Anda di halaman 1dari 9

I Ketut Sudewa - Transformasi Sastra Lisan ke dalam Seni Pertunjukan di Bali

HUMANIORA
VOLUME 26 No. 1 Februari 2014 Halaman 65-73

TRANSFORMASI SASTRA LISAN KE DALAM SENI


PERTUNJUKAN DI BALI: PERSPEKTIF PENDIDIKAN

I Ketut Sudewa*

ABSTRACT
Folklore is part of Balinese life. Although the existence of folklore in Bali has undergone
some fluctuation, attempts have been made by the local government and society in Bali to preserve
this cultural form. The aim is prevent folklore from extinction, especially because of the wave of
globalization with its capitalistic force in order for the future generation of Balinese not to forget
about their own culture. One of the efforts made by the Balinese government and society to preserve
the existence of folklore in Bali is a competition called “Mesatue Bali”, run in the Bali arts festivals
and other activities, and the publication of books. In the various competitions and performances of
folklore, some form of transformation occurs from folklore to performance art. From an educational
perspective, this transformation, especially for the young generation, means love and preservation,
creativity, understanding of performance art, and character education. Performance art allows
the young generation to understand more deeply and enact the characters, both good and bad, in
folklore. Thus, they can follow the example of the good characters but not the bad characters.

Keywords: education, folklore, performance art, transformation

ABSTRAK
Sastra lisan merupakan bagian dari kehidupan orang Bali. Walaupun keberadaan sastra lisan
di Bali mengalami pasang surut, tetapi usaha pemerintah dan masyarakat Bali untuk melestarikan
salah satu bentuk kebudayaan daerah ini terus dilakukan. Tujuannya agar sastra lisan tidak punah
karena arus globalisasi dengan kekuatan kapitalismenya sehingga generasi muda Bali ke depan tidak
asing dengan kebudayaannya sendiri. Usaha pemerintah dan masyarakat Bali untuk melestarikan
kehidupan sastra lisan di Bali, misalnya dengan mengadakan lomba “Mesatue Bali”, baik di ajang
Pesta Kesenian Bali maupun pada kegiatan-kegiatan lainnya serta mempublikasikan ke dalam
bentuk buku.
Di dalam kegiatan berbagai lomba maupun pementasan tentang sastra lisan, terjadilah
transformasi dari sastra lisan ke dalam seni pertunjukan. Transformasi ini apabila dilihat dari
perspektif pendidikan, khususnya bagi generasi muda setidaknya mengandung empat hal, yaitu
kecintaan dan pelestarian, kreativitas, pemahaman seni pertunjukan, dan pendidikan karakter.
Melalui seni pertunjukan, generasi muda dapat mendalami, memahami, dan memerankan karakter
setiap tokoh yang ada di dalam sastra lisan, baik tokoh yang baik maupun yang jahat. Dengan
demikian, generasi muda diharapkan dapat meneladani tokoh yang baik dan sebaliknya.

Kata Kunci: pendidikan, sastra lisan, seni pertunjukan, transformasi

* Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar

65
Humaniora, Vol. 26, No. 1 Februari 2014: 65-73

PENGANTAR pertunjukan, seperti drama gong, arja, gambuh,


sendratari, wayang kulit, dan sejenisnya yang
Kehidupan sastra lisan di Bali telah mengalami
diikuti oleh seluruh kabupaten yang ada di Bali.
pasang surut. Pada awalnya, kehidupan sastra
lisan pada masyarakat Bali, khususnya di daerah Seiring dengan semakin positifnya penerimaan
pedesaan sangat kuat. Masyarakat Bali biasa masyarakat Bali terhadap pelaksanaan PKB,
melakukan kegiatan bercerita lisan atau mesatue bentuk-bentuk sastra lisan juga semakin diapresiasi
di sela-sela aktivitasnya, khususnya menjelang positif oleh masyarakat Bali. Sastra lisan tidak
tidur pada malam hari. Para orang tua senantiasa hanya dipentaskan dalam bentuk seni pertunjukan
menghibur anak cucunya dengan menceritakan seperti tersebut di atas, tetapi juga dalam bentuk
cerita rakyat, seperti dongeng, legenda, atau mitos, lain seperti lomba mesatue bagi generasi muda
agar anak cucunya cepat tertidur. Bahkan, anak- khususnya pelajar. Akhir-akhir ini, kegiatan lomba
anak merasa ketagihan pada cerita-cerita rakyat mesatue tidak hanya dilaksanakan dalam kegiatan
yang telah didengarkan walaupun telah diceritakan PKB saja, tetapi juga dalam kegiatan-kegiatan
secara berulang-ulang. Keadaan seperti ini terjadi lainnya di tempat yang berbeda-beda. Bahkan,
karena pada masa itu media hiburan khususnya sastra lisan yang ada di Bali sudah dibuat dalam
bagi anak-anak sangat terbatas. Di samping mereka bentuk film atau sinetron yang ditayangkan di
mendengarkan satue bali, hiburan lainnya hanya televisi lokal dan nasional.
menonton pementasan drama gong, arja, gambuh, Ketika sastra lisan dilombakan dalam bentuk
sendratari atau wayang kulit, itu pun sangat jarang lomba mesatue atau dipentaskan dalam bentuk
terjadi. Pementasan tersebut hanya terjadi pada hari- seni pertujukan, seperti drama gong, arja, gambuh,
hari tertentu saja, misalnya ada odalan di suatu pura sendratari atau wayang kulit sesungguhnya telah
atau acara keagamaan lainnya. terjadi transformasi bentuk seni dari bentuk sastra
Berbeda keadaannya ketika mulai memasuki lisan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Di dalam
akhir tahun 1960-an. Pada masa ini teknologi transformasi ini terjadi perubahan penyajian cerita.
hiburan, seperti film, televisi, tape recorder, dan Cerita lisan yang pada mulanya diceritakan secara
radio mulai memasuki kehidupan masyarakat lisan oleh para orang tua kepada anak cucunya
Bali. Anak-anak sudah mendapatkan pilihan- menjelang tidur pada malam hari dengan ciri-
pilihan hiburan yang lebih moderen dan menarik ciri kelisanannya, diubah ke dalam bentuk seni
apabila dibandingkan dengan cerita atau satue yang pertunjukan dengan ciri-ciri yang khusus sebagai
didengarkan dari orang tua mereka. Di sisi lain, para seni pertunjukan.
orang tua mereka juga bertambah sibuk mencari Latar belakang di atas memunculkan
nafkah hidup untuk memenuhi tuntutan zaman yang permasalahan, yaitu bagaimanakah transformasi
semakin maju sehingga tidak ada waktu lagi untuk sastra lisan ke dalam seni pertujukan apabila dilihat
bercerita atau mesatue. Akibatnya, tradisi mesatue dari perspektif pendidikan?. Mengapa terjadi
(mendongeng) semakin lama semakin menghilang transformasi tersebut?. Permasalahan ini menjadi
dari kehidupan masyarakat Bali. relevan dibahas mengingat gelaja transformasi
Ketika melihat keadaan ini, pada tahun sastra lisan ke dalam seni pertunjukan semakin
1978 Gubernur Bali Ida Bagus Mantra menonjol terjadi di Bali.
(almarhum) menggagas pelaksanaan Pesta Untuk membahas permasalahan di atas,
Kesenian Bali (PKB). Tujuannya adalah untuk maka teori utama yang digunakan adalah teori
mendokumentasikan dan melestarikan kebudayaan sosiologi sastra karena fokus tulisan ini membahas
Bali, termasuk di dalamnya keberadaan sastra lisan. fungsi karya seni (sastra lisan dalam bentuk seni
Di dalam PKB tersebut dipentaskanlah berbagai pertunjukan) bagi masyarakat. Secara teoretis karya
sastra lisan yang hidup di Bali dalam bentuk seni seni termasuk karya sastra merupakan refleksi

66
I Ketut Sudewa - Transformasi Sastra Lisan ke dalam Seni Pertunjukan di Bali

masyarakat pada jamannya, sekaligus memiliki Berbicara tentang sastra lisan, secara teoretis
fungsi tertentu. Menurut Ian Watt seperti dikutip ada berbagai bentuk sastra lisan, seperti: mitos,
oleh Endraswara (2011:22), mengatakan bahwa legenda, dan dongeng. Ketiga bentuk sastra lisan
karya sastra yang baik memberikan fungsi: (a) ini memiliki ciri khas masing-masing. Secara
pleasing, artinya kenikmatan dan hiburan; dan (b) umum, ciri-ciri sastra lisan antara lain adalah (a)
instructing, artinya memberikan ajaran tertentu anonim; (2) teksnya atau ceritanya tidak ajeg; (3)
yang menggugah semangat hidup. Dalam konteks ada dialog antara pencerita dengan pendengar
sastra lisan yang telah ditransformasikan ke dengan formula dan formulanya (Teeuw, 1994:42-
dalam seni pertunjukan khususnya di Bali, kedua 43); (4) diceritakan pada tempat dan waktu tertentu;
fungsi tersebut menjadi nyata dalam kehidupan (5) diceritakan oleh orangtua kepada anak cucunya.
masyarakat Bali, lebih-lebih sastra lisan merupakan Secara lebih detail dikatakan ada dua bentuk sastra
bagian keseharian dari kehidupan mereka. lisan, yaitu sastra lisan primer dan sekunder. Ciri-
Pendekatan tekstual dan metode kualitatif menjadi ciri sastra lisan primer adalah (1) menyebarannya
relevan digunakan untuk membahas permasalahan melalui mulut ke mulut; (2) lahir di dalam
yang telah ditetapkan. masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat
di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal
huruf; (3) menggambarkan ciri-ciri budaya suatu
KEBERADAAN SASTRA LISAN DI BALI masyarakat; (4) tidak diketahui siapa pengarangnya;
Sebelum membicarakan tentang transformasi (5) bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang; (6)
sastra lisan ke dalam seni pertunjukan dalam tidak mementingkan fakta dan kebenaran; (7) terdiri
pespektif pendidikan, terlebih dahulu diuraikan atas berbagai versi; (8) menggunakan gaya bahasa
keberadaan dan bentuk sastra lisan di Bali serta lisan. Sastra lisan sekunder adalah sastra lisan
penjelasan singkatnya. Hal ini penting untuk yang disiarkan melalui media massa elektronik
menyamakan persepsi dalam melihat keberadaan yang tidak memiliki ciri seperti sastra lisan primer
sastra lisan yang menjadi pokok pembahasan tulisan (Hutomo, 1991:3-4; Sudikan, 2001:2-3).
ini. Di dalam sastra lisan terutama mitos, banyak
Seperti halnya di daerah lain di Indonesia, hal yang disampaikan secara tidak masuk akal
keberadaan sastra lisan di Bali juga berkaitan manusia, tetapi dapat diterima dan diyakini
dengan kegiatan adat dan budaya masyarakat kebenarannya oleh mayarakat pendukungnya.
Bali. Kegiatan ini merupakan aktivitas keseharian Dalam hal yang demikian benarlah pernyataan
mereka. Artinya, sastra lisan atau tradisi lisan Barthes (1985:109) yang mengatakan bahwa
mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. mitos merupakan sistem komunikasi yang di
Teeuw (1994) pernah mengklaim bahwa dalamnya ada pesan yang disampaikan. Pesan
bangsa Indonesia berada antara kelisanan dan inilah yang menjadi keyakinan kehidupan religius
keberaksaraan. Akan tetapi, khusus bagi masyarakat magis suatu masyarakat. Misalnya, sebagian besar
Bali dengan dinamika adat dan budaya yang masyarakat Bali masih meyakini kebenaran sebuah
begitu tinggi, tradsisi lisannya lebih kuat apabila mitos karena sebuah mitos kadang-kadang dapat
dibandingkan dengan tradisi keberaksaraaannya. memecahkan berbagai persoalan manusia yang
Hal ini dapat dimengerti karena kegiatan adat tidak bisa diselesaikan dengan logika. Bahkan,
budaya masyarakat Bali didominasi oleh tradisi menurut Douglas (1988:52) mitos bisa mengubah
lisan. Misalnya, upacara adat manusia yadnya kehidupan sosial masyarakat. Di sisi lain, Daeng
seperti pernikahan. Dari awal upacara ini sampai (1993:69) juga mengakui bahwa mitos atau
berakhir dilakukan secara lisan dalam bentuk mitologi merupakan salah satu pengatur aktivitas-
dialog antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak aktivitas individu.
keluarga perempuan. Bagi masyarakat Bali, mitos tidak hanya

67
Humaniora, Vol. 26, No. 1 Februari 2014: 65-73

berkaitan dengan kepercayaan terutama yang maupun konteks sosial budaya yang ada di balik
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat religius wacana bersangkutan.
magis tetapi juga sebagai alat yang ampuh untuk Penjelasan di atas menandakan bahwa mitos
meligitimasi suatu kepercayaan atau keyakinan memiliki fungsi yang sangat penting dalam
yang berkembang di dalam kehidupan sosial kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat
budaya masyarakat Bali. Salah satu mitos Bali. Peursen (1976:37-53) mengatakan fungsi
yang populer di Bali adalah mitos “Asal Usul mitos ada tiga, yaitu (1) menyadarkan manusia
Adanya Hama di Bali”. Mitos ini tidak hanya bahwa ada kekuatan gaib; (2) memberi jaminan
sekadar berkaitan dengan persoalan religius bagi masa kini; (3) memberi pengetahuan tentang
magis tetapi juga untuk meligitimati pelestarian dunia. Secara lebih pragmatis, Sudewa (2001:85-
lingkungan hidup dalam konsep atau falsafah 87) menyebutkan fungsi mitos, khususnya bagi
Tri Hita Karana (Sudewa, 2013:5). Mitos ini masyarakat Bali adalah: (1) untuk melegitimasi
sering ditransformasikan ke dalam bentuk seni suatu keyakinan atau kepercayaan terhadap suatu
pertunjukan berupa wayang kulit dan biasanya hal, peristiwa atau benda; (2) untuk mengungkap
dipentaskan menjelang atau pada hari raya Tumpek fisafat agama Hindu; dan (3) untuk sarana
Warige (upacara untuk tumbuh-tumbuhan atau pendidikan dan hiburan bagi masyarakat.
pertanian) yang diadakan setiap 210 hari.
Selain mitos, bentuk sastra lisan yang lainnya
Persoalan religius magis di dalam sastra lisan, adalah legenda. Hanya satu hal yang dapat
khususnya mitos merupakan salah satu kearifan membedakan antara mitos dengan legenda, yaitu
lokal yang dililiki oleh masyarakat Bali. Hal tokoh cerita yang terlibat di dalamnya. Mitos tokoh
ini sesuai dengan pandangan Pudentia (2013:2) ceritanya adalah para dewa (betare), sedangkan
yang mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan legenda adalah manusia. Kedua bentuk sastra lisan
mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup ini dalam konteks masyarakat Bali memiliki fungsi
dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya utama yaitu legitimasi dan pengungkapan filsafat
kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, agama Hindu.
sistem kepercayaan dan religi, kaidah sosial, etos Legenda adalah cerita rakyat yang di dalamnya
kerja, sistem pengobatan, mitologi, sejarah dan mengisahkan tentang seseorang atau beberapa
berbagai hasil seni. Oleh karena mitos berkaitan tokoh yang dikaitkan dengan sesuatu atau tokoh
dengan hal-hal yang bersifat religius magis, maka yang dipercayai dan diyakini ada atau pernah
tokoh cerita di dalam mitos biasanya para dewa ada di dalam kehidupan masyarakat. Semuanya
(betare). Keadaan ini membuat makna yang ada dibuktikan atau dilegitmasi dengan adanya
di dalam mitos dibungkus dengan simbol-simbol peninggalan-peninggalan tertentu sebagai bukti
yang berkaitan dengan latar belakang sosial budaya keyakinan bahwa apa yang diceritakan di dalam
dan kehidupan religius masyarakatnya. Daeng suatu legenda memang pernah ada, tetapi dari
(1991:16) juga mengakui bahwa mitos adalah sudut sejarah sulit dibuktikan. Misalnya, legenda
suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan yang terkenal di Bali adalah “Jaya Prana dan
Yang Kudus, Yang Ilahi melalui konsep serta Layon Sari”. Legenda ini sering ditransformasikan
bahasa simbolis. Melalui mitologi diperoleh suatu ke dalam bentuk drama gong atau arje. Cerita
kerangka acuan yang memungkinkan manusia dalam legenda ini diyakini oleh sebagian besar
memberi tempat kepada bermacam ragam kesan masyarakat Bali pernah ada secara nyata karena ada
dan pengalaman yang telah diperolehnya selama peninggalannya berupa kuburan dan tempat suci di
hidup. Oleh karena itu, untuk memahami atau daerah Singaraja, tetapi sebagian masyarakat yang
mempelajari mitos harus memahami simbol- lain tidak percaya karena dari sudut sejarah sulit
simbol budaya dan kehidupan religius masyarakat dibuktikan. Dengan kenyataan itu, mungkin saja
pendukungnya, baik simbol dalam tataran wacana legenda ini hanya berfungsi sebagai alat ekspresi

68
I Ketut Sudewa - Transformasi Sastra Lisan ke dalam Seni Pertunjukan di Bali

saja seperti dikatakan oleh A.R. Radcliffe Brown dibutuhkannya. Dongeng memberikan kepada
ketika meneliti keberadaan legenda atau mitos anak-anak pengarahan emosional yang tidak bisa
pada masyarakat Andaman, bahwa legenda atau diganti oleh apapun. Dongeng adalah makanan
mitos berfungsi sebagai alat ekspresi atau untuk yang tidak ada duanya bagi si anak. Selain berguna
mewujudkan, memformulasikan bahwa jagat untuk kesenangannya, dongeng pun pelan-pelan
manusia merupakan suatu tatanan yang diatur oleh mengantarkan anak-anak untuk mewujudkan
hukum atau dalil. Mitos atau legenda hanyalah diri dan keperibadiannya. Tradisi mendongeng
ekspresi dari bentuk konkret dari perasaan dan ide dapat menumbuhkan keterikatan rasa antara anak
yang dibangkitkan oleh sesuatu sebagai hasil dari dengan orang tua dan akhirnya dapat membentuk
cara sesuatu yang memengaruhi moral dan sosial rasa hormat kepada orang tuanya yang setia
masyarakat Andaman (Ahimsa Putra, 1994). mendongengi.
Bentuk sastra lisan yang terakhir adalah Menyinggung tentang nilai-nilai yang
dongeng. Bentuk sastra lisan ini yang paling terkandung di dalam sebuah dongeng, Mantra
populer dan disenangi oleh anak-anak, khususnya di (1968:4) mengatakan bahwa dongeng mengandung
Bali. Sifatnya yang fiktif memungkinkan kreativitas nilai-nilai kerohanian, seperti (1) dalam dongeng
pencerita di dalam menceritakan dongeng tampak adanya kepercayaan pada zat (kekuatan)
bersangkutan sangat kuat. Dengan kreativitas, yang tertinggi yang menentukan nasib manusia; (2)
pencerita membuat pendengar, khususnya dalam dongeng terdapat motif dimana kebajikan,
anak-anak sangat tertarik mendengarkan dan perbuatan baik mempunyai pahala yang baik dan
menikmati dongeng. Unsur kreativitas inilah yang sebaliknya; (3) dalam dongeng terdapat ajaran
menyebabkan munculnya perbedaan variasi (versi) yang mengandung kewajiban, baik kewajiban si
cerita antara daerah satu dengan daerah lainnya. Di anak kepada leluhurnya maupun kewajiban yang
samping sifatnya yang fiktif, dongeng juga sangat harus dilaksanakan manusia terhadap sesamanya
sederhana dan menceritakan tentang kehidupan bahkan untuk sekalian makhluk; dan (4) dalam
anak sehari-hari dalam berinteraksi dengan dongeng terdapat juga kelaliman di tangan orang
lingkungan alam di sekitarnya. Berbeda dengan yang sedang berkuasa akhirnya runtuh walaupun
mitos dan legenda, tokoh cerita dongeng biasanya kekuatan itu datang dari orang miskin sekalipun.
manusia, raksasa, binatang, atau tumbuh-tumbuhan.
Fungsi pendidikan dan hiburan, khususnya bagi
anak-anak mendominasi bentuk sastra lisan ini
TRANSFORMASI SASTRA LISAN KE DALAM
sedangkan fungsi legitimasinya nyaris tidak ada.
SENI PERTUNJUKAN DALAM PERSPEKTIF
Misalnya, dongeng yang populer dan sering PENDIDIKAN
ditransformasikan dalam bentuk seni pertunjukan Transformasi adalah perubahan dalam
berupa lomba mesatua adalah “Siap Selem”, I bentuk, penampilan, keadaan atau tokoh (Bandem,
Bawang Lan I Kesune”, “Tuwung Kuning”, dan 1988:21). Dalam konteks tulisan ini transformasi
lain-lain. diartikan sebagai perubahan bentuk dan penampilan
Manfaat dongeng bagi pembinaan watak dan sastra lisan ke dalam seni pertunjukan. Walaupun
keperibadian anak telah banyak dibicarakan oleh munculnya seni pertunjukan khususnya di Bali pada
para ahli dan semuanya mengakui keungggulan awalnya berfungsi ritual (Soedarsono, 1999:27),
berupa nilai-nilai positif yang terkandung di dalam tetapi perkembangan seni pertunjukan di Bali
sebuah dongeng. Bahkan, menurut Luigi Santucci dewasa ini juga berfungsi sebagai hiburan dalam
yang dikutif oleh Stephie Kleden Beetz dalam bentuk seni pertunjukan yang tidak berhubungan
Kompas Minggu, 19 Februari 1984 mengatakan dengan ritual.
bahwa dongeng adalah bentuk sastra yang bukan Di atas telah dijelaskan bahwa masyarakat Bali
saja digemari oleh anak-anak tetapi sekaligus semakin apresiatif terhadap kehidupan sastra lisan

69
Humaniora, Vol. 26, No. 1 Februari 2014: 65-73

di Bali dengan mengubah bentuk dan penampilan Hama di Bali” sering dipentaskan oleh kelompok
(mentransformasi) sastra lisan ke dalam bentuk seni seniman di daerah wisata, seperti: Batubulan, Ubud,
pertunjukan, seperti: drama gong, arja, gambuh, Nusa Dua, Tanah Lot, dan di tempat lainnya untuk
sendratari, atau wayang kulit serta dalam bentuk menghibur para wisatawan mancanegara. Dalam
lomba mesatue. Terjadinya trasformasi tersebut upacara keagamaan juga sering dipentaskan wayang
menguatkan unsur pleasing dan instructing yang kulit dengan lakon mitos “Dewi Sri” atau mitos
ada di dalam sastra, khususnya sastra lisan seperti “Buta Kala”. Di samping itu, budaya masyarakat
dikatan oleh Ian Watt di awal tulisan ini. Kenyataan Bali yang lebih suka menonton (melihat) dari
ini menunjukkan bahwa sastra lisan yang pada pada mendengarkan atau membaca juga ikut
awalnya bersifat dialogis antara pencerita dengan memperkuat kehidupan seni pertunjukan di
pendengar dan hanya mengandalkan seni verbal daerah ini. Dengan menonton (melihat) suatu seni
dan kekuatan metalinguistik pencerita serta pertunjukan, penonton atau penikmat akan lebih
dilaksanakan pada ruang dan waktu terbatas, dapat total menikmati suatu cerita apabila dibandingkan
ditransforsikan ke dalam seni yang melibatkan suatu cerita yang dilisankan saja seperti kehidupan
berbagai seni lainnya dalam suatu pertunjukan sastra lisan pada awalnya di Bali.
serta memerlukan tempat khusus dan penonton. Ada hal-hal positif apabila sastra lisan
Bahkan, dipertegas oleh Santosa (2001:268) ditransformasikan ke dalam seni pertunjukan.
yang mengatakan bahwa sastra lisan tidak dapat Pertama, sastra lisan akan lebih dikenal oleh
dipisahkan begitu saja dengan seni pertunjukan. masyarakat luas, mengingat masyarakat Bali
Gejala ini menurut Santosa kuat terjadi pada lebih suka menonton daripada mendengarkan
budaya Jawa dengan tradisi macapat dan di atau membaca seperti telah diuraikan di atas.
Bali dikenal dengan tradisi mabebasan. Ketika Misalnya, generasi muda masyarakat Bali dewasa
sastra lisan ditransformasi menjadi bentuk seni ini lebih mengenal cerita lisan, seperti: cerita-
pertunjukan, maka akan melibatkan seni lainnya, cerita Panji, mitos, dan legenda dibandingkan
seperti seni: dekorasi, tatarias, tatabusana, musik, dengan generasi sebelumnya. Bahkan, banyak
suara, tari, pedalangan, ukir, dan sebagainya. Begitu generasi muda terlibat di dalam seni pertunjukan
kompleksnya apabila sastra lisan ditransformasikan sastra lisan, baik yang berkaitan dengan pariwisata
ke dalam seni pertunjukan. Hal ini diakui oleh maupun upacara keagamaan. Kedua, sastra lisan
Victor Ganap (2012:157) yang mengatakan bahwa yang ditransformasikan ke dalam seni pertunjukan
seni tradisi tidak mengenal dikotomi antara tari, lebih menarik bagi pencinta sastra lisan karena
drama, dan musik seperti halnya di Barat karena di dalam seni pertunjukan terakumulasi berbagai
seni tradisi yang di gelar merupakan suatu kesatuan seni di dalamnya. Misalnya, sebuah pertunjukan
dimensi verbal, kinestetik, sonoris, dan visual yang sendratari yang mementaskan mitos “Dewi Sri”, di
tidak terpisahkan. Dalam keadaan seperti inilah dalamnya terdapat seni: tari, tabuh, suara, drama,
dituntut munculnya kreativitas orang-orang yang dekorasi, tatarias dan busana. Semua seni yang
terlibat di dalam sebuah seni pertunjukan. terlibat di dalamnya menjadi satu pertunjukan
Terjadinya transformasi sastra lisan ke dalam yang utuh dan lebih menarik apabila dibandingkan
seni pertunjukan, khususnya di Bali, pada saat ini dengan diceritakan secara konvensional. Contoh
banyak dipengaruhi oleh kemajuan dunia pariwisata lainnya, di dalam lomba mendongeng yang
yang terjadi di daerah ini. Untuk kepentingan sering diselenggarakan di Bali dalam berbagai
pariwisata, kelompok-kelompok seni tradisional kegiatan dan kesempatan di dalamnya terlibat
di Bali sering mementaskan sendratari atau tari seni: peran, suara, dekorasi, tatarias/busana,
Barong yang mengangkat cerita lisan yang ada dan sebagainya. Keadaan ini dapat menumbuh
di dalam kehidupan masyarakat Bali. Misalnya, kembangkan rasa cinta masyarakat Bali, khususnya
mitos “Dewi Sri” atau mitos “Asal Usul Adanya generasi muda terhadap sastra lisan. Akhirnya,

70
I Ketut Sudewa - Transformasi Sastra Lisan ke dalam Seni Pertunjukan di Bali

usaha pelestarian kehidupan sastra lisan di Bali ini sebenarnya menjadi tujuan masyarakat dan
semakin bisa diwujudnyatakan. Ketiga, dengan pemerintah di Bali dalam rangka menjaga identitas
mentransformasikan sastra lisan ke dalam seni Bali di dunia internasional. Di samping itu,
pertunjukan akan melibatkan banyak penonton mengingat nilai-nilai pendidikan yang begitu luhur
atau penikmat. Di samping itu, akan melibatkan terkandung di dalam sastra lisan atau satue bali bagi
pekerja-pekerja seni lainnya. Dengan keadaan ini, generasi muda Bali.
secara ekonomis bisa mengangkat taraf kehidupan Kedua, pendidikan untuk menumbuhkan
masyarakat Bali, khususnya pekerja seni. Secara kreativitas. Di dalam melakukan transformasi
sosiologis, uraian di atas merupakan refleksi dari sastra lisan ke dalam seni pertunjukan,
masyarakat Bali pada saat ini dalam meresepsi dituntut kemampuan seseorang di dalam
sastra lisan. berkreativitas sehingga apa yang ditampilkan di
Seni pertujukan adalah ekspresi dari suatu dalam pertunjukan bisa lebih baik dan menarik
komunitas kecil dalam mempertunjukan dirinya apabila dibandingkan dengan sastra lisan tanpa
secara visual dalam berbagai ruang, baik ruang ditransformasikan ke dalam seni pertunjukan.
ekonomi, sosial ataupun politik sehingga tumbuh Berkreativitas di dalam mengubah sebuah cerita
kesadaran untuk mempertunjukannya (Sujarno, sastra lisan ke dalam sebuah seni pertunjukan,
dkk.,2003:45). Kesadaran mempertunjukannya dituntut pengetahuan tentang seni pentas dengan
kepada penonton atau masyarakat inilah yang berbagai komponen yang terlibat di dalamnya.
menjadi hal terpenting di dalam seni pertunjukan. Di dalam seni pentas atau pertunjukan seorang
Oleh karena itulah, Kayam (2002:1) mengatakan pemain tidak hanya dituntut kemampuan
bahwa seni pertunjukan lahir dari masyarakat dan verbal dan esktralinguistiknya (gesture), tetapi
ditonton oleh mayarakat. Artinya, di dalam sebuah penguasaan panggung serta totalitas kerjasama
seni pertunjukan setidaknya ada panggung (stage), dengan pemain lainnya sangat diperlukan. Di
pemain (artis), dan penonton (audience). Semuanya samping itu, kreativitas di dalam tatapanggung,
itu dilakukan atau dikerjakan oleh masyarakat tatabusana, dan tatarias serta kretivitas lainnya
pendukung seni pertunjukan bersangkutan. Apabila juga menjadi hal yang penting untuk mendukung
tidak ada panggung tempat bermain dengan keberhasilan sebuah pertunjukan. Dengan upaya
perlengkapan dekorasinya, pemain dengan tatarias menstranformasi sastra lisan ke dalam seni
dan tata busananya serta penonton maka seni pertunjukan dengan segala kreativitasnya, di
pertunjukan tidak bisa berlangsung. samping adanya pendidikan berkreativitas juga
Apabila dilihat dari perspektif pendidikan diharapkan rasa cinta generasi muda terhadap sastra
khususnya bagi generasi muda, transformasi sastra lisan semakin meningkat sehingga salah satu misi
lisan ke dalam seni pertunjukan mengandung PKB, yakni pelestarian kesenian tradisional Bali
setidaknya empat hal penting sebagai berikut. bisa diwujudkan.
Pertama, pendidikan untuk mencintai sastra lisan. Ketiga, pendidikan pemahaman terhadap
Menumbuhkan rasa cinta generasi muda terhadap hakikat seni pertunjukan. Seperti dijelaskan
sastra lisan harus terus menerus dilakukan oleh sebelumnya, bahwa seni pertunjukan memiliki ciri
semua pihak mengingat sastra lisan tidak semata- khas yang berbeda dengan bentuk seni lainnya.
mata mengandung kenikmatan dan hiburan tetapi Di alam seni pertunjukan setidaknya ada tiga
juga ajaran atau pendidikan seperti dikatakan oleh komponen yang terlibat di dalamnya, seperti
Ian Watt. Dengan rasa cinta terhadap sastra lisan panggung (stage) sebagai tempat bermain; pemain
secara tidak langsung pelestarian terhadap seni (artis) yang memerankan atau menyampaikan suatu
budaya Bali, khususnya tradisi bersastra lisan cerita; dan penonton (audience) yang menonton
di Bali yang juga merupakan salah satu bentuk pertunjukan. Masing-masing komponen, terutama
kearifan lokal bisa dijaga dengan baik. Tujuan komponen panggung dan pemain di dalam sebuah

71
Humaniora, Vol. 26, No. 1 Februari 2014: 65-73

pertunjukan memerlukan dukungan dari berbagai “Tri Hita Karana” yang menjadi falsafah hidup
unsur seni. Misalnya, panggung didukung oleh masyarakat. Falsafah hidup mayarakat Bali ini telah
seni dekorasi, tatalampu, seni ukir, dan sebagainya. menjadi ajaran yang universal dan diakui oleh dunia
Komponen pemain didukung oleh seni tata rias, internasional.
tata busana, seni suara, seni tari, seni gerak, dan
sebagainya. Akhirnya, sebuah pertunjukan atau
pentas bukanlah seni pertunjukan apabila tidak ada SIMPULAN
penonton. Artinya, betapapun hebatnya komponen Fenomena transformasi sastra lisan ke dalam
panggung dan pemain, jika tidak ada penonton seni pertunjukan di Bali semakin sering dilakukan
maka semuanya tidak ada gunanya. Dengan oleh para seniman dan generasi muda, baik secara
demikian, transformasi sastra lisan ke dalam kualitas maupun kuantitas. Transformasi tersebut
seni pertunjukan memberi pendidikan penting, terjadi akibat pengaruh pariwisata dan pergeseran
khususnya bagi generasi muda dalam pemahaman budaya masyarakat Bali dari budaya mendengar
terhadap seni pertunjukan sehingga rasa cinta ke budaya melihat (menonton). Di samping itu,
mereka tidak hanya pada sastra lisan tetapi juga adanya aktivitas adat budaya masyarakat Bali yang
kepada seni pertunjukan. sangat dinamis juga ikut memengaruhinya. Secara
Keempat, pendidikan yang terpenting sosiologis, keadaan tersebut merupakan refleksi
dalam transformasi sastra lisan ke dalam seni masyarakat Bali dalam meresepsi sastra lisan pada
pertunjukan adalah pendidikan karakter. Seorang saat ini.
pemain atau pencerita yang memerankan tokoh
Sisi positif transformasi sastra lisan ke dalam
di dalam pementasan sebuah cerita sastra lisan,
seni pertunjukan adalah sastra lisan lebih dikenal
harus mampu mengubah dirinya menjadi tokoh
dan dicintai oleh masyarakat, khususnya generasi
cerita yang diperankan, baik sebagai tokoh baik
muda Bali karena sastra lisan disajikan dalam
atau jahat. Bahkan, seorang pencerita satue bali
bentuk seni pertunjukan yang lebih menarik bila
(pendongeng) dengan teknik monolognya harus
dibandingkan dengan jika dilisankan seperti
mampu memerankan berbagai karakter melalui
pada awalnya sebagai sastra lisan. Pengemasan
kemampuan unsur verbal dan ekstralinguistik yang
sastra lisan ke dalam bentuk seni pertunjukan
dimiliki. Di sisi lain, penonton di samping dapat
akan melibatkan pekerja-pekerja seni lainnya
mengambil hikmah dari berbagai karakter tokoh di
sehingga secara ekonomis bisa mengurangi jumlah
dalam sebuah pementasan, juga sekaligus sebagai
pengangguran di Bali.
penilai para pemain atau pencerita yang bermain
di atas panggung. Dengan kondisi seperti itu, dari Bila dilihat dari sudut fungsi sosial sastra,
perspektif pendidikan banyak hal yang bisa diambil khususnya sastra lisan bagi masyarakat Bali di
sebagai pelajaran atau pendidikan, khususnya samping memiliki fungsi hiburan dan kenikmatan,
bagi generasi muda terutama pendidikan karakter. juga memiliki fungsi pendidikan karena di
Melalui transformasi sastra lisan ke dalam seni dalamnya ada ajaran-ajaran yang positif bagi
pertunjukan terjadilah proses pendidikan karakter, penikmat/pembaca. Bila dilihat dari perspektif
bisa membedakan pebuatan baik dan buruk serta pendidikan, khususnya pendidikan bagi generasi
meneladani perbuatan baik dan sebaliknya. Jadi, muda Bali, transformasi sastra lisan ke dalam seni
para pemain, pencerita, dan penonton secara tidak pertunjukan mengandung empat hal penting, yaitu
langsung mengalami proses pendidikan karakter (1) pendidikan rasa cinta dan pelestarian pada sastra
melalui tokoh cerita sastra lisan yang dipentaskan. lisan; (2) pendidikan kreativitas; (3) pendidikan
Misalnya, pementasan mitos “Asal Usul Adanya pemahaman terhadap hakikat seni pertunjukan; dan
Hama Di Bali”, di dalamnya terkandung ajaran (4) pendidikan karakter.

72
I Ketut Sudewa - Transformasi Sastra Lisan ke dalam Seni Pertunjukan di Bali

DAFTAR RUJUKAN Sistem Kekuasaan” dalam Gelar Vol. 2, No. 1


Oktober, hlm. 1-8.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. (1994). “Materi Kuliah
Mitologi”. Program Pascasarjana UGM. Peursen, Van. (1976). Strategi Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Bagus, I Gusti Ngurah. (1968). Arti Dongeng Bali
dalam Pendidikan. Singaraja: Direktorat Pudentia MPSS. (2013). “Pendidikan Kajian
Bahasa dan Kesusastraan Dirjen Kebudayaan. Tradisi Lisan di Indonesia”. Makalah yang
disampaikan dalam Seminar Nasional Tradisi
Bandem, I Made. (1988). “Transformasi Kesenian
Lisan dalam Pendidikan di Universitas
dalam Pelestarian Nilai Budaya Bali” dalam
Saraswati Tabanan, Bali.
Puspanjali. Editor Jiwa Atmaja. Denpasar:
CV. Kayumas. Santosa, Djarot Heru. (2001). “Tradisi Macapat di
Kabupaten Boyolali” dalam Jurnal Humaniora
Barthes, Roland. (1985). Mythologies. Mew York:
Vol. 13, Nomor 3, hlm. 268.
Hill And Wang.
Soedarsono, RM. (1999). Seni Pertunjukan
Beetz, Stephie Kleden. (1984). “Si Buyung dan
Indonesia dan Pariwisata. Bandung:
Pohon Dongeng” dalam Kompas Minggu, 19
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Februari 1985.
Sudewa, I Ketut. (2001). “Mitos Dan Kontra Mitos
Daeng, Hans J. (1991). “Manusia, Mitos, dan
Di Balik Mitos Asal Usul Adanya Hama Di
Simbol” dalam Majalah Basis, Januari,
Bali Serta Fungsinya” dalam Majalah Mudra
XL-1:15-21.
Jurnal Seni Budaya, No. 11, Th. IX, Agustus,
____. (1993). “Mitos dan Struktur Sosial” dalam
hlm. 75-88.
Majalah Basis, Februari, XLII-2:69-77.
____. (2013). “Folklor dalam Prespektif Pelestarian
Douglas, Mary. (1988). “The Meaning Of Myth”
Lingkungan Hidup di Bali”. Makalah yang
dalam Leach, Edmund (ed.). (1988). The
disampaikan dalam Kongres Internasional
Structural Study of Myth and Totemism.
ATL III di Yogyakarta.
London: Tavistock Publications.
Endraswara, Suwardi. (2011). Metodologi Sudikan, Setya Yuwana. (2001). Metode Penelitian
Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Ganap, Victor. (2012). “Konsep Multikultural dan Sujarno dkk. (2003). Seni Pertunjukan Tradisional,
Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni” dalam Nilai, Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta:
Jurnal Humaniora. Vol. 24, Nomor 2, hlm. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
157. Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan
Hutomo, Suripan Hadi. (1991). Mutiara yang Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Tradisional.
Surabaya: Hiski Jawa Timur. Teeuw, A. (1994). Indonesia Antara Kelisanan dan
Kayam, Umar. (2002). “Seni Pertunjukan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

73

Anda mungkin juga menyukai