Anda di halaman 1dari 9

sangiran

Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini merupakan lokasi
penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam sejarah perkembangan
manusia dunia, Penelitian terhadap situs sangiran diwali oleh Eugene Dubois pada tahun 1893
dimana sebelum dia mengadakan penelusuran mencari fosil nenek moyang manusia di Sumatra
Barat, tetapi dia tidak menemukannya. Pada tahun 1932 L.J.C. van Es melakukan pemetaan secara
geologis di Sangiran dan sekitarnya. Peta inilah yang kemudian digunakan oleh G.H.R. von
Koenigswald pada tahun 1934 untuk melakukan survei eksploratif dengan temuan beberapa artefak
prasejarah. Fosil-fosil hominid mulai ditemukan pada tahun 1936 dan hingga tahun 1941
Koenigswald telah menemukan sejumlah fosil Homo erectus.

Temuan tinggalan masa lalu berupa fosil fauna, artefak, dan fosil Homo erectus mengalami
peningkatan baik dari jumlah maupun kualitas sehingga perlu dibentuk Unit Kerja di bawah Kantor
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah yang bertugas mengamankan situs dan
temuan arkeologis di Sangiran. Unit Kerja ini dibentuk pada tahun 1982. Eksplorasi terhadap Situs
Sangiran semakin intensif dilakukan sehingga potensi Sangiran sebagai situs prasejarah yang penting
bagi pengetahuan , khususnya mengenai pemahaman evolusi manusia dan lingkungan semakin
diperhitungkan dunia.

Pada tanggal 5 Desember 1996, Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh
UNESCO, dengan nomor penetapan C.593. Dengan status ini pengelolaan Situs Sangiran menjadi
prioritas sehingga perlu disusun Master Plan dan DED Pengembangan Situs Sangiran. Sejalan dengan
hal tersebut, pada tahun 2007 Pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis yang bertugas
mengelola Situs Sangiran dan situs-situs sejenis lainnya di Indonesia. UPT tersebut diberi nama Balai
Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934 fosil
disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan di gudang
penyimpanan. Beberapa fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi Bandung dan
Laboratorium Paleoanthropologi Yogyakarta. Secara umum, Museum Sangiran memiliki koleksi fosil
manusia purba diantaranya Australopithecus Africanus, Pithecanthropus Mojokertensis,
Meganthropus Palaeojavanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis, Homo Neanderthal Eropa,
Homo Neanderthal Asia, Homo Sapiens

Di sangiran tidak hanya terdapat fosil - fosil manusia purba namun disana juga di suguhkan tentang
ilustrasi mulai dari terbentuknya alam semesta melalui teori big bang. Teori Big Bang pertama kali
ditemukan oleh Abbe Georges Lemaitre, seorang kosmolog asal Belgia pada tahun 1920-an.
Menurutnya, alam semesta ini mulanya berasal dari gumpalan superatom yang berbentuk bola api
kecil dengan ukuran sangat kecil. Saking kecilnya, bola itu hampir tak berbentuk dan lebih dipandang
sebagai titik dengan volume nol. Gumpalan ini memiliki massa jenis yang luar biasa tinggi dengan
suhu sekitar 1 trilyun derajat celcius. Gumpalan superatom inilah yang nantinya meledak dan
memuntahkan seluruh isi dari alam semesta. ukuran superatom itu terus bertambah dengan sangat
cepat dan tepat pada waktu 0 detik (waktu mulainya ruang waktu), terjadilah ledakan maha dahsyat
itu. Peristiwa ini terjadi sekitar 15 milyar tahun yang lalu.

Big Bang melepaskan sejumlah besar besar energi di alam semesta yang kelak membentuk seluruh
materi alam semesta. Atom hidrogen terbentuk bersamaan saat energi dari Bing Bang meluas keluar.
Lebih dari jutaan tahun kemudian, atom hidrogen tersebut terus bertambah banyak berkumpul
membentuk debu dan awan hidrogen (nebula). Awan hidrogen tersebut makin lama makin padat
dengan temperatur jutaan derajat celcius. Awan hidrogen inilah yang menjadi bahan pembentuk
bintang-bintang di alam semesta. Setelah terbentuk banyak bintang, selanjutnya bintang tersebut
berkumpul membentuk kelompok yang kemudian disebut galaksi. Dari galaksi, lahirlah bermilyar-
milyar tata surya, salah satunya adalah terbentuk bumi yang mengelilingi matahari sebagai pusat tata
surya tersebut. Bumi awalnya terbentuk dari pecahan batu batu ruang angkasa yang mengelompok
dan berputar lama kelamaan menjadi stabil danmendingin lalu terciptanya atmostfer proses
mendinginya menyebabkan uap air terangkat dan menyebabkan hujan dan timbullah lautan,
kemudian timbulah kehidupan.

Sangiran sendiri memiliki bentang alam yang unik dari masa ke masa , sangiran disebut juga “
Sangiran Dome” yang artinya Kubah sangiran. Situs ini secara geomosfologis merupakan daerah
perbukitan dengan struktur kubah atau dome di bagian tengahnya. Struktur kubah mengalami proses
deformasi yaitu proses patahan, longsoran, dan erosi. Proses deformasi tersebut membelah kubah
sangiran dari kaki kubah sampai ke pusat kubah ditengahnya, sehingga menyingkapkan lapisan tanah
purba dengan dengan sisa – sisa kehidupan purba yang pernah ada di kawasan itu.

Lapisan tanah dari pusat kubah sampai ke bibir kubah terbagi menjadi empat formasi stratigrafi yaitu
Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh, dan Formasi Notopuro. Formasi Kalibeng
merupakan lapisan tanah tertua dan Formasi Notopuro merupakan lapisan tanah termuda.

Situs Sangiran menurut penelitian geologi muncul sejak Zaman Tersier Akhir, yaitu pada Kala Pliosen
Atas sekitar 3 juta tahun yang lalu, dan berlanjut sampai Kala Plestosen Bawah (1,8 – 0,8 juta tahun
yang lalu) dan Plestosen Tengah (0,8 – 0,18 juta tahun yang lalu).

Pada Kala Pliosen Atas (3 juta tahun yang lalu) kawasan Sangiran masih berupa lautan dalam yang
berangsur-angsur berubah menjadi laut dangkal dengan kehidupan fortaminifera dan moluska laut.
Pendangkalan berjalan terus sampai akhir Kala Pliosen. Pendangkalan akhirnya mencapai daerah
litoral. Pada saat itu diendapkan batu gamping balanus dan batu gamping korbikula. Pada beberapa
tempat lingkungan litoral tersebut membentuk lingkungan payau-payau. Sendimentasi yang
berlangsung mengendapkan satuan napal dan Formasi Kalibeng Atas. Adapun formasi ini terdiri dari
lapisan lapisan napal (marl), lapisan lempung abu-abu (biru) dari endapan laut dalam, lapisan
foraminifera dari endapan laut dangkal, lapisan balanus batu gamping, dan lapisan lahar bawah dari
endapan air payau.

Pada awal Kala Plestosen Bawah, sekitar 1,8 juta tahun lalu, terjadi letusan gunung api yang hebat.
Mungkin berasal dari Gunung Lawu purba sehingga diendapkan lahar vulkanik yag mengisi laguna
Sangiran. Letusan gunung api ini telah mengubah bentang alam menjadi laut dangkal, menandai
dimulainya perubahan lingkungan laut ke lingkungan darat, sekaligus awal dari mundurnya laut dari
Sangiran. Rawa dan hutan bakau mendominasi lanskap Sangiran hingga sekitar 0,9 juta tahun yang
lalu, dicirikan oleh endapan lempung hitam yang diistilah sebagai formasi pucangan. adapun lapisan
penyusunnya yaitu lapisan lempung hitam (kuning) dari endapan air tawar, lapisan batuan kongkresi,
lapisan lempung volkanik (tuff) (ada 14 tuff), dan lapisan batuan nodul, lapisan batuan diatome
warna kehijauan.

Pada sekitar 0,9 tahun lalu, terjadi erosi pecahan gamping pisoid dari Pegunungan Selatan yang
terletak di selatan Sangiran dan kerikil-kerikal vulkanik dari Pegunungan Kendeng di utaranya.
Material erosi tersebut menyatu di Sangiran sehingga membentuk suatu lapisan keras setebal 1-4
meter, yang disebut grenzbank alias lapisan pembatas. Pengendapan grenzbank menandai
perubahan lingkungan rawa menjadi lingkungan darat secara permanen di Sangiran.
Sekitar 0,8 juta tahun lalu, tidak lagi dijumpai rawa di Sangiran. Juga tak lagi terdapat daerah
peralihan antara laut dan darat. Manusia kekar Meganthropus paleojavanicus masih hidup dan
berdampingan hidpunya dengan Homo erectus yang lebih ramping. Kemampuan membuat alat
serpih tetap dilanjutkan.

Pada periode berikutnya terjadi letusan gunung yang hebat di sekitar Sangiran, berasal dari Gunung
Lawu, Merapi dan Merbabu purba. Letusan hebat telah memuntahkan jutaan kubik endapan pasir
vulkanik, kemudian diendapkan oleh aliran sungai yang ada di sekitarnya saat itu. Aktivitas vulkanik
tersebut tidak hanya terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi susul-menyusul dalam periode lebih
dari 500.000 tahun. Aktivitas alam ni meninggalkan endapan pasir fluvio-volkanik setebal tidak
kurang dari 40 meter, dikenal sebagai Formasi Kabuh. Lapisan ini mengindikasikan daerah Sangiran
sebagai lingkungan sungai yang luas saat itu: ada sungai utama dan ada pula cabang-cabangnya
dalam suatu lingkungan vegetasi terbuka. Salah satu sungai purba yang masih bertahan adalah Kali
Cemoro. Berbagai manusia purba yang hidup di daerah Sangiran mulai 700.000 hingga 300.000
tahun kemudian terpintal oleh aliran pasir ini. "Mereka" diendapkan pada sejumlah tempat di
Sangiran. Badak, antilop dan rusa yang ada di grenzbank masih tetap ada pada Formasi Kabuh.
Stegodon sp ditemani jenis lain, Elephas hysudrindicus dan Epileptobos groeneveldtii (banteng).
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling banyak menghasilkan fosil manusia dan binatang.

Saat itu mereka masih meneruskan tradisi pembuatan alat serpih bilah. Pada Kala Plestosen Tengah
inilah Sangiran menunjukkan lingkungan yang paling indah: hutan terbuka dengan berbagai sungai
yang mengalir, puncak dari kehidupan Homo erectus beserta lingkungan fauna dan budayanya.

Adapun lapisan penyusun fromasi ini, yaitu lapisan konglomerat, lapisan batuan grenzbank sebagai
pembatas, lapisan lempeng vulkanik (tuff) (ada 3 tuff), lapisan pasir halus silang situs, dan lapisan
pasir gravel.

Pada sekitar 250.000 tahun yang lalu, lahar vulkanik diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang
juga mengangkut material batuan andesit berukuran kerikil hingga bongkah. Pengendapan lahar ini
tampaknya berlangsung cukup singkat, sekitar 70.000 tahun.Di atasnya kemudian diendapkan lapisan
pasir vulkanik, yang saat ini menjadi bagian dari apa yang disebut Formasi Notopuro. Manusia purba
saat itu telah memanfaatkan batu-batu andesit sebagai bahan pembuatan alat-alat masif, seperti
kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, bola-bola batu dan kapak pem-belah.
Setelah pembentukan Formasi Notopuro, terjadilah pelipatan morfologi secara umum di Sangiran,
yang mengakibatkan pengangkatan Sangiran ke dalam bentuk kubah raksasa. Erosi K. Cemoro
berlangsung terus-menerus di bagian puncak kubah sehingga menghasilkan cekungan besar yang
saat ini menjadi ciri khas dari morfologi situs Sangiran.

Fauna yang paling jelas evolusinya di sangiran yang dapat di lihat adalah gajah gajah di
temukan pada formasi kabuh, yang paling tua adalah Mastodon merupakan gajah paling primitif di
antara ketiga spesies gajah Sangiran. Dengan postur fisik yang tidak berbeda jauh dengan gajah
sekarang, Mastodon memiliki dua gading di rahang atas, dan 2 gading berukuran relative kecil pada
rahang bawahnya, dan Gigi geraham Mastodon bertipe Bunodont. Mastodon adalah herbivora
pemakan daun-daun dan tunas tumbuhan yang mampu menjelajah habitat hutan yang luas.

Stegodon telah hidup dan tersebar di Asia selama Kala Pliosendan Kala Plestosen. Berbeda dengan
Mastodon, jenis Stegodon hanya memiliki sepasang gading yang tumbuh pada rahang atas, memiliki
gading berbentuk membulat dan agak melengkung, Gigi Stegodon bertipe brachyodont Ukuran
gading Stegodon sangat panjang mencapai 4 meter, sehingga jenis Stegodon memiliki badan
berukuran raksasa. Stegodon berkembang dengan baik di lingkungan hutan hujan, lingkungan yang
sama di Sangiran pada Formasi Kabuh sekitar 700.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Ketika
lingkungan di Sangiran berubah menjadi lebih terbuka, spesies ini mulai punah.
Elephas adalah gajah modern yang berbeda dengan gajah sebelumnya. Gadingnya berukuraan lebih
kecil dan lurus yang digunakan untuk menumbangkan pohon yang batang dan akarnya menjadi
bahan makanannya. Gigi Elephas bertipe hypsodont yang digunakan untuk mengunyah makanan
yang keras seperti rumput kering dan biji-bijian.

Selama 1,5 juta tahun telah terjadi 3 tingkatan evolusi Homo erectus di Jawa, Sangiran telah
memberikan bukti tentang 2 tahap evolusi yang paling tua yaitu Homo erectus arkaik (1,5-1 juta
tahun yang lalu) dan Homo erectus tipik (0,9-0,3 juta tahun yang lalu). Satu tingkatan lagi yang lebih
muda yaitu Homo erectus progresif (0,2-0,1 juta tahun yang lalu) ditemukan di luar Sangiran yaitu di
Ngandong (Blora), Sambungmacan (Sragen), dan Selopuro (Ngawi). Homo erectus Arkaik merupakan
tipe yang paling tua, ditemukan pada lapisan lempung hitam Formasi Pucangan dan grenzbank di
sangiran, serta pasir vulkanik di utara Perning (Mojokerto). Tipe ini menunjukkan tipe yang paling
arkaik dan kekar dengan volume otak sekitar 870 cc. Homo erectus Tipik lebih maju dibandingkan
dengan tipe arkaik, merupakan bagian terbanyak dari Homo erectus di Indonesia, sebagian besar
ditemukan di Sangiran, dan lainnya ditemukan di Trimil (Ngawi), Kedungbrubus (Madiun), patiayam
(Kudus), dan sejak tahun 2011 ditemukan pula di Semedo (Tegal). Konstruksi tengkoraknya lebih
ramping, meskipun dahi masih landai dan agak tonggos, Kapasitas otak sekitar 1000 cc. Homo
erectus progresif merupakan jenis yang paling maju, sebagian besar ditemukan pada endapan
alluvial di Ngandong (Blora), Selopuro (Ngawi), dan pasa endapan vulkanik di Sambungmacan
(Sragen).Volume otak sudah mencapai 1100 cc, dengan atap tengkorak yang lebih tinggi dan lebih
membundar.

Pada ruang diorama terakhir terdapat manusia purba yang unik yaitu manusia purba bertubuh kecil
yang dijuluki hobbit yang ditemukan di flores yang disebut Homo floresiensis. Homo floresiensis
adalah nama yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki
tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya
membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001.
Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi
sepinggang manusia modern (sekitar 100 cm). Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000
hingga 13.000 tahun yang lalu. Cirinya adalah mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan
rendah,berukuran kecil, dan dengan volume otak 380 cc. kapasitas cranial tersebut berada jauh di
bawah Homo Erectus ( 1000 cc ), manusia modern Homo sapiens (1400 cc), dan bahkan berada di
bawah volume otak simpanse (380 cc).

Terdapar kontroversi diantara para peneliti yang menyatakan fosil tersebut bukan dari golongan
manusia ataupun manusia, namun Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia
ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku
Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai
Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan,
yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil"). Menurut tim ini,
sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga
masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan
terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.

Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di
sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi
penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru
berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut
menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan
spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan
mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo
floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.

Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H.
sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di
Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun
patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H.
floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun
patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak
dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern,
manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta
tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda
dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal
Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan
kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.

Klaster bukuran
Museum sangiran memiliki beberapa klaster diantaranya klaster bukuran yang secara khusus
menampilkan manusia purba secara lebih detail dan rinci pada museum ini ada kejadian menarik
yang melatarbelakangi penemuan homo erectus yaitu Pada tahun 1859, Alfred Russell Wallace
menerbitkan artikel hasil penelitiannya selama di Maluku. Artikel tersebut diterbitkan di Inggris, dan
membuat Charles Darwin yang sakit-sakitan, tapi menyimpan minat yang besar kepada
perkembangan pengetahuan alam, tergugah untuk mengirimkan surat kepada Wallace.
Korespondensi keduanya pun segera terjalin dengan akrab, meskipun Charles Darwin berada di
Inggris, sedang Wallace berpindah-pindah antara Maluku, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor.
Charles Darwin kemudian mengembangkan pandangan Alfred Russell Wallace dalam karyanya yang
pertama yang menyinggung soal evolusi, Origins of Species.

Keduanya terus saling berkorespondensi ketika Wllace kembali ke Inggris tahun 1862. Alfred Russell
Wallace adalah yang pertama bersepakat dengan pandangan-pandangar Darwin tentang evolusi, dan
mendorong Darwin untuk menerbitkan karya berikutnya tentang evolusi, Descent of Man. Surat
menyurat antara keduanya menunjukkan pentingnya fakta-fakta yang ditemukan Wallace selama
berada di Kepulauan Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa merupakan pendukung bagi teori
evolusi yang dikembangkan Darwin.

Sepeninggal darwin wallace melanjutkan penelitianya untuk menemukan missing link yaitu manusia
purba berjalan tegak dugaanya mengarahkanya ke negara tropis dan bersaman dengan itu juga
adanya peneliti peneliti lain yang menemukan fosil manusia purba diantaranya Fosil Homo Erectus
pertama kali ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Nama
‘Homo Erectus’ memiliki arti ‘manusia yang berdiri tegak.’ Pada tahun itu, Dubois bersama timnya
menemukan fosil tulang paha dan tulang tempurung kepala.

Saat menemukan fosil tersebut, Dubois menamakan fosil temuannya dengan sebutan
Pithecanthropus Erectus. Dari hasil penelitian Dubois, diketahui bahwa Pithecanthropus Erectus atau
Homo Erectus merupakan manusia purba dengan rupa seperti kera namun berjalan dengan tegak.
Ia memperkirakan manusia purba tersebut memiliki volume otak antara 750 hingga 1350 cc dengan
tinggi badan sekitar 165 hingga 180 cm. Selain itu, Dubois menduga, postur tubuh manusia purba ini
berpostur tegap, namun tidak setegap meganthropus.

Perihal rupanya, Homo Erectus diperkirakan memiliki tonjolan kening yang tebal dan melintang di
dahi dari sisi ke sisi. Tak hanya itu, Dubois memperkirakan, Homo Erectus memiliki hidung yang tebal
dan wajah menonjol ke depan dengan dahi miring ke belakang.

Soal cara hidupnya, Dubois menduga bahwa manusia purba tersebut hidup dengan cara berburu
yang kemudian dikumpulkan. Hidupnya, diperkirakan, secara nomaden dari satu tempat ke tempat
lainnya.

Perkembangan manusia purba pertama kali dengan ditemukanya Fosil Australopithecus Afarensis
oleh Donald Carl Johanson, M. Taeib, dan Yves Coppens pada tahun 1974 pada lapisan pleistosen di
Lembah Hadar, Ethiopia. Sampai saat ini, sedikitnya 324 spesimen kerangka Australopithecus
Afarensis telah ditemukan di Lembah Hadar, dan 30 spesimen kerangka di Tanzania.

Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup sekitar 3.9 sampai 2.9 juta tahun yang lalu. Fosil ini
ditemukan cukup lengkap dan terdiri atas komponen tengkorak, rahang bawah, tulang anggota
badan, tulang belakang, tulang rusuk, serta tulang pinggul.

Australopithecus Afarensis dikenal dengan nama “Lucy” dan dalam Bahasa Ethiopia disebut dengan
Dinkines atau Dinkenesh yang berarti menakjubkan. Lucy sudah meninggalkan ketergantungan
kehidupan pohon, dan memulai kehidupan di tanah. Diperkirakan Lucy ini berjenis kelamin
perempuan, sehingga seringkali Lucy dijuluki sebagai ibu kemanusiaan.

Fosil ini memiliki ciri ciri Tinggi badan sekitar 120 cm, Volume otak 425 cc, Muka besar dan menonjol
ke depan, Leher kuat dan perkembangan otot nyata, Rahang kekar, Tangan panjang, Kaki pendek,
Tulang pinggul dan paha menunjukkan telah mampu berdiri tegak dan bipedal.

Kemudian Fosil Australopithecus Africanus ditemukan sekitar tahun 1924 oleh anak-anak di Taung,
Afrika Selatan. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup sekitar 3.3 sampai 2.1 juta tahun yang lalu.
Manusia purba yang satu ini sering disebut Kera dari Afrika Selatan.

Meski Australopithecus Africanus memiliki banyak kemiripan dengan kera, ilmuwan menetapkan
kalau Australopithecus Africanus resmi masuk ke dalam kategori manusia. Karena, secara anatomi
memiliki kombinasi fisik manusia dengan fisik kera. Australopithecus Africanus juga memiliki tulang
panggul, tulang paha, tangan, tulang kaki, dan bahu.

Fosil ini memiliki ciri ciri Tengkorak relatif tipis, Muka lebih besar dari ruang tengkorak, Dahi sangat
landai dengan tonjolan kening yang jelas terlihat, Volume otak sekitar 450 – 600 cc, Berat badan
sekitar 50 kg, Tinggi badan sekitar 150 cm.

Lalu fosil Fosil manusia purba jenis Australopithecus Robustus ditemukan pada tahun 1938 oleh
Robet Broom di Kromdraai dan Swaktrans, Afrika Selatan. Australopithecus Robustus diperkirakan
hidup pada 2 sampai 1 juta tahun yang lalu.

Australopithecus Robustus Memiliki postur tubu yang lebih tinggi, lebih berat, dan lebih kekar jika
dibandingkan dengan manusia purba jenis Australopithecus yang lain. Menurut para ilmuwan,
Australopithecus Robustus merupakan vegetarian yang memakan tumbuh-tumbuhan, daun, buah-
buahan, dan biji-bijian.
Fosil ini memiliki ciri Muka lebih lebar, datar, dan rendah jika dibandingkan dengan Australopithecus
yang lain, Gigi besar dan kuat, Rahang besar dan kuat, Memiliki susunan gigi taring dan gigi seri yang
teratur, Ukuran prageraham dan geraham jauh lebih besar dari gigi taring dan gigi seri, dan adanya
igir yang memanjang pada atap tengkorak yang menjadi pertautan otot otot utama pengunyah dari
parietal.

Kemudian fosil Australopithecus boisei yang mempunyai ciri fisik yang hampir sama dengan
Australopithecus robustus dengan tinggi badan sekitar 140 cm pada jenis laki-laki dan sekitar 130 cm
pada jenis perempuan. Sebaran temuan Australopithecus boisei berada di Afrika bagian timur,
sementara Australopithecus robustus mendiami kawasan Afrika sebelah barat. Dapat dipastikan
bahwa Australopithecus boisei dan Australopithecus robustus bukanlah spesies yang menghasilkan
manusia saat itu.

Kedua spesies ini tidak mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan lingkungan, dan juga
mereka tidak mampu membuat dan menggunakan perkakas. Hal ini yang menyebabkan mereka
akhirnya punah.

Fosil ini memiliki ciri struktur kepala dan tubuhnya sangat kekar, dengan punggungan tulang yang
besar dipuncak kepala, otot otot rahang kuat , wajah lebar dan gigi terutama graham 4 kali lebih
besar dari manusia modern. Enamel giginya paling tebal diantara hominim lain. Pemakan buah
buahan dan hidup sekitar 1.100.000 tahun yang lalu.

Lalu fosil Homo habilis merupakan manusia purba paling awal muncul dalam genus homo. Homo
habilis tinggal di bumi sekitar 2,4 juta tahun sampai dengan 1,65 juta tahun lalu pada masa awal
Pleistosen. Manusia purba homo habilis ini memiliki tempurung otak yang sedikit lebih besar
dibandingkan spesies hominin yang lebih tua. Akan tetapi, memiliki gigi yang lebih kecil dan geraham
yang kuat untuk beradaptasi dengan makanan bertekstur keras untuk dikonsumsi.

Penemuan fosil homo habilis ditemukan oleh tim yang dipimpin ilmuwan Louis dan Mary Leakey
pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1963 Olduvai Gorge di Tanzania, Afrika Timur. Homo
habilis(dari bahasa Latin yang berarti "manusia yang pandai dalam menggunakan tangannya") karena
manusia purba ini telah mampu membuat peralatan yang terbuat dari batu. Terdapat bukti yang
menunjukkan temuan hasil budaya yang mereka ciptakan disamping fosil mereka dan peralatan batu
yang tertua dari bukti paling tua dalam genus Homo.

Penampilan Homo Habilis memiliki tubuh relatif pendek dan mempunyai lengan panjang mirip
seperti kera yang kebayakan ditumbuhi rambut disekujur badannya dan memiliki tulang tempurung
otak yang lebih besar dibandingkan Australopithecus atau spesies hominin yang lebih tua.

Memiliki ciri Tinggi badan 118 cm sampai 157 cm, Tempurung otak sedikit lebih besar dibandingkan
spesies hominin lain, Bentuk tangan seperti manusia modern, Tangan lebih panjang dari manusia
modern.

Kemudian fosil Homo Rudolfensis adalah fosil hominin yang ditemukan pada tahun 1973 oleh
Bernard Ngeneo, seorang anggota tim antropolog Richard Leakey dan zoolog Meave Leakey di Danau
Rudolf (sekarang Danau Turkana), Kenya. Diperkirakan bahwa manusia purba jenis Homo Rudolfensis
hidup pada 1.9 sampai 1.8 tahun yang lalu.Fosil ini memiliki ciri Volume otak sekitar 775 cc,
Berbadan tegap, Wajah datar dan panjang, Berusia 2.4 juta tahun.

Setelah itu fosil Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus Paleojavanicus) adalah manusia purba jenis
Homo Erectus yang pertama kali ditemukan. Manusia purba ini diberi nama Pithecanthropus Erectus
oleh penemunya yaitu Eugene Dubois, ditemukan pada tahun 1891 di Ngawi. Nama tersebut berasal
dari Bahasa Yunani dan Latin yang berarti Manusia Kera Yang Dapat Berdiri. Diperkirakan bahwa
Pithecanthropus Erectus hidup antara 1 juta sampai 500 ribu tahun yang lalu.

Cirinya Volume otak sekitar 900 cc, Bagian ubun-ubun pendek, Belakang kepala menonjol,
Mempunyai tonjolan di bagian kening, Tulang pipi tebal, Tinggi badan 165 sampai 180 cm, Berat
badan sekitar 80 sampai 110 kg, Postur tubuh tegap, Bentuk wajah menyerupai kera, Hidung tebal,
Mulut menonjol, Gigi dan rahang besar dan kuat, Mempunyai dagu yang kecil.

Berikutnya fosil Homo Sapiens adalah jenis manusia purba memiliki bentuk tubuh persis seperti
manusia sekarang. Selain karena bentuk tubuhnya, Homo Sapiens disebut sebagai cikal bakal
manusia modern karena ia juga dianggap telah memiliki akal. Kendati begitu, manusia purba yang
hidup di zaman batu muda ini (100.000 - 50.000 tahun yang lalu) masih hidup secara sederhana
sehingga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan berburu dan meramu. Berikut di artikel kali ini kita akan
membahas lebih lanjut tentang ciri ciri Homo Sapiens ini lengkap dengan corak kehidupannya.

Cirinya berdiri dan berjalan tegak, volume otak 1.000 – 1.200, tinggi 130 -210 cm, Otot tengkuk
mengalami penyusutan, Gigi dan alat kunyah mengalami penyusutan, Muka tidak menonjol ke
depan, Memiliki dagu dan tulang rahang yang tidak terlalu kuat.

Selanjutnya Fosil spesies Homo Neanderthalensis pertama kali ditemukan di Lembah Neander,
Jerman. Homo Neanderthal diperkirakan hidup pada sekitar 300 ribu tahun yang lalu. Dalam
klasifikasi ilmiah, Homo Neanderthal ini termasuk dalam spesies Homo Sapiens.

Nama Homo Neanderthalensis diambil dari tempat pertama kalinya fosil manusia purba jenis ini
ditemukan, yaitu Neander. Sedangkan “thal” merupakan kata yang berasal dari Bahasa Jerman “tal”
yang mempunyai arti Lembah. Kemudian ditambahkan “h” yang digunakan untuk penamaan yang
umum. Jadi, arti dari Homo Neanderthal adalah “Manusia Purba dari Lembah Neander”. Cirinya
Tulang tengkorak lebar,Tubuh pendek, Wajah lebar, Rentang tangan pendek, Hidung lebar.

Dan fosil Cro-Magnon, yang ada sekitar 60.000 hingga 8.000 tahun yang lalu, meskipun, sekali lagi,
tanggal ini bervariasi tergantung pada temuan arkeologi saat ini. Mereka lebih maju melampaui
Neanderthal dalam keterampilan teknologi dan inovasi.

Para Cro-Magnon mengembangkan pisau, pahat, tombak-pelempar, busur dan anak panah,
membuat perburuan jauh lebih mudah daripada sebelumnya. Mereka mengembangkan peralatan
dari tulang dalam bentuk jarum, kait ikan, dan tombak, serta jala dan perahu, yang kesemuanya
menambahkan ikan di dalam pola makan mereka.

Bentuk pakaian juga mengalami peningkatan, Para Cro-Magnon menciptakan pakaian kulit yang
dijahit. Di area persediaan makanan mereka membuat tembikar (cara mengeraskan tembikar
tersebut dengan bantuan matahari), yang memungkinkan untuk penyimpanan makanan yang lebih
baik. Sosialitas dari Cro-Magnon juga maju pesat. Mereka berpartisipasi di dalam permainan dengan
skala besar, pertandingan berburu yang besar -sangat besar, seperti perburuan mammoth berbulu!
Mereka memilih pemimpin formal, yang biasanya mendapatkan pemakaman tipe khusus.

Keberadaan fosil manusia purba di indonesia tak lepas dari beberapa teori salah satunya Teori yang
sering juga disebut sebagai Replacement Theory menganggap bahwa Homo erectus tertentu di Afrika
adalah nenek moyang manusia modern. Model ini mengatakan bahwa manusia modern ini
berevolusi di suatu daerah di Afrika kemudian para keturunannya bergerak dengan cepat ke seluruh
pelosok dunia, menggantikan populasi yang telah ada sebelumnya.
Di Afrikalah jalur Homo sapiens dilahirkan, dan sejak saat itu mereka keluar dan Afrika dalam
berbagai gelombang migrasi, mendiami sudut-sudut dunia yang belum terjangkau sebelumnya.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah Homo sapiens paling awal hanya ada di Afrika, dan bentuk-
bentuk peralihan dari Homo erectus menjadi Homo sapiens hanya ditemukan di Afrika juga. Bentuk-
bentuk Homo sapiens awal di luar Afrika hanya dianggap sebagai spesies terpisah yang kemudian
punah.

Anda mungkin juga menyukai