Anda di halaman 1dari 37

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI USIA 27 TAHUN

DENGAN REMOVELE OF INPLATE


METACARPAL DIGITI IV PROKSIMAL SINISTRA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Rosyid Prasetyo, S.Ked
J510 1700 15

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI USIA 27 TAHUN


DENGAN REMOVELE OF INPLATE
METACARPAL DIGITI IV PROKSIMAL SINISTRA

Diajukan Oleh :
Rosyid Prasetyo
J510 1700 15

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : BP. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 27 tahun
Alamat : Pereng 6/2 Mojogedang, Karanganyar
Diagnosis Pre Op : Post.ORIF Metacarpal Digiti IV Proksimal Sinistra
Tindakan Op : ROI
Tanggal Masuk : 6 - 12 - 2017
Tanggal Operasi : 7 - 12 – 2017

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Pasien ingin melepas inplate pada metacarpal kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Karanganyar ingin melepas inplate pada
metacarpal kiri, mual, muntah dan batuk, pilek disangkal.
C. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
D. Riwayat keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
III. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 78 x/ menit
Frekuensi Nafas : 20x/ menit
Suhu : 36,2 o C
Kepala :
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik(-/-) nafas cuping hidung(-)
Leher :
Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), ↑JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-/-)
Thoraks :
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : redup
Auskultasi :bunyi jantung S I-II irama regular, bising
jantung (-)
Paru :
Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di
paru, dan tidak ditemukannya retraksi intercostae
Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang
Perkusi : Depan
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Auskultasi : Depan
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada, tidak
ada luka bekas operasi
Auskultasi : peristaltic usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Ditemukan bekas jahitan pada metacarpal kiri, Clubbing
finger tidak ditemukan, tidak ditemukan edema, Akral hangat
+ +
+ +

B. Status Lokalis
Regio metacarpal sinistra
Look: tampak bekas jahitan pada metacarpal sinistra
Feel: nyeri tekan (+) krepitasi (-)
Movement : dapat digerakkan
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Hemoglobin 13,8 (L) 14,0 – 17,5
Leukosit 6,82 4,5-13
Trombosit 187 156-408
CT 05.00 menit 2-8 menit
BT 02.00 menit 1-3 menit
Kreatinin 1,10 (H) <1.0
Ureum 27 10-50
Glukosa Sewaktu 88 70-150

IV. Kesimpulan Konsul Anestesi


Seorang laki-laki usia 27 tahun dengan diagnosis post ORIF metacarpal
sinistra yang akan dilakukan tindakan operasi ROI. Hasil laboratorium darah
Hemoglobin turun dan creatinin naik.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II
V. Laporan Anestesi Pasien
Diagnosis pra-bedah : post ORIF metacarpal sinistra
Diagnosis post-bedah : ROI metacarpal sinistra
Jenis pembedahan : mayor
VI. Status Anestesi
A. Persiapan Anestesi
1. Persetujuan operasi tertulis
2. Puasa ≥6 jam pre operatif
3. Infus RL pre-loading 1000cc
4. Jenis anestesi : General Anestesia
5. Teknik Anestesi : Inhalasi dengan Face Mask
6. Induksi : Propofol
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 10 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
B. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
Premedikasi : Granicetron 1 amp
Fentanyl 1 amp
Medikasi : Propofol 1 amp
O2 6 liter/menit
Teknik anestesi : * Pasien dalam posisi telentang (supine)
* Cek infuse pasien, mesin anestesi serta sistem
sirkuitnya dan gas anestesi yang akan
digunakan
* O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)
* Menyiapkan stetoskop, face mask no.3,
suction
* setelah obat premedikasi dan induksi masuk,
kita memastikan pasien sudah dalam keadaan
tidur, pasang sungkup muka ukuran 3 (dewasa)
dan diberikan pemeliharaan anestesi dengan
halotan 1.0%-2.0%
* mengawasi pola napas pasien, bila tampak
tanda-tanda hipoventilasi berikan napas
bantuan intermiten secara sinkron sesuai
dengan irama napas pasien, pantau denyut nadi
dan tekanan darah
* setelah operasi selesai, hentikan aliran
gas/obat anestesi inhalasi dan berikan oksigen
100% selama 2-5 menit
Respirasi : Spontan
Posisi : Telentang
Jumlah cairan : Tutofusin 500mL (Kristaloid)
yang masuk
Perdarahan : ± 20cc
selama operasi
C. Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 09.00
Mulai operasi : 09.05
Selesai anestesi : 09.30
Selesai operasi : 09.30
Durasi Operasi 15
: 25 Menit
D. Monitoring selama operasi.
Waktu Tekanan Nadi SpO2 Keterangan
darah
09.00 137/72 80 99 Terpasang infuse RL
General anestesi dilakukan
09.05 142/79 72 99 Pelaksanaan Operasi
09.10 124/71 66 98
09.20 129/77 60 98
09.30 128/78 68 98 Operasi selesai dan pasien
dipindahkan ke RR

E. Di Ruang Recovery
1. Jam 09.05 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi
telentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring
tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter per menit.
2. Tekanan darah: 138/79 mmHg; Nadi: 88x/menit, Suhu: 36,4C
3. Jam 09.10 : pasien sadar
4. Jam 09.20 : pasien dipindahkan ke bangsal

Monitoring Pasca Anestesi


Waktu Tekanan Nadi RR Keterangan
Darah
13.05 138/79 68 20 O2 3L/mnt, Monitoring
tanda Vital
13.10 140/78 74 20 Monitoring tanda Vital
13.15 132/80 78 20 Monitoring tanda Vital dan
infus diganti Tutofusin
13.20 131/70 89 20 Monitoring tanda Vital
Aldrette Score 10
F. Instruksi Pasca Anestesi
1. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun
<100 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan metoclopramide.
Bila kesakitan, berikan Ketorolac 1 ampul.
2. Lain-lain
a. Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah orthopedi
b. Kontrol balance cairan
c. Monitor vital sign
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi Umum (General Anestesi)


A. Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral
yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia,
analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan
anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang
terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgetik, dam
relaksasi otot.1
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat
dimana akan dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa
anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung
pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih
tepat.2
Metode pemberian anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian
obat, terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum2,3:
1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena
maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi
yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering
digunakan adalah1:
a. Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis
permulaan 4-6 mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai
1 gram.
Penggunaan: Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan
inhalasi. Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi,
insisi abses.1
b. Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50
mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit
setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.1
Penggunaan: Operasi-operasi yang singkat. Untuk indikasi
penderita tekanan darah rendah1
2. Perectal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic
(katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga,
oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak
kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi
dan anak-anak. Syaratnya adalah:
a. Rectum betul-betul kosong
b. Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
a. Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
b. Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB1
2. Per inhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-
paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan
narkose.1
Obat-obat yang dipakai:
a. Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau
campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.1
b. Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi
sampai 8 vol %. Seperti dengan halotankonsentrasi dipertahankan
sesuai kebutuhan.1
c. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran (foran, aeran ) atau
desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama.1
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi
masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi
masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara
intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi
darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan
menyebar kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya
pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih
banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti
tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan
sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal
atau jaringan lain. 1
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi
bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam
bentuk asli lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain1:
1.
Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
2.
Faktor sirkulasi
3.
Faktor jaringan.
4.
Faktor obat anestesi.1,2
B. Stadium anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,
tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi
dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi
kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan,
gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita
yang mendapat anestesi ether1.
1. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini operasi kecil bisa dilakukan.1
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini
penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar,
refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk
atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan
penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi
dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi
penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency
delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi1.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
a. Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
b. Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur,
volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai
terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai
melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang
dan tonus otot makin menurun.
c. Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal
lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal,
pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi
negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
d. Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi
paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi
flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani
negative.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut
stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti
dengan circulatory failure.1
C. Persiapan Anestesia Umum:
Praktek anestesi yang aman dan efisien memerlukan personil bersertifikat,
obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien yang optimal.1
1. Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk
ruang yang cukup terang dengan ukuran yang memadai, sebuah
sumber oksigen bertekanan (paling sering di pipa); perangkat hisap
yang efektif; monitor yang sesuai dengan standar ASA (American
Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung, tekanan darah,
EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi
oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang
diaplikasikan.1
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat
anestesi. Alat yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika
obat harus diberikan sepenuhnya intravena. Dalam sebagian besar
keadaan, ini berarti membutuhkan tersedianya sebuah mesin yang
memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara
anestesi tetap berjalan.1
2. Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling efisien
adalah pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab untuk
memberikan anestesi dengan baik sebelum tanggal operasi.1
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang
tepat, perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang
sedang berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang
merugikan pribadi atau keluarga untuk anestesi umum, penilaian
status fungsional jantung dan paru, dan rencana anestesi yang efektif
dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk meredakan kecemasan dari
pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan keluarga mereka.
Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien
pada waktu perioperatif.1
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi
memungkinkan pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada
kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk membuka mulut,
gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher,
anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah). Dengan
menggabungkan semua faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi
dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil
untuk mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video,
atau berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya1.
3. Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas,
meliputi kondisi dibawah ini:
a. Rahang yang kecil atau mundur
b. Gigi rahang atas yang menonjol
c. Leher yang pendek
d. Ekstensi leher terbatas
e. Pertumbuhan gigi yang buruk
f. Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
g. Trauma pada wajah
h. Fiksasi antar-gigi
i. Penggunaan cervical collar yang keras1
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran
orofacial untuk memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak
digunakan adalah skor Mallampati, yang mengidentifikasi pasien
dengan faring yang kurang jelas divisualisasikan melalui mulut
terbuka.1
Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan
mulut terbuka dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak
pasien yang diintubasi karena indikasi emergensi, jenis penilaian
seperti ini tidak mungkin. Sebuah penilaian sederhana dapat
dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan
gambaran dari ukuran bukaan mulut dan perkiraan lidah dan
orofaring sebagai faktor dalam keberhasilan intubasi (lihat gambar di
bawah)
Gambar 1. Skor Mallampati

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi


sulit. Namun, tidak ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau
spesifik 100% . Akibatnya, praktisi mengandalkan beberapa kriteria
dan pengalaman mereka untuk menilai jalan napas.1
Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor
yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik
anestesi yang optimal sesuai kondisi pasien. Beberapa pertimbangan
dalam melakukan anestesi umum meliputi:1
4.
Persiapan Pre-anestesia
Persiapan mental dan fisik pasien
a.
Anamnesis
1).
Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan
pekerjaan
2).
Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti
penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik,
penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal.
3).
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat
anestesi.
4).
Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa
kali dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu.
5).
Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi
jalannya anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat
penenang atau narkotik.1,2
b.
Pemeriksaan fisik
1).
Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan
pasca bedah.1
2).
Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.1
3).
Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak
nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi
palsu, trismus, persendian temporo mandibula.1
4).
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu
atau ortopnu, sianosis, hipertensi1
5).
Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang
dapat membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga
dapat menyebabkan regurgitasi.1
c.
Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin rutin, pemeriksaan
radiologi, dan lainnya.1
D.
Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.1
E.
Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi
sebagai berikut :1
1.
ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
2.
ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
3.
ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas
4.
ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
5.
ASA 5: pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
6.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.1,2,3

F.
Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1.
Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama
puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2
jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka
dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2.
Pengosongan kandung kemih
3.
Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
4.
Pemeriksaan fisik ulang
5.
Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6.
Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau
secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi1
G.
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya :
1.
Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
2.
Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
3.
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas
atropindan hiosin
4.
Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
5.
Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
6.
Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
7.
Mengurangi isi lambung
8.
Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium, sulfas
atropine1
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
1.
Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin
2.
Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya
diazepam dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15
mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia
3.
Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
4.
Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5.
Antihistamin, misal prometazine
6.
Antasida, misal gelusil
7.
H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine
diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi1
H.
Persiapan induksi
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
1.
S : Scope (stetoskop, laringoskop)
Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih
luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis,
pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a.
Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada
laringoskopi dewasa.
b.
Blade lurus.
2.
T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
a.
Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam
trakea.
b.
Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi
face mask atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA
pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung dan
pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama. LMA terdiri dari 2 macam :
1).
Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2).
Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan
dengan esofagus
3.
A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa
oropharing)
a.
Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari
dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih
bernapas spontan, alat ini juga membantu saat
dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa
endotrakheal (ETT)

Gambar 2. Oral pharyngeal airway Gambar 3. Nasopharyngeal


airway
b. Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu
jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin
memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus,
rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).
c. Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan
udara/gas anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan
nafas pasien

Gambar 4. Face Mask Anesthesia


4. T : Tape (plaster)
Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi supaya
tidak terlepas
5. I : Introducer (stilet/ forceps Magill)
Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc
gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
6. C : Connection
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan
sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
7. S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot
lendir, ludah, dan lain-lainnya.1,2,3
I. Keuntungan
1. Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
2. Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang
lama
3. Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi
4. Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat
anestesi local
5. Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang
6. Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan
durasi waktu yang tak dapat diprediksi atau pada keadaan
penambahan waktu operasi
7. Dapat diberikan dengan cepat dan reversible1,2,3
J. Kekurangan
1. Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang
terkait
2. Membutuhkan persiapan pasien praoperasi
3. Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang memerlukan
intervensi aktif
4. Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah,
sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu
dalam pengembalian fungsi mental yang normal
5. Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang
jarang, terkait dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa
(tidak semua) zat anestesi umum yang dapat menyebabkan kenaikan
suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik,
dan hyperkalemia.1
K. Cara memberikan anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang
waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut
maintenance atau pemeliharaan.
Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik,
untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan
menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar
dilakukan. Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam,
sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih
relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara
menambah dosis obat.1
Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat
anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan
gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan
mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau
memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk
mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi
pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat
hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya
menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance
anestesi. 1
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot
mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas
buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas
penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana anestesi,
karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali
atau control respiration. 1
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan
terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa
keuntungan antara lain:
1. Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat
dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi
inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun
sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang
tidak sadar.
2. Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa
melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah
sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan
hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk
operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
3. Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka
mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy)
tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat
mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita
tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya,
anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:
a. Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
b. Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:
pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
c. Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan.1
Berdasarkan sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat
anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open,
closed, dan semi closed.
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan
alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan
respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas.
Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan
polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah
terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di
kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi
tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali. 1
2. System semi open. Alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1
arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non
rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi
kamar operasi lebih rendah dibanding system open.1
3. Sistem semi closed. Udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi
dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang
berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya
udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen
dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena
udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan
oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar
operasi.1
4. System closed. Prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak
ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar
tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang
adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang
berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga.
menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang
paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada
system closed dan semiclosed juga disebut system rebreathing, karena
udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime
untuk membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga
disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang
diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga
agar pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran
gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3
kali menit volume respirasi penderita.1
System Rebreathing Reservoir Sodalime Tingkat Tingkat
bag polusi keborosan
kamar obat
operasi
Open - - - ++++ +++
Semi - + + +++ ++
open
Semi + + + ++ +
closed
Closed + + + + -

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut


anestesi intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi
dan maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi maka disebut
VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance Anesthesia)1
L.
Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri
dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi
bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal
ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi
tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli
yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. 1
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-
angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel
obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan
tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu
oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah. 1
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi)
difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam
darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi
menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin
menurun.1
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain
akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan
ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di
dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.1
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).
Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme
jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan
intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.1
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar
sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu
penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance
anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk
mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant maka
dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.2,3
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah
adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant.
Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa
diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan kepala dan
menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang
seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan
alat nerve stimulator.1
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya,
nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara
ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi1,2,3:
Hal yang dinilai Nilai
1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0
3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi
Perbedaan +- 20 2
Perbedaan +- 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0
4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0
5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0

M. Terapi cairan perioperatif


Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi
2. Penggantian cairan dan pemberian obat selama operasi4,5
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pre Operasi
Pemberian cairan sebelum operasi diberikan karena pasien sebelum
operasi dipuasakan terlebih dahulu. Sehingga pasien dapat mengalami
defisit cairan. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2
ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5 % BB,
berat 7 % BB. Setiap kenaikan suhu 1⁰ C kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.
2. Selama operasi
Selama proses operasi dapat terjadi kehilangan cairan karena proses
operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan : 4 ml/ kgBB/ jam
b. Sedang : 6 ml/ kgBB/ jam
c. Berat : 8 ml/ kgBB/ jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, perdarahan dihitung kurang
dari 10% EBV maka cukup diganti dengan cairan kristaloid sebanyak
3 kali volume darah yang hilang. Apabila ada perdarahan lebih dari
10% maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma/ koloid/ dextran
dengan dosis 1- 2 kali darah yang hilang.4,5,6
3.
Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah cairan kebutuhan pasien sehari- hari. Setelah
operasi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi. Biasanya akan dilakukan di dalam recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Recovery
room atau ruang pemulihan adalah ruangan tempat pasien sebelum
dipindahkan ke bangsal.6
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA


II karena penderita berusia 27 tahun dan memiliki gangguan sistemik ringan
sampai sedang. Selain itu dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
kelainan organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia yang berarti. Berdasarkan
diagnosis bedah pasien yaitu post ORIF metacarpal sinistra, rencana operasinya
adalah ROI sehingga jenis anestesi yang akan dilakukan adalah general anestesi
karena membuat pasien lebih tenang.
Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah granicetron 1 ampul dan
fentanyl 1 ampul. Granisetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-
HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks
muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Granisetron
diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa
menyebabkan aspirasi pada pasien saat operasi. Fentanyl adalah termasuk dalam
golongan obat analgesik golongan opiat.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi general yaitu propofol
sebanyak 1 ampul. Kerja propofol adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek
analgetik maupun relaksasi otot. Melalui mekanisme pada reseptor GABA di
hippocampus, propofol menghambat pelepasan acethylcholine pada hippocampus
dan kortek prefrontal.
Teknik :
- Pasien dalam posisi telentang (supine)
- Cek infuse pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya dan gas anestesi yang
akan digunakan
- O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)
- Menyiapkan stetoskop, face mask no. 3, suction
- Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, memastikan pasien sudah dalam
keadaan tidur, pasang sungkup muka ukuran 3 (dewasa) dan diberikan
pemeliharaan anestesi dengan halotan 1.0%-2.0%
- Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien,
pantau denyut nadi dan tekanan darah
- Setelah operasi selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan berikan
oksigen 100% selama 2-5 menit
Terapi cairan
Pasien sudah tidak makan dan minum ± 8 jam, namun sudah dipelihara
kekurangan cairannya dengan memberikan cairan infus selama di bangsal.
Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung:
BB = 60 kg
- Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 2 x 60 = 120 cc/jam
- Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam = 4 x 60 = 240 cc/jam
- Pengganti puasa = 8 x 120 = 960 cc/jam
Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan kristaloid
Pemberian Cairan :
Kebutuhan cairan selama operasi ringan 25 menit
= pengganti puasa + maintenance + stress operasi
= (1/2 x 960) + 120 + 240
= 840 cc/ jam
Operasi berlangsung selama 25 menit, sehingga kebutuhan cairan pasien
adalah sebanyak 840 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah
perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 10 cc. Menurut perhitungan, perdarahan
yang lebih dari 20 % Estimated Blood Volume (EBV) harus dilakukan tindakan
pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan perdarahan adalah 20 cc,
dimana EBV-nya adalah 4200 cc.
EBV anak : 70 cc/kgBB = 60 x 70 cc = 4200 cc
Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 2,38 %
% EBV = 100/4200 x 100 % = 2,38 %
Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak
diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (kristaloid 1flab)
sudah cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :
Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 60x 2 cc = 120cc/jam
Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20 tetes
adalah 120/60 x 20 tetes = 40 tetes/menit
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi
dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah,
nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
Dari hasil Aldrrete score di dapatkan :
Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2 √
2 ekstremitas 1
- 0
Respirasi Spontan + batuk 2 √
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2 √
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2 √
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 √
Pucat 1
Sianosis 0
Total 10
Apabila total Aldrete score >8 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal. Pada
saat malam hari post operasi.
Sistem Pernapasan
Respiratory Rate : 20 x/mnt
Sistem Sirkulasi
Tekanan darah : 131/70 mmHg
Nadi : 80x/mnt
Sistem Saraf Pusat
GCS : 15
Sistem Perkemihan
Dalam batas normal
Sistem Pencernaan
Bising usus : 5x/mnt
Sistem Muskuloskeletal
Dalam batas normal
BAB V
KESIMPULAN

Bp.S, usia 27 tahun, Berat badan 60 kg. Pasien pada kasus ini didiagnosis
dengan post ORIF metacarpal sinistra dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Untuk rencana penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik ROI dengan
anestesi general.
Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari , pengganti puasa,
maintanance dan stress operasi (630cc) untuk 1 jam. Pasien sudah mendapat
cairan tutofusin 500cc dan RL 500cc. Selama proses operasi tidak terjadi masalah
gejolak hemodinamik.
Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam batas normal
dan nilai aldrette score mencapai 10 sehingga pasien selanjutnya bisa dipindahkan
ke bangsal.
DAFTAR PUSTAKA
1
dr. Gde Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi,
Sp.An., Editors; Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks Jakarta. 2010.
2
Desai, A. General Considerations.
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
3
Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
FK UI. 2009; 2: 29-96
4
Pecci M., Kreher JB., Clavicle fracture. (Cited) January, 1st 2008. Available from
URL: http://www.aafp.org/afp/2008/0101/p.65.html
5
Rubino LJ., Clavicle Fracture. (Cited) March, 7th 2012. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1260953-overview#a0199.
6
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC,
Jakarta, 2005,

Anda mungkin juga menyukai