PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Komunikasi senantiasa berperan penting dalam proses kehidupan.
Komunikasi merupakan inti dari kehidupan sosial manusia dan merupakan
komponen dasar dari hubungan antar manusia. Banyak permasalahan yang
menyangkut manusia dapat diidentifikasikan dan dipecahkan melalui
komunikasi, tetapi banyak pula hal hal kecil dalam kehidupan manusia
menjadi permasalahan besar karena komunikasi (Suryani, 2006). Oleh
sebab itu komunikasi merupakan kunci utama dalam melakukan proses
interaksi antar manusia. Di dalam dunia kesehatan, khususnya dalam
profesi keperawatan sendiri, komunikasi juga mendapatkan peran utama
dalam melaksanakan proses keperawatan. Dalam asuhan keperawatan,
komunikasi ditujukan untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai
tingkat kesehatan yang optimal.
Halusinasi merupakan salah satu gejala yag sering ditemukan pada
klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi sering diidentikkan dengan
skizofrenia. Dari seluruh klien skizofrenia 70% diantaranya mengalami
halusinasi. Gangguan jiwa lain juga disertai dengan gejala halusinasi
adalah gangguan manic depresif dan delirium. Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana klien mempresepsipkan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melalui panca indera tanpa stimulus eksteren persepsi palsu. Salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada
oleh klien (Stuart, 2007).
Jika seorang individu tidak mempunyai cirri sehat jiwa maka
individu tersebut mengalami sakit jiwanya dan membutuhkan keperawatan
jiwa untuk merawat dan menyehatkan jiwa kembali. Keperawatan jiwa
adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu
tingkah laku manusia sebagai dasar, dan menggunakan diri sendiri secara
terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan
mental klien, dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada
(Yosep, 2007).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian komunikasi terapeutik?
2. Bagaimana proses komunikasi terapeutik?
3. Apa saja teknik komunikasi terapeutik?
4. Bagaimana sikap dalam komunikasi terapeutik?
5. Apa saja faktor dan hambatan yang mempengaruhi komunikasi
terapeutik?
6. Bagaimana tahapan dalam komunikasi terapeutik?
7. Apa pengertian halusinasi?
8. Bagaimana rentang respon neurologis, proses perjalanan penyakit,
tahapan, fase, dan klasifikasi pada pasien halusinasi?
9. Bagaimana pengkajian yang dilakukan pada pasien halusinasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian, proses, teknik, sikap, dan hambatan dalam
komunikasi terapeutik
2. Mengetahui pengertian, rentang respon, proses perjalanan penyakit,
tahapan, fase, klasifikasi, serta pengkajian pasien halusinasi
3. Mengetahui aplikasi komunikasi terapeutik pada pasien dengan
halusinasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Terapeutik
1. Definisi
Komunikasi merupakan interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem
simbol linguistik, seperti sistem simbol verbal (kata-kata), verbal dan
nonverbal yang dapat disosialisasikan secara langsung/ tatap muka atau
melalui media lain (tulisan, oral dan visual) (Liliweri, 2007).
Menurut Purwanto yang dikutip oleh (Mundakir, 2006), komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi
terapeutik merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan
yaitu penyembuhan pasien (Siti Fatmawati, 2010).
Dalam semua interaksi, klien harus dapat mempercayai perawat dan merasa
aman serta dihargai ketika pikiran yang ada didalam diri, emosi dan masalah
pribadinya diungkap dan dipaparkan. Hubungan saling percaya dengan klien
dibangun dalam suatu lingkungan yang dipenuhi oleh sikap penerimaan,
konsisten, empati dan penghargaan positif dari perawat. Klien harus merasa
bahwa perawat peka, perhatian dan peduli terhadap klien sebagai individu.
Perawat harus menunjukkan perilaku yang dapat diduga setiap setiap kali
bertemu dengan klien. Hubungan terapeutiklah yang menjadi dasar bagi klien
untuk merasa dimengerti, nyaman dalam mendiskusikan masalah,
mengeksplorasi cara yang tepat dalam memenuhi kebutuhan emosional dan
mengembangkan hubungan yang memuaskan (Copel, 2007).
Oleh karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting
memecahkan masalah yang dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik
merupakan komunikasi proposional yang mengarah pada tujuan yaitu
penyembuhan pasien pada komunikasi terapeutik terdapat dua komonen
penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya.
6. Hambatan Komunikasi
a. Faktor yang bersifat perilaku
Yaitu kurangnya penguasaan teknik komunikasi yang mengcakup
unsur-unsur yang ada dalam komunikator dalam mengungkapkan
pesan, menyandi, lambang- lambang kejelian dalam mmilih media dan
metode penyampaian pesan.
b. Faktor yang bersifat perilaku
Bentuk dari perilaku yang dimaksud adalah perilaku komunikan yang
bersifaat sebagai berikut.
1) Pandangan bersifat apriori
2) Prasangka yang didasarkan atas emosi
3) Suasana otoriter
4) Ketidakmauan berubah walaupun salah
5) Sifat yang egosentris.
c. Faktor yang brsifat situasional yaitu kondisi dan situasi ekonomi,
sosial, politik, dan keamanan. Sedangkan menurut Stuart dan Sudeen,
(1998 dalam Kusumawati 2010) hambatan kemajuan hubungan
terapeutik perawat- pasien terdiri atas hal- hal berikut.
1) Resisten
2) Transferen
3) Kontertransferen.
7. Tahapan Komunikasi Terapeutik
Stuart G.W, 1998 menjelaskan bahwa dalam prosesnya komunikasi
terapeutik terbagi menjadi empat tahapan yaitu tahap persiapan atau tahap
pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja dan tahap
terminasi.
a. Tahap Persiapan/Pra-interaksi
Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik dirinya
dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada
tahap ini juga perawat mencari informasi tentang klien sebagai lawan
bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat merancang strategi untuk
pertemuan pertama dengan klien. Tahapan ini dilakukan oleh perawat
dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin
dirasakan oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik
dengan klien. Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat
mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan
Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2005). Hal ini disebabkan oleh
adanya kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh
lawan bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu
mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik (Brammer,
1993 dalam Suryani, 2005) sehingga tidak mampu melakukan active
listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:
1) Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan
mengidentifikasi kecemasan.
2) Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.
3) Mengumpulkan data tentang klien.
4) Merencanakan pertemuan pertama dengan klien.
b. Tahap Perkenalan/Orientasi
Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien
dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan
data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat
ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu (Stuart.G.W,
1998).
Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:
1) Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan
komunikasi terbuka.
2) Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik
pembicaraan) bersama-sama dengan klien dan menjelaskan atau
mengklarifikasi kembali kontrak yang telah disepakati bersama.
3) Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah
klien yang umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik
komunikasi pertanyaan terbuka.
4) Merumuskan tujuan interaksi dengan klien.
Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahapan ini
dengan baik karena tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan
terapeutik antara perawat dan klien.
c. Tahap Kerja
Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart,G.W,1998). Tahap kerja merupakan tahap yang
terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena didalamnya perawat
dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan
perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun
pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien.
Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan secara aktif dan dengan
penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk
mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari
penyelesaian masalah dan mengevaluasinya.
Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu
menyimpulkan percakapannya dengan klien. Teknik menyimpulkan
ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal
penting dalam percakapan, dan membantu perawat dan klien memiliki
pikiran dan ide yang sama (Murray,B. & Judith,P,1997 dalam
Suryani,2005). Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan oleh
perawat maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan atau
perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-
benar dipahami oleh perawat.
d. Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien.
Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi
akhir (Stuart,G.W,1998). Terminasi sementara adalah akhir dari tiap
pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan
klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai
dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan
terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh
proses keperawatan.
Tugas perawat dalam tahap ini adalah:
1) Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah
dilaksanakan (evaluasi objektif). Brammer dan McDonald (1996)
menyatakan bahwa meminta klien untuk menyimpulkan tentang
apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat
berguna pada tahap ini.
2) Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan
klien setelah berinteraksi dengan perawat.
3) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan.
Tindak lanjut yang disepakati harus relevan dengan interaksi yang
baru saja dilakukan atau dengan interaksi yang akan dilakukan
selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada
pertemuan berikutnya.
B. HALUSINASI
1. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi
seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan
jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau
penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien
gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah
satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang membuat pasien
tidak dapat menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari. (Yusuf
dkk, 2015).
2. Rentang Respon Neurobiologi
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, waham
merupakan gangguan pada isi pikiran. Keduanya merupakan gangguan
dari respons neorobiologi. Oleh karenanya secara keseluruhan, rentang
respons halusinasi mengikuti kaidah rentang respons neorobiologi.
Rentang respons neorobiologi yang paling adaptif adalah adanya pikiran
logis dan terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Rentang respons
yang paling maladaptif adalah adanya waham, halusinasi, termasuk isolasi
sosial menarik diri. Berikut adalah gambaran rentang respons
neorobiologi.
Adaptif Maladaptif
5. Klasifikasi Halusinasi
Tabel 2 Klasifikasi Halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi dengar/ suara • Bicara atau tertawa sendiri. • Mendengar suara-suara atau
• Marah-marah tanpa sebab. kegaduhan.
• Mengarahkan telinga ke arah • Mendengar suara yang
tertentu. mengajak bercakap-cakap.
• Menutup telinga. • Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya
Halusinasi penglihatan • Menunjuk-nunjuk ke arah • Melihat bayangan, sinar,
tertentu. bentuk geometris, bentuk
• Ketakutan pada sesuatu yang kartun, melihat hantu, atau
tidak jelas monster.
Halusinasi penciuman • Mencium seperti sedang • Membaui bau-bauan seperti
membaui bau-bauan tertentu. bau darah, urine, feses, dan
• Menutup hidung. kadangkadang bau itu
menyenangkan
Halusinasi pengecapan • Sering meludah • Merasakan rasa seperti darah,
• Muntah urine, atau feses.
Halusinasi perabaan • Menggaruk-garuk • Mengatakan ada serangga di
permukaan kulit. permukaan kulit.
• Merasa seperti tersengat
listrik.
Sumber: Yusuf dkk, 2015
6. Pengkajian Keperawatan
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor perkembangan Hambatan perkembangan akan mengganggu
hubungan interpersonal yang dapat meningkatkan stres dan
ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi. Pasien
mungkin menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi tidak efektif.
2) Faktor sosial budaya Berbagai faktor di masyarakat yang membuat
seseorang merasa disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak
dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan
halusinasi.
3) Faktor psikologis Hubungan interpersonal yang tidak harmonis,
serta peran ganda atau peran yang bertentangan dapat
menimbulkan ansietas berat terakhir dengan pengingkaran
terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
4) Faktor biologis Struktur otak yang abnormal ditemukan pada
pasien gangguan orientasi realitas, serta dapat ditemukan atropik
otak, pembesaran ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel
kortikal dan limbik.
5) Faktor genetik Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi
umumnya ditemukan pada pasien skizofrenia. Skizofrenia
ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih tinggi jika
kedua orang tua skizofrenia.
b. Faktor Presipitasi
1) Stresor sosial budaya Stres dan kecemasan akan meningkat bila
terjadi penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang
yang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan
halusinasi.
2) Faktor biokimia Berbagai penelitian tentang dopamin,
norepinetrin, indolamin, serta zat halusigenik diduga berkaitan
dengan gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi.
3) Faktor psikologis Intensitas kecemasan yang ekstrem dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah
memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi realitas.
Pasien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang tidak menyenangkan.
4) Perilaku Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan
orientasi realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif
persepsi, motorik, dan sosial.
(Yusuf dkk, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
Afdinisa. (2010). Terapeutik,Komunikasi Terapeutik. Komunikasi Terapeutik
Perawat Dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa.
Lab/UPF Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press:
Surabaya.
Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing. 8th
Edition. St.Louis: Mosby.
Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Suryani. (2006). Komunikasi Terapeutik : Teori Dan Praktik . Jakarta: EGC.
Yusuf Ah, Rizki FPK dan Nihayati, Hanik Endang. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.