikan pertanyaan yang disebut pewawancara, sedangkan
informan dalam hal ini adalah mahasiswa yang berperan sebagai orang yang memberi
jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh penulis.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk
rekaman. Teknik rekam ialah pemerolehan data dengan cara merekam pemakaian
bahasa lisan yang bersifat spontan. Perekaman ini dilakuan pada saat proses
berlansungnya diskusi kelompok.
E. Analisi Data
Analisis data yaitu kegiatan setelah data terkumpul dari seluruh narasumber
atau sumber data lain yang terkumpul. Sementara analisis data melibatkan pengerjaan
organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola,
penemuan hal-hal yang penting dan dipelajari, dan penentuan apa yang harus
14
dikemukakan pada orang lain. Dalam penelitian ini, data yang di analisis adalah data
yang di peroleh dari hasil observasi dan wawancara.
15
DAFTAR PUSTAKA
16