Anda di halaman 1dari 2

Selamat siang Bunda, selamat siang teman-teman.

Saya akan bercerita tentang Kisah Dayang Kumunah.

Alkisah pada jaman dahulu kala, di sebuah dusun di daerah Riau, hiduplah seorang laki-laki tua bernama
Awang Gading. Ia hidup sebatang kara karena istrinya sudah meninggal dunia dan tidak memiliki anak.

Sehari-hari, pekerjaan Awang Gading adalah menangkap ikan di sungai. Jika beruntung, ia akan
mendapatkan banyak ikan yang bisa ditukar dengan beras di pasar. Meskipun hidup sederhana, Awang
Gading tak pernah mengeluh. Ia bahagia dan selalu bersyukur dengan keadaannya itu.

Pada suatu pagi, seperti biasa Awang Gading pergi ke sungai. Sambil berdendang, ia menanti ikan
memakan umpannya, tetapi tidak ada satupun ikan yang dapat ditangkap.

“Hmmm…mungkin nasibku hari ini kurang baik. Lebih baik aku pulang saja dan kembali besok”, katanya
sambil berkemas.

“Owekkk…owekkk…”, tiba-tiba terdengar suar bayi menangis. Langkah Awang Gading terhenti. “Suara
tangis bayi siapa itu?”

Awang Gading mencari sumber suara itu dan ternyata ia menemukan seorang bayi merah di semak-
semak. Karena ia tidak melihat siapapun di sana, maka Awang Gading membawa dan merawat bayi itu
dan menamainya Dayang Kumunah.

Seluruh penduduk dusun menyambut kehadiran Dayang Kumunah dengan sukacita. Kepala Dusun
berkata, “Bayi ini adalah titipan dari raja penghuni sungai. Rawatlah dengan baik.”

Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan berbudi luhur, ramah dan sopan tetapi ia tidak
pernah tertawa.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama
Awangku Usop. Ia langsung jatuh hati dan melamar Dayang Kumunah. Dayang Kumunah menjawab,
“Kanda perlu tahu bahwa aku adalah penghuni sungai. Dunia kita berbeda, tapi jika Kanda mau
menerimaku apa adanya, aku bersedia menjadi istri Kanda, tetapi ada syaratnya. Jangan pernah
memintaku untuk tertawa.”

Awangku Usop menyetujui syarat itu kemudian pesta pernikahan digelar dengan meriah. Dayang
Kumunah dan Awangku Usop sangat berbahagia dan memiliki lima orang anak. Tetapi pada suatu hari
Awang Gading, ayah Dayang Kumunah, meninggal dunia. Dayang Kumunah menjadi sangat sedih.
Awangku Usop berusaha menghibur istrinya dan Dayang Kumunahpun dapat merelakan kepergian
ayahnya.

Namun Awangku Usop tidak puas. Ia berusaha membuat istrinya itu tertawa agar kebahagiaan mereka
lengkap. Saat anak bungsu mereka belajar berjalan, tampak sangat lucu. Sambil tertatih anak itu
berusaha berjalan lurus. Awangku Usop dan anak-anaknya tertawa lalu Awangku Usop membujuk
istrinya untuk ikut tertawa. Sebenarnya Dayang Kumunah ingin tertawa tapi tak boleh.

“Lihat istriku, anak kita mulai berjalan. Mengapa kau tak ikut bergembira bersama kami? Tertawalah, “
kata Awangku Usop.

Karena suaminya terus memaksa, akhirnya Dayang Kumunah tertawa karena memang anak bungsunya
itu sangat menggemaskan. Saat Dayang Kumunah tertawa, muncullah insang ikan dalam mulut Dayang
Kumunah. Suami dan anak-anaknya terkejut. Menyadari kesalahannya, Dayang Kumunah segera berlari
ke sungai dan segera menceburkan diri. Aneh, tak lama kemudian tubuhnya berubah menjadi ikan. Ikan
itu berenang meninggalkan Awangku Usop dan anak-anaknya.
Awangku Usop dan anak-anaknya menangis dan meminta Dayang Kumunah untuk kembali tetapi
semua sudah terlambat. Ikan jelmaan Dayang Kumunah sangat cantik dan masyarakat menamainya
Ikan Patin, sehingga banyak masyarakat Riau yang tidak mau memakan ikan patin karena dipercaya
sebagai kerabat mereka.

Pesan dari kisah ini adalah mengingkari janji kepada orang lain akan menimbulkan kekecewaan, jadi
berusahalah menepati janji yang telah kau ucapkan.

Demikianlah dongeng yang saya sampaikan, semoga kita semua mendapat pelajaran yang baik dari
cerita ini. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai