Anda di halaman 1dari 12

Farmaka

Suplemen Volume 16 Nomor 1 184

REVIEW: MANAJEMEN TERAPI DEMAM TIFOID: KAJIAN TERAPI


FARMAKOLOGIS DAN NON FARMAKOLOGIS

Vani Rahmasari, Keri Lestari


Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat 45363
vani15001@mail.unpad.ac.id

ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella
typhi. Penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000. Demam tifoid dapat
diberikan terapi farmakologis maupun non farmakologis yang bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus untuk mencegah penyebaran penyakit.
Metode yang digunakan dalam pengerjaan literatur review ini adalah studi literatur yang
bersumber dari jurnal, e-book, dan artikel ilmiah nasional maupun internasional dengan tahun
terbit maksimal 5 tahun terakhir. Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada penderita
demam tifoid yaitu terapi antibiotik seperti penggunaan Ciprofloxacin, Cefixime,
Kloramfenikol, Tiamfenikol, Azitromisin, Ceftriaxone dan terapi kortikosteroid seperti
penggunaan Dexametasone. Namun, perlu diperhatikan dalam penggunaan antibiotik maupun
kortikosteroid dalam pengobatan demam tifoid. Penggunaan secara sembarangan
menyebabkan peningkatan kejadian demam tifoid yang resistensi terhadap antibiotik maupun
timbulnya efek samping terhadap antibiotik maupun kortikosteroid yang justru memperburuk
kondisi penderita demam tifoid.Terapi non farmakologis untuk demam tifoid yaitu tirah
baring, diet lunak rendah serat serta menjaga kebersihan. Kajian terapi farmakologis
diperlukan dalam pemilihan jenis obat yang akan sangat menentukan kualitas
penggunaan obat dalam pemilihan terapi dan kajian non farmakologis diperlukan untuk
mendukung keberhasilan terapi.

Kata Kunci: Demam tifoid, terapi farmakologis, terapi non farmakologis

ABSTRACT
Typhoid fever is a disease caused by Salmonella typhi bacterial infection. Patients with
typhoid fever in Indonesia reached 81% per 100,000. Typhoid fever may be given
pharmacologic and nonpharmacologic therapy which aims to speed healing. The methods
used in this literature review work are literature studies that are sourced from journals, e-
books, and scientific and international articles with a maximum of five years.
Pharmacological therapy that can be given to people with typhoid fever is the use of therapies
such as Ciprofloxacin, Cefixime, Chloramphenicol, Tiamfenikol, Azithromycin, Ceftriaxone
and corticosteroid therapy such as the use of Dexametasone. However, it is necessary in the
use of antibiotics or corticosteroids in the treatment of typhoid fever. The use of measuring
typhoid fever is resistant to the effects of disease or corticosteroids that occur in people with
typhoid fever. Non pharmacological treatment for typhoid fever is bed rest, low fiber diet and
hygiene. Pharmacologic therapy studies are needed in large quantities which will greatly
determine the quality of use in various therapies and nonpharmacologic studies are needed to
support therapy.

Keywords: Typhoid fever, pharmacological therapy, non pharmacological therapy

Diserahkan: 4 Juli 2018, Diterima 4 Agustus 2018


Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 185

PENDAHULUAN hinggap di makanan yang akan dikonsumsi


Demam tifoid adalah penyakit (Padila, 2013).
demam akut yang disebabkan oleh infeksi Bakteri yang tertelan melalui
bakteri Salmonella enterica khususnya makanan akan menembus membran
turunannya, Salmonella typhi (Alba, et al., mukosa epitel usus, berkembang biak di
2016). Namun dapat pula disebabkan oleh lamina propina kemudian masuk ke dalam
Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi kelenjar getah bening mesenterium.
B, dan Salmonella paratyphi C. Setelah itu memasuki peredaran darah
Komplikasi dapat lebih sering sehingga terjadi bakterimia pertama yang
terjadi pada individu yang tidak diobati asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke
sehingga memungkinkan terjadinya organ- organ terutama hati dan sumsum
pendarahan dan perforasi usus ataupun tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan
infeksi fecal seperti visceral abses bakteri dan endotoksin ke peredaran darah
(Naveed and Ahmed, 2016). Salmonella sehingga menyebabkan bakterimiakedua.
typhi adalah bakteri gram negatif yang Bakteri yang berada di hati akan masuk
menyebabkan spektrum sindrom klinis kembali ke dalam usus merangsang
yang khas termasuk gastroenteritis, demam pelepasan sitokin proinflamasi yang
enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, menginduksi reaksi inflamasi. Respon
dan infeksi fecal seperti osteomielitis atau inflamasi akut menyebabkan diare dan
abses (Naveed and Ahmed, 2016). dapat menyebabkan ulserasi serta
Manifestasi klinis demam tifoid dimulai penghancuran mukosa. Sebagian bakteri
dari yang ringan (demam tinggi, denyut lainnya akan dikeluarkan bersama feses
jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (Bula-Rudas, et al., 2015)
(perut tidak nyaman, komplikasi pada hati Demam tifoid sering terjadi di
dan limfa(Pratama dan Lestari, 2015). beberapa negara di dunia dan umumnya
Penyebab yang sering terjadi yaitu terjadi di negara-negara dengan tingkat
faktor kebersihan. Seperti halnya ketika kebersihan yang rendah. Penyakit ini
makan di luar apalagi di tempat-tempat menjadi masalah kesehatan publik yang
umum biasanya terdapat lalat yang signifikan (OMS, 2013). Berdasarkan data
beterbangan dimana-mana bahkan hinggap WHO (World Health Organisation)
di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat memperkirakan angka insidensi di seluruh
menularkan Salmonella thyphi dari lalat dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka
yang sebelumnya hinggap di feses atau kematian akibat demam tifoid mencapai
muntah penderita demam tifoid kemudian 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia.
BerdasarkanWHO angka penderita demam
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 186

tifoid di Indonesia mencapai 81% per adalah mempercepat penyembuhan,


100.000 (DEPKES RI, 2013) meminimalkan komplikasi sekaligus untuk
Mengingat tingginya angka mencegah penyebaran penyakit.
kesakitan demam tifoid serta akibat yang
ditimbulkan jika penyakit ini tidak segera POKOK BAHASAN
di tangani akan sangat membahayakan bagi Proses literatur review ini
manusia maka pada literatur review ini dilakukan dengan cara pencarian di
akan dibahas kajian terapi farmakologis internet dengan kata kunci “Management
maupun non farmakologis dari penyakit and treatment of typhoid fever”, “Typhoid
demam tifoid. Kajian terapi farmakologis fever”, dan “Guidelines for typhoid fever’’.
diperlukan dalam Sumber data primer yang diperoleh
pemilihan jenis obat yang akan sangat diantaranya yaitu, jurnal nasional maupun
menentukan kualitas penggunaan obat internasional. Jurnal-jurnal tersebut
dalam pemilihan terapi dan kajian non kemudian diskrining. Kriteria inklusi yaitu
farmakologis diperlukan untuk mendukung jurnal yang diterbitkan selama 5 tahun
keberhasilan terapi. Adapun tujuan dari terakhir. Sumber lainnya berasal dari
terapi demam tifoid secara keseluruhan artikel, e-book serta annual report.

Terapi Farmakologis

Pasien penderita demam tifoid

Isolasi pasien (tetap dibawah pengawasan, menjaga


status hidrasi pasien dan pengobatan demam)
(Grouzard, et al., 2016)

Perawatan di rumah dapat dilakukan apabila keadaan umum dan kesadaran pasien
lumayan baik, serta gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan infeksi tifoid berlanjut.
Perawatan di rumah sakit dilakukan pada keadaan tertentu dapat dilakukan di bangsal
umum maupun ICU, tergantung pada keadaan klinis pasien.
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 187

Tabel 1. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu menyusui

Antibiotik Dosis Keterangan


Ciprofloxacin PO 5-7 hari Tidak direkomendasikan pada
(Grouzard, et al., 2016) Dewasa: 1 gram/hari dalam anak - anak usia dibawah 15
2 dosis terbagi tahun akan tetapi risiko yang
Anak – anak : 30 mg/kg/hari mengancam jiwa dari tyfoid
dalam 2 dosis terbagi melebihi risiko efek samping
(alternatif 2, fully sensitive
multidrug resistant)
Cefixime PO 7 hari Dapat menjadi alternatif dari
(Grouzard, et al., 2016) Anak – anak (lebih dari usia Ciprofloxacin bagi anak –
3 bulan) : 20 mg/kg/hari anak di bawah 15 tahun
dalam 2 dosis terbagi
Amoksisilin PO 14 hari Jika tidak adanya resisten
(Grouzard, et al., 2016) Dewasa : 3 gram / hari (fully sensitive)
dalam 3 dosis terbagi
Anak- anak : 75-100
mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi
Kloramfenikol PO 10-14 hari (tergantung Jika tidak adanya resisten
(Grouzard, et al., 2016) tingkat keparahan) (pilihan utama, fully sensitive)
Anak – anak
1-12 tahun : 100 mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi
≥ 13 tahun : 3 gram/ hari
dalam 3 dosis terbagi
Tiamfenikol PO 5-6 hari Efek samping hematologis
(Rampengan, 2013) 75 mg/kgBB/hari pada penggunaan tiamfenikol
lebih jarang daripada
kloramfenikol (alternatif 1)
Azitromisin PO 6 hari Azitromisin efektif dan aman
(Rampengan, 2013) 20 mg/kg/hari diberikan pada anak-anak dan
dewasa yang menderita
demam tifoid tanpa
komplikasi
Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Salmonella typhi dengan
(Grouzard, et al., 2016) Infus (30 menit) cepat berkembang resisten
10 – 14 hari (tergantung terhadap kuinolon (quinolone
tingkat keparahan) resistant). Pada kasus ini
Dewasa : 2-4 gram sehari gunakan ceftriaxone
sekali
Anak – anak: 75 mg/kg
sehari sekali
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 188

Tabel 2. Terapi antibiotik penyakit demam tifoid untuk ibu dan ibu menyusui

Antibiotik Dosis Keterangan


Amoksisilin PO 14 hari Jika tidak adanya resisten
(Grouzard, et al., 2016) Dewasa : 3 gram/hari dalam
3 dosis terbagi
Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Jika adanya resisten
(Grouzard, et al., 2016) Infus (30 menit) Namun jika gagal
10 – 14 hari (tergantung direkomendasikan
tingkat keparahan) Ciprofloxacin (umumnya
Dewasa : 2-4 gram sehari tidak direkomendasikan bagi
sekali ibu hamil dan menyusui) PO
5-7 hari
Dewasa: 1 gram/hari dalam 2
dosis terbagi akan tetapi risiko
yang mengancam jiwa dari
typhoid melebihi risiko efek
samping
*) Pelarut ceftriaxone untuk injeksi IM menggunakan Lidocaine (tidak boleh diberikan

dengan rute IV : untuk pemberian IV menggunakan pelarut air untuk injeksi)

Tabel 3. Terapi kortikoteroid penyakit demam tifoid

Kortikosteroid Dosis Keterangan


Dexamethasone IV 2 hari Pada pasien yang mengalami
(Grouzard, et al., 2016) Dosis awal : 3 mg/kg dan tifoid berat dengan keadaan
kemdian 1 mg/kg setiap 6 jam (halusinasi, perubahan
kesadaran atau pendarahan
usus)

Terapi Non Farmakologis

Tabel 4. Terapi non farmakologis demam tifoid

Non Farmakologis Keterangan


Tirah baring Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam
(Sakinah dan Indria, 2016) atau kurang lebih sampai 14 hari
Diet lunak rendah serat Asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari
(Sakinah dan Indria, 2016) susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis,
asam, berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi
kecil.
Menjaga kebersihan Tangan harus dicuci sebelum menangani
(Upadhyay, et al., 2015) makanan, selama persiapan makan, dan setelah
menggunakan toilet.
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 189

Terapi farmakologis (Terapi antibiotik) Sefalosporin generasi ketiga yaitu


Ciprofloxacin Cefixime oral (15-20 mg/kg/hari, untuk
Ciprofloxacin mempunyai orang dewasa, 100-200 mg dua kali
mekanisme menghambat sintesis asam sehari) telah banyak digunakan pada anak-
nukleat sel mikroba (Sandika dan anak dalam berbagai daerah geografis
Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu diamati penggunaan Cefixime oral
Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai memuaskan. Namun, dalam beberapa
terapi lini pertama untuk anak – anak dan percobaan Cefixime menunjukan tingkat
orang dewasa yang terinfeksi dengan kegagalan dan kekambuhan yang lebih
resistensi sensitif dan multi-obat, tinggi daripada fluoroquinolones (Paul,
Salmonella typhi dan paratyphi 2017).
(Upadhyay, et al., 2015)
Amoksisilin
Sefalosporin generasi ketiga yaitu
Amoksisilin mempunyai
Ceftriaxone menjadi penggunaan
mekanisme menghambat sintesis dinding
alternatif untuk kasus seperti halnya
sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017).
resistensi multi-obat (resistensi terhadap
Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol
kloramfenikol, amoksisilin dan co-
dan Amoksisilin mempunyai efek anti
trimoxazole). Pada penelitian prospektif
bakteri lebih lemah dibandingkan dengan
India utara ada perkembangan bertahap
bentuk tunggal Kloramfenikol dalam
resistensi terhadap Fluroquinolones 4,4 %
menghambat pertumbuhan bakteri
resistensi diamati pada Sparfloxacin,
Salmonella typhi (Friambodo, et al.,
resistensi 8,8 % pada ofloxacin dan
2017)
resistensi yang tinggi 13 % pada
Ciprofloxacin (Naveed and Ahmed, Kloramfenikol
2016). Golongan quinolon (ciprofloxacin) Kloramfenikol mempunyai
ini tidak dianjurkan untuk anak-anak, mekanisme menghambat sintesis protein
karena dapat menimbulkan efek samping sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017).
pada tulang dan sendi, bila diberikan pada Kloramfenikol masih merupakan pilihan
anak akan menggganggu pertumbuhan utama untuk pengobatan demam tifoid
tulang pada masa pertumbuhan karena efektif, murah, mudah didapat, dan
anak(Tandi dan Joni, 2017). dapat diberikan secara oral (Rampengan,
2013).
Cefixime
Efek samping yang sangat berat
Cefixime mempunyai mekanisme
yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal
menghambat sintesis dinding sel mikroba
dengan depresi sumsum tulang dan jika
(Sandika dan Suwandi, 2017).
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 190

diberikan pada bayi < 2 minggu dengan Azitromisin


gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol Azitromisin mempunyai
akan terakumulasi dengan darah pada bayi mekanisme menghambat sintesis protein
khususnya pada pemberian dosis tinggi sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017).
akan menyebabkan gray baby sindrom, Golongan kuinolon dan azitromisin
serta dapat menghambat pembentukan sel- hampir sama efikasinya dan aman untuk
sel darah (eritrosit,trombosit dan demam tifoid. Namun azitromisin bisa
granulosit) yang timbul dalam waktu 5 digunakan sebagai alternatif, karena
hari sesudah dimulainya terapi, dari efek kuinolon memiliki kontraindikasi seperti
samping yang timbul sehingga pada anak-anak, wanita hamil, dan
kloramfenikol memiliki persentase nomor kejadian resisten kuinolon. Namun
dua dibandingkan penggunaan golongan penggunaanya jika lebih dari 7 hari tidak
sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017). diperbolehkan karena penetrasi jaringan
Walaupun penggunaan lebih kuat dan terakumulasi di kantung
kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, empedu. Penggunaan azitromisin selama
namun penggunaannya masih lebih baik 5 hari ekuivalen dengan penggunaan
pada tifoid dibandingkan antibiotika lain antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan
yang dilaporkan sudah resistensi, seperti 7 hari sama optimalnya dengan
ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, penggunaan antibiotik lain selama 14 hari
nalidixic acid, ciprofloxacin (Rampengen, (Upadhyay, et al., 2015).
2013).
Ceftriaxone
Tiamfenikol Ceftriaxone mempunyai
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding
mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017).
sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan intravena
Pilihan lain yang analog dengan ceftriaxone (75 mg / hari; maksimum 2,5
kloramfenikol, yang masih digunakan di g / hari) setiap hari selama 5 hari,
Indonesia dan masih dianggap efektif azitromisin oral (20 mg / kg / hari;
untuk menyembuhkan demam tifoid maksimum 1000 mg / hari) tercapai
adalah tiamfenikol. Efek samping tingkat efikasi yang hampir serupa (97%
hematologis pada penggunaan tiamfenikol vs. 94%). Tidak terdapat pasien yang
lebih jarang daripada kloramfenikol menggunakan azitromisin mengalami
(Rampengan, 2013). kekambuhan, sedangkan beberapa
kekambuhan diamati pada pasien yang
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 191

menggunakan ceftriaxone (Upadhyay, et antibiotik (Institute for Quality and


al., 2015). Efficiency in Health Care, 2017).
Keputusan Menteri Kesehatan
Resistensi Antibiotik
Republik Indonesia Nomor 364 Tahun
Pada negara-negara di asia
2006 Tentang Pedoman Pengendalian
tenggara 5% atau lebih dari strain
Demam Tifoid, penggunaan Ceftriaxone
bakteri mungkin sudah resisten terhadap
untuk terapi demam tifoid disarankan
beberapa antibiotik (Sharma dan Gandhi,
digunakan selama 5 hari (Handayani,
2015). Mikroorganisme dapat
2017). Sifat dari obat ini yang
memperlihatkan resistensi terhadap obat-
menguntungkan yaitu dapat merusak
obatan melalui berbagai mekanisme.
spektrum kuman dan tidak mengganggu
Suatu bakteri dapat menjadi resisten
sel manusia, bakteri spektrum luas,
terhadap suatu antibiotik diakibatkan
penetrasi jaringan cukup baik, dan
(Dantas and Sommer, 2014).
resistensi kuman masih terbatas.
1. Produksi enzim yang dapat
Sementara pengobatan dengan golongan
menginaktivasi obat. Resistensi
sefalosporin khususnya ceftriaxon hanya
bakteri terhadap golongan Penisilin
membutuhkan 10 hari rawat inap di rumah
seperti halnya amoksisilin
sakit dibandingkan dengan kloramfenikol
dikarenakan beberapa bakteri mampu
selama 21 hari, sehingga obat antibiotik
memproduksi enzim ß laktamase.
sefalosporin ini lebih banyak digunakan
Enzim ini berfungsi menghidrolisis
(Tandi dan Joni, 2017).
cicin ß laktam dari Penisilin sehingga
Interaksi dengan Makanan dapat menghancurkan aktifitas
Ketika mengkonsumsi antibiotik antibiotiknya.
direkomendasikan bersamaan dengan air 2. Perubahan area target yang
putih. Apabila dikonsumsi bersamaan menurunkan daya ikat antibiotik.
dengan jus buah, alkohol maupun produk 3. Menurunkan akumulasi antibiotik
susu seperti halnya mentega, yogurt, dan intraseluler dengan cara menurunkan
keju dapat mengganggu proses absorpsi permaebilitas dan atau meningkatkan
tubuh terhadap antibiotik. Rentang waktu efluks aktif antibiotik.
selama 3 jam setelah mengkonsumsi 4. Pengembanagan jalur lain untuk
antibiotik barulah diperbolehkan menghindari reaksi yang dihambat
mengkonsumsi makanan dan minuman oleh antibiotik.
tersebut. Jus anggur serta suplemen diet 5. Peningkatan resistensi antibiotik juga
yang mengandung mineral seperti halnya terhadap bakteri Salmonella typhi
kalsium juga dapat mengurangi efek kerja karena bakteri dapat bersifat resisten
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 192

terhadap antibiotik karena adanya Penggunaan kortikosteroid memiliki


mutasi kromosom ataupun karena cakupan yang luas, akibatnya
pertukaran material genetik melalui menyebabkan ketidaksesuaian dengan
transformasi, transduksi dan konjugasi indikasi maupun dosis serta lama
melalui plasmid. Peningkatan atau pemberian. Penggunaan berlebih akan
kesalahan penggunaan antibiotik berakibat fatal bagi tubuh, khususnya
dalam bidang klinik, penggunaan kerusakan organ dalam rentang waktu
antibiotik dalam bidang molekular, tertentu. Organ yang dalam kerjanya
dan ketidakpatuhan pasien meminum banyak berhubungan dengan proses
obat (Sandika dan Suwandi, 2017). penyaringan darah kemungkinan besar
akan mengalami kerusakan seperti halnya
Terapi Kortikosteroid
hepar dan ginjal. Jika jumlah
Dexamethasone
Dexametasone sudah melebihi jumlah
Dexamethasone merupakan salah
maksimal, maka akan membuat hepar
satu obat kortikosteroid yang masuk ke
bekerja lebih keras. Kerja hepar yang
dalam kelompok glukokortikoid sintetik
berlebihan akan merusak hepar dan
yang memiliki efek anti inflamasi dan
menurunkan kinerjanya serta
imunosupresif, yang mana hal tersebut
menyebabkan nekrosis sel(Indayani, et al.,
mendorong semakin dikembangkannya
2015).
berbagai steroid sintetik dengan aktivitas
anti inflamasi dan imunosupresif Terapi Non Farmakologis
(Katzung, et al., 2013). Pemberian Tirah baring
glukokortikoid direkomendasikan pada Tirah baring (bed rest) dilakukan
kasus demam tifoid berat (halusinasi, pada pasien yang membutuhkan
perubahan kesadaran atau pendarahan perawatan akibat sebuah penyakit atau
usus). Hasil penelitian menunjukan kondisi tertentu dan merupakan upaya
penurunan yang signifikan dalam mengurangi aktivitas yang membuat
mortalitas pada pasien demam tifoid berat kondisi pasien menjadi lebih buruk.
(Sharma dan Gandhi, 2015). Penggunaan Petunjuk dari dokter akan diberikan
kortikosteroid seperti Dexamethasone berupa apa saja yang boleh dilakukan dan
yang tidak sesuai dengan indikasi yang tidak boleh dilakukan selama bed rest.
jelas dapat menyebabkan munculnya efek Semua itu tergantung pada penyakit yang
samping. Pemberian Dexamethasone pada diderita pasien. Ada yang hanya diminta
ibu hamil dapat beresiko kelahiran untuk mengurangi aktivitas, ada yang
prematur, meningkatkan aliran darah memang benar – benar harus beristirahat
arteri uterina (Katzung, et al., 2013). di tempat tidur dan tidak boleh melakukan
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 193

aktivitas apapun(Kusumastuti,2017). yang mengandung mikroorganisme


Tirah baring (bed rest) direkomendasikan patogen tidak ditularkan melalui tangan
bagi pasien demam tifoid untuk mencegah ke makanan(Andayani dan Fibriana,
komplikasi perforasi usus atau perdarahan 2018). Tangan harus dicuci dengan sabun
usus. Mobilisasi harus dilakukan secara setidaknya selama 15 detik dibilas dan
bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et al.,
pasien(Sakinah dan Indria, 2016). 2015). Banyaknya tempat-tempat
penjualan makanan yang belum
Diet Lunak Rendah Serat
memenuhi syarat kesehatan di Indonesia,
Jenis makanan yang harus dijaga
seperti tingkat kebersihan yang buruk,
adalah diet lunak rendah serat karena pada
berkontribusi terhadap peningkatan
demam tifoid terjadi gangguan pada
jumlah kasus demam tifoid (Purba, et al.,
sistem pencernaan. Makanan haruslah
2016).
cukup cairan, kalori, protein, dan vitamin.
Kebiasaan jajan makanan di luar
Memberikan makanan rendah serat
rumah menjadi salah satu faktor risiko
direkomendasikan, karena makanan
penularan demam tifoid dapat terjadi
rendah serat akan memungkinkan
ketika seseorang makan di tempat umum
meninggalkan sisa dan dapat membatasi
dan makanannya disajikan oleh penderita
volume feses agar tidak merangsang
tifus laten (tersembunyi) yang kurang
saluran cerna. Demi menghindari
menjaga kebersihan saat memasak,
terjadinya komplikasi pedarahan saluran
mengakibatkan penularan bakteri
cerna atau perforasi usus
Salmonella typhi pada
direkomendasikan dengan pemberian
pelanggannya(Paputungan, et al., 2016).
bubur saring(Sakinah dan Indria, 2016).
Orang yang baru sembuh dari tifoid masih

Menjaga Kebersihan terus mengekresi Salmonella typhi dalam

Kebiasaan mencuci tangan tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah

sebelum makan cukup berpengaruh pada sakit dan dapat menjadi karier kronik bila

kejadian demam tifoid, untuk itu masih mengandung basil sampai 1 tahun

diperlukan kesadaran diri untuk atau lebih. Bagi penderita yang tidak

meningkatkan praktik cuci tangan diobati dengan adekuat, insiden karier

sebelum makan untuk mencegah didilaporkan 5-10% dan kurang lebih 3%

penularan bakteri Salmonella typhi ke menjadi karier kronik(Andayani dan

dalam makanan yang tersentuh tangan Fibriana, 2018).

yang kotor dan mencuci tangan setelah Perlunya peningkatan hygiene

buang air besar agar kotoran atau feses perorangan khususnya mencuci tangan
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 194

dengan baik dan benar saat sebelum dilakukan jika mengalami kegagalan
makan, serta mengurangi kebiasaan jajan terapi akibat resistensi obat. Namun harus
atau makan di luar penyediaan rumah. dilakukan dengan tepat. Selain itu terapi
Selain itu, bagi dinas terkait perlu non farmakologis seperti halnya tirah
memberikan penyuluhan kesehatan baring, diet lunak rendah serat serta
tentang hygiene untuk mengurangi menjaga kebersihan akan mendukung
kemungkinan terjadinya kontaminasi tercapainya keberhasilan terapi demam
makanan yang dapat menyebabkan tifoid.
penyakit demam tifoid(Pramitasari, 2013). DAFTAR PUSTAKA
SIMPULAN
Alba, S., Bakker M. I., Hatta, M., et al.
Kajian terapi farmakologis diperlukan 2016. Risk Factors of Typhoid
Infection in the Indonesian
dalam pemilihan jenis obat yang akan
Archipelago. PLOS ONE, 11(6): 1-
sangat menentukan kualitas 14
Andayani dan Fibriana, A, I. 2018.
penggunaan obat dalam pemilihan terapi
Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
dan kajian non farmakologis diperlukan Kerja Puskesmas Karangmalang di
Wilayah Kerja Puskesmas
untuk mendukung keberhasilan terapi.
Karangmalang. Higeia Journal of
Manajemen terapi yang benar dan tepat Public Health Research and
Development
mencakup terapi farmakologis maupun
Bula-Rudas, F.J., Rathore, M.H., and
non farmakologisnya. Pada terapi Maraqa, N.F. 2015. Salmonella
Infections in Childhood. Advances In
farmakologis dapat diberikan terapi
Pediatrics, 62(1): 29-58.
antibiotik yang menjadi pilihan utama Dantas, G.M.O.A. and Sommer. 2014.
How to fight back againt antibiotic
yaitu kloramfenikol dan terapi
resistance, American Scientist, 102:
kortikosteroid seperti halnya 42-51.
Depkes RI. 2013. Sistematika Pedoman
Dexametasone jika terjadinya perubahan
Pengendalian Penyakit Demam
kesadaran atau pendarahan usus. Namun, Tifoid. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit & Penyehatan
perlu diperhatikan dalam penggunaan
Lingkungan.
antibiotik maupun kortikosteroid dalam Elsnosy, E. 2017. Effects of antenatal
Dexamethasone Administration on
pengobatan demam tifoid. Penggunaan
Fetal and Uteroplacental Doppler
secara sembarangan menyebabkan Waveforms in Women at Risk for
Spontaneous Preterm Birth. Middle
peningkatan kejadian demam tifoid yang
East Fertility Society Journal, 22(1).
resistensi terhadap antibiotik maupun Friambodo, B., Purnomo, Y., dan Dewi,
R,A. 2017. Efek Kombinasi
timbulnya efek samping terhadap
Amoksisilin dan Kloramfenikol
antibiotik maupun kortikosteroid yang terhadap Pertumbuhan Bakteri
Salmonella typhi. Journal of Islamic
justru memperburuk kondisi penderita
Medicine. Universitas Islam Malang.
demam tifoid. Penggantian terapi dapat Grouzard, V., Rigal J., and Sutton M.
2016. Clinical guidelines - Diagnosis
Farmaka
Suplemen Volume 16 Nomor 1 195

and Treatment Manual. Paris: Paul, K, U. 2017. Typhoid Fever.


Medecins Sans Frontieres. International Journal of Advance in
Handayani. 2017. Kajian Penggunaan Medicine. ISSN 2349-3925.
Antibiotik pada Penyakit Demam Pramitasari, O.P. 2013. Faktor Risiko
Tifoid di Ruang Rawat Inap Anak Kejadian Penyakit Demam Tifoid
RSUD Dr.Soekardjo Tasikmalaya. pada Penderita di Rumah Sakit
Jurnal Stikes PHI, 4(12). Umum Daerah Ungaran. Jurnal
Indayani, S, N., Susilowati, Lestari, R,S., Kesehatan Masyarakat, 2(1):1-10
2015. Pengaruh Pemberian Pratama, I. dan Lestari, A. 2015.
Deksametason Terhadap Kerusakan Efektivitas Tubex sebagai Metode
Hepar Tikus Jantan (Rattus Diagnosis Cepat Demam Tifoid. ISM,
novergicus) Galur Wistar. Jurnal 2(1): 70-73.
Universitas Negeri Malang. FMIPA. Purba, I.E., Wandra, T., Nugrahini, N., et
Biologi. al. 2016. Program Pengendalian
Institute for Quality and Efficiency in Demam Tifoid di Indonesia:
Health Care. 2017.Using medication : Tantangan dan Peluang. Media
Using antibiotics correctly and Litbangkes, 26(2): 99-108
avoiding resistance. Available online Rampengan, N.H. 2013. Antibiotik Terapi
at : Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme pada Anak. Sari Pediatri Local
dhealth/PMH0087079/ [Diakses pada Journal, 14(5): 271-6.
1 Juli 2018] Sakinah dan Indria, A. 2016. Tata
Katzung, G.B., Masters, B.S., dan Trevor Laksana Demam Tifoid Tanpa
J.A. 2013. Farmakologi Dasar dan Komplikasi pada Wanita Hamil
Klinik, Ed.12 Vol.2. Jakarta : Penerbit Trimester Pertama: Peran Intervensi
Buku Kedokteran EGC Dokter Keluarga. Jurnal Medula
Kusumastuti, S. 2017. Rancang Bangun Unil.Volume 5. Nomor 2
Alat Bantu Aktivitas Pasien Bed Rest. Sandika, J. dan Suwandi, F.J. 2017.
Orbith, 13(1). Sensitivitas Salmonella typhi
Naveed, A. and Ahmed, Z. 2016. Penyebab Demam Tifoid terhadap
Treatment of Typhoid Fever in Beberapa Antibiotik. Majority Jurnal
Children: Comparison of Efficacy of Kedokteran, 6(1).
Ciprofloxacin with Ceftriaxone. Sharma, V. and Gandhi, G. 2015. The
European Scientific Journal, 12(6). Efficacy of Dexamethasone
ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN Treatment in Massive Enteric
1857- 7431 Bleeding in Typhoid Fever. Journal
OMS. 2013. Données épidémiologiques Clinical Gastroenterology and
sur la typhoïde, rapport décembre, Hepatology.
89: 545-560. Tandi, Joni. 2017 Kajian Kerasionalan
Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penggunaan Obat pada Kasus
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Demam Tifoid di Instalasi Rawat
Medika. Inap Anutapura Palu. Jurnal Ilmiah
Paputungan, W., Rombot, D., dan Akili, Pharmacon, 6(4). ISSN 2302 - 2493
R. H. 2016. Hubungan Antara Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat al. 2015. API Recommendations for
dengan Kejadian Demam Tifoid di the Management of Typhoid Fever.
Wilayah Kerja Puskesmas Upai Kota Journal of The Association of
Kotambugu Tahun 2015. Pharmacon Physicians of India, 63.
Jurnal Ilmiah Farmasi, 5(2): 266-275

Anda mungkin juga menyukai