Anda di halaman 1dari 18

"TEOLOGI ISLAM" Prof.

Harun Nasution

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Teologi dalam islam disebut ilmu al-tauhid dan ilmu kalam. Teologi merupakan ilmu yang
membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Bagi setiap orang yang ingin
mengetahui lebih mendalam tentang seluk beluk agamanya, perlu untuk mempelajari teologi
yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Seseorang yang mempelajari teologi akan
merasa keyakinan-keyakinannya lebih kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh
peredaran zaman. Karena, dalam teologi atau ilmu kalam dibahas mengenai aliran-aliran
beserta ajaran, sekte-sekte, serta sejarah munculnya paham tersebut, yang semua aliran
tersebut berkembang setelah peninggalan Rasulullah Saw yakni dimasa sahabat Ustman bin
Affan. Seperti: munculnya a)kaum Khawarij, yang merupakan pengikut Ali yang keluar dari
barisannya karena tidak setuju dengan keputusan tahkim yang dilakukan pihak Ali dan
Muawiyah. b) kaum Syiah merupakan pengikut setia Ali c) kaum Murjiah d) Qadariah dan
Jabariyah e) mu’tazilah f) ahlussunnah wal jama’ah yang kemudian pecah menjadi Asy
‘ariyah, dan al-Maturidiyah.

PENTINGNYA MEMBUAT LAPORAN

Laporan ini sangat penting dibuat, agar bisa membimbing manusia khususnya diri saya
sendiri, untuk mengetahui teologi lebih mendalam sehingga menguatkan keyakinan tentang
ajaran yang dipahami.

MANFAAT DAN MENARIKNYA MEMBUAT LAPORAN

Manfaatnya yaitu, kita mengetahui dan mengerti akan apa yang dimaksud dengan teologi
beserta mengetahui perbedaan ajaran dalam aliran teologi yang berkembang.
Menariknya yaitu, kita mengetahui seluk beluk kemunculan ilmu kalam, dan menambah
wawasan keilmuan kita.

BAB II
PEMBAHASAN

BAB 1 "SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI


DALAM ISLAM"

Dalam agama Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan
bukan dalam bidang teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran
Islam yang beliau terima dari Allah SWT di mekkah, kota ini mempunyai sistem
kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Dalam sejarah, selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi sebagai
kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahaan, karena kekuasaan
politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi
Muhammad SAW, di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.
Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini.
Ketika beliau wafat tahun 632 M masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau
untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal
kedua bagi mereka. Timbulah masalah khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad SAW
sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam pada
waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian
Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab oleh ‘Usman Ibn ‘Affan oleh Ali Ibn
Tholib.
‘Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai
pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin
administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke
bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan
tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia
mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaaan Islam.
Gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai
orang kuat dan tidak mementingkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong ‘Usman,
ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini.
Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi khalifah
mulai pula menanggukan di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang
muncul di daerah-darerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang
digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi Sarah, salah satu kaum keluarga ‘Usman, sebagai
Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak kumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa kepada pembunuhan ‘Usman oleh
pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini.
Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Tetapi
segera ini mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah, terutama
Tolhah dan Subeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari
‘Aisyah, Talhah dan Zubeir ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun
656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pada masa khalifah ‘Ali dan sesudahnya, umat Islam pecah menjadi beberapa aliran-aliran
teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah dan Maturudiyah. Aliran-aliran Khawarij tidak, Murjiah dan Mu’tazilah tidak
mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.

BAB 2 "KAUM KHAWARIJ"

Kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali ibn Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase
sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Muawiyah ibn Abi
Sufyan. Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan
karena kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat
yangmengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surt al-Nisa’.
Dalam lapangan ketata-negaraan kaum khawarij mempunyai paham yang berlawanan dengan
paham yang ada diwaktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka
khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badawi. Hidup diapadang pasir
yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran,
tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain.
Kaum khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil. Menurut al-Syahrastani,
mereka terpecah menjadi delapan belas sub sekte, dan menurut al-Baghdadi dua puluh sekte.
Al-Asy’ari menyebut sub sekte-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan al-
Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Muawiyah, ke dua pengantar Amr Ibn al-As dan Abu Musa
al-Asy’ar dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.
Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru setelah hancurnya golongan al-muhakimah.
Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ ibn al-Azraq. Sub sekte ini sikapnya lebih
radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musrik atau
pholytheist. Dan di dalam islam syirk atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar, lebih
besar dari kufr.
An-Najdat
Najdah ibn Amir al-Hanafi pemimpin dari golongan ini. Najdah, berpendapat bahwa orang
berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tak
sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, akan
mendapat siksa, tetapi bukan dineraka, dan kemudian akan masuk syurga.
Dosa kecil bagi golongan ini, akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus-menerus dan
yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim ibn Ajrad yang menurut al-Syahrastani
merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.
Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Afsar. Dalam faham, mereka dekat sama dengan
golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrem.
Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij.
Namanya diambil dari ‘Abdullah ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari
golongan al-Azariqah.

BAB 3 "MURJIAH"
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan
oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan
umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat kaum Khawarij,
pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena
adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia kepadanya bertambah keras
dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golonganlain dalam Isalmyang
dikenal dengan nama Syi’ah.
Kata Murji’ah berasal dari Aarj’a yang mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin
dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan kepada yang berbuat dosa
besar untuk mendapat rahmat Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat bahwa nama Murji’ah
diberikan kepada golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hokum terhadap
orang Islam yang berbuat dosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula
karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tapi karena
memberi pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk masuk surga.
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi kedalam dua golongan besar, golongan moderat
dan golongan ekstrim.
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh
karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Salah satu tokoh besar kaum Murji’ah adalah Abu Hanifah. Di dalam hal ini Abu
Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan
tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan
dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau
berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.
Namun menurut al-Asy’ariyah sendiri iman ialah pengaukuan dalam hati tentang
keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa.
Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari
iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di
tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula
kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai
dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukan ke dalam surga, karena
tidak mungkin ia kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak
kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
Selanjutnya, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah
moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran mereka
mengenai iman, kufr dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah.
Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri,
tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran
ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti
ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.

BAB 4 "QADARIYAH DAN JABARIYAH"

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia itu sendiri. Selanjutnya Tuhan
bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah
pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada kehendak
dan kekuasan mutlak Tuhan dalam menetukan perjalanan hidup? Diberi Tuhankah manusia
kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat sepenuhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariah manusia mempunyai kebebasan
dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, nama
Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar atau kadar tuhan (free will dan fre act).
Kaum jabariyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak
mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa.
Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.
Menurut ahli-ahli teologi islam, faham Qadariah pertama kali ditimbulkan oleh Ma’bad al-
Juhani. Menurut ibn Nabatah, Ma’bad al-jauhani dan temannya Ghailan al-Dimisqy
mengambil faham ini dari seorang kristen yang masuk islam di irak.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan daya
sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Selain dari penganjur
faham Qadariah, ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah.
Sedangkan faham jabariah pertama kali di tonjolkan oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang
menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Menurut jahm, manusia tidak
mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-
perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

BAB 5 "MU'TAZILAH"

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij
dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat
nama “ kaum rasionalis Islam.”
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang
terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di
Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang
yang berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir
sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih
berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil
posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri dan
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangai
pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari
kita (i’tazala’ ana).” Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani,
disebut kaum Mu’tazilah.
Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus
tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau
turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina aliran Mu’tazilah
adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa
qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan
meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn
al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri.
Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan,
kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah.
Ketiga sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id, janji baik dan
ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar, memrintahkan orang berbuat
baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan.
Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani,
Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.
Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah,
hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di atas. Orang
yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai dikemukakan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah
sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut.
Al-Tawhid, al-’Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-’Amr bi
al-Ma’ruf wa alNahy ’an al-Munkar.
Demikianlah uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapat-
pendapat mereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.

BAB 6 "AHLUSSUNNAH WA JAMAAH"

Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham golongan-golongan
Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka yang menyiarkan
ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usah telah dijalankan untuk menyebar ajaran-ajaran
itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam.
Puncak kejayaan kaum Mu’tazilah pada waktu itu ialah pada masa khalifah setelah al-
Ma’mun di tahun 827 M mengakui Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut oleh
negara.
Pada hakikatnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi,
bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tapi mereka ragu akan
keoriginilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka
dapat dipandang sebgai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Mungkin dari sinilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah
yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi
Islam adalah kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. Walaupun al-Asy’ari sendiri telah telah
puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Tokoh-tokoh dalam golongan Asy’riaah diantaranya, Abu Hamid al-Ghazali, al-Juwani, al-
Baqillani, dll.
Adapun ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya,
terutama dari kitab al-Luma’ Fi al-Rad ’ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ’an
Ushul al-Dianah di damping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai
penentang Mu’tazilah, sudah tentia ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil
kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah
pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi
Yang Mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya
bukalah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendenganr
dan melihat.

Aliran Maturudiah
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand
pada pertengan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak
banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu H nifah dan faham-
faham teologinya banyak banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu
Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan
teologi Ahli Sunnah dan Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturudiah.
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran al-Maturudiah tidak sebanyak
literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas tentang
sekte-sekte seprti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak
memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-
karangan al-Maturidi sendiri belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat).
Diantaranya yaitu, Kitab al-Tauhid, Risalah Fil al-‘Aqa’id, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Usul al-
Din (dikarang oleh pengikutnya) dan Kitab Ta’wil al-Qur’an.
Al-Maturudi banyak memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara
teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, keduanya timbul
sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai soal al-wa’ad wa al-wa’id al-Maturidi
sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh mesti terjadi
kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturudi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia
tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan
mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interprestasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya
tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan. Dalam aliran al-Maturidi
sendiri terdapat dua golongan: golongan samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi
sendiri dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Aliran al-Maturudiah banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

BAB 7 "AKAL DAN WAHYU"

Akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibahas mengenai permasalahan pokok seperti : 1)
Mengenai Tuhan; 2) Kewajiban mengenai Tuhan; 3) Kewajiban mengetahui baik dan jahat;
4) Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Menurut aliran Mu’tazilah sebagai penganut kalam rasional berpendapat bahwa akal
mempunyai kemampuan mengetahui keempat permasalahan pokok tersebut. Sementara itu
menurut Maturidiyah Samarkhand yang juga termasuk penganut aliran kalam rasional
mengatakan : “kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindar yang buruk, akal
mempunyai kemampuan untuk mengetahui ketiga hal lainnya”.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah sebagai penganut aliran kalam tradisional berpendapat bahwa
akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya diketahui manusia
berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan
kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat permasalahan
pokok tersebut yaitu mengetahui Tuhan, dan mengetahui yang baik dan jahat dapat diketahui
dengan akal, sedangkan dua permasalahan lainnya hanya dapat diketahui dengan wahyu.

BAB 8 "FUNGSI WAHYU"

Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui akal.
Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian
menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Bukan hanya itu, bagi kaum
Mu’tazilah wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan
upah yang akan diterima manusia di akhirat. Kiranya dapat disimpulkan bahwa wahyu bagi
kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan informasi, memperkuat apa-apa yang
telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum dikethui akal, dan dengan
demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
Dalam pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja,
maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika
sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya.
Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih
kurang daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya
untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam pendapat golongan
kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Lebih tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka
sedangkan manusia dalam pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka.
Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada itu manusia dalam
pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam
pandangan cabang Bukhara.

BAB 9 " FREE WILL DAN PREDESTINATION"


Karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi
bebas, sudah barang tentu kaum Mu’tazilah menganut paham qadariah dan free will. Dan
memang mereka disebut juga kaum Qadariah. Ada pula keterangan-keterangan dan tulisan-
tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya
manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Dan sudah jelas bahwa bagi kaum Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang
mewujudkan perbuatan manusia.
Sedangka bagi kaum Asy’riah, di sini, karena manusia dipandang lemah, paham qadariah
tidak terdapat. Kaum Asy’riah dalam hal ini dekat dengan kaum Jabariah daripada kepada
kaum Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan.
Ada perbedaan persepsi diantara paham teologi Islam menegenai “kemuan dan daya untuk
berbuat.” Kaum Asy’riah berpenapat bahwa kemuan dan daya berbuat adalah kemauan dan
daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri (perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia).
Sedangkan menurut paham al-maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia
jelaskan apakah daya itu daya manusia, sepeti dijelaskan Mu’tazilah.

BAB 10 "KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN"

Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat pada aliran-aliran teologi Islam
mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas
kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehenaak
mutlak Tuhan.
Dalam menjelasakan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al- Asy’ari
menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak
ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat
dan apa yang tidak boleh dibuat. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-
Nya.
Berlainan dengan paham Asy’ariah in, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa
kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifatmutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian
Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham
Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentuka kemauandan perbuatan.
Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam golongan Maturidi Samarkand, tidak
sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak
pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan
mutlak Tuhan.

BAB 11 "KEADILAN TUHAN"

Paham keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia dan paham
sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum Mu’tazilah karena percaya kepada kekuatan akal, dan kemerdekaan serta
kebebasan manusia, mempunya tendesi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan kepentingan
manusia. Kemudain kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai
makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat
segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasan Tuhan, mempunyai
tendesi yang sebaliknya. Mereka menolak paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan, tujuan yang berarti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Dalam hal ini, kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama
dengan kaum Asy’ariah. Sedangkan kaum Maturidiah golongan samarkand, karena menganut
paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal
ini posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariah. Tetapi tendesi
golongan ini untuk meninjau wuju dari sudut kepentingan lebih kecil dari tendesi kaum
Mu’tazilah.

BAB 12 "PERBUATAN-PERBUATAN TUHAN"

1. kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia


Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan menjadi satu kewajiban, yaitu
kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Bagi kaum Asy’ariah, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima,
karena hal itu bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
mereka anut. Faham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap
makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagai kata al-
Ghazali perbuatan-peerbuatan Tuhan tidak bersifat wajib (jaiz) dan tidak satupun dari
padanya yang mempunyai sifat wajib.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara sefaham dengan kaum Asy’ariah tentang tidak
adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tetapi sebagai akan dilihat, al-Bazdawi dalam hal
ini memberi pendapat yang bertentangan.

2. Berbuat baik dan Terbaik

Dalam istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa
al-aslah. Term ini dalam teologi Islam terkenal sebagai term Mu’tazilah. Yang dimaksud
ialah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang
merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum Mu’tazilah.
Bagi kaum Asy’ariah jelas bahwa faham ini tak dapat diterima, karena
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh
al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan teraik bagi
manusia.
Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya, juga tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah
dalam hal ini.

3. Beban Diluar kemampuan Manusia

Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan paham berbuat
baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima paham bahwa
Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul.
Kaum Asy’ariah karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, dapat menerima paham pemberian beban yang
di luar kemampuan manusia ini.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariah dalam soal
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan dari golongan Samarkand mengambil
posisi yang dekat dengan kaum kaum Mu’tazilah.

4. Pengiriman Rasul-rasul

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu


penting. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang wahyu, fungsi wahyu lebih banyak
bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui
akalnya.
Kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam
ghaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan
manusia. Bagi merekalah seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib, sedang
bagi kaum Mu’tazilah pengiriman yang demmikian seharusnya tidak mempunyai sifat wajib.
Adapun tentang pendapat golongan Samarkand, hal itu dapat diketahui dari
keterangan al-Bayadi. Dalam Isyarat al-Maram, al-Bayadi menjelaskan bahwa banyak dari
kaum Maturidiah yang sefaham dengan kaum Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman
Rasul-rasul.

5. Janji dan Ancaman

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum
Mu’tazilah. Bagi kaum Asy’ariah, sebagai sebagai diketahui, Tuhan boleh saja melanggar
janji-janji-Nya. Bagi kaum Maturidiah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar
janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik
BAB 13 "SIFAT-SIFAT TUHAN"
1. Sifat Tuhan pada Umumnya

Sebagai telah dilihat dalam bagian pertama, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi tentang
Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ariah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Arti
“Tuhan mengetahui” kata Abu al-Huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
Kaum Mturidiah golongan Bukhara juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka
selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang
terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalann sifat-sifat itu sendiri juga dengan
mengatakan bahwa Tuhan bersama sifat-sifat-Nya kekal, tetapi sifat itu sendiri tidaklah
kekal.

2. Antrophomorphisme

Karena Tuhan bersifat ammateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut faham
ini.
Kaum Asy’ariah juga tidak menerima antrophomorphisme dalam arti bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara dalam hal ini tidak sefaham dengan Asy’ariah. Tangan
Tuhan menurut al-Bazdawi, adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama
dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Golongan Samarkand, seperti
biasanya dalam hal-hal lain, mengambil posisi Mu’tazilah. Al-Maturidi mengatakan, bahwa
yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak
mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani karena badan tersusun dari
substansi dan accident. Manusia berhajat padaanggota badan, karena tanpa anggota badan
manusia menjadi lemah.

3. Melihat Tuhan

Logika mengatakan, karena Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
Kaum Asy’riah berpendapat sebaliknya, bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepala di akhirat nanti.
Kaum Maturidiah dengan ke dua golongannya sefaham dalam hal ini dengan kaum
Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapatbahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai
wujud. .

4. Sabda Tuhan

Kaum Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda


bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Sedangkan kaum Asy’ariah berpegang keras bahwa
sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.
Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy’ariah bahwa
sabda Tuhan atau al-Qur’an adalah kekal

BAB 14 "KONSEP IMAN"

Dalam pandangan kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia
tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah
atau ‘amal. Selanjutnya iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman adalah al-
tasdiq bi Allah (menerima sebagai kabar adanya Tuhan). Sedangkan pandangan kaum
AMu’tazilah iman bukanlah tasdiq, dan ma’rifah. Tapi ‘amal yang timbul sebagai akibat
mengetahui dari Tuhan. Dan iman dalam arti mengetahui pin belumlah cukup.
Kaum Maturudiah dari golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal
ini dengan kaum Asy’ariah. Sedangkan menurut golongan Samarkand iman mestilah harus
lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.

BAB III
PENUTUP
KOMENTAR KRITIS

Buku teologi islam karya Prof.Harun Nasution sebenarnya telah detail menjelaskan
tentang aliran-aliran yang muncul pada saat itu. Namun, sebaiknya buku tersebut direvisi
kembali jika akan dicetak ulang. Sebab, saat ini juga berkembang aliran Ahmadiyyah yang
itu merupakan persoalan Teologi juga. Dan hal itu tidak diterangkan dalam buku tersebut.

MANFAAT BUKU BAGI PEMBACA

Pembaca akan mengetahui aliran-aliran teologi yang berkembang beserta ajaran-


ajaranya. Sehingga lebih memantapkan lagi keyakinan-keyakinan kepada agamanya seerta
mengetahui perbedaan-perbedaan dalam ajarannya denga aliran teologi yang lainnya. Dan
tidak semena-mena menyalahkan aliran yang tidak sepaham denganya.

KESIMPULAN
Persoalan ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Utsman bin Affan yang berlanjut pada penolakan Muawiyyah terhadap
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sehingga terjadi berlanjut kemedan pertempuran, yang
sering dikenal dengan perang siffin yang berakhir denga keputusan tahkim antara Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah yang diwakili oleh Abu Musa al-asy’ari dari pihak Ali dan Amr bin
Ash dari pihak Muawiyah. Dari peristiwa tahkim ini, muncullah Khawarij yakni orang-orang
yang pertama berada dipihak Ali kemudian keluar dan memisahkan diri dari pasukan Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan yang setia mendukung Ali disebut Syiah.
Persoalan ilmu kalam pertama kali yang muncul adalah persoalan mengenai siapa yang kafir
dan siapa yang bukan kafir. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, mereka adalah kafir yang berdasarkan firman Allah didalam surat al-
Maidah ayat 44.
Selanjutnya,persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij, yang menegaskan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti telah
keluar dari islam, dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu diserahkan kepada keputusan akhir Allah Swt
untuk mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran mu’tazilah, tidak menerima pendapat aliran khawarij dan Murji’ah. Aliran ini
menegaskan bahwa pelakou dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Yang disebut juga
dalam ajaran aliran ini al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Dalam islam muncul pula aliran teologi Qadariah dan Jabariah. dalam paham Qadariah
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariah,
berpendapat sebalinya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.
Selanjutnya muncul Aliran teologi tradisional yakni Asy’ariyah dan al-Maturidi yang
keduan aliran ini menentang aliran Mu’tazilah yang bersifat Rasional. Kedua aliran ini
disebut juga ahlussunnah wa al-jamaah.

Anda mungkin juga menyukai