Anda di halaman 1dari 11

TANTANGAN DAN PELUANG AGRIBISNIS DOMESTIK DAN GLOBAL PADA

KOMODITAS KARET

Agribisnis mempunyai banyak sekali pengertian yang disampaikan oleh beberapa ahli,
salah satunya adalah menurut Soekartawi (1993) yang mengatakan bahwa agribisnis berasal
dari kata agri dan bisnis. Agri berasal dari bahasa Inggris, agricultural (pertanian). Bisnis
berarti usaha komersial dalam dunia perdagangan. Dengan demikian, bisa dikatakan jika
agribisnis merupakan semua kegiatan dalam bidang pertanian. Mulai dari industri hulu, usaha
tani, indutri hilir sampai dengan distribusi produknya.

Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran saran produksi,
kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi
tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, di mana fungsi-fungsi di atas menjadi
subsistem dari sistem agribisnis. Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas
beberapa subsitem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah
satu subsistem. Agribisnis mencakup kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan,
peternakan, serta perkebunan.

Komoditi perkebunan mempunyai peranan yang penting dalam


program pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan ini semakin terasa dengan menurunnyas
umbangan minyak dan gas (migas) terhadap devisa negara. Karet merupakan salah satu
komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa,
pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet
maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas
areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa
kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas
(91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh
karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh
banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta
kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan
karet rakyat dan pengembangan industri hilir.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat,
perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun
lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun
0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan
rakyat. Namun luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar
400 ribu hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber
dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah
cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam
industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubbermaupun produk-produk karet
lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai
potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga
diperlukan upaya pemanfaatan lebih lanjut.

1. Peluang dan Tantangan Komoditas Karet

1.1 Peluang

Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang makin cerah
karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan
penggunaan green tyres, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka
sumber-sumber minyak bumi dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan
pembuatan karet sintetis. Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari
produksi. Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia karena
negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan lahan dan makin sulit
mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif
Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai
sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Arah pengembangan karet ke depan lebih
diwarnai oleh kandungan IPTEK dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif.

Tujuan pengembangan karet ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat


dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai
tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Sasaran jangka panjang (2025) adalah: (a)
Produksi karet mencapai 3,5 – 4 juta ton yang 25% di antaranya untuk industri dalam negeri;
(b) Produktivitas meningkat menjadi 1.200 -1.500 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300
m3/ha/siklus; (c) Penggunaan klon unggul (85%); (d) Pendapatan petani menjadi US$
2.000/KK/th dengan tingkat harga 80% dari harga FOB; dan (e) Berkembangnya industri hilir
berbasis karet. Sasaran jangka menengah (2005-2009) adalah: (a) Produksi karet mencapai 2,3
juta ton yang 10% di antaranya untuk industri dalam negeri; (b) Produktivitas meningkat
menjadi 800 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (c) Penggunaan klon unggul
(55%); (d) Pendapatan petani menjadi US$ 1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga
FOB; dan (e) Berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet.

1.2 Tantangan

 tingkat produktivitas lahan karet yang masih rendah


Kendala utama dalam pengembangan karet alam adalah tingkat produktivitas lahan
karet yang masih rendah. Jika dibandingkan dengan produsen utama karet alam, tingkat
produktivitas lahan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat baru mencapai 0,8
ton/ha/tahun, sedangkan perkebunan besar mencapai sekitar 1 ton/ha/tahun. Sebagai
perbandingan, produktivitas lahan di India bisa mencapai sekitar 1,9 ton/ha/tahun
sedangkan Thailand mencapai sekitar 1,6 ton/ha/tahun. Dengan produktivitas lahan
yang hanya setengah dari negara produsen lainnya, posisi Indonesia sulit diharapkan
menjadi market leader di pasar internasional walaupun memiliki luas lahan yang
terbesar di dunia.
Salah satu langkah meningkatkan produktivitas adalah melakukan sinergi antara
perkebunan rakyat dan perkebunan besar melalui pola plasma. Kemampuan manajerial
baik produksi maupun pemasaran dari perkebunan besar akan mendorong terjadinya
peningkatan produktivitas perkebunan rakyat disamping peremajaan lahan yang tidak
produktif (sekitar 15% dari total luas lahan) yang menjadi syarat utama peningkatan
produktivitas lahan.
 Kendala lain yang menghambat perkembangan karet adalah hasil bahan baku (bokar)
umumnya bermutu rendah sebagai dampak dari proses pengolahan dasar di level petani
belum optimal dengan metode yang dapat mengurangi kualitas bahan (pencampuran
dengan bahan penggumpal berkualitas rendah atau mencampur dengan beberapa bahan
yang tidak direkomendasikan). Bersamaan dengan permasalahan kualitas bokar, pola
pemasaran juga tidak berpihak ke petani dengan rata-rata harga di level petani hanya
mencapai 60-75% dari harga FOB. Koordinasi dengan perkebunan besar diharapkan
dapat menjembatani kendala transportasi terhadap kondisi lahan petani yang menyebar
sehingga pemasaran lebih solid dan kontinuitas pasokan bagi pabrik pengolahan karet
dapat lebih terjamin. Dari sisi industri pengolahan, kemampuan industri dalam negeri
menyerap produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan dalam 5 tahun terakhir
(sekitar 10-15% dari total produksi karet nasional). Industri ban merupakan industri
yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan konsumsi mencapai
sekitar 60% dari total konsumsi industri karet nasional. Industri lain yang menggunakan
karet sebagai bahan baku antara lain industri sarung tangan, alas kaki, selang belt
transmision. Selain industri ban yang merupakan industri besar, industri lainnya hanya
bersifat industri berskala menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran
menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Selain
kendala diatas, ketersediaan pasokan energi oleh pemerintah dalam hal ini juga menjadi
kendala sehingga kontinuitas dan skala produksi menjadi tidak optimal. Di level
industri kecil, produk lebih dititikberatkan kepada komponen atau barang pendukung
dari produk utama seperti spare parts dan komponen alas kaki yang diproduksi pabrikan
besar. Pengembangan jenis produk karet lainnya dinilai cukup berat mengingat
pengolahan karet membutuhkan modal dan teknologi yang cukup tinggi. Sebagai
dampak dari belum optimalnya pengembangan industri selain industri ban, utilitas
industri tersebut juga relatif rendah, bahkan industri sarung tangan hanya mencapai
utilitas industri sebesar 40% dan alas kaki relatif lebih baik dengan utilitas sebesar 60%.
 Disamping kendala produksi, kendala perdagangan internasional juga menghambat
perkembangan karet dan industri berbahan karet. Mulai dari prosedur trading yang
berbelit yang pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, permasalahan
dumping dari negara lain hingga isu lingkungan yang menjadi prasyarat bagi pasar
Eropa dan Amerika. Berbagai permasalahan perdagangan tersebut membutuhkan
pemikiran dan kerjasama dari pelaku usaha dan pemerintah sebagai regulator sehingga
pada akhirnya tidak menjadi hambatan dalam pengembangan karet yang menjadi salah
satu unjung tombak devisa Indonesia
2. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Usaha Karet

Kebijakan Pengembangan Agribisnis Berbasis Karet Untuk meraih peluang sebagai


produsen karet dan produk karet terbesar di dunia, diperlukan kebijakan yang tepat dalam
pengembangan agribisnis karet di Indonesia ke depan. Serangkaian kebijakan umum yang
diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan ekonomi makro (terutama di bidang moneter dan fiskal) yang kondusif
bagi pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet.
Kebijakan ekonomi makro, terutama di bidang moneter dan fiskal hendaknya
kondusif bagi terwujudnya pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet. Jajaran
pemerintah, mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten mempunyai kebijakan yang
terintegrasi, harmonis dan sinergis dalam bidang moneter.
Dalam bidang moneter diupayakan agar tersedia dana dari sumbersumber.
Perbankan atau non perbankan yang dapat memberikan rangsangan dan dorongan
bagi tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis karet yang kompetitif pada
semua sub-sistem usaha agribisnis tersebut, terutama pada subsistem “on farm”.
Untuk itu diperlukan inovasi dan kreasi di tingkat nasional maupun lokal dalam
mengupayakan tersedianya dana bagi pengembangan usaha agribisnis karet.
Dukungan pendanaan dari perbankan diharapkan akan kembali pulih sebagaimana
sediakala, karena usaha agribisnis karet masih cukup prospektif dan tingkat
profitabilitasnya cukup memadai, serta sifat dari arus tunainya (cash flow)
berkelanjutan.
Di bidang fiskal, pemerintah di semua tingkatan hendaknya memiliki kebijakan
yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis karet, yaitu pembebanan pajak
dan pungutan lainnya yang rasional, baik menyangkut besaran yang dibebankan,
maupun prosedur penerapannya. Pemerintah memikirkan dampak jangka panjang
dalam penetapan retribusi ataupun pungutan-pungutan lainya dalam usaha
agribisnis karet.
2. Kebijakan industri (industrial policy) yang memberi prioritas pada pengembangan
klaster industri (industrial cluster).
Arah kebijakan industri (industrial policy) memberikan prioritas pada
pengembangan klaster industri (industrial cluster), yaitu kebijakan yang didasari
atas kepentingan jauh ke depan, berorientasi pada nilai tambah domestik dengan
proses produksi yang efisien dan efektif dan terintegrasi dalam semua
tingkatan/subsistem mulai subsistem hulu (on farm), pengolahan, pemasaran dan
jasa pendukung lainnya
3. Kebijakan perdagangan internasional (international trade policy) yang netral namun
antisipatif baik secara sektoral, domestik, maupun antar negara dalam kerangka
mewujudkan suatu perdagangan yang lebih bebas dan lebih adil (freer and fairer
trade) dan dinamis dalam merespon perkembangan pasar.
4. Kebijakan pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon,
pengairan) di daerah-daerah yang kondusif bagi keberlangsungan usaha agribisnis
yang efisien dan efektif.
Kebijakan dalam pengembangan infrastruktur agribisnis karet diupayakan pada
upaya konsolidasi dan optimalisasi pendayagunaan dan pemanfaatan potensi
sumberdaya infrastruktur yang ada (software maupun hardware), antara lain
kawasan-kawasan pembangunan terpadu yang pernah diperkenalkan dan
disosialisasikan
5. Kebijakan pengembangan kelembagaan (institutional policy) baik lembaga
keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan sumberdaya manusia, dan
penyuluhan, serta pengembangan kelembagaan dan organisasi petani.
6. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan secara efisien dan
bijaksana.
7. Kebijakan pengembangan pertumbuhan agribisnis karet di daerah.
8. Kebijakan ketahanan pangan dikaitkan dengan sistem dan usaha agribisnis karet.

3. Era ICT dan Industri 4.0 dalam pengembangan Agribisnis

4. Konsep Integrasi Vertikal dan Horizontal Sistem Agribisnis :


1. Vertikal : keterpaduan sistem komoditas secara vertikal yang membentuk suatu
rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem komoditas tersebut, mulai dari
produsen/penyedia input/saran produksi pertanian, distributor input/sarana
produksi pertanian, usaha tani, pedagang pengumpul, pedagang besar, usaha
pengolahan hasil pertanian (agroindustri) pedagang pengecer, eksportir, sampai
dengan konsumen domestik dan luar negri.
2. Horizontal : terselenggara apabila terdapat keterkaitan yang erat antarlini komoditas
pada tingkat usaha yang sama atau antarpara pelaku dalam suatu komoditas yang
sama.
Konsep integrasi Vertikal dan Horizontal pada Komoditas Karet

5. Environmental and Health Concerns


5.1 Dampak Aktifitas Perkebunan Terhadap Lingkungan

Meskipun harga karet alam secara global mengalami fluktuasi kuat dalam lima belas tahun
terakhir, harganya cenderung terus meningkat, karena alternatif karet sintetis bukan merupakan
tandingan lateks alami. Insentif keuangan ini, serta perluasan kelapa sawit, telah menyebabkan
perkebunan karet meluas di luar zona kenyamanan tropis di Indonesia dan menuju ke pinggiran
Asia Tenggara.

Hal tersebut telah membawa kekayaan bagi sebagian orang, tetapi tidak semua, kata para
peneliti. Mengingat lahan marginal sering terlalu kering, terlalu miring, terlalu tinggi, terlalu
basah, terlalu dingin, terlalu berangin, atau kombinasi dari semuanya, perkebunan karet
memerlukan peningkatan jumlah input berupa pupuk, pestisida dan tenaga kerja untuk
mempertahankan tingkat produksi.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim akan membuat 70% dari areal
perkebunan saat ini dan 55% dari areal perkebunan di masa depan, akan sangat buruk untuk
tanaman karet. Mata pencaharian petani kecil menghadapi ancaman tambahan dari fluktuasi
harga, hilangnya ketahanan pangan dan penyempitan sumber pendapatan.

Lingkungan juga ikut menderita. Lonjakan permintaan karet membuat lahan yang
berharga dan dilindungi, dikonversi menjadi perkebunan karet. Hal ini secara drastis akan
mengurangi stok karbon, produktivitas tanah, ketersediaan air, dan keanekaragaman hayati.
Kondisi ini sangat tragis dan memiliki kesempatan kegagalan yang tinggi. Pemantauan
ekspansi karet secara luas dan keberlanjutan ekonominya, akan terbukti penting untuk
perencanaan penggunaan lahan dan intervensi kebijakan.

5.2 Dampak Aktifitas Pabrik Terhadap Lingkungan


5.2.1 Dampak Lingkungan
Bau busuk menyengat terjadi disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk yang
melakukan biodegradasi protein di dalam bokar menjadi amonia dan sulfida. Kedua hal
tersebut terjadi karena bahan pembeku lateks yang digunakan saat ini tidak dapat
mencegah pertumbuhan bakteri. Kemudian bau busuk tersebut dibawa terus sampai ke
pabrik karet remah dan di pabrik yang menjadi sumber bau busuk tersebut adalah
berasal dari tempat penyimpanan bokar, kamar gantung angin (pre-drying room), dan
mesin pengering (dryer). Hal ini menyebabkan masyarakat sangat terganggu terhadap
bau busuk, ini menandakan bahwa masyarakat yang tinggal sekitar pabrik karet
mengalami tekanan dari lingkungan tempat tinggal sehingga kenyamanan masyarakat
sekitar terganggu
5.2.2 Dampak Sosial
Hubungan sosial industri dan komunitas Iokal telah menciptakan Fragmentasi di
komunitas. Terdapat dua kelompok yaitu Penduduk lama (pekerja pabrik dan bekas
pekerja pabrik) dan pendatang. Keduanya berbeda pandangan dan sikap dalam
merespon keberadaan pabrik. Dalam waktu yang cukup lama telah terjadi konflik yang
bersifat laten antar komunitas itu sendiri dan antara komunitas pendatang dengan pihak
pabrik
5.2.3 Dampak Ekonomi
Hubungan ekonomi industri dan komunitas lokal ditemukan masalah. Karena biasanya
perusahan karet merupakan industri padat modal dan teknologi yang sedikit menyerap
tenaga kerja. Sementara itu sebagian kecil tenaga kerja lokal hanya ditampung sebagai
buruh harian tetap dan lepas. Upah kerja mereka relatif rendah dan menempati
perumahan yang tak terawat dan kumuh. Tenaga kerja borongan, jumlahnya Iebih
banyak yang didatangkan dari luar komunitas.

6. Connectivity and Networking


Bahan baku karet Indonesia menjadi primadona di beberapa negara di dunia. Produksi
karet alam Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam
negeri. Ekspor karet ini menjangkau hingga ke-lima benua besar yang ada di dunia yaitu Asia,
Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia dan total ekspor sebanyak
pada tahun 2017 sebanyak 3,2 Juta Ton . Pada tahun 2017, lima besar negara pengimpor karet
alam Indonesia adalah United States, Japan, China, India, dan Korea

Dengan adanya ekspor bahan baku karet ke berbagai negara besar menyebabkan
meningkatnya koneksivitas serta jaringan/ kerjasama negara Indonesia dengan berbagai
perusahaan. Indonesia banyak melakukan kerja sama dengan perusahaan atau industri- industri
besar, contohnya yaitu industri otomotif negara kedua terbesar di Amerika Selatan ini tepatnya
berada di Argentina. Perusahaan Fate, sebagai salah satu dari 5 (lima) besar perusahaan
penghasil ban kendaraan bermotor di Argentina, mengimpor sekitar 18.000 ton bahan baku
karet per tahun yang mana hampir 90%-nya diimpor dari Indonesia. Perusahaan Fate
mengimpor karet berstandarkan SIR-20 (Standard Indonesian Rubber-20) dari berbagai
perusahaan di Indonesia seperti Kirana Megatara Group, PT Asia Rubberindo, PT Felda Indo
Rubber, dan sebagainya. Nilai impor bahan baku karet dari Indonesia tersebut diperkirakan
mencapai US$ 18 juta pada tahun 2016.

Sejumlah perusahaan kolaborasi Asing-Nasional saat ini juga tengah membangun


kerjasama dengan Indonesia. Dengan cara membangun perkebunan karet di Kalimantan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku karet alam perusahaan ban merek Achilles. Sementara itu
produsen Petrokimia Indonesia, Chandra Asri Petrochemical, dan produsen ban asal Prancis,
Compagnie Financiere Michelin juga telah mengumumkan rencana untuk mengembangkan
tanaman karet sintetis di Indonesia dan masih banyak lagi.

7. Risk and uncertainty

Secara umum dalam berusaha tani selalu dihadapkan pada masalah risiko dan
ketidakpastian. Masalah iklim seperti musim kemarau panjang, hujan yang tidak menentu,
masalah serangan penyakit tanaman yang sulit diduga sebelumnya, masalah bencana alam
seperti banjir, gempa dan letusan gunung merapi, masalah kekurangan air irigasi atau air hujan
atau masalah lain adalah contoh betapa kehidupan tanaman ini sebenarnya tunduk pada aspek
risiko dan ketidakpastian, (Soekartawi dalam Abdullah, 1993). Dengan demikian usahatani
karet juga dihadapkan pada masalah risiko iklim, hama penyakit dan produksi yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan para petani.
Pertanian karet bukanlah pertanian tanpa resiko. Faktor musim dapat mempengaruhi
produksi getah yang dihasilkan tanaman karet. Tanaman karet memerlukan curah hujan
optimal antara 2.000-2.500 mm/tahun dengan hari hujan berkisar 100-150 hh/tahun. Lebih baik
lagi jika curah hujan merata sepanjang tahun. Sebagai tanaman tropis karet membutuhkan sinar
matahari sepanjang hari, minimum 5-7 jam/hari (Syakir, 2010 : 3). Selain itu fluktuasi suhu
dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan hama dan penyakit tanaman/organisme pengganggu tanaman (OPT). Hal ini
merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan
pohon karet. (Balitklimat, 2011)
Pada musim panas produksi karet lebih baik karena getah yang dihasilkan merupakan
hasil sampingan yang diproduksi oleh pohon karet untuk beradaptasi pada musim panas
sehingga getah yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik dan dapat menaikkan harga jual.
Sedangkan pada musim hujan yaitu curah hujan yang tinggi menyebabkan kualitas getah yang
dihasilkan tidak begitu baik. Getah yang dihasilkan pada musim hujan mengandung air,
kualitas panennya juga tidak bagus akibat getah karet bercampur air sehingga getah menjadi
rusak dan dapat menurunkan harga jual.
Faktor musim tersebut dapat berdampak pada kehidupan ekonomi petani karet. Pada
musim panas petani dapat memenuhi kebutuhan pokonya sehari-hari yaitu makan,
perlengkapan sehari-hari, uang belanja anak, dan lain sebagainya. Sedangkan pada saat terjadi
musim hujan petani karet mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari.
Pada saat musim panas petani karet bisa melakukan penyadapan setiap hari dan
pendapatan yang normal sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Meskipun harga
karet mengalami penurunan petani karet masih tetap bisa memperoleh pendapatan. Sedangkan,
pada musim hujan intensitas penyadapan karet terganggu bahkan sampai tidak bisa melakukan
penyadapan. Pada saat ini petani karet hanya memperoleh pendapatan yang sedikit sehingga
berdampak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi dengan terjadinya
penurunan harga karet.

8. Keilmuan dalam Agribisnis


https://www.academia.edu/32541629/IDENTIFIKASI_DAMPAK_AKTIFITAS_PENG
OLAHAN_KARET_TERHADAP_LINGKUNGAN

http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/b4karet

http://scholar.unand.ac.id/18318/2/BAB%20I.pdf

https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/56619/6/2012and_BAB%20I%20Pend
ahuluan.pdf

www.bps.go.id Statistik Karet Indonesia 2017.

Anda mungkin juga menyukai