PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem perkemihan terdiri dari organ ginjal, ureter, vesika urinaria (kandung
kemih) dan uretra membentuk sistem urinarius. Fungsi utama ginjal adalah
mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam-basa cairan tubuh,
mengeluarkan produk akhir metabolic dari dalam darah, dan mengatur tekanan
darah.. Namun, fungsi masing-masing organ dari sistem perkemihan tersebut
tidak luput dari suatu masalah atau abnormal. Sehingga hal ini dapat
menimbulkan beberapa penyakit atau gangguan salah satunya berupa sindrom
nefrotik.
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus. Namun istilah
nefrosis sekarang tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-
butir lipoid (Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis
parenkimatosa kronik”. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues
dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian
digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu
keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang mendasari.
Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan
prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat,
luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya
trerhadap pengobatan. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1
tahun. Sindrom nefrotik perubahan minimal ( SNPM ) menacakup 60 – 90 % dari
semua kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah
menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.
Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi
bilateral dan transplantasi ginjal. Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap
46 pasien, didapatkan insiden terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok
umur 2 – 6 tahun sebanyak 25 pasien (54,3%), dan terbanyak pada laki-laki
dengan jumlah 29 pasien dengan rasio 1,71 : 1. Insiden sindrom nefrotik pada
1
2
anak di Hongkong dilaporkan 2 - 4 kasus per 100.000 anak per tahun ( Chiu and
Yap, 2005 ). Insiden sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara
berkembang, insidennya lebih tinggi. Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada
anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun.
B. Tujuan
1. Tujuan umum:
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan
nefrotik sindrom.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui definisi nefrotik.sindrom
b. Mahasiwa mampu mengetahui anatomi fisiologi.
c. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dan patofisiologi dari nefrotik
sindrom.
d. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala dari nefrotik sindrom.
e. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan dari pasien nefrotik
sindrom.
f. Mahasiswa mampu mengetahui konsep dasar keperawatan.
C. Sistematika Penulisan
TINJAUAN TEORI
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi ginjal
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak
retroperitonel dengan panjang kurang lebih 11-12 cm, di samping kiri kanan
vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh
karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal
kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan garis bawah ginjal kiri
setinggi vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infant, ginjal berlobulasi. Makin
bertambah umur, lobulasi makin kurang, sehingga waktu dewasa menghilang.
3
4
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-
piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan
oleh columna bertini. Dasar piramid di tutup oleh korteks, sedang puncaknya
(papila marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor
bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks
mayor / minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah
keluar ureter. Korteks sendiri terdiri dari glomerulus dan tubuli, sedangkan
pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk nefron, satu unit nrfron terdiri dari glomerulus, tubulus
proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula
duktus koligentes) (Price, 2001).
Tiap ginjal mempunyai kurang lebih 1,5-2 juta nefron, berarti pula
kurang lebih 1,5-2 juta glomeruli. Pembentukan urin dimulai dari glomerulus,
dimana pada glomerulus ini fitrat, fitrat adalah isoonik dengan plasma pada
angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80% fitrat telah di absorbsi,
meskipun konsentrasinya masih tetap 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke
bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsetrasi filtrat bergerak ke
atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga
akhirnya menjadi hipoosmotik padda ujung atas lengkung, saat fitrat bergerak
sepanjang tubulus distal, fitrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya
isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus mengumpul. Ketika
filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat
meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi
dan hanya 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price, 2001).
2. Fisiologi Ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat
ekskresi yyang sangat penting melalui ultrafitrat yang terbentuk dalam
glomerulus. Terbentuknya ultrafitrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output. (Syarifuddin,
2002) “fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun;
memertahankan keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar
asam dan basa dari cairan tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir
sari prootein ureum, kreatinin, dan amoniak”
5
C. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 (Muttaqin, 201) adalah:
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti:
a. Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti:
a. Diabetes mellitus
b. Sistema lupus eritematosus
c. Amyloidosis
D. Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomelular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan merunnya albumin, tekanan
osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler bepindah ke dalam
intertisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler
berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena
hipovolemi.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal; akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi renin angeotensin dan peningkatan sekresi anti
7
deuretik hormon ( ADH ) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi
natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan triklycerida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karna penurunan plasma albumin atau penurunan
onkotik plasma.
Adanya hiperlipidermia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein
dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak
akan banyak dalam urin ( lipiduria )
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, lemungkinan di sebabkan
oleh karna hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau divisiensi seng (Suryadi, 2010,
hal. 199)
8
E. Patoflowdiagram
1. DM Glomeronefritis
2. SLE
3. Amyloidosis
Nefrotik Sindrom
MK: Resiko
Perubahan permeabilitas glomerulus
Tinggi Infeksi
Persepsi Hipertensi
Pelepasan ADH ↑ Aldosteron
kenyang
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna
urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah,
hemoglobin, mioglobin, porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020
menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis
dengan kehilangan kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan
pada infeksi saluran kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal
kronis (GGK). Protein urin meningkat (nilai normal negatif).
b. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun.
Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat
sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis)
atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan
magnesium meningkat. Albumin. Kimia serum : protein total dan albumin
menurun, kreatinin meningkat atau normal, trigliserida meningkat dan
gangguan gambaran lipid. Penurunan pada kadar serum dapat
menunjukkan kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan
asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun :
kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pemeriksaan urin dan darah
10
H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi
atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia,
mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan
intravaskuler berat.
3. Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
4. Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon,
furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron
seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis
aldosteron.
5. Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
1. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis
40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60
11
I. Komplikasi
1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya trombosis. Trombosis vena ini sering terjadi pada vena
renalis. Tindakan yang dilakukan utnuk mengatasinya adalah dengan
pemberian heparin.
2. Infeksi (seperti heamophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat
kehilangan immunoglobulin.
3. Gagal ginjal akut, akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan
cairan didalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan didalam intravaskuler.
4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam
paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea. (Suharyanto & Madjid,
2013, hal. 142)
tanda dan
gejala infeksi
kerusakan Tujuan : a. Berikan a. Memberikan
Kulit anak tidak perawatan kenyamanan
integritas kulit
menunjukkan kulit pada anak dan
berhubungan adanya b. Hindari mencegah
kerusakan pakaian kerusakan
dengan edema,
integritas : ketat kulit
penurunan kemerahan atau c. Bersihkan b. Dapat
iritasi Kerusakan dan bedaki mengakibatka
pertahanan tubuh.
integritas kulit permukaan n area yang
tidak terjadi kulit menonjol
Kriteria hasil: beberapa tertekan
a. Menunjukka kali sehari c. Untuk
n perilaku d. Topang mencegah
untuk organ terjadinya
mencegah edema, iritasi pada
kerusakan seperti kulit karena
kulit. skrotum gesekan
b. Turgor kulit e. Ubah posisi dengan alat
bagus dengan tenun
c. Edema tidak sering ; d. Untuk
ada. pertahankan menghilangka
kesejajaran n area tekanan
tubuh e. Karena anak
dengan baik dengan edema
f. Gunakan massif selalu
penghilang letargis,
tekanan atau mudah lelah
matras atau dan diam saja
tempat tidur f. Untuk
penurun mencegah
tekanan terjadinya
sesuai ulkus
kebutuhan
BAB III
KESIMPULAN
Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi
15. Jakarta: EGC
Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem perkemihan. Salemba medika. Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1, Media
Aesculapius: Jakarta
Suharyanto, tato, & mudjid, abdul. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan. Salemba Medika. Jakarta.
20