REAKSI ANAFILAKSIS
Penulis:
Pande Made Indra Premana (1102005135)
dr. Ketut Suardamana,Sp.PD-KAI
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya
maka laporan penelitian yang mengambil topik “Reaksi Anafilaksis .” ini dapat selesai
pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian laporan pengalaman belajar lapangan ini.
Laporan Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ketut Suardamana,Sp.PD-KAI selaku penulis 2 sekaligus penguji dalam
pembuatan laporan ini.
2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan,
sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk
diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat yang tidak
dikehendaki yang disebut sebagai efek samping. Reaksi anafilaktik merupakan salah satu
contoh efek samping yang potensial berbahaya. Gatal-gatal karena alergi obat dan
mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek samping
yang ringan. Diperkirakan efek samping terjadi pada 6 sampai 15 % pasien yang dirawat di
rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10 % dari efek samping.1
Alergi merupakan suatu kondisi hipersensitivitas yang terjadi akibat adanya
paparan terhadap faktor-faktor penyebab alergi yang disebut alergen. Kondisi alergi
ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu, mual, muntah, hingga
sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian. Efek paparan tersebut bervariasi dari
satu individu terhadap individu lainnya.1
Anafilaksis atau syok anafilaktik merupakan suatu kondisi reaksi hipersentivitas
sistemik, akut, yang mengancam nyawa Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi
alergi obat. Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, tetapi umumtya para
pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dapat
mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh alergen
atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi
disebut sebagai reaksi anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik
dinamakan reaksi anafilaktoid tetapi karena baik gejala yang timbul maupun
pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai
anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan manakala mencari penyebab anafilaksis dan
merencanakan penatalaksanaan lanjutan.1
Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-tiba, tidak
terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi
keadaan tersebut sangat diperlukan.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun
yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.1
Anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti
perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylasis),
justru merusak jaringan dengan kata lainkebalikandari pada melindungi (anti-phylasis atau
anaphylaxis).2,3
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi.3,4
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak
dilaporkan.Kematian akibat reaksi anafilaksis hebat diperkirakan terjadi 0,4
kasus per juta penduduk per tahun.5
Dalam bidang anastesi kejadian reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi 1 per 5000
kasus sampai 1 per 25.000 kasus per tahun.5
Di Amerika Serikat, diperkirakan 1-2 pasien yang disuntik penisilin mengalami
reaksi anafilaksis dan sekitar 400-800 orang diantaranya diantaranya meninggal per tahun.
Reaksi anafilaktoid oleh zat kontras sekitar 5% dari pengguna dan sekitar 250-1000 orang
diantaranya meninggal pertahun.5
Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada datayang
akurat. Diperkirakan 1/5 sampai 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi
makanan.5
Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi
atau reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras, jenis kelamin,
2
umur atau musim. Dilaporkan reaksi anafilaksis karena susu dan telur lebih sering pada
anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa.5
2.3 Etiologi
Terdapat beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,
yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di
golongkan.1
2.4 Patofisiologi
Hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaksis terjadi dalam reaksi jaringan terjadi
dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan
kejadian anafilaksis adalah sebagai berikut:1,6
3
Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I6
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali
hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara
sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria, dan eritema
kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik atau kondisi syok anafilaktik, dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma
merupakan contoh reaksi anafilaktik yang terlokalisasi.
4
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dicurigai dikendalikan secara
genetik dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap
reaksi alergi terlokalisir tersebut.
(Anafilaktik)
Tipe II IgM dan IgG terhadap - Opsonisasi & fagositosis sel
permukaan sel atau
- Inflamasi yang diperantarai
(Sitolitik) matriks antigen
ekstraseluler komplemen dan Fc Receptor
- Disfungsi sel yang diperantarai
oleh antibody
Tipe III Kompleks imun Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
(antigen dalam pengaruh komplemen dan Fc Receptor
(Kompleks Imun) sirkulasi dan IgM atau
IgG)
Tipe IV CD4+ (DTH) dan - Aktivasi makrofag, inflamasi atas
CD8+ (CTL)
pengaruh sitokin
(Limfosit T)
- Tipe IV A - Membunuh sel sasaran direk,
- Tipe IV B inflamasi atas pengaruh sitokin
5
IV Limfosit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan Tuberkulosis,
sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T dermatitis kontak,
penolakan tubuh atas
transplantasi
6
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema
terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling
sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi
apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain
itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.4,7
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi
hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),
kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan
kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.4,7
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis selsentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme
otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang-kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,7
7
diketahui. Tes ini telah dikembangkan untuk penisilin, insulin, chymopapain, muscle
relaxan, thiopental, protamine, dan lateks.1
Tes provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan adanya alergi
obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan ketat dan alat bantu resusitasi yang
tersedia.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan farmakologis seperti pemberian epinephrine intravena pada pasien
rekasi anafilaksis tidak boleh ditunda. Pemberian epinephrine pertama diberikan 0,01
ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit
sampai 3-4 kali. Seandainnya kondisi semakin memburuk atau memang kondisinya sudah
buruk, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler dan bisa dinaikan sampai 0,5 ml
selama pasien diketahui tidak mengidap penyakit jantung.1
Antihistamin dan kortikosteroid juga dapat diberikan. Antihistamin pada fase akut
dapat menghilangkan pruritus, misalnya dipenhydramin 25-50 mg intravena secara
perlahan-lahan. Kortikosteroid tidak bermanfaat pada fase akut, tetapi bermanfaat pada
8
syok yang berkepanjangan dan penyempitan saluran nafas, dapat diberikan
7
metilprednisolon 125 mg intravena.
Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan
terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1) Sistem pernapasan yang lancar,
sehingga oksigenasi berjalan baik; 2) Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik
sehingga perfusi jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada
sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu
diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada
anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.1
9
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Mata bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang sadar ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 8 April 2016 diantar oleh
orang tuanya dengan keluhan mata bengkak yang disadari saat masuk rumah sakit.
Bengkak dikatakan muncul mendadak, dan dirasakan pada kedua kelopak mata. Tidak
ada faktor yang memperberat dan memperingan bengkak yang dialami pasien. Pasien
juga mengeluh badan gatal dan sesak.
Pasien mengeluhkan gatal pada kedua lengan dan tungkai, gatal dirasakan
bersamaan dengan bengkak yang dialami oleh pasien dan dirasakan terus menerus.
Rasa gatal membaik ketika pasien menggaruknya dengan menggunakan tangan, gatal
juga disertai dengan kulit yang berwarna kemerahan.
Pasien juga mengatakan mengalami rasa sesak seperti tertekan di dada, sesak sudah
mulai dirasakan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, sesak dirasakan tidak terlalu
berat dan tidak membaik dengan perubahan posisi.
Sebelumnya pasien datang dengan keluhan demam. Demam dirasakan timbul 3 jam
SMRS. Keluhan demam saat itu disertai nyeri kepala dan batuk. Demam dikatakan
10
tidak membaik dengan pemberian paracetamol sehingga pasien memutuskan untuk
datang ke UGD RSUP Sanglah. Saat di fastrek pasien mendapatkan injeksi
metamizole. Beberapa saat kemudian dikatakan mata pasien mulai bengkak dan badan
pasien terasa gatal. Keluhan lain seperti mual dan muntah disangkal. BAB dan BAK
dikatakan normal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengatakan 3 jam SMRS mengkonsumsi sulfa dan parasetamol dirumah
untuk menurunkan demamnya. Saat di Fastrek pasien diberikan injeksi metamizole.
Konsumsi obat-obatan lain disangkal.
Ayah pasien dikatakan memiliki riwayat alergi terhadap daging ayam. Adik kembar
pasien dikatakan juga memiliki alergi terhadap telur dengan gejala yang sama.
Riwayat penyakit lain di keluarga seperti asma, hipertensi, jantung dan diabetes
melitus disangkal.
Pasien saat ini merupakan seorang pelajar SMK kelas 1. Pasien belum menikah.
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal oleh pasien.
11
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 84x/menit, regular, isi cukup
Laju respirasi : 22x/menit, regular
Suhu aksila : 370C
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 165 cm
Indeks massa tubuh : 22,05 kg/m2
Status General
a. Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra +/+
b. THT
- Telinga : bentuk normal, tanda radang (-/-), bekas luka (-)
- Hidung : bentuk normal, tanda radang (-), ekskoriasi (-), kongesti (-)
- Tenggorok : tonsil (T1/T1), faring hiperemis (+)
c. Mulut : sianosis (-), atrofi lidah (-),
d. Leher : kesan tenang, pembesaran kelenjar (-)
e. Thoraks : simetris
Cor
- Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis
- Palpasi : iktus kordis teraba pada MCL S ICS V, kuat angkat (-)
- Perkusi : batas atas jantung pada ICS II
batas bawah jantung pada MCL sinistra
batas kanan jantung pada PSL dekstra
- Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
- Inspeksi : simetris pada saat statis dan dinamik
- Palpasi : taktile fremitus N N
N N
N N
12
sonor sonor
f. Abdomen
- Inspeksi : distensi (-), meteorismus (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani
- Palpasi : nyeri tekan (-)
Hepar dan lien tidak teraba
g. Ekstremitas : hangat + + edema - -
+ + - -
Makula dan papula eritema di regio antebrachii D et S dan regio
cruris D et S
Status General
a. Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-),
b. THT
Telinga : bentuk normal, tanda radang (-/-), bekas luka (-)
13
Hidung : bentuk normal, tanda radang (-), ekskoriasi (-), kongesti (-)
Tenggorok : tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-)
c. Mulut : sianosis (-), atrofi lidah (-),
d. Leher : kesan tenang, pembesaran kelenjar (-)
e. Thoraks : simetris
Cor
Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : iktus kordis teraba pada MCL S ICS V, kuat angkat (-)
Perkusi : batas atas jantung pada ICS II
1. batas bawah jantung pada MCL sinistra
2. batas kanan jantung pada PSL dekstra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris pada saat statis dan dinamik
Palpasi : taktile fremitus N N
N N
N N
14
Darah lengkap (9/4/2016)
Parameter 9/4/16 10/4/16 Satuan Referensi
WBC 13,95 4,67 103/μL 4.10-11.0
%Neutrofil 96,25 81,41 % 47.00-80.00
%Limfosit 1,54 10,06 % 13.00-40.00
%Monosit 2,00 7,58 % 2.00-11.00
%Eosinofil 0,01 0,05 % 0.00-5.00
%Basofil 0,20 0,90 % 0.00-2.00
3
#Neutrofil 13,43 3,81 10 /μL 2.50-7.50
#Limfosit 0,22 0,47 103/μL 1.00-4.00
#Monosit 0,28 0,35 103/μL 0.10-1.20
#Eosinofil 0,00 0,00 103/μL 0.00-0.50
#Basofil 00,028 0,042 103/μL 0.00-0.10
RBC 5,12 5,46 103/μL 4.0-5.2
HBG 13,4 14,07 g/dL 13.5-17.5
HCT 42,89 45,29 % 41.0-53.0
MCV 83,84 82,99 fL 80.00-100.00
MCH 26,19 25,78 pg 26.00-34.00
MCHC 31,24 31,07 g/dL 31.00-36.00
RDW 12,09 11,87 % 11.6-14.8
PLT 278,50 169,6 103/μL 150.00-440.00
MPV 6,10 5,94 fL 6.80-10.0
Urinalisis (10/4/2016)
PARAMETER 21 Feb SATUAN RUJUKAN
URINE LENGKAP
pH 6.5 (R) - 5-8
Leukocyte Negatif Leu/uL Negatif
Nitrite Negatif - Negatif
Protein Negatif mg/dL Negatif
Glucose Normal mg/dL Normal
Ketone Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen Normal mg/dL 1 mg/dL
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Erythrocyte Negatif ery/uL Negatif
Specific Gravity 1,005 1,005-1,020
Colour colorless p.yellow-yellow
SEDIMEN URIN
Leukosit 1,80 /uL <5,8
Leukosit sedimen 0,30 /HPF <2
Eritrosit 11,10 /uL <6,4
Eritrosit Sedimen 2,0 /HPF <1
Gepeng Bahan Belum --
15
Bulat Bahan Belum
Kristal Bahan Belum --
Immunoserologi (9/4/2016)
TES Hasil Satuan Nilai Rujukan
IgE Total >1000,00 <150
Thorax Foto ( 9 April 2016 )
Foto : AP
Cor : Besar dan bentuk kesan normal
Pulmo: tak tampak infiltrate pada kedua
lapang paru
Sinus pleura: kanan kiri tajam.
Diaphragma kanan kiri normal.
Tulang-tulang: Tidak tampak kelainan
Kesan :
Normal
3.6 Diagnosis
1. Reaksi anafilaksis e.c susp. Drug (Sulfa, metamizole, paracetamol)
2. Obs. Febris H-3 e.c Susp Bacterial dd/ Viral infection
3.7 Penatalaksanaan
MRS
Diet (Hindari udang, telur, bumbu jadi & ikan laut)
O2 nasal canule 4 lpm
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
16
Dipenhydramine 1 amp I.M → Cetirizine tab 1 x 10 mg PO
Adrenaline 0,3cc I.M
Ventolin nebulizer @6 jam
Methylprednisolone 125 mg I.V → Methylprednisolone 62,5mg @12 jam I.V
Planning diagnostic:
Skin Prick test
17
BAB IV
KUNJUNGAN RUMAH
18
Pemenuhan nutrisi harian pasien ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Pola Makan Pasien beserta Jadwalnya
Jenis Jumlah Jadwal/hari Jadwal/minggu
Karbohidrat
Nasi 1 piring 2 kali 14 kali
Roti 1 potong 1 kali 7 kali
Mie - - 3 kali
Lainnya - - -
Protein
Hewani
Ayam 1 potong - 3 kali
Telur 1 butir - 3 kali
Ikan laut - - -
Babi - - -
Sapi - - -
Kambing - - -
Nabati -
Tahu 1 potong 2 kali 14 kali
Tempe 1 potong 2 kali 14 kali
Susu - - -
Buah 1 buah 1 kali 7 kali
Sayur ¼ piring 2 kali 14 kali
Lainnya - - -
Menurut pengakuan dari pasien, sehari-harinya pasien makan dengan frekuensi 2 kali
per hari. Komposisi makanan setiap kali makan dikatakan tidak selalu sama, bergantung
pada makanan yang tersedia ketika itu. Adapun gambaran umum menu untuk masing-
masing jadwal makan pasien, sebagai berikut:
a. Makan siang : Nasi, tahu/tempe, sayur, dan daging
b. Makan malam : Nasi, tahu/tempe/telur, sayur, dan daging
Sesekali di antara waktu makan besar, pasien suka mengonsumsi buah-buahan bergantung
dari buah apa yang tersedia ketika itu. Pasien juga terkadang makan satu potong roti di
sela-sela waktu makan besar
19
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien, diperoleh bahwa
berat badan pasien saat ini adalah 60 kg dan termasuk dalam rentang berat badan ideal.
Selanjutknya dilakukan penghitungan total kebutuhan kalori pasien per hari yang
didasarkan atas kebutuhan kalori basal dan koreksi sesuai dengan kondisi pasien.
1. Kebutuhan kalori basal (jenis kelamin: pria)
= berat badan (kg) x 30 kalori/kgBB
= 60 kg x 30 kalori/kg
= 1800 kkal
2. Koreksi
a. Kebutuhan aktivitas sehingga ditambah 10% dari kebutuhan basal
= 10% x 1800 kkal
= 180 kkal
Total kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu:
= kebutuhan basal + koreksi tingkat aktivitas
= 1800 kkal + 180 kkal
= 1980 kkal
Distribusi makanan:
- Karbohidrat 60% = 60% x 1980 kalori
= 1188 kalori
Karbohidrat dibutuhkan sebesar 1188 kalori setara dengan 297 gram karbohidrat (1188
kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
- Protein 20% = 20% x 1980 kalori
= 396 kalori
Protein dibutuhkan sebesar 396 kalori setara dengan 99 gram protein (396 kalori : 4
kalori/gram protein).
- Lemak 20% = 20% x 1980 kalori
= 396 kalori
Lemak dibutuhkan sebesar 235 kalori setara dengan 44 gram lemak (396 kalori : 9
kalori/gram lemak).
20
Dengan penghitungan tersebut, maka dicoba untuk memberikan suatu gambaran pola
makanan yang mencakup jenis makanan dan jumlah makanan. Pemilihan jenis makanan
disesuaikan dengan makanan yang tersedia dan terjangkau bagi pasien. Pemilihan makanan
juga disesuaikan yaitu dengan menghindari makanan yang dapat menimbulkan reaksi
alergi pada pasien dimana menurut keterangan pasien bahwa ia mempunyai alergi terhadap
telur.
Tabel 2. Jenis Pilihan Makanan
Waktu
Karbohidrat Protein Lemak
Makan
Makan Pagi Roti putih tawar: 3 Protein hewani Hati ayam 1 buah
iris Ayam tanpa kulit 1 sedang
Nasi putih: 1 gelas potong besar Bebek ½ potong
Singkong: 1,5 Protein Nabati sedang
potong Kacang hijau 1,5 sdm Daging ayam
Mi basah : 2 gelas Kacang tanah 1,5 sdm dengan kulit ½
Biskuit: 4 buah Tahu 1 potong besar ptng sedang
besar Tempe 1,5 potong
+ sedang
Jeruk manis 1
buah
21
buah Tempe 2 potong
1. A sedang
kses pelayanan kesehatan
Pasien tinggal di Jalan Tukad Buaji Gang Tegalsari no. 4 dengan akses ke pelayanan
kesehatan yang cukup terjangkau karena dekat dengan beberapa rumah sakit. Selain
itu, pasien juga tinggal bersama keluarganya yang dapat mengantarkannya ke pusat
layanan kesehatan apabila sakit. Biasanya, pasien mengaku lebih sering berobat
praktik bidan swasta yang bertempat di dekat rumah apabila sakit.
2. Lingkungan
Pasien tinggal bersama keluarganya yang beralamat di Jalan Tukad Buaji Gang
Tegalsari no.4. Rumah pasien berada dalam gang dengan akses jalan masuk yang baik.
Kamar pasien berada di lantai 2 rumah dengan luas 4m x 8m. Terdapat satu tempat
tidur, satu lemari, tv, dan ac. Ventilasi udara di kamar pasien cukup baik. Secara
keseluruhan kamar pasien terkesan rapi dan bersih. Pasien mengatakan bahwa
kamarnya rutin dibersihkan oleh ibunya karena pasien mengatakan mempunyai alergi
debu. Kamar mandi pasien berada di sebelah kamar pasien dan dapur berada di lantai
satu. Air yang digunakan berasal dari air PDAM dan listrik berasal dari PLN. Air
limbahnya dibuang ke septic tank. Secara umum keadaan lingkungan tempat tinggal
pasien bersih. Lingkungan tempat tinggal pasien termasuk dalam lingkungan padat
penduduk.
22
riwayat alergi obat. Kejadian reaksi anafilaksis pada pasien merupakan yang pertama.
Ketika pasien mengeluhkan demam, pusing, atau misalkan sakit tenggorokan, pasien
biasanya membeli panadol di apotik atau jika pasien berobat ke praktek bidan swasta,
pasien diberikan paracetamol dan antibiotik golongan sulfa, namun tidak pernah
sampai mengalami reaksi anafilaksis.
2. Lingkungan psikososial
Karena hipersensitivitas yang dialami pasien memiliki kecenderungan untuk kambuh
ketika terjadi paparan maka harus diupayakan agar pasien tetap menjaga pola makan,
menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat memicu alerginya. Untuk mencapai
hal tersebut diperlukan kesadaran diri sendiri pasien serta dukungan dari keluarga.
Hubungan pasien cukup dekat dengan ibunya sehingga ibu pasien juga perlu ikut
mengingatkan pasien untuk menghindari makanan dan obat yang dapat menimbulkan
reaksi alerginya.
23
d. Penatalaksanaan terbaik dari hipersensitivitas adalah dengan menghindari alergen
karena bila terpapar kemudian terjadi reaksi, terutama syok anafilaktik maka
pertolongan harus segera diberikan karena mengancam nyawa pasien.
2. Pada pasien ini reaksi anafilaksis yang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit
kemungkinan dicetuskan oleh karena obat injeksi metamizole. Oleh karenanya pasien
harus mengingat nama dan jenis obatnya dan menghindari penggunaan obat tersebut
agar tidak terjadi reaksi anafilaksis di kemudian hari. Selain itu pasien juga
mengatakan alergi terhadap telur sehingga perlu juga menghindari makanan tersebut.
3. Pasien disarankan untuk mengenali hal-hal lain yang dapat memicu timbulnya reaksi
alergi.
4.5 Denah Rumah Pasien
Kamar Kamar
mandi mandi
Kamar
pasien
dan adik Kamar
Dapur
pasien orang tua
pasien
Lantai 2
Kamar
Ruang kakak
Merajan Tamu pasien
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen masuk dalam sirkulasi. Angka
kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan,diperkirakan terjadi 0,4
kasus per juta penduduk per tahun. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka
yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Dilaporkan reaksi
anafilaksis karena susu dan telur lebih sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid
karena zat kontras lebih sering pada orang dewasa. Terdapat beberapa golongan alergen
yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun
serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Gejala dari reaksi anafilaksis dapat melibatkan dua atau lebih organ tubuh, seperti
kulit kemerahan, terasa hangat, dan gatal, pembengkakan periorbital, bersin-bersin, sesak,
muntah, dan diare. Penatalaksanaan farmakologis seperti pemberian epinephrine intravena
pada pasien rekasi anafilaksis tidak boleh ditunda. Antihistamin dan kortikosteroid juga
dapat diberikan. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus. Kortikosteroid
bermanfaat pada syok yang berkepanjangan dan penyempitan saluran nafas. Pencegahan
terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik. Untuk mengetahui secara
pasti alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas dapat dilakukan uji cukit
(Skin Prick Test) agar dapat menghindari paparan alergen yang berpotensi tersebut.
25
Pasien tidak memiliki kesulitan untuk akses ke pelayanan kesehatan, karena jarak
antara rumah pasien dengan beberapa rumah sakit cukup dekat. Pasien juga tinggal
bersama keluarganya yang dapat mengantar apabila pasien sakit. Dari faktor genetik,
pasien memang memiliki kecenderungan untuk menderita hipersensitivitas karena ayah
pasien juga mempunyai riwayat alergi makanan yaitu ayam, kakak pasien mempunyai
alergi terhadap debu dan saudara kembarnya juga mempunyai alergi terhadap telur. Hanya
saja, pasien masih kurang memahami cara-cara untuk menghindari munculnya reaksi
hipersensitivitas dan terkadang pasien sering mengkonsumsi makanan yang memicu reaksi
alergi pada tubuhnya. Pasien juga mengatakan jarang melakukan pengobatan apabila ia
mengalami rasa gatal karena alergi.
Pada pasien dan keluarga tidak mempunyai riwayat alergi obat. Kejadian reaksi
anafilaksis pada pasien merupakan yang pertama. Ketika pasien mengeluhkan demam,
pusing, atau misalkan sakit tenggorokan, pasien biasanya membeli panadol di apotik atau
jika pasien berobat ke praktek bidan swasta, pasien diberikan paracetamol dan antibiotik
golongan sulfa, namun tidak pernah sampai mengalami reaksi anafilaksis.
Pada saat kunjungan telah diberikan saran dan KIE kepada pasien dan keluarga
mengenai reaksi anafilaksis, yaitu perjalanan penyakitnya, gejala-gejala yang dapat
muncul, faktor-faktor pencetus, serta pencegahannya.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi N. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009: 257-261
2.Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.p.370-
83
4. Akib APA, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi Edisi Kedua. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. 207-223
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Dalam RSUP Denpasar. 2013. Denpasar: Lab /
SMF Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Denpasar Bali.
8. Sampson HA, dkk. Clinical Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2008.
27