Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Fraktur merupakan patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (price &
Wilson, 2012).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer, 2013).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur merupakan kerusakan struktural
dalam tulang, lapisan epifisis, atau permukaan sendi tulang rawan. Faktur terjadi ketika
tekanan yang kuat diberikan kepada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang
yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis (Grace, 2006 dalam Mintarsih, 2016).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2011).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan terputusnya
kontinuitas jaringan dapat disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah dan organ tubuh, biasa terjadi oleh trauma baik
langsung maupun tidak.

B. Etiologi
a. Trauma langsung : benturan pada tulang mengakibatkan fraktur di tempat tersebut,
b. Trauma tidak langsung : tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari area
benturan dan
c. Fraktur biologis : fraktur yang disebabkan trauma yang minimal atau tanpa trauma.
Contoh fraktur patologis : osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan tumor
tulang (Mintarsih, 2016).
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris)
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
- Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang; patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
- Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang; patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang)
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
- Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
- Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
- Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
- Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
- Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen.
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
- Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
- Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan
- tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
- Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan


antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
- Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
- Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
- Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif (Mintarsih, 2016).

D. Patofisiologi
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur
yaitu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan), intrinsik (meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan adanya densitas tulang tulang. yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada
tulang bermacam-macam antara lain trauma (langsung dan tidak langsung), akibat keadaan
patologi serta secara spontan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, pada keadaan ini biasanya
jaringan lunak tetap utuh. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar, membengkok,
kompresi bahkan tarikan. Sementara kondisi patologis disebabkan karena kelemahan tuklang
sebelumnya akibat kondisi patologis yang terjadi di dalam tulang. Akibat trauma pada tulang
tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Sementara fraktur spontan terjadi
akibat stress tulang yang terjadi terus menerus misalnya pada orang yang bertugas
kemiliteran (Mansjoer, 2007).

Trauma langsung, trauma


tidak langsung, dan kondisi
patologis

Fraktur

Diskontiunitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang lebih


tinggi dari kapiler
deformitas Peningkatan tek kapiler Pelepasan katekolamin

gg. fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolism asam lemak

Kerusakan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dengan trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah

Putus vena/ateri Kerusakan integritas kulit Ketidakefektifan perfusi


dan Ris. Infeksi jaringan perifer

E. Manifestasi klinis
Perdarahan Kehilangan volume cairan Ris. Syok (hipovolemik)
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri pembengkakan
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi
pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, ekcelakaan kerja, trauma olahraga
d. Gangguan fungsi anggota gerak
e. Deformitas
f. Kelainan gerak
g. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain (Nurarif, 2016).
Menurut Mansjoer (2002), Manifestasi klinis fraktur adalah
1. Nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
2. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
3. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya
otot.
4. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
5. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan :
peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cedera hati
(Wijaya & Putri,2013).

G. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur adalah :
a. Non union adalah kegagalan penyambungan tulang setelah 5 bulan.
b. Delayed union adalah proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu yang lebih
lama dari perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan setelah perkiraan).
c. Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu yang
semestinya, namun tidak kembali seperti bentuk aslinya atau abnormal.
d. Cedera saraf perifer yaitu cedera peregangan ringan dan pembengkakan dapat
menyebabkan neuropraksia. Pemeriksaan hantaran saraf akan menjadi abnormal.
Penyembuhan biasanya terjadi dalam 10 minggu setelah cidera apabila tekanan
dihilangkan. Perbaikan secara bedah terhadap saraf perifer yang mengalami laserasi
mungkin diperlukan.
e. Sindrom kompartemen : pembengkakan yang tidak menyembuh pada kompartemen
osteofasia yang ketat dari ekstremitas dapat menyebabkan iskemia pada otot – otot dan
saraf – saraf yang menutupinya. Analgesik yang terus menerus dapat mengaburkan
gejala ini dan menghambat dekompresi pembedahan yang diperlukan.
f. Komplikasi kulit imobilisasi tanpa kaleng pemulih tekanan yang semestinya dan
penggunaan gips fraktur yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya ulkus tekan
(Mintarsih, 2016).
H. Pemeriksaan penunjang
a. X-ray : menentukan lokasi/luasnya fraktur
b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan;
peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse atau cedera
hati (Nurarif, 2016).

I. Penalatalaksanaan
Prinsip penatalaksaan fraktur ada 4, yaitu: Prinsip penatalaksaan fraktur ada 4, yaitu:
(Hutchinson and skinner, 1996)
a. Recognition: diagnosa dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui dan
menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal
pengobatan perlu anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. perlu diperhatikan: lokasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik sesuai utnuk pengobatan, komplikasi yang
terjadi selama utnuk pengobatan, komplikasi yang terjadi selama pengobatan.
b. Reduction: reposisi reposisi Tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan
tulang. Dapat dicapai yang manipulasi tertutup atau reduksi terbuka progesi. Reduksi
tertup terdiri dari penanganan traksinoval untuk memenarik fraktur. kemudian
memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal atau kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesegarisan normal atau dengan traksi mekanis. Reduksi terbuka
diindikasika jika reduksi tertutup gagal atau tidak memuaskan. Reduksi terbuka
merupakan alat frusasi intern internal yang digunakan itu mempertahankan dalam dalam
posisinya sampai sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan
plat. Reduction interna fixation (ORIF) yaitu dengan pembedahan terbuka akan
mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen
kedalam fraktur yang berfungsi untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan.
c. Retention: fiksasi dan imobilisasi
Imobilisasi fraktur bertujuan mencegah pergeseran frakmen dan mencegah pergeseran
yang dapat mengancam union. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan fraktur yang baik,
fragmen-fragmen tulang harus terikat dengan kuat pada posisi anatomi semula. Adanya
pergeseran fragmen tulang dapat mengganggu proses penyembuhan fraktur dimana
terjadi remodeling tulang secara perlahan sehingga terbentuk kontur tulang yang normal.
Pada posisi prinsipnya fiksasi dapat berupa alat yang rigid, semi-rigid, atau non-rigid
dimana penempatanya dapat internal maupun eksternal. Posisi yang akurat, oklusi dan
angulasi yang baik, tidak adanya interposisi jaringan lunak serta reduksi yang benar
sangat penting untuk memastikan terjadinya penyembuhan tulang yang baik. Penutupan
jaringan lunak baik mukosa maupun kulit sangat penting khususnya dalam kasus fiksasi
internal.
Untuk mempertahankan reduksi adalah dengan traksi. Traksi merupakan salah satu
pengobatan dengan cara menarik atau tarikan pada bagian tulang sebagai kekuatan
dengan control dan tehanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan
mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan
ligament tubuh atau mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan
anatomi tubuh dan mengimobilisasikan area spesifik tubuh.
d. Rehabilitation/mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin (Mintarsih, 2016).
Penatalaksaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama, yaitu:
 mengurangi rasa nyeri. Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa
nyeri yang hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat
diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan
bidai atau spalk maupun memasang gips.
 mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti pemasangan traksi kontinyu,
fiksasi eksternal, fiksasi internal sedangkan bidai maupun gips hanya dapat
digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja.
 membuat tulang kembali menyatu. Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam
waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
 mengembalikan fungsi seperti semula. Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka utntuk mencegah hal
tersebut diperlukan upaya imobilisasi (Lestari, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. (2013). Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.2.EGC. Jakarta
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Hutchinson and Skinner, 1996. ABC of Major Trauma 2nd ed BMJ Publishing Group, London
Mansjoer, A dkk. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius
Mintarsih, S., & Nabhani, N. (2016). Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan
Nyeri Laki dan Perempuan Post Operasi Fraktur. Jurnal Kesehatan Midwinerslison
4(11).
Muttaqin, Arif. (2009). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2016). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi III. Jakarta: EGC.
Widayati, Dhina. Yusuf, Ahmad, Fitryasari Rizki. (2014). Peningkatan Penerimaan pada Nyeri
Kronis, Comfort dan Kualitas Hidup Lansia Melalui Acceptance and Commitment
Therapy (ACT). Jurnal Ners vol. 9(2): 252-261
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Yunanik, Esti Dwi Utami. (2014). Pengaruh ROM Exercise Dini pada Pasien Post Operasi
Fraktur Ekstremitas Bawah (Fraktur femur dan Fraktur Cruris) terhadap Lama Hari
Rawat di Ruang Bedah RSUD Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan 3(1).

Anda mungkin juga menyukai