Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Halusinasi

2.1.1. Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal dan rangsangan eksternal. Klien memberi 5 pendapat tentang

lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien

mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara

(Kusumawati, 2010)

Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa ada

input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow (2007),

mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-kejadian

yang tidak mendasar pada kejadian eksternal (Pieter, Herri Zan, Bethsaida

Janiwarti dan Marti Saragih, 2011)

2.1.2. Jenis Halusinasi

Jenis halusinasi menurut Cancro dan Lehman dalam Videbeck (2008) yaitu

halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, taktil, kinestetik

atau gerakan. Stuart (2007) mengatakan bahwa halusinasi dapat terjadi pada salah

satu dari 5 modalitas sensosi utama penglihatan, pendengaran, bau, rasa, dan

perabaan persepsi terhadap stimulus eksternal dimana stimulus tersebut

sebenarnya tidak ada. Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang paling

sering terjadi. Penelitian Sousa (2007) menyebutkan bahwa tipe halusinasi yang

Universitas Sumatera Utara


8

sering muncul adalah halusinasi pendengaran sebanyak 69,23%, diikuti dengan

halusinasi penglihatan sebesar 8,59 %, selanjutnya halusinasi taktil sebesar

5,72%, dan sisanya halusinasi tipe lain. Maka halusinasi dapat terjadi berupa

stimuluspalsu terhadap seluruh panca indera, tetapi yang paling banyak terjadi

adalah halusinasi pendengaran(Yusnipah, 2012).

Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi,

pertama, halusinasi pendengaran, dimana orang mendengar suara-suara, musik

dan lain-lain yang sebenrnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering muncul

dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Halusinasi

kedua yang sering muncul adalah halusinasi penglihatan, seringkali berbarengan

dengan halusinasi pendengaran. Selanjutnya halusinasi perabaan, melibatkan

persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi diluar tubuh seseorang. Selanjutnya

halusinasi somatis, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi didalam diri

seseorang, halusinasi ini seringkali sangat hebat dan menakutkan (Wiramihardja,

2007)

2.1.3. Tanda dan Gejala

Klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi dapat memperlihatkan

berbagai manifestasi klinis yang bisa kita amati dalam perilaku mereka sehari-

hari. Menurut NANDA (2010), tanda dan gejala halusinasi meliputi: konsentrasi

kurang, selalu berubah respon dari rangsangan, kegelisahan, perubahan sensori

akut, mudah tersinggung, disorientasi waktu, tempat, dan orang, perubahan

kemampuan pemecahan masalah, perubahan pola perilaku. Bicara dan tertawa

sendiri, mengatakan melihat dan mendengar sesuatu padahal objek sebenarnya

Universitas Sumatera Utara


9

tidak ada, menarik diri, mondar-mandir, dan mengganggu lingkungan juga sering

ditemui pada pasien dengan halusinasi. Individu terkadang sulit untuk berpikir

dan mengambil keputusan. Banyak dari mereka yang justru mengganggu

lingkungan karena perilakunya itu. Pasien halusinasi biasanya dibawa ke rumah

sakit dalam kondisi akut yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa

sendiri, berteriak-teriak, keluyuran, dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila keluarga mengetahui tanda dan

gejala awal dari halusinasi (Yusnipah, 2012).

2.1.4. Patofisiologi Halusinasi

Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis (2004), halusinasi dapat

didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak

terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien

merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, bisa juga berupa suara-suara

bising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata- kata yang tersusun

dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien

menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa berasal dari dalam

diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat memerintahkan sesuatu

pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri, klien merasa yakin bahwa

suara itu dari Tuhan, sahabat dan musuh (Rahmawati, 2014).

Terjadinya Halusinasi dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor

presipitasi.Menurut Dermawan dan Rusdi (2013), faktor predisposisi yang

mempengaruhi masalah halusinasi yaitu; faktor biologis, faktor psikologis, faktor

sosial budaya.Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan

Universitas Sumatera Utara


10

halusinasi adalah faktor biologis, stress lingkungan, pemicu gejala dan sumber

koping (Rahmawati, 2014).

Menurut Stuart & Laraia (2005) dalam Suwardiman (2011), proses

halusinasi terjadi melalui empat tahapan, antara lain :

1) Tahap dirasakan oleh klien sebagai pengalaman yang memberi rasa

nyaman, dengan perilaku yang sering ditampilkan pada tahapan ini adalah

tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan

mata yang cepat, respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.

2) Tahap menyalahkan, pada tahap ini dikarakteristikan sebagai pengalaman

sensori dan isolasi diri.

3) Tahap mengontrol, perilaku yang ditampilkan pada tahap ini adalah

perintah halusinasi dituruti, sulit berhubungan dengan orang lain, dan

rentang perhatian hanya beberapa detik.

4) Tahap menguasai, perilaku yang sering dimunculkan pada tahap ini adalah

perilaku panik, perilaku mencederai diri sendiri atau orang lain, dan

potensial bunuh diri.

2.1.5. Tindakan Keperawatan Keluarga dengan Halusinasi

Menurut Stuart (2007), strategi merawat pasien dengan halusinasi yaitu

membina hubungan interpersonal dan saling percaya, mengkaji gejala halusinasi,

memfokuskan pada gejala dan minta pasien menjelaskan apa yang sedang terjadi,

mengkaji penggunaan alkohol atau obat terlarang, mengatakan bahwa perawat

tidak mempunyai stimulus yang sama, membantu pasien mengidentifikasikan

kebutuhan yang dapat memicu halusinasi, dan membantu menangani gejala yang

Universitas Sumatera Utara


11

mempengaruhi aktifitas hidup sehari-hari. Keluarga merupakan faktor penting

yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien dengan

halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat

dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien

tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung

pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program

pengobatan secara optimal (Yusnipah, 2012).

Menurut Keliat, dkk (2011) tindakan keperawatan yang dapat diberikan

untuk keluarga pasien halusinasi adalah sebagai berikut. 1) Diskusikan masalah

yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien, 2) Berikan pendidikan kesehatan

tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, tanda dan

gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi,

3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat

pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien, 4) Memberikan pendidikan

kesehatan kepada keluarga tentang perawatan lanjutan pasien (Yusnipah, 2012).

Merawat pasien berarti juga harus terlibat langsung dalam program

pengobatan pasien. Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi pasien minum

obat. Oleh karena itu penting bagi keluarga untuk mengetahui tentang obat dan

efek samping obat. Keluarga diharapkan mengetahui manfaat obat, jenis, dosis,

waktu, cara pemberian, dan efek samping obat. Kondisi halusinasi dalam

perawatan dan pengobatannya bisa dikontrol oleh obat (Videbeck, 2008 dalam

Yusnipah, 2012).

Universitas Sumatera Utara


12

Penatalaksanaan terpentingnya adalah bagaimana pasien dengan halusinasi

tahu manfaat obat, kemudian mau minum obat dan patuh, sehingga mampu

mengikuti dan mempertahankan terapinya untuk mengontrol halusinasinya

(Suwardiman, 2011). Pemberian informasi yang Tingkat pengetahuan tepat

tentang obat pada keluarga penting untuk keberhasilan perawatan pasien

halusinasi. Faktor keluarga menempati hal vital penanganan pasien gangguan jiwa

di rumah. Hal ini mengingat keluarga adalah support sistem terdekat dan 24 jam

bersama-sama dengan pasien. Keluarga sangat menentukan apakah pasien akan

kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung secara optimal akan

membuat pasien mampu survive dalam kondisi apapun. Jika keluarga tidak

mampu merawat pasien maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya

lagi akan sangat sulit. Perawat dituntut harus melatih keluarga pasien agar mampu

merawat pasien gangguan jiwa di rumah (Keliat, 1996 dalam Yusnipah, 2012).

2.2. Konsep Keluarga

2.2.1. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,

dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan

meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap

anggota keluarga. Secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga

dapat digambarkan sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang paling dasar,

tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan antar individu

(Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

Universitas Sumatera Utara


13

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya

dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu

membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota

keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota

keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidaksetabilan

emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan

seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan

mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif

bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental

(Notosoedirdjo dan Latipun, 2005, dalam Kurniawan, 2014).

2.2.2. Tipe Keluarga

Dalam Suprajitno (2004), Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks

keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga

dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1) Keluarga Inti (Nuclear Family)adalah keluarga yang hanya terdiri dari

ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau

keduanya.

2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah

anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-

nenek, paman-bibi).

Universitas Sumatera Utara


14

2.2.3. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat

dari struktur keluarga. sedangkan fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi

kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Tujuan

terpenting yang perlu dipenuhi keluarga adalah menghasilkan anggota baru

(fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota

masyarakat (fungsi sosialisasi) (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan membahas

bagaimana kebutuhan dukungan yang dipersepsikan oleh keluarga dengan beban

keluarga yang mengalami halusinasi. Adapun fungsi keluarga meliputi :

1) Fungsi afektif, kebahagiaan keluarga diukur oleh kekuatan cinta

keluarga (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Keluarga

harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anggota keluarganya

karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke anggota

keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan terhadap

kehidupan keluarga.

2) Fungsi sosialisasi, sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang

universal dan lintas budaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan

hidup masyarakat (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

Sosialisasi merujuk pada banyaknya pengalaman belajar yang

diberikan dalam keluarga yang ditujukan untuk mendidik klien

halusinasi tentang cara menjalankan fungsi adaptif dalam lingkungan

Universitas Sumatera Utara


15

masyarakat, sehingga klien yang mengalami halusinasi merasa

diterima oleh lingkungan sosial.

3) Fungsi reproduksi, salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk

menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan masyarakat, yaitu

menyediakan anggota baru untuk masyarakat (Friedman, 2010,

dalam Suwardiman, 2011).

4) Fungsi ekonomi, fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga

akan sumber daya yang cukup, ruang, dan materi serta alokasinya

yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan.

Termasuk ke dalam fungsi ekonomi yaitu :

a. mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

b. pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi

kebutuhan keluarga.

c. menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa

yang akan datang (pendidikan, dan jaminan hari tua).

d. Fungsi perawatan kesehatan, fungsi peningkatan status kesehatan

pada klien dengan halusinasi dipenuhi oleh keluarga yang

menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan

kesehatan, dan perlindungan terhadap munculnya bahaya. Pelayanan

dan praktik kesehatan adalah fungsi keluarga yang paling relevan

bagi perawat keluarga (caregivers).

Universitas Sumatera Utara


16

2.2.4. Tugas Keluarga

Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Friedman, 2010, dalam

Nuraenah, 2012) yang meliputi :

a. kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien

dengan halusinasi, keluarga perlu mengetahui peneyebab tanda-tanda

klien kambuh.

b. kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan

keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan

halusinasi, menanyakan kepada orang yang lebih tahu.

c. kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan merawat

anggota keluarga dengan riwayat halusinasi.

d. kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang

berada di masyarakat.

e. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan.

2.2.5. Peran Keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan

langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Friedman, 1998, Ngadiran, 2010).

Umumnya mereka tidak sanggup merawatnya, setelah sebelumnya keluarga

mencoba menyelesaikan masalah dengan anggotanya yang sakit dengan

menyangkal bahwa mereka mempunyai masalah yang serius, atau melakukan

kontrol yang berlebihan atau menarik diri, sehingga klien gangguan halusinasi

biasanya dibawa ke Rumah Sakit setelah mereka lama berada di rumah (Stuart &

Sunden, 2001, dalam Ngadiran, 2010).

Universitas Sumatera Utara


17

Keluarga yang menpunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat

mencegah perilaku maladaptif (pencegahan perimer), penanggulangan

perilakumaladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku

adaptif(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat

ditingkatkan secara optimal (Keliat, 1995, dalam Ngadiran, 2010). Maka peran

keluarga sangatpenting dari berbagi faktor:

1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan

interpersonal dengan lingkungan. Keluarga merupakan istitusi untuk

belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, perilaku (Clenent &

Buchanan 1982, dalam Keliat 1995, dalam Ngadiran, 2010). Individu

menguji perilakunya didalam keluarga dan umpan balik keluarga

mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tersebut, semua ini

merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.

2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa

(halusinasi) yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi

seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah

satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga.

3) Berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien untuk hidup,

tetapihanya fasilitas yang membantu klien dan keluraga mengembangkan

kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, memanggualngi berbagi

masalah dan mempertahankan keadaan adaptif.

Universitas Sumatera Utara


18

4) Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penyebab

kekambuhan gangguan jiwa (halusinasi) adalah keluarga yang tidak tahu

menangani perilaku di rumah.

Ngadiran (2010), Peran keluarga dalam perawatan di rumah adalah :

1) Menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan menyenangkan sehingga

membantu memulihkan kesehatan fisik, psikologis dan sosial yang

memuaskan.

2) Mengatasi dan ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pengobatan

lanjutan difasilitas kesehatan yang ada dan pengawasan dalam pemberian

obat di rumah.

3) Membantu pelaksanaan kegiatan sebelum dan setelah perawatan klien dan

bertanggung jawab atas kemadirian klien.

4) Menjalankan kerja sama yang baik dengan petugas kesehatan dalam

rangka partisipasi dalam proses pengobatan dan pemulihan di rumah.

5) Menciptakan hubungan yang baik dengan lingkungan keluarga dan

tetangga dalam rangka pemberian pengertian kepada masyarakat terkait

tentang keadaan, perilaku dan penyakit klien sehingga bersifat positif,

suportif dan membantu meneteramkan apabila klien memperlihatkan

perilaku negatif.

6) Membantu mencari tempat kerja di masyarakat sehingga kondisi klien

yang baik tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan.

7) Berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam proses terapi keluarga.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa keluarga berperan penting dalam

Universitas Sumatera Utara


19

perawatan halusinasi dan peroses terjadinya penyesuaian kembali klien di

rumah Oleh karena itu, peran keluarga dalam proses pemulihan, mencegah

kekambuhan dan mengontrol halusinasi di rumah sangat diperlukan.

2.2.6. Kekuatan Keluarga

Ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (halusinasi)

hal tersebut akan memperburuk keadaan mental keluarga, tetapi itu lama-

kelamaan akan menjadi biasa. Bahkan pada beberapa anggota keluarga

tanpadisadari terjadi perubahan dalam komunikasi dan pada keluarga lain tanpa

disadari berkerja sama untuk memulihkan atau memperbaiki komunikasi mereka

sehingga menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (Barry, 1998,

dalam Ngadiran, 2010). Belajar untuk mengatasi masalah yang terjadi merupakan

kekuatan keluarga untuk berusaha mengontrol mereka (Stuart & Sunden,

1995,dalam Suwardiman, 2011). Menurut Friedman (1998) dalam Ngadiran

(2010), kekuatan keluarga terdiri dari keterampilan komunikasi, kemampuan

mendengar, kemampuan anggota keluarga berdiskusi dengan masalah,

pengungkapan persepsi-persepsi tentang realitas yang sama dalam

keluarga,keinginan keluarga untuk memiliki harapan dan apresiasi, bahwa

perubahan mungkin saja terjadi, dukungan dari dalam keluarga, kemampuan

memberikan penguatan satu sama lain,kemampuan anggota keluarga menciptakan

suasana memiliki, kemampuan dalam merawat diri, kemampuan anggota keluarga

bertanggung jawab terhadap masalah-masalah kesehatan, kemampuan anggota

keluarga menjaga kesehatan mereka sendiri.

Universitas Sumatera Utara


20

2.3. Konsep Beban Keluarga

2.3.1. Pengertian Beban Keluarga

Beban keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek

dari kondisi anggota keluarganya. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya

stres emosianal dan ekonomi keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga

sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya (Fontaine, 2009, dalam Nuraenah,

2012).

Kondisi klien dengan halusinasi tersebut dapat menimbulkan efek

psikologis bagi keluarganya. Keluarga sering merasa malu dan marah terhadap

tingkah laku klien (misalnya, tertawa – tawa sendiri, berperilaku aneh), dan tidak

tahu apa yang harus dilakukan. Klien yang menderita seumur hidup menjadi

beban bagi keluarga. Masalah yang sering dihadapi keluarga adalah klien susah

jodoh, diasingkan oleh lingkungan dan sumber dana yang diperlukan.

Masalah yang dihadapi keluarga tidak dapat dihindarkan, karena klien

dengan skizofrenia dengan halusinasi kronis memerlukan pembiayaan yang tidak

sedikit (Walton &Moss, 2005, dalam Ngadiran, 2010).

Pada keluarga dengan gangguan jiwa, stressor yang dihadapi berbeda

dengan keluarga dengan dengan masalah kesehatan lain. Selain berkaitan dengan

biaya yang dikeluarkan untuk perawatan, ketidakmampuan klien dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari juga pada stigma masyarakat pada klien gangguan jiwa.

Stressor yang dialami oleh keluarga dengan gangguan jiwa sering dikenal dengan

beban keluarga (family burden) (Ngadiran, 2010).

Universitas Sumatera Utara


21

Gangguan jiwa dapat berdampak negatif pada keluarga. (Stuart & Laraia,

2001, dalam Suwardiman, 2011) dampak yang terjadi meliputi ; meningkatnya

konflik dan stress keluarga, saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk

mengerti dan menerima keluarganya yang sakit, meningkatnya emosi ketika

berkumpul dan kehilangan energi, waktu, uang untuk merawat anggota

keluarganya.

2.3.2. Pembagian Beban Keluarga

Pembagian beban keluarga juga disampaikan oleh Mohr (2006) dalam

Ngadiran (2010) yaitu bahwa beban keluarga terbagi atas tiga jenis :

1) Beban Obyektif

Beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan

perawatan klien, yang meliputi; tempat tinggal, makanan, transportasi,

pengobatan, keuangan, intervensi krisis. Keluarga memerlukan biaya untuk klien

di rumah sakit, mengantarkannya berobat. Hal ini akan semakin meningkat jika

berlangsung lama.

2) Beban Subyektif

Beban subyektif adalah masalah yang berhubungan dengan kehilangan,

takut, merasa bersalah, marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami oleh

keluarga sebagai respon terhadap anggota keluarga yang gangguan jiwa. Perasaan

kehilangan timbul karena menganggap bahwa masa depan keluarga dan klien

seolah telah berakhir (Mohr, 2006, dalam Ngadiran, 2010). Perasaan takut,

meliputi takut akan kehilangan hartanya untuk mengobati anggota keluarganya

yang menderita gangguan jiwa. Perasaan lain adalah perasaan marah terhadap diri

Universitas Sumatera Utara


22

sendiri, marah terhadap keluarga, bahkan terhadap Tuhan (Mohr, 2006, dalam

Ngadiran, 2010)

3) Beban Iatrogenik

Beban yang tidak kalah pentingnya adalah beban iatrogenik yaitu beban

yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang

tidak mengetahui teori keluarga. Beban iatrogenik itu meliputi tentang pelayanan

yang di berikan oleh tenaga kesehatan : dokter, perawat, farmasi, gizi , pelayanan

dari tenaga penunjang lainya: sosial worker, analasis, administrasi, informasi .Hal

ini mengakibatkan proses pengobatan dan pemulihan tidak berjalan sesuai yang di

harapkan.

Sedangkan menurut WHO (2008) dalam Suwardiman (2011),

mengkategorikan beban keluarga dengan klien halusinasi dibagi kedalam dua

jenis yaitu:

1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan

pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas

kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik

anggota keluarga.

2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi

psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,

kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap

gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan

hubungan.

Universitas Sumatera Utara


23

2.3.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga

Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga penderita skizofrenia

merupakan beban bagi keluarga. Beban keluarga ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi beban keluarga antara lain:

1) Perjalanan penyakit

Penderita skizofrenia sering mangalami ketidakmampuan seperti merawat

diri, berinteraksi sosial, sehingga sangat bergantung kepada keluarga yang akan

menjadi beban baik subyektif maupun obyektif (Kaplan & Sadock, 2000 dalam

Nuraenah, 2012). Siregar, Arijanto dan Wati (2008) dalam Nuraenah (2012)

menemukan bahwa gejala positif dan negatif klien skizofrenia berperan dalam

beratnya beban caregiver, semakin tinggi skor sindrom positif dan negatif

skizofrenia maka semakin berat beban yang dirasakan.

2) Stigma

Pada kehidupan masyarakat, skizofrenia masih dianggap sebagai penyakit

yang memalukan dan merupakan aib bagi keluarga, dan sering dianggap sebagai

ancaman yang mengganggu keamanan sekitarnya. Keadaan ini menyebabkan

keluarga dikucilkan dan mengalami isolasi sosial dari masyarakat. Hal ini menjadi

beban bagi keluarga baik beban subyektif maupun beban obyektif. Menurut Sane

Research (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma adalah suatu usaha untuk label

tertentu sebagai kelompok yang kurang patut dihormati dari pada yang lain.

Stigma masih tersebar luas di Australia. Australia menghabiskan sekitar 8% dari

anggaran kesehatan padapelayanan kesehatan mental, di Negara-negara OECD

(Organisation for Economic Co-operation and Development) sebanding, proporsi

Universitas Sumatera Utara


24

adalah 12% atau lebih, kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas

layanan. Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Australia. Orang

yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan dengan cara yang tidak pantas.

Kalau kita melihat pelayanan kesehatan di Indonesia, bahwa bangsal-bangsal yang

ada di rumah sakitumum banyak yang belum ada bangsal jiwanya hal ini

menunjukkan bukan hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminatif,

tetapi para profesionalpun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap

penderita gangguan jiwa. Menurut Hawari (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma

merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menggangap bahwa bila salah

seorang anggota keluarga menderita skizofrenia merupakan aib bagi anggota

keluarganya. Selama bertahun-tahun banyak bentuk diskriminasi di dalam

masyarakat. Penyakit mental masih menganggap kesalahpahaman, prasangka,

kebingungan, ketakutan di tengah-tengah masyarakat.

3) Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan khususnya kesehatan mental merupakan sarana yang

penting dalam melakukan perawatan terhadap skizofren. Kemudahan keluarga

untuk membawa klien kepelayanan kesehatan akan mengurangi beban keluarga

dalam merawat, begitu juga sebaliknya, jika pelayanan kesehatan khususnya

mental tidak tersedia atau sulit dijangkau akan menyebabkan keadaan klien lebih

buruk yang akan menjadi beban bagi keluarga yang merawat (Thonicraft &

Samukler, 2001 dalam Nuraenah, 2012).

Universitas Sumatera Utara


25

4) Pengetahuan terhadap penyakit

Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan cara perawatannya sangat

mempengaruhi proses fikir keluarga.

5) Ekspresi emosi

Ekspresi emosi adalah keadaan individu yang terbuka dan sadarakan

perasaannya dan dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal (Keliat,

2000, dalam Nuraenah, 2012). Beberapa penelitian menemukan bahwa ekspresi

emosi keluarga yang tinggi rata-rata memiliki beban yang tinggi jika

dibandingkan dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang rendah.

Angiananda (2006) dalam Nuraenah (2012), menemukan bahwa emosi keluarga

berkaitan dengan pengetahuan menyebabkan emosi tinggi karena merasa

terbebani dengan perilaku klien. Tingginya angka kekambuhan tersebutkan

meningkatkan ketidakmampuan penderita yang menyebabkan beban bagi

keluarga.

6) Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam

penilaian beban keluarga. Perawatan klien skizofrenia membutuhkan waktu yang

lama sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Penelitian Gururaj, Bada, Reddy

dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga

dengan skizofrenia, skor finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi. Oleh

karena itu, apabila keluarga tidak memiliki sumber dana yang cukup atau jaminan

kesehatan, maka hal ini akan menjadi beban yang berat bagi keluarga (Nuraenah,

2012).

Universitas Sumatera Utara


26

2.3.4. Beban Keluarga Merawat Pasien Halusinasi.

Menurut WHO (2003), secara umum dampak yang dirasakan oleh keluarga

dengan adanya anggota keluarga mengalami halusinasi adalah tingginya beban

ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap perilaku pasien yang terganggu,

gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-haridan keterbatasan

melakukan aktivitas sosial. Selain itu juga muncul beban keluarga karena stigma

social terhadap penderita halusinasi tersebut, beban yang muncul bisa berupa

psikologis.

Prilaku halusinasi adalah akibat kesalahan persepsi sensori dari kelima

pancaindra, penyimpangan prilaku klien sangat bervariasi tergantung dari tingkat

terjadinya halusinasi. Penimpangan prilaku yang terjadi meliputi; terseyum lebar,

menggerakkan bibir tanpa membuat suara, perhatian menyempit, kesulitan

berhubungan dengan orang lain, tampak cemas, tidak mampu mengikuti perintah,

prilaku klien seperti di hantui teror, potensi kuat untuk bunuh diri atau membunuh

orang lain, menarik diri, tidak bisa pada lebih dari satu orang.

Prilaku klien dengan halusinasi di atas menimbulkan beban bagi

keluarganya, karena keluarga harus lebih sabar, perhatian, menyediakan waktu

yang khusus, klien tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya,

selain itu masih banyak keluarga yang merasakan beban atau kesulitan dalam

merawat anggota keluarganya dengan halusinasi, keluarga sangat membutuhkan

sumber-sumber dukungan seperti apa yang dapat mendukung keluarga tersebut

dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami halusinasi (Ngadiran,

2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai