Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Semua penyakit menular seksual ditularkan melalui hubungan seksual


dengan banyak pasangan. Penyakit menular seksual dapat disebabkan oleh
bakteri seperti gonorrhea, chlamydia, syphilis lalu infeksi virus seperti HIV,
herpes, virus papiloma manusia dan Parasit seperti trichomonas. Penyakit
menular seksual menyebar oleh orang yang terinfeksi melalui kontak dengan
penis, vagina, mulut, atau anus. Mereka dapat tumbuh dan berkembang biak
dengan mudah di area saluran reproduksi yang hangat dan lembab, termasuk
serviks, rahim dan saluran telur pada wanita, dan di uretra pada wanita dan
laki-laki.1
Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan secara khusus tentang
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri yaitu sifilis. Sifilis
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema Pallidum, sangat
kronik dan bersifat sistemik.2
Saat ini sifilis telah menjadi masalah di Eropa dan beberapa negara
Asia. Dengan globalisasi, sifilis telah memperluas dampaknya ke bagian barat
dunia juga termasuk Amerika Utara. Di banyak negara berkembang sulit
untuk didiagnosis sifilis tidak memiliki gejala atau sedikit gejala. Sifilis
mudah disembuhkan dengan obat-obatan yang tepat. Stigma yang melekat
pada sifilis jauh lebih problematis bagi pasien. Selain dari penyakit itu sendiri.
Pengetahuan, kesadaran, dan kewaspadaan mengarah ke langkah-langkah
untuk diagnosis dan pengobatan yang dapat menyelamatkan kerusakan
permanen pada tubuh dan kemungkinan kematian seperti pada beberapa kasus.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Tindakan pencegahan dalam
keadaan krusial dapat mencegah terjadinya sifilis.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema


Pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai berbagai penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.2 Penularannya
terjadi terutama oleh kontak seksual. Perjalanannya ditandai oleh evolusi
multistage, dalam total 4 tahap klinis yang berbeda dalam kasus penyakit yang
tidak diobati, di mana fase gejala bergantian dengan periode latensi. Segudang
manifestasi klinis yang mungkin sering menjadi tantangan besar, sebuah fakta
yang membuat Sir William Osler melabeli sebagai “The Great Imitator”.4
Sifilis mempunyai sinonim yaitu lues verenea atau biasanya disebut
lues saja. Dalam istilah Indonesia biasa disebut raja singa.2

2.2.Epidemiologi

Sifilis adalah infeksi menular seksual (IMS) bakteri yang disebabkan


oleh Treponema pallidum. Ini menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang
besar. WHO memperkirakan bahwa 5,6 juta kasus baru sifilis terjadi di
kalangan remaja dan orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia pada
tahun 2012 dengan tingkat kejadian global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan
1,5 per 1.000 laki-laki.3
Diperkirakan 18 juta kasus lazim sifilis pada tahun 2012 diterjemahkan
dalam prevalensi global dengan 0,5% di antara perempuan dan 0,5% di antara
laki-laki berusia 15-49 tahun, dengan prevalensi tertinggi di Wilayah Afrika.5
Penularan ibu ke bayi dapat terjadi jika ibu hamil menderita sifilis.
Penularan sifilis ibu ke bayi (sifilis kongenital) biasanya merusak janin seperti
dalam kasus-kasus di mana infeksi ibu tidak terdeteksi dan diobati cukup awal
pada kehamilan. Beban morbiditas dan mortalitas akibat sifilis kongenital

2
tinggi cukup. Pada tahun 2012, diperkirakan 350.000 kelahiran yang
merugikan di seluruh dunia dikaitkan dengan sifilis, termasuk 143.000
kematian janin dini / bayi lahir mati, 62.000 kematian neonatal, 44.000 bayi
prematur / berat lahir rendah dan 102.000 bayi yang terinfeksi. Ada juga
peningkatan penularan ibu ke anak dari HIV di antara ibu hamil terinfeksi
sifilis dan HIV. Infeksi sifilis primer dan sekunder yang tidak diobati pada
kehamilan biasanya mengakibatkan kehamilan yang sangat merugikan,
termasuk kematian janin dalam proporsi kasus yang substansial. Infeksi sifilis
laten pada kehamilan mengakibatkan hasil kehamilan buruk yang serius pada
lebih dari separuh kasus. Beban penyakit paling tinggi di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di Wilayah Afrika.5
Sifilis kongenital dapat dicegah, bagaimanapun, dan eliminasi
penularan sifilis ibu ke anak dapat dicapai melalui penerapan skrining dini
yang efektif dan strategi pengobatan sifilis pada ibu hamil. Janin dapat dengan
mudah disembuhkan dengan perawatan, dan risiko hasil buruk pada janin
minimal jika ibu menerima perawatan yang memadai selama kehamilan awal
yang idealnya sebelum trimester kedua. Ada indikasi bahwa penularan sifilis
dari ibu ke bayi mulai menurun secara global karena peningkatan upaya untuk
menyaring dan mengobati ibu hamil karena sifilis.5

2.3.Etiologi

Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri


ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum
pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang
menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang menyebabkan pinta
dan Treponema pallidum endemicum yang menyebabkan sifilis endemik juga
disebut bejel. Klasifikasi bakteri penyebab sifilis adalah; Kingdom:
Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas: Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales,
Familia: Treponemataceae, Genus: Treponema, Spesies: Treponema pallidum,
Subspesies: Treponema pallidum.7

3
Treponema pallidum subspesies pallidum merupakan bakteri gram
negatif, berbentuk spiral yang halus, ramping dengan lebar kira-kira 0,2 µm
dan panjang 5-15 µm. Bakteri yang patogen terhadap manusia, bersifat parasit
obligat intraselular, mikroaerofilik, akan mati apabila terpapar oksigen,
antiseptik, sabun, pemanasan, pengeringan sinar matahari dan penyimpanan di
refrigerator.7 Masa inkubasi yakni Sepuluh hingga sembilan puluh hari, tetapi
biasanya sekitar tiga minggu.8
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan
yang terinfeksi, kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu
yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan.7

Gambar 2.1 Treponema Pallidum

Gambar 2.2 Struktur Treponema Pallidum

4
2.4.Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita. Sifilis


kongenital dibagi menjadi dini (sebelum dua tahun), lanjut/akhir (sesudah dua
tahun) dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara
klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama dibagi menjadi tiga stadium:
Stadium I (S I), Stadium II (S II) dan stadium III (S III). Secara epidemiologi
menurut WHO dibagi:
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
Stadium rekuren, dan Stadium Laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (Setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas
stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain yakni sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang
memasukkannya ke dalam S III atau S IV.2

2.5.Patogenesis

2.5.1. Stadium Dini

Rute transmisi utama untuk T. pallidum adalah seksual dan


vertikal (dalam rahim melalui penyebaran hematogen ke janin). T.
pallidum memasuki tubuh melalui kulit dan selaput lendir melalui lecet
makroskopis dan mikroskopik selama kontak seksual. Seseorang yang
terinfeksi menular ke pasangan seks selama tahap infeksi primer dan
sekunder ketika ada lesi atau ruam. Meskipun terutama ditularkan di
situs genital, lesi primer telah dijelaskan di berbagai situs, termasuk
mulut, area anorektal, dan dada atau leher dari gigitan manusia.
Penularan juga dapat terjadi melalui plasenta dari ibu ke janin selama
kehamilan.9
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran
mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar
getah bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh
organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial jaringan dengan cara

5
gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa jam
setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan
serologi belum kelihatan pada saat itu.7
Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih
dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembang biak
Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo 30-33
jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,
biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara
spontan.7
Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multiplikasi dan
tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas
limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat
sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat
masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema
pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi
lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini
mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang
sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre.7
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah
bening regional secara limfogen dan membiak, pada saat itu terjadi
penjalaran hematogen dan menyebar ke semua dan tampak kemudian
multiplikasi ini diikuti dengan reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi
setelah enam sampai delapan minggu setelah S I. S I akan sembuh
perlahahan-lahan dan membentuk jaringan sikatriks. S II mengalami
regresi perlahan lalu menghilang.2
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala meskipun
masih terdapat infeksi yang aktif. Kadang-kadang proses imunitas
gagal mengontrol infeksi sehingga bakteri berkembang biak lagi pada
tempat S I dan menimbulkan lesi yang rekuren bahkan bakteri tersebur
menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi

6
rekuren S II. Lesi menular tersebut dapat terjadi berulang-ulang tapi
pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.2
2.5.2. Stadium Lanjut

Stadium laten yang berlangsung bertahun-tahun serta bakteri


yang dalam keadaan dorman dengan antibodi tetap ada dalam serum
penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat
sekonyong-konyong berubah dengan sebab yang tidak jelas, disebut
bahwa trauma dapat menjadi faktor presipitasi.2
Pada beberapa individu, infeksi laten kronis dapat kembali aktif
menyebabkan sifilis tersier, yang terjadi bertahun-tahun hingga
beberapa dekade setelah awal infeksi dan dapat mempengaruhi banyak
organ. Dalam sebuah penelitian retrospektif pasien dari Oslo di era
pra-antibiotik, kira-kira pada hari ketiga pasien dengan sifilis laten
yang tidak diobati berkembang menjadi tersier sifilis (90).
Manifestasinya mungkin termasuk gumma, kardiovaskular sifilis, dan
neurosifilis tersier. Di era antibiotik modern, sifilis tersier jarang
terlihat, mungkin karena sifilis yang tidak disengaja dengan
pengobatan antibiotik yang diresepkan untuk infeksi lain.11

Gambar 2.3 Patogenesis Sifilis

7
2.6.Manifestasi Klinis

Definisi tahapan bersifat klinis, kronologi dimulai dengan onset


chancre. Tahapannya tumpang tindih. Sifilis sekunder berkembang pada
sepertiga pasien yang tidak diobati, sifilis tersier pada 10%. Pasien dianggap
menular ke orang lain melalui kontak sosial (jarang) dan seksual terutama
pada tahun pertama (sifilis primer dan sekunder). Penularan selanjutnya
biasanya dengan cara lain (secara vertikal dan melalui jaringan).10
2.6.1. Stadium Dini

A. Sifilis Primer

Sifilis primer klasik tampak soliter, chancre tanpa rasa sakit


di tempat inokulasi, biasanya di vagina, penis atau anus (tetapi
mungkin ekstra-genital), setelah masa inkubasi rata-rata 21 hari
(kisaran: 9–90 hari). Lesi primer dimulai sebagai papul yang
diangkat dan memborok dengan batas tepi dan eksudat serous yang
sedikit dan sebelum sembuh dalam 3 hingga 10 minggu, dengan
atau tanpa pengobatan. Chancre utama mungkin tidak terdeteksi
oleh pasien. Jika tidak diobati, penyakitnya berlanjut ke tahap
kedua, empat hingga delapan minggu setelah munculnya lesi
primer.5
Paling banyak di daerah genitalia, pada laki-laki bisa
terdapat di preputium dan sulcus coronalis dari glands penis. Pada
wanita biasanya terdapat pada serviks, vagina, vulva, clitoris dan
payudara. Di luar genitalia bisa mengenai anus atau rektum, mulut,
bibir, lidah, tonsil, jari tangan (nyeri), jari kaki, payudara, dan
puting.6

8
Gambar 2.4 Gambaran Chancre pada Sifilis Primer pada Genital

Gambar 2.5 Gambaran Chancre pada oral

B. Sifilis Sekunder

Sifilis sekunder terjadi 4 hingga 8 minggu kemudian


dengan gejala sistemik termasuk ruam, secara klasik melibatkan
telapak tangan atau telapak kaki, limfadenopati, mialgia, demam,
dan penurunan berat badan juga disertai alopesia. Sifilis primer dan
sekunder yang tidak diobati dapat berkembang menjadi penyakit
laten atau asimtomatik.12
Kelainan kulit yang membasah pada S II sangat menular,
kelainan yang kering kurang menular. Kondiloma lata dan plaque
muqueuses ialah bentuk yang sangat menular. Cara membedakan
dari penyakit lainnya yakni S II umumnya tidak gatal, sering

9
disertai limfadenitis generalisata, pada S II dini kelainan juga
terjadi pada telapak kaki dan tangan.2
Ruam makulo-papular (50-70%), papular (12%) atau
makular (10%) dan itu mungkin tetapi biasanya tidak disertai gatal.
Itu bisa mempengaruhi telapak tangan dan telapak kaki (11-70%)
dan akar rambut, menghasilkan alopesia. Dua mukokutan yang
lebih penting tanda-tanda adalah bercak mukosa (bukal, lingual
dan alat kelamin) dan kondilomata lata yang sangat infeksius pada
daerah lembab (kebanyakan perineum dan anus). Infeksi HIV-1
tampaknya tidak terjadi dan berdampak pada manifestasi
mukokutan dari sekunder sifilis. Sifilis sekunder dapat
menyebabkan hepatitis; glomerulonefritis (dimediasi oleh
antibodytreponeme deposisi kompleks) dan
splenomegali.13Sebagian kecil pasien (1-2%) akan terjadi
komplikasi neurologis selama sekunder sifilis. Ini biasanya
meningitis akut (sakit kepala, kekakuan leher, fotofobia, mual) dan
saraf kranial palsy termasuk saraf kedelapan palsy dengan
kehilangan pendengaran yang dihasilkan dan kemungkinan
tinnitus. Keterlibatan mata dapat menyebabkan uveitis (paling
sering posterior), neuropati optik, interstisial keratitis dan
kerusakan retina.13

Gambar 2.6 Sifilis sekunder pada telapak tangan

10
Gambar 2.7 Sifilis Sekunder pada punggung

Gambar 2.8 Sifilis Sekunder Kondiloma Lata

Gambar. 2.9 Sifilis Sekunder pada Mukosa Mulut

11
C. Sifilis Laten Dini

Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk


organ dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik
darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. 2
D. Stadium Rekuren

Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit


mirip S II, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif.
Hal ini terutama terjadi pada sifilis yang tidak diobati atau yang
mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah S
II, kadang S I, kadang relaps terjadi pada afek primer dan disebut
monorecidive. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang,
organ dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi dengan
sifilis kongenita. 2
2.6.2. Sifilis Lanjut

A. Sifilis Laten Lanjut

Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan melalui tes


serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun,
bahkan dapat seumur hidup. Likuor Serebropsinalis hendak
diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian
pula sinar-X aorta untuk melihat apakah ada aortitis.2
Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatriks bekas S I pada
alat genital atau leukoderma pada leher yang menunjukkan bekas S
II (Colar Of Venus). Kadang-kadang terdapat pula banyak kulit
yang hipotrofi lentikuler pada badan bekas papul-papul S II.2
B. Sifilis Tersier

Perjalanan penyakit yang kronis terjadi pada sekitar sepertiga


dari pasien yang tidak diobati sekitar 20-40 tahun setelah awal
infeksi. Ini dibagi menjadi Gummatous disease (15% pasien);
kardiovaskular (10%) dan terlambat komplikasi neurologis (7%).13

12
a) Gummatous Disease
Dalam penelitian di Oslo, 15% pasien mengalami rematik
disease. Lesi granulomatosa ini dengan nekrosis sentral dapat
terjadi dalam waktu dua tahun latensi, tetapi biasanya terlihat
setelah rata-rata 15 tahun. Mereka dapat terjadi di mana saja,
tetapi kebanyakan sering mempengaruhi kulit dan tulang. 13

Gambar 2.10 Gambaran Gumma

b) Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 15-30 tahun setelah
infeksi. Ini menjadi gejala pada 10% pasien.13 Sifilis
kardiovaskular biasanya bermanifestasi sebagai aortitis
thoracix. Endarteritis obliterans dari vasa vasorum
menyebabkan gangguan dari tunika media dan bersama dengan
tunika intima terjadi fibrosis dan kalsifikasi, menyebabkan
melemahnya dinding pembuluh darah dan selanjutnya terjadi
pelebaran yang disebut aneurisma.14
Aorta Ascendens adalah bagian utama yang paling sering
mengalami kerusakan yang diakibatkan dilatasi dan regurgitasi
katup aorta sehingga darah mengalir kembali ke ventrikel kiri.
Aortitis juga sering mengenai arteria koronaria dan
menyebabkan iskemia miokardium.2

13
Angina Pektoris merupakan gejala umum aortitis karena
sifilis, yaitu disebabkan oleh stenosis muara arteri koronaria,
karena jaringan granulasi dan deformitas serta dapat
menyebabkan kematian mendadak. Heart block merupakan
kelainan aritmia jantung yang jarang dan kadang disebabkan
oleh sifilis, miokarditis juga sangat jarang, demikian pula guma
pada kor.2

Gambar 2.11 Perjalanan Sifilis Tersier

C. Neurosifilis

Akibat pengobatan dengan penisilin, kini jarang ditemukan


neurosifilis. Infeksi terjadi pada stadium dini. Sebagian kasus
tidak memberi gejala, setelah bertahun-tahun baru terdapat gejala.
20-37% kasus terdapat kelainan pada likour serebrospinalis,
sebagian kecil diantaranya dengan kelainan meningeal.

Neurosifilis dapat dibagi menjadi:


1. Neurosifilis asimtomatik
2. Sifilis meningovaskular
3. Sifilis parenkim
4. Guma
 Neurosifilis Asimtomatik
CSF abnormal tanpa tanda / gejala; ini adalah signifikansi
yang tidak pasti mengingat bahwa kelainan CSF telah

14
ditemukan di hingga 30% dari sifilis primer dan sekunder
namun ini tidak signifikan secara klinis pada sebagian besar
pasien.13
 Sifilis Meningovaskular
Bentuk meningeal dan meningovaskular dari neurosifilis
lebih mungkin terjadi pada pasien dengan sifilis awal yang
kurang mendapat perlakuan. Terapi parsial sifilis sistemik dini
dapat menghapus treponema dari situs perifer, yang
menyebabkan penurunan respon host terhadap organisme,
memungkinkan mereka untuk tetap di mata dan CNS dan
berkembang biak, mengarah ke manifestasi ini berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun kemudian. Banyak manifestasi dari
neurosifilis adalah hasil dari peradangan meningeal aktif.
Meningitis dapat terjadi pada setiap tahap penyakit tetapi
biasanya terlihat dalam dua tahun pertama.15
Banyak pasien dengan area neurosifilis yang bergejala.
Secara klinis, pasien mungkin atau mungkin tidak demam dan
jika ada gejala, ini termasuk sakit kepala dan gejala lain iritasi
meningeal, dan kebingungan. Komplikasi termasuk kelainan
hidrosefalus akut dan saraf kranial. Saraf kranial yang paling
sering terkena adalah VII dan VIII. Neurosifilis perlu
dikecualikan pada pasien HIV-positif dengan gangguan
pendengaran sensorineural; kehilangan pendengaran sensori-
neural mungkin merupakan satu-satunya manifestasi sifilis
pada pasien ini, dan karena itu diperlukan indeks kecurigaan
yang tinggi. Keterlibatan tulang belakang jarang terjadi.15

 Sifilis Parenkim
a) Tabel Dorsalis
Onset dari gejala 25-30 tahun setelah terpapar infeksi.
Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus

15
dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf
otak dapat terkena diantaranya nervus optikus, nervus
trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya
ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia,
gangguan visus, gangguan nyeri pada kulit, dan jaringan
dalam. Gejala lain berupa retensi dan inkontinensia urin.6
b) Demensia Paralitik
Timbul antara delapan sampai sepuluh tahun sejak
infeksi primer. Prosesnya adalah meningoensefalitis yang
terutama mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitar
ventrikel ketiga yang lambat laun mengalami atrofi pada
korteks dan substansi alba sehingga korteks menipis dan
terjadi hidrosefalus.2
Gejala klinis utama adalah demensia yang progresif.
Gejala lain diantaranya ialah disatria, kejang-kejang umum
atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama pada otot
muka.2
 Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat
perluasan dari tulang tengkorak. Jika besar akan menekan dan
menyerang parenkim otak. Keluhan nyeri kepala, mual,
muntah, dan terjadi nyeri konvulsi dan gangguan visus.2

2.1 Tabel Sifilis Tersier

16
2.6.3. Sifilis kongenital

Sifilis kongenital adalah infeksi multisistem yang disebabkan oleh


Treponema pallidum dan ditularkan ke janin melalui plasenta. Risiko
penularan vertikal dan penyakit janin secara langsung berkaitan
dengan tahap sifilis ibu selama kehamilan. Diperkirakan bahwa pada
wanita dengan sifilis selama beberapa tahun, sekitar setengah dari
kehamilan akan terpengaruh, dengan satu setengah dari kehamilan
yang terpengaruh berakhir dengan kelahiran mati (termasuk
keguguran), dan setengah lainnya dalam kematian perinatal atau
infeksi neonatal yang serius (Sifilis kongenital).16
Gambaran klinis dapat dibagi atas sifilis kongenital dini (prekoks),
sifilis kongenital lanjut (tarda). dan Stigmata. Yang dini bersifat
menular, menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan
tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut.2
Sekitar 60% bayi yang lahir dengan sifilis kongenital tidak
bergejala saat lahir. Gejala berkembang dalam dua bulan pertama
kehidupan. Sifilis kongenital dini biasanya bermanifestasi sebagai lesi
kulit yang khas, seperti vesikulobullous atau ruam copper-colour
berwarna pada telapak tangan dan telapak kaki dan lesi papular di
sekitar hidung dan mulut dan di daerah popok, seperti serta lesi
petekie.16
Sifilis kongenital akhir didefinisikan sebagai permulaan
manifestasi klinis setelah 2 tahun. Manifestasi terkait dengan
peradangan atau jaringan parut yang persisten pada jaringan yang
terkena. Sifilis kongenital akhir terjadi pada sekitar 40% bayi yang
lahir dari wanita dengan sifilis yang tidak diobati pada kehamilan.
Manifestasinya termasuk kelainan wajah, keratitis, kehilangan
pendengaran sensorineural, kelainan bentuk gigi (misalnya, gigi
Hutchinson, molar murbei), gumma kulit dan selaput lendir, gangguan
intelektual, hidrosefalus dan cacat tulang ("saber shins", arthritis).17

17
Gambar 2.12 Sifilis Kongenital Dini

Gambar 2.13 Sifilis kongenital akhir stigmata

18
2.7.Diagnosis

Diagnosis sifilis didasarkan pada riwayat pasien, pemeriksaan fisik,


pengujian laboratorium dan kadang-kadang radiologi. Tes laboratorium yang
tersedia untuk diagnosis sifilis termasuk metode deteksi langsung (yaitu
Lapangan gelap, tes antibodi fluoresen langsung dan uji amplifikasi asam
nukleat), serologi (treponemal dan tes non-treponemal), dan pemeriksaan
cairan serebrospinal.5
2.7.1. Metode deteksi Langsung

Metode deteksi langsung membutuhkan eksudat dari lesi


kongenital primer, sekunder atau awal sifilis, dan perlu pengumpulan
sampel secara hati-hati. Mikroskop-bidang gelap menunjukkan
treponema dengan morfologi karakteristik dan motilitas pada eksudat
lesi atau jaringan adalah metode yang paling spesifik untuk diagnosis
tahap awal sifilis.5
Pemeriksaan lapangan gelap harus dilakukan segera setelah
spesimen koleksi dari chancres primer, sekunder basah lesi atau nodus
limfa atau dari lesi mukokutan pada bayi baru lahir. Mikroskop-bidang
gelap membutuhkan keahlian khusus peralatan dan seorang ahli
mikroskopis yang terlatih dan berpengalaman, dan Oleh karena itu
biasanya terbatas pada laboratorium khusus. Mikroskop-bidang gelap
sangat spesifik, oleh karena itu Kehadiran spirochetes karakteristik
adalah diagnostik infeksi aktif. Sensitivitasnya, bagaimanapun, kurang
dari 50%, jadi hasil negatif tidak menyingkirkan sifilis. Meskipun
mikroskopi medan gelap adalah salah satu yang paling sederhana dan
metode yang paling dapat diandalkan untuk deteksi langsung T.
pallidum, ketersediaannya semakin terbatas.5
Tes antibodi fluoresen langsung (DFA) menggunakan Mikroskop
fluoresensi untuk mendeteksi spirochetes itu telah diwarnai dengan
anti-fluorescein-berlabel. pallidum globulin. Spesimen diperoleh di
cara yang sama seperti untuk mikroskopi lapangan gelap, tetapi

19
organisme bernoda fluoresens lebih mudah dideteksi dan tidak
mungkin bingung dengan organisme lain, mengarah ke sensitivitas dan
spesifitas yang lebih tinggi untuk tes DFA. Namun, peralatan khusus
itu diperlukan dan konjugat fluoresens spesifik tidak tersedia secara
komersial di sebagian besar negara.5
Tes amplifikasi asam nukleat (NAATs) langsung mendeteksi T.
pallidum DNA dengan polymerase chain reaction (PCR) dari spesimen
lesi eksudat, jaringan atau tubuh cairan. Sensitivitas bervariasi sesuai
dengan spesifik Pemeriksaan PCR; kebanyakan tes dapat mendeteksi
sekitar 10 organisme setara, meskipun beberapa dapat mendeteksi satu
organisme per reaksi PCR. Tes PCR komersial untuk T. pallidum
belum tersedia secara komersial dan oleh karena itu relatif mahal
dibandingkan dengan yang lain tes yang digunakan untuk
mendiagnosis sifilis. Untuk studi dengan pengujian dilakukan di
laboratorium yang dilengkapi dengan baik, PCR multipleks tes telah
dikembangkan untuk deteksi yang paling penyebab umum ulkus
kelamin, termasuk sifilis, virus herpes simplex dan H. ducreyi
(chancroid).5
2.7.2. Serologi

A. Nontreponemal

Tes skrining nontreponemal yang paling umum termasuk


Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma
Reagin (RPR) yang mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap
cardiolipin yang ada dalam serum pasien dengan sifilis. Tes VDRL
adalah tes mikroflokulasi slide. Antigen, yang merupakan larutan
alkohol yang mengandung 0,03% kardiolipin, 0,21% lecitin, dan
0,9% kolesterol, tersuspensi dalam larutan salin buffer. Ketika
dikombinasikan dengan antibodi, ia membentuk flokulan yang
terlihat menggunakan pembesaran rendah mikroskop. RPR adalah
modifikasi dari tes VDRL, antigen untuk RPR mengandung kolin

20
klorida (untuk menghilangkan inaktivasi serum yang diuji), asam
ethylenediaminotetraacetic - EDTA (untuk meningkatkan stabilitas
suspensi), dan partikel arang untuk visualisasi suspensi. 18
Tes flokulasi makroskopik ini dilakukan pada kartu plastik
yang memiliki lingkaran 18mm ke tempat antigen VDRL yang
dimodifikasi dan serum ditempatkan dan diputar dengan lembut.
Di hadapan antibodi terjadi reaksi flokulasi, dan partikel arang
terperangkap dalam agregat antigen-antibodi, menyebabkan
aglutinasi terlihat. Sensitivitas rata-rata dari VDRL selama sifilis
primer, sekunder, laten dan laten terlambat adalah 78%, 100%,
95% dan 71%, masing-masing; sementara sensitivitas RPR adalah
86%, 100%, 98% dan 73%. Kekhususan rata-rata dari kedua tes
adalah 98%. Tes-tes ini tersedia secara luas, relatif murah dan
penting untuk memantau perawatan. Hanya VDRL adalah tes
pilihan untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) pada suspek
neurosifilis.18
Keterbatasan tes serologi nontreponemal meliputi:
kurangnya sensitivitas pada sifilis laten primer awal dan lanjut,
kemungkinan reaksi prozon atau hasil positif palsu. Reaksi prozon
terjadi ketika antibodi berlebih dan kadang-kadang ditunjukkan
dalam tes serologi nontreponemal. Reaksi prozon terjadi pada 1
hingga 2% pasien dengan sifilis sekunder. Reaksi positif palsu
dikaitkan dengan peningkatan usia, kehamilan, penambahan obat,
keganasan, dan penyakit auto-imune, seperti lupus erythematosus
atau rheumatoid arthritis, serta dengan virus (hepatitis,
mononukleosis infeksiosa, viral pneumonia, campak dan lain-lain),
protozoa (malaria) atau infeksi mycoplasma. Hasil tes
nontreponemal harus diinterpretasikan sesuai dengan stadium
penyakit sifilis. Juga, interpretasi hasil ini tergantung pada populasi
yang diuji. Nilai prediktif dari tes nontreponemal meningkat ketika
dikombinasikan dengan tes treponemal reaktif.18

21
B. Treponemal

Tes treponemal yang didasarkan pada antigen yang berasal


dari T.pallidum, memungkinkan deteksi antibodi anti-treponemal
spesifik. Tes-tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih tinggi daripada nontreponemal dan digunakan sebagai tes
konfirmasi untuk sifilis setelah nontreponemal reaktif pada
screening.18
Tes Treponemal termasuk fluorescent treponemal-absorbed
test (FTA-ABS), Treponema pallidum hemaglutination assay
(TPHA), Treponema pallidum particle agglutination (TPPA) dan
enzyme immunoassay (EIA). Tes Treponemal dapat tetap reaktif
selama bertahun-tahun dengan atau tanpa pengobatan. Oleh karena
itu, tes ini tidak boleh digunakan untuk mengevaluasi respons
terhadap terapi, relaps atau infeksi ulang pada pasien yang
sebelumnya diobati. Juga, itu tidak membedakan sifilis veneral dari
sifilis endemik (yaw dan pinta). Namun, satu tes IgM treponemal,
Captia Syphilis-M EIA menunjukkan sensitivitas tinggi pada sifilis
primer dan juga berguna dalam memantau tanggapan pengobatan
sifilis dini.18

2.8.Diagnosis Banding

2.8.1. Sifilis Primer

a) Herpes Simpleks (residif, gatal/nyeri, lesi berupa vesikel di atas


kulit eritematosa, berkelompok, bila pecah terjadi erosi).
b) Ulkus piogenik (Akibat trauma misalnya garukan dengan ulkus
tampak kotor karena mengandung pus dan nyeri tanpa indurasi).
c) Skabies (Lesi berupa papul atau papul di genitalia dan gatal pada
malam hari).
d) Balanitis (Erosi superfisial pada glans penis disertai eritema).

22
e) Limfogranuloma Venereum (Papul, vesikel, pustul, ulkus yang
biasanya cepat hilang serta ada limfadenitis regional dengan gejala
konstitusi).
f) Karsinoma Sel Skuamosa (Benjolan-benjolan, terdapat indurasi,
mudah berdarah)
g) Penyakit Behcet (Ulkus superfisial, multipel, biasanya pada
skrotum/labia, terdapat pula ulserasi pada mulut dan lesi pada
mata)
h) Ulkus Molle (Ulkus lebih dari satu, disertai tanda radang akut,
terdapat pus, dan umumnya bergaung).2

2.8.2. Sifilis Sekunder

a) Erupsi obat alergik (Riwayat konsumsi obat, demam, kelainan kulit


bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema sehingga mirip
roseola pada S II)
b) Morbili (Eritema disertai gejala konstitusi, kelenjar getah bening
tidak membesar.
c) Pitiriasis Rosea (Bercak eritematosa terutama di pinggir dengan
skuama halus, bentuk lonjong, lentikuler, susunannya sejajar
lipatan kulit)
d) Psoriasis (Eritema dan skuama dengan tanda tetesan lilin)
e) Dermatitis Seboroik (Skuama berminyak dan kekuningan)
f) Kondiloma Akuminata (Papulnya runcing-runcing)
g) Alopesia areata (Numular)2
2.8.3. Sifilis Tersier

Kelainan berupa guma terdapat pada tuberkulosis, frambusia, dan


mikosis profunda.2

23
2.9.Penatalaksanaan

Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati


dan selama belum sembuh penderita dilarang bersenggama. Pengobatannya
menggunakan penisilin dan antibiotik lain.2
Menurut lama kerjanya terdapat tiga macam penisilin yakni:
a. Penisilin G Prokain dalam aqua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bekerja sangat singkat.
b. Penisilin G Prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM),
lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G Benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam serum
dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.2

2.9.1. Sifilis Dini

Rekomendasi 1 (Dewasa)
Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis awal,
direkomendasikan benzathine penicillin G 2.4 juta unit sekali secara
intramuskular tanpa perawatan.5
Rekomendasi 2 (Dewasa)
Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis dini, Pedoman WHO
STI menganjurkan penggunaan benzathine penicillin G 2,4 juta unit
sekali secara intramuskular atau prokain penicillin G 1,2 juta unit 10-
14 hari secara intramuskular. Kapan benzathine atau prokain penisilin
tidak bisa digunakan (mis. karena alergi penisilin) atau tidak tersedia
(mis. karena stok habis), yang WHO STI sarankan menggunakan
doxycycline 100 mg dua kali sehari secara oral selama 14 hari atau
ceftriaxone 1 g secara intramuskular satu kali sehari 10-14 hari, atau,
dalam keadaan khusus, azitromisin 2 g sekali secara oral.
Rekomendasi 3 (Wanita Hamil)
Pada wanita hamil dengan sifilis awal, WHO STI pedoman
merekomendasikan benzathine penicillin G 2,4 juta unit sekali
intramuscular tanpa perawatan.

24
Rekomendasi 4 (Wanita Hamil)
Pada wanita hamil dengan sifilis awal, WHO STI Pedoman
menyarankan menggunakan benzathine penicillin G 2.4 juta unit sekali
secara intramuskular di atas prokain penicillin 1,2 juta unit
intramuskular sekali sehari selama 10 hari.
Ketika benzathine atau prokain penisilin tidak bisa (misalnya
karena adanya penisilin di mana penisilin desensitisasi tidak
dimungkinkan) atau tidak tersedia (mis. karena memicu stok), kain
yang WHO STI sarankan menggunakan, dengan hati-hati, eritromisin
500 mg per oral empat kali setiap hari selama 14 hari atau ceftriaxone
1 g secara intramuskular satu kali sehari selama 10-14 hari atau
azitromisin 2 g secara oral.
2.9.2. Sifilis Lama > 2 tahun

Rekomendasi 1 (Dewasa)
Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau sifilis yang
tidak diketahui, tangga WHO STI Durasi benzathine penicillin G 2,4
juta unit secara intramuscularly sekali seminggu selama tiga bela-turut
minggu tanpa perawatan. Catatan: Interval antara dosis berturut-turut
benzathine penicillin tidak boleh melebihi 14 hari.
Rekomendasi 2 (Dewasa)
Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tidak
diketahui tahap sifilis, pedoman WHO STI menyarankan benzathine
penicillin G 2,4 juta unit intramuskular sekali seminggu selama tiga
minggu berturut-turut atau prokain penicillin 1,2 juta unit sekali sehari
selama 20 hari. Ketika benzathine atau prokain penisilin tidak bisa
digunakan (misalnya karena alergi penisilin di mana penisilin
desensitisasi tidak dimungkinkan) atau tidak tersedia (mis. karena
kehabisan stok), pedoman WHO STI menyarankan menggunakan
doxycycline 100 mg dua kali sehari secara oral selama 30 hari.
Rekomendasi 3 (Wanita Hamil)

25
Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tidak diketahuitahap
sifilis, pedoman WHO STI merekomendasikan benzathine penicillin G
2,4 juta unit intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu
berturut-turut tanpa perawatan.
Rekomendasi 4 (Wanita Hamil)
Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau stadium tidak
diketahui sifilis, pedoman WHO STI menyarankan benzathine
penicillin G 2,4 juta unit intramuskular sekali seminggu selama tiga
minggu berturut-turut selama prokain penisilin 1,2 juta unit
intramuskular sekali sehari selama 20 hari.
Ketika benzathine atau prokain penisilin tidak bisa digunakan
(misalnya karena alergi penisilin di mana penisilin desensitisasi tidak
mungkin) atau tidak tersedia (mis. karena kehabisan stok), pedoman
WHO STI menyarankan penggunaan dengan hati-hati eritromisin 500
mg secara oral empat kali sehari selama 30 hari.
2.9.3. Sifilis Kongenital

Rekomendasi 1
Pada bayi dengan sifilis kongenital yang dikonfirmasi atau bayi
yang secara klinis normal, tetapi ibunya memiliki sifilis yang tidak
diobati, sifilis yang tidak diobati secara memadai (termasuk perawatan
dalam 30 hari setelah persalinan) atau sifilis yang diobati dengan
rejimen non-penicillin, Pedoman WHO STI menunjukkan benzil
aqueous penisilin atau prokain penisilin.
Dosis:
 Aqueous benzyl penicillin 100 000–150 000 U / kg / hari
intravena selama 10–15 hari
 Prokain penisilin 50.000 U / kg / hari dosis tunggal
intramuskular selama 10–15 hari
Catatan: Jika ahli berpengalaman tersedia, aqueous benzyl penicillin
mungkin lebih disukai daripada suntikan intramuskular prokain
penisilin.

26
Rekomendasi 2
Pada bayi yang secara klinis normal dan ibunya Yang memiliki
sifilis dirawat dengan tidak ada tanda-tanda infeksi ulang, pedoman
WHO STI menyarankan pemantauan bayi.
Catatan: Risiko penularan sifilis ke janin tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk maternal titer dari tes non-treponemal (misalnya
RPR), waktu pengobatan ibu dan tahap infeksi ibu, dan oleh karena itu
rekomendasi ini bersifat kondisional. jika perawatan diberikan,
benzathine penicillin G 50000 U / kg / hari dosis tunggal intramuskular
merupakan pilihan.5

Gambar 2.14 Algoritma Pengobatan Sifilis

2.10. Prognosis
Prognosis sifilis menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin.
Jika penisilin tidakdiobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5%
akan mendapat S III, 10% mengalamisifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan
23% akan meninggal.16

27
Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%.
Kelainan kulit akansembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah
bening akan menetap berminggu-minggu.16
Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis
umumnya terjadisetahun setelah terapi berupa lesi menular pada mulut,
tenggorokan, dan regio perianal. Selainitu, terdapat kambuh serologik.Pada
sifilis laten lanjut, prognosis baik.17
Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukarditentukan. Prognosis pada
neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan.17
Sel saraf yang sudah rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis
pada sifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%.
Neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut juga baik, kurang dari 1%
memerlukan memerlukan terapi ulang. Prognosis sifilikongenital dini baik.
Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan yang sudah ada.18

28
BAB III

PENUTUP

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema


Pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai berbagai penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.2
WHO memperkirakan bahwa 5,6 juta kasus baru sifilis terjadi di
kalangan remaja dan orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia pada
tahun 2012 dengan tingkat kejadian global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan 1,5
per 1.000 laki-laki.5
Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan yang
terinfeksi, kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang
menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.7
Sifilis dibagi menjadi tiga stadium: Stadium I (S I), Stadium II (S II) dan
stadium III (S III). Secara epidemiologi menurut WHO dibagi:Stadium dini
menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, Stadium rekuren,
dan Stadium Laten dini. Lalu ada stadium lanjut tak menular (Setelah satu tahun
sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S III. Bentuk lain yakni sifilis
kardiovaskular dan neurosifilis dengan disertai gejala klinis masing-masing.

Pilihan terapi terbaik yakni Penisilin Benzatin atau Penisilin Prokain serta
dapat juga diberikan antibiotik lain bila penisilin tidak tersedia.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kee, Kenneth. A Simple Guide To Sexually Transmitted Diseased.


Volume 1. Singapore. M.B.,B.S Ph.D. 2012
2. Linuwih, Sri SW Menaldi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Volume 7.
Jakarta. Badan Penerbit FKUI. 2016. p 455-472
3. Shakya, Neeraj. Syphlis and it’s treatment: A Laymand Handbook.
Volume 1. Canada. JD & RGS. 2016. p 9-14
4. Etleva Jorgaqi et al. 2016. Syphilis – The Great Imitator. University
Hospital Center Mother Theresa, Dermato-Venerology Departament.
Tirana, Albania. International Journal Of Advanced Engineering Research
and Science. Vol.3 No.40
5. Santesso Nancy et al. WHO guidelines for Treponema Pallidum. Volume
1. Geneva, Swiss. World Health Organization. 2016
6. Wolff, Klaus. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Edisi 7. McGraw Hill. 2013. p 744-752
7. Efrida, Elvanawati. 2014. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 3 No.572-574.
8. D.C Shanson. Microbiology in Clinical Practice. Volume 2. Charing Cross
and Westminster Medical School, London. Wright. 1989.
9. Hahn, Andrew and Barbee Lindley. 2017. Syphilis. National STD
Curriculum. Volume 1 No.5
10. Janier M et al, 2014. European Guideline On The Management Of
Syphilis. The European Academy Of Dermatology and Venerology.
Volume 1 No.2-3
11. Ho, Emily L; Sheila A Lukehart. 2011. Syphilis: using modern approaches
to understand an old disease. The Journal Of Clinical Investigation.
Volume 121 No.12
12. Coleman Emma et al. 2017. Secondary Syphilis. Cleveland Clinical
Journal and Medicine. Volume 84 No.7

30
13. Kingston M et al. 2015. UK national guidelines on the management of
syphilis 2015. International Journal of STD and AIDS. Volume 2 No.1-26
14. Gracias, Daniel et al. 2017. Asymptomatic Cardiovascular Syphilis With
Aortic Regurgitation Requiring Surgical Repair in an HIV-Infected
Patient. Infectious Disease Society Of American. Volume 1 No.1-2
15. Chahine, Lama et al. 2011. The Changing Face of Neurosyphilis.
International Journal Of Stroke. Volume 6 No.136-143
16. Gupta, Rajat; Rita V Ora. 2013. Congenital syphilis, still a reality. Indian
Journal of sexual transmitted disease and HIV. Volume 34 No.1
17. King Luward Memorial Hospital. 2018. Clinical Guidelines for syphillis in
pregnancy and the newborn : diagnosis and treatment. Government Of
Western Australia. Volume 1 No.1-8
18. Satomi, Neuza Sato. Syphilis - Recognition, Description and Diagnosis.
Volume 1. Croatia. Intech. 2011

31

Anda mungkin juga menyukai