Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Abortus

Pengertian Abortus menurut Chalik (1998) ialah kehamilan yang berhenti

prosesnya sebelum umur 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau

kurang. Abortus menurut Taber yaitu berakhirnya kehamilan sebelum periode

viabilitas janin, yaitu yang berakhir sebelum berat badan janin 500 gram. Bila berat

badan tidak diketahui, maka perkiraan lama kehamilan kurang dari 20 minggu

lengkap (Taber,1994). Sementara WHO mendefenisikan abortus sebagai kematian

dan pengeluaran janin dari uterus baik secara spontan maupun disengaja sebelum

usia kehamilan 22 minggu.

Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi

sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil

yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram

waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan

di bawah 500 gram bertahan hidup, maka abortus ditentukan sebagai berakhirnya

kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.

2.2 Klasifikasi Abortus

2.2.1 Abortus Berdasarkan Riwayat Kejadiannya

a. Abortus Spontan (Spontaneus Abortion)

Abortus yang terjadi tanpa disengaja atau tanpa didahului tindakan apapun.

Artinya abortus terjadi karena kelainan, gangguan, dan penyakit

8
Universitas Sumatera Utara
9

b. Abortus Buatan (Provokatus Abortion)

Abortus yang terjadi karena disengaja dengan maksud-maksud tertentu.

2.2.2 Abortus Berdasarkan Pelaksanaannya

a. Abortus provokatus medisinalis (Abortus Legal)

Pengguguran kandungan yang dilakukan atas dasar pertimbangan untuk

menyelamatkan jiwa ibu hamil. Misalnya jika ibu tersebut mengalami penyakit

yang sangat berat.

b. Abortus provokatus kriminalis (Abortus Ilegal)

Pengguguran kandungan yang dilakukan bukan atas pertimbangan keselamatan

jiwa ibu hamil.

2.2.3 Abortus Berdasarkan Gambaran Klinis

a. Abortus mengancam (imminens)

Abortus yang ditegakkan jika muncul rabas vagina mengalami perdarahan selama

paruh pertama pertama kehamilan.

b. Abortus tak terelakkan (insipiens)

Perdarahan per vagina yang hebat karena area plasenta yang luas terlepas dari

dinidng uterus mengakibatkan kehamilan mustahil untuk dilanjutkan.

c. Abortus yang Tidak Lengkap (inkomplet)

Kondisi dimana sebagian atau seluruh bagian plasenta tertahan,walaupun janin

sudah dikeluarkan, sehingga terjadi perdarahan hebat walaupun nyeri dapat

hilang.

d. Abortus Lengkap (komplet)

Kondisi dimana seluruh hasil konsepsi dari uterus dikeluarkan dari rahim.

Universitas Sumatera Utara


10

e. Kegagalan kehamilan dini (missed abortion)

Kehamilan dengan janin yang sudah mati tetapi jaringan janin dan plasenta

tertahan di dalam uterus.

f. Abortus septik

Abortus disertai infeksi beratdengan penyebaran kuman atau toksinnya kedalam

peredaran darah.

g. Abortus infektious

Abortus yang disertai infeksi pada genitalia.

h. Abortus yang Berulang (habitualis)

Abortus yang berulang 3 kali berturut-turut atau lebih. Wanita yang mengalami

abortus habitualis tidak mengalami kesulitan untuk hamil, tetapi kehamilannya

terhenti sebelum waktunya.

2.3 Gejala Klinis

1. Perdarahan

Berlangsung ringan sampai dengan berat. Perdarahan pervaginam pada

abortus imminens biasanya ringan berlangsung berhari-hari dan warnanya merah

kecoklatan.

2. Nyeri

Rasa nyeri seperti pada waktu haid di daerah suprasimfiser, pinggang dan

tulang belakang yang bersifat ritmis. Hal ini disebabkan karena rahim berkontraksi

ketika hasil konsepsi berusaha dikeluarkan (Chalik,1994).

Universitas Sumatera Utara


11

3. Febris

Menunjukkan proses infeksi intra genital,biasanya disertai lokia berbau dan

nyeri pada waktu pemeriksaan dalam (Fitria, 2007).

2.4 Patogenesis Abortus

Pada umumnya abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti

perdarahan ke dalam desidua basalis. Selanjutnya terjadi nekrosis pada jaringan

sekitar daerah yang mengalami perdarahan tersebut yang mengakibatkan pelepasan

hasil konsepsi dari tempat implantasinya, dan berakhir dengan perdarahan per

vaginam. Pelepasan hasil konsepsi baik seluruhnya maupun sebagian, diinterpretasi

sebagai benda asing, sehingga uterus mulai berkontraksi untuk mendorong benda

asing keluar rongga rahim (Chalik, 1997)

Sebelum minggu ke-10 seluruh hasil konsepsi biasanya dapat keluar dengan

lengkap karena vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua.

Pada kehamilan 10- 12 minggu, korion tumbuh cepat dan hubungan antara vili

korialis dengan desidua makin erat sehingga abortus pada fase ini sering menyisakan

plasenta (Krisnadi, Annwar, 2013). Pengeluaran hasil konsepsi terdiri dari 4 tahap

yaitu:

1. Kantung korion keluar pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan

desidua.

2. Kantung amnion dan isinya didorong keluar meninggalkan korion dan

desidua.

3. Pecah amnion disertai putusnya tali pusat dan pendorongan janin keluar

tetapi sisa amnion dan korion tetap tertinggal.

Universitas Sumatera Utara


12

4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong secara utuh

2.5 Komplikasi Abortus

Risiko komplikasi akibat abortus antara lain:

1. Perdarahan

Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera

organ panggul maupun usus. Kematian akibat perdarahan umumnya disebabkan oleh

tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi darah di rumah sakit (Royston,

Amstrong, 1994).

2. Syok dan Infeksi

Komplikasi dini yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi

yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan di

dalam rahim. Jika tidak diatasi dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga

menyebabkan abortus septik. Jika abortus septik dibiarkan dan tidak diobati , pasien

dapat mengalami syok septik (Chalik, 1994).

3. Gangguan pembekuan darah

Komplikasi pengguguran yang potensial fatal adalah bendungan sistem

pembuluh darah oleh bekuan darah,gelembung udara, atau cairan, gangguan

mekanisme pembekuan darah yang berat yang disebabkan oleh infeksi yang berat,

keracunan obat-obat abortif yang menimbulkan gagal ginjal.

4. Hematometra

Kondisi ketika darah terperangkap di dalam uterus yang ditandai dengan rasa

nyeri di bagian abdomen bawah disertai dengan perdarahan. Penanganannya

mencakup evakuasi ulang pada uterus secara cepat namun dengan hati-hati.

Universitas Sumatera Utara


13

2.6 Epidemiologi Abortus

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi Aborsi

Kejadian abortus tidak dapat diketahui secara pasti seberapa sering terjadi

karena:

1. Abortus yang terjadi hanya beberapa hari terlambat haid tidak dirasakan sebagai

keguguran oleh wanita tersebut dan tidak ada yang mengetahui wanita tersebut

mengalami keguguran.

2. Karena aborsi ilegal kecuali dengan alasan medis, banyak wanita yang terlanjur

hamil, menggugurkan kandungannya secara sembunyi-sembunyi dan tidak

pernah muncul ke permukaan kecuali komplikasi.

3. Pada beberapa kasus hiperplasia endometrium dinyatakan sebagai abortus.

a. Berdasarkan Orang

Prevalensi abortus spontan bervariasi sesuai kriteria yang digunakan untuk

mengidentifikasinya.Menurut penelitian Gracia (2005), Warbuton, (1964), Wilson

(1986), yang terdapat dalam William’s Obstetri frekuensi abortus meningkat dua kali

lipat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada

mereka yang berusia lebih dari 40 tahun, namun belum diketahui apakah keguguran

tersebut dipengaruhi oleh usia dan paritas.

Bou dan Boue (1978) melaporkan insidens rata-rata abortus spontan pada

semua kehamilan yang didiagnosis adalah 15 persen. Menurut pengamatan mereka

bila kehamilan pertama terjadi abortus spontan, kemungkinan kehamilan berikutnya

akan berakhir dengan abortus spontan adalah 15 persen tidak peduli bagaimana

kariotype abortus yang pertama.

Universitas Sumatera Utara


14

Therapel,dkk (1985) meringkaskan data dari 79 studi terhadap pasangan yang

mengalami lebih dua kali keguguran. Data ini mencakup 8208 wanita dan 7834 pria,

dan kelainan kromosom terdeteksi pada 2,9 persen insiden yang lima kali lebih besar

dari populasi umum.

Pada tahun 2005, total 1,22 juta abortus legal dilaporkan ke Center for

Disease Control and prevention (Gambel,dkk 2005). Jumlah total ini telah berkurang

setiap tahun sejak tahun 2002, tapi hal ini paling sedikit disebabkan oleh klinik-klinik

yang memberikan laporan medis kasus abortus secara inkonsisten.

b. Berdasarkan Tempat

Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun terjadi 40-70 aborsi per 1.000

wanita usia reproduktif baik aborsi legal maupun ilegal. Seperlima dan sepertiga dari

semua kehamilan diakhiri dengan aborsi (Chalik, 1994). Di Negara berkembang dari

210 juta kehamilan yang terjadi tiap tahun, sekitar 40-50 juta diakhiri dengan

abortus. Berdasarkan data Riskesdas 2010 angka kejadian abortus secara nasional di

Indonesia adalah 4%, dimana dari semua kejadian abortus 6,54% diantaranya abortus

yang disengaja.

c. Berdasarkan Waktu

Angka absolute abortus mengalami penurunan tahun 1995 hingga 2003, dari

sekitar 45,5 juta tahun 1995 menjadi 41,6 juta pada tahun 2003 atau dari 35 kasus

abortus per 1.000 wanita usia 15-44 tahun 1995 menjadi 29 per 1.000 wanita usia 15-

44 tahun pada 2003. Penurunan yang terbesar terjadi di Eropa Timur yang

mengalami penurunan sebesar 51%. Dari 90 per 1.000 wanita usia 15-44 tahun

menjadi 44 per 1.000 pada tahun 2003. Begitu juga di Amerika Latin, dan Karibia,

Universitas Sumatera Utara


15

mengalami penurunan dari 37 menjadi 31 per 1.000 wanita usia reproduksi, Di Asia

dan Afrika juga mengalami penurunan dari 33 menjadi 29 per 1.000 perempuan usia

reproduksi (WHO, 2008)

2.6.2 Faktor Determinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya abortus ialah sebagai berikut:

a) Gangguan pada Perkembangan Zigot

Adanya kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin dini, atau kadang-

kadang plasenta menjadi salah satu faktor yang meinyebabkan dilakukannya abortus.

Tiga perempat dari aborsi aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu. Pada abortus spontan

50- 60% penyebab utama adalah kelainan kromosom pada janin ( Cunningham dkk,

2013)

b) Faktor Kesehatan Ibu

Pada kehamilan dini penyakit kronis yang melemahkan seperti tuberkulosis

atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus karena penderita seringkali

meninggal sebelum melahirkan. Hipertensi jarang menyebabkan abortus, tetapi dapat

menyebabkan kematian janin dan persalinan prematur. Abortus spontan secara

independent berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia tipe 1(HIV-1)

pada ibu. Selain itu terdapat bukti yang mendukung peran Myccoplasma hominis dan

Ureaplasma urealyticum dalam abortus. Infeksi kronis oleh organisme seperti

Brucella abortus, Campylobacter fetus, Toxoplasma gondii, Listeria

monocytogenenes atau Clamydia trachomatis belum terbukti berkaitan dengan aborsi

spontan (Chalik, 1998)

Universitas Sumatera Utara


16

Terdapat hubungan nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun,

misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi(aPA).

aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.

Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA.

Hipotiroidisme klinis tidak berkaitan dengan peningkatan insiden abortus.

Akan tetapi wanita dengan Hipotiroidime subklinis dan dengan autoantibodi tiroid

mungkin memperlihatkan peningkatan resiko. Abortus spontan dan malforasi

kongenital mayor meningkat pada wanita diabetes tergantung insulin, dan risiko ini

berkaitan dengan derajat pengendalian metabolik (Cunningham dkk, 1991).

c) Faktor Sperma

Sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila berhasil menembus

zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang memiliki material

kromosom yang tidak normal yang bisa menyebabkan keguguran. Jika pada analisis

sperma terdapat lebih dari 50% spermatozoa yang berkepala abnormal, keguguran

juga meningkat (Royston,Armstrong,1994).

d) Faktor Lingkungan

Dalam dosis memadai radiasi adalah suatu abortifasien, bukti bukti yang ada

sekarang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan risiko abortus dari dosis radiasi

kurang dari 5 rad. Diperkirakan 1-10% malforasi janin diakibatkan karena paparan

obat, bahan kimia, dan radiasi dan berakhir dengan abortus. Contohnya adalah

paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau,begitu juga dengan paparan

rokok yang mengandung banyak zat kimia yang mempunyai efek vasoaktif yang

berakibat abortus (Prawirohardjo, 1994).

Universitas Sumatera Utara


17

e) Umur

Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia 20 tahun dan

diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran

dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/remaja, alat reproduksi belum

matang dan belum siap untuk hamil. Separuh dari abortus terjadi karena kelainan

sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul karena

nondisjunction meiosis selama gametosis. Insiden trisomi meningkat dengan

bertambahnya usia.

f) Laparotomi

Pada umumnya makin dekat tempat operasi dengan organ pelvis, makin

besar kemungkinan untuk mengalami abortus. Trauma laparotomi terkadang

menyebabkan abortus. Peritonitis meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus

(Macdonald dkk,1991).

g) Pendidikan

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan faktor

pencetus yang berperan mempengaruhi keputusan seseorang berperilaku sehat.

Kurangnya pengetahuan mengenai ketersediaan alat kontrasepsi yang mencegah

kehamilan juga pelayanan keluarga berencana yang dapat menekan jumlah anak

maka wanita akan terpaksa mengakhiri kehamilan yang yang tidak diinginkan

dengan abortus (Bensondkk, 2008). Menurut studi analisis di 3 klinik oleh Jakarta

Population Council (1997-1998) terdapat kasus abortus 58,1% berpendidikan SLTA,

19,1% perguruan tinggi, 10,2% SLTP, 8,2% SD, dan 0,4% buta huruf.

Universitas Sumatera Utara


18

Pasien yang melakukan abortus umumnya adalah perempuan yang sudah

menikah dengan unmeet need untuk kontrasepsi. Dari penelititan-penelitian yang

telah dilakukan terbukti bahwa sebagian besar perempuan yanng melakukan aborsi

atau induksi haid di klinik atau rumah sakit memiliki profil khusus; mereka

cenderung sudah menikah dan berpendidikan (Guttmacher, 2008).

h) Sosial Ekonomi

Kemiskinan dapat mempengaruhi terjadinya abortus dengan alasan kondisi

ekonomi yang rendah sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan

sehingga wanita mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan dengan aborsi yang

tidak aman yaitu dengan usaha sendiri, misalnya minum jamu, memijat perut,

memasukkan benda-benda tertentu, dan meminta pertolongan dukun

(Koblinksy,1997).

i) Paritas

Paritas 2-3 merupakan paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal.

Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi

karena keadaan rahim yang lemah, sehingga dapat menimbulkan gangguan

pertumbuhan janin dan perdarahan saat persalinan. Penelitian yang dilakukan Viel di

Amerika Latin (1997), bahwa risiko abortus provokatus 2,5 kali lebih tinggi pada

wanita yang memiliki >5 orang anak dibandingkan dengan wanita yang memiliki 1

orang anak (Wiknjosastro, 2002).

Universitas Sumatera Utara


19

j) Faktor Psikososial

Menurut SKRT (1995) faktor penyebab seorang perempuan melakukan

aborsi adalah faktor psikososial (57,5%) yaitu hasil hubungan seksual di luar nikah,

perkosaan, dan cacat janin. Perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis

untuk perempuan yang menjadi korban. Jika perkosaan mengakibatkan kehamilan

ternyata mengakibatkan pengalaman traumatis bertambah besar dan apabila

dipaksakan melanjutkan kehamilannya hingga bayinya lahir maka perempuan

tersebut dapat menjadi gila. Dalam kasus ini indikasi medis dapat dipertimbangkan,

karena abortus buatan diperlukan untuk menjamin kesehatan jiwa ibu.

2.7 Pandangan Terhadap Abortus

Setiap negara di dunia terdapat beberapa situasi yang mengizinkan aborsi

untuk menyelamatkan nyawa ibu, alasan pemberian izinnya bervariasi di seluruh

dunia. Kebijakan terapeutik yang yang dikeluarkan oleh American College of

Obstetrician and Gynecologist yaitu:

1. Bila kelangsungan kehamilan dapat mengancam hidup wanita atau

merusak kesehatannya.

2. Bila kehamilan merupakan akibat perkosaan atau hubungan saudara

(incest).

3. Bila kelanjutan kehamilan akan menghasilkan kehamilan anak dengan

deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.

Aborsi pada saat ini memang pro dan kontra di tengah masyarakat, ada yang

pro aborsi yaitu masyarakat yang ingin melegalkan aborsi dan ada yang kontra

terhadap aborsi yaitu golongan yang menentang tindakan aborsi. Sering kali

Universitas Sumatera Utara


20

perdepatan itu terpusat pada dua kutub. Kutub pertama berargumentasi bahwa aborsi

merupakan hak, maka aborsi yang aman menjadi hak pula. Kutub kedua

mempertahankan aborsi sebagai pelanggaran nilai sosial. Fakta menunjukkan bahwa

Indonesia tidak berada pada kedua-duanya. Pelayanan aborsi tidak ada, tetapi aborsi

dilakukan secara diam-diam dan mempunyai ancaman ketidakamanan (Nainggolan,

LH, 2006). Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk

menyelamatkan nyawa ibu. Masalah aborsi buatan diatur dalam undang-undang no

36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

2.8 Dampak Abortus

a. Terhadap Kesehatan dan Keselamatan Secara Fisik

Menurut B. Cloves dalam bukunya“The Facts of Life” (2001), resiko yang

dialami saat dan setelah abortus dapat berupa kematian mendadak karena perdarahan

hebat, ataupun pembiusan yang gagal. Kerusakan leher rahim dan rahim yang sobek

dapat menyebabkan gangguan pada anak berikutnya berupa gangguan perkembangan

mata, otak, pernapasan serta pencernaan. Pada wanita juga bias terjadi infeksi rongga

panggul, dan infeksi lapisan rahim. Abortus yang terjadi berulang kali juga dapat

menyebabkan serviks yang inkompeten. Pembukaan paksa serviks dari aborsi

berulang dapat melemahkan atau menyebabkan keguguran, atau sulit

mempertahankan berat bayi pada kehamilan berikutnya.

b. Gangguan Psikologi dan Mental

Selain memiliki resiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan fisik, aborsi

juga mengakibatkan dampak yang hebat pada mental pelaku aborsi.

Universitas Sumatera Utara


21

Sanberg (1980) mengemukakan bahwa wanita yang melakukan aborsi

mengalami dampak psikologi depresi, takut, cemas, insomnia, serta ketergantungan

alcohol dan obat. Reardon (2002) juga menyatakan bahwa secara psikologis aborsi

menyebabkan perasaan malu, takut dan depresi. Wanita yang mengalami aborsi

sering mengalami gejala PASS (Post-Traumatic Stress Disorder) gejala PASS antara

lain depresi, ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal, tidak

bertanggungjawab, menyakiti diri sendiri, dan pikiran untuk mengakhiri hidup.

2.9 Pencegahan Abortus

2.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang berperan

dalam terjadinya abortus, agar wanita terhindar dari abortus dan tidak melakukan

abortus ilegal. Pencegahan primer yang lebih diutamakan adalah promosi dan

pendidikan kesehatan mengenai abortus. Terjadinya abortus sering dikaitkan dengan

kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak dikehendaki dapat dicegah

dengan penggunaan kontarasepsi yang tepat dan adekuat. Dengan demikian

diperlukan promosi kepada pasangan maupun individu tentang pilihan luas metode

kontrasepsi, termasuk kontrasepsi darurat yang sesuai.

Pendidikan tentang abortus dapat dilakukan dengan memberikan informasi

tentang status abortu legal, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, dan

bagaimana mengakses layanan berkualitas tinggi untuk manajemen komplikasi

akibat abortus dan metode keluarga berencana pasca abortus (WHO, 2008).

Universitas Sumatera Utara


22

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pada pencegahan sekunder dilakukan dengan cara menegakkan diagnosa

secara tepat, dan mengadakan pengobatan yang cepat untuk menghindari

kemungkinan terjadinya komplikasi akibat keterlambatan penanganan.

a. Diagnosis

Terdapat tiga dasar dalam diagnosa klinis abortus yaitu; anamnesis,

pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didasarkan akan adanya

perdarahan dari jalan lahir serta nyeri perut. Pemeriksaan dalam didasarkan pada

ditemukannya fluksus, ostium uteri tertutup, dan ukuran uterus sesuai usia

kehamilan, sementara pemeriksaan penunjang didasarkan atas ditemukannya tanda-

tanda keberadaan janin dengan menggunakan USG (Krisnadi dkk, 2013).

b. Penanganan abortus

Penanganan abortus dapat dilakukan dengan istirahat baring. Tidur berbaring

merupakan unsur terpenting dalam pengobatan ,karena cara ini menyebabkan

bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya rangsang mekanik. Apabila

hasil konsepsi sudah keluar tapi masih ada yang tertinggal dalam uterus, maka harus

segera dikeluarkan karena perdarahan tidakakan berhenti sebelum hasil konsepsi

dikeluarkan.

Secara umum ada dua tindakan yang dilakukan oleh tenaga media suntuk

menangani penderita abortus yaitu:

1. Bedah

Tindakan bedah yang sering dilakukan oleh tenaga medis dilakukan dengan

cara kuretasi, dilatasi dan evakuasi. Pada beberapa kasus yang langka penderita

Universitas Sumatera Utara


23

abortus juga ditangani dengan cara laparotomi. Pengeluaran hasil konsepsi dilakukan

dengan pembedahan seperti bedah ceaser.

2. Konservatif

Abortus medis dilakukan dengan cara memberikan obat abortifasien yang

efektif dan aman yang biasanya dilakukan pada masa kehamilan dini. Pengobatan

dapat dilakukan dengan menggunakan RU486 (mifepristin), infus intra-amnion, dan

prostaglandin. Penanganan abortus yang baik setelah pengeluaran hasil konsepsi

adalah istirahat-baring (Wiknjosastro, 2002).

2.9.3 Pencegahan Tersier

Dalam proses pemberian layanan asuhan pasca aborsi,pasien membutuhkan

konseling, perhatian, pemahaman, dan empati selama pemberian asuhan. Dalam

memberikan asuhan pasca aborsi, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah

mengatasi situasi segera akibat abortus seperti perdarahan dan syok. Setelah kondisi

wanita ini stabil, hal selanjutnya dilakukan yang sama pentingnya adalah

memberikan asuhan tindak lanjut meliputi peredaan nyeri, dukungan psikologis,

konseling pasca aborsi, dan pemeriksaan lebih lanjut yang mungkin diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


24

2.10 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep penelitian karakteristikIbu PUS yang mengalami

abortus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2010-2013, sebagai berikut:

Karakteristik Ibu PUS yang Mengalami Abortus:

1. Sosiodemografi
Umur
Suku

Agama

Pekerjaan
Tempat tinggal

2. Mediko Obstetri
Keluhan
Umur kehamilan

Paritas
Frekuensi abortus

Riwayat kejadian abortus


Klasifikasi abortus secara klinis

Komplikasi

Riwayat penyakit

3. Status Rawatan
Penatalaksanaan medis

Lama rawatan rata-rata


Asal rujukan

Sumber pembiayaan
Keadaan sewaktu pulang

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai