Anda di halaman 1dari 151

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT

BADAN LINGKUNGAN HIDUP

SAMBUTAN
Lingkungan memiliki sifat sebagai milik
publik, sumberdaya yang tersedia secara luas
(common property), dan externalitas yang
kemudian menjadikan lingkungan menjadi asset
yang seringkali dianggap sepele dan murah
(priceless). Hal tersebut membangun stigma
berfikir yang menyebabkan sisi kerusakan
lingkungan seringkali dikesampingkan dalam
berbagai program dan kegiatan pembangunan
ekonomi. Indikasi yang paling sederhana adalah masih terbatasnya
ketersediaan publikasi indikator capaian pembangunan ekonomi yang
telah dikoreksi oleh nilai-nilai kerusakan akibat aktifitas ekonomi
tersebut.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai salah satu
indikator penting capaian pembangunan regional dan daerah sangat
perlu untuk disempurnakan dengan menyertakan nilai ekonomi
dampak negatif pembangunan, sehingga konsekuensi negatif dan
positif pembangunan terhadap lingkungan dapat tergambarkan
secara lebih jelas. Informasi ekonomi besaran manfaat (benefit) dan
kerusakana (degradasi) lingkungan ini nantinya akan menjadi referensi
untuk perumusan kebijakan pemerintah secara lebih arif guna
perencanaan dan implementasi pembangunan berkelanjutan.
Olehnya itu, kami menyambut gembira atas penerbitan
publikasi PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat ini dan berharap agar
semua institusi dan stakeholder terkait dengan pemberdayaan
lingkungan hidup dapat melakukan upaya yang sama.

Mamuju, Desember 2015


Kepala Badan

dr. Hj. Fatimah, MM

PDRB-HIJAU| SAMBUTAN i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan hehadirat Allah SWA atas segala
limpahan rahmat dan hidayahnya hingga penyusunan laporan akhir
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau Sektor Kehutanan
Provinsi Sulawesi Barat ini dapat diselesaikan sesuai dengan agenda
yang telah ditentukan semula.
PDRB sebagaimana yang kita kenal selama ini adalah salah satu
indikator pembangunan perekonomian daerah dan regional yang
telah banyak dan meluas digunakan, bahkan indikator tersebut
merupakan bagian penting dalam pertimbangan perencanaan
pembangunan dalam daerah. Namun demikian, salah satu kekurangan
dalam PBRB, yang dalam konteks ini disebut dengan PDRB-Coklat,
bahwa dalam analisisnya belum memasukkan nilai-nilai penyusutan
(deplesi) dan kerusakan (degradasi) sumberdaya alam. Sehingga pada
dasarnya indikasi nilai ekonomi yang selama ini diketahui secara
implisit mengandung nilai-nilai kerugian ekoonomi yang cukup besar
dan bahkan dapat menjadi bahan pebanding antara sejauhmana besar
manfaat dan kerusakan yang ditimbulkan dari suatu aktifitas (sektor
atau sub-sektor).
Penysunan PDRB-Hijau sebenarnya bukan hal yang baru, UU
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pasal 42 ayat (1) bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan
instrumen ekonomi lingkungan hidup. Dijelaskan lebih lanjut pada
pasal 43 ayat (1) huruf b, Instrumen perencanaan pembangunan dan
kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud, adalah penyusunan produk
domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup
penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
Olehnya sebagai bagian dari amanah konstitusi, maka BLH
Provinsi Sulawesi Barat melakukan inisiasi untuk melakukan
penyusunan PDRB-Hijau bersama dengan CV. Lestari Global
Resources. Pada kesempatan pertama ini, sebagai langkah permulaan
maka penyusunan terlebih dahulu dilakukan pada lingkup sub-sektor
kehutanan, yang nantinya akan terus dikembangkan hingga
menyentuh semua sektor pembangunan yang ada.

Makassar, Desember 2015

Tim Penyusun

ii KATA PENGANTAR | PDRB-HIJAU


DAFTAR SINGKATAN
ADHB Atas dasar harga berlaku
ADHK Atas dasar harga konstan
APL Areal penggunaan Lain
CA Cagar alam
DAS Daerah aliran sungai
HP Hutan Produksi Tetap
HPK Hutan Produksi Konservasi
HPT Hutan Produksi Terbatas
IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
IUPHHK-HA Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu –
Hutan Alam
IUPHHK-HTI Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-
Hutan Tanaman Industri
IUPHHK-HTR Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu –
Hutan Tanaman Rakyat
KPA Kawasan Pelestarian Alam
KSA Kawasan Suaka Alam
Mateng Mamuju Tengah
Matra Mamuju Utara
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
PDB Produk Domestik Bruto
Polman Polewali Mandar
SM Suaka Marga Satwa
Kemenhut Kementerian Kehutanan
BPS Badan Pusat Statistik
Sulbar Sulawesi Barat
PSDH Provisi Sumber Daya Hutan
DR Dana reboisasi

PDRB-HIJAU| DAFTAR SINGKATAN iii


DAFTAR ISTILAH
Berikut ini beberapa istilah yang digunakan dalam dokumen
ini yang dikutip dari Publikasi BPRB-Hijau Karang Ngasem, Tahun
2007; PDRB-Hijua Kabupaten Bantaeng Tahun 2009; Glossarium
BPS-RI dan beberapa literatur pendukung lainnya:
BALAS JASA INVESTASI: Jumlah uang yang dinyatakan dalam
persentase terhadap jumlah dana yang diinvestasikan
atau biaya yang dikeluarkan untuk produksi barang
yang bersangkutan. Umumnya diperkirakan sebesar
tingkat suku bunga yang berlaku di pasar (lihat laba
layak).
CONTINGENT VALUATION: Metode valuasi ekonomi terhadap jasa
lingkungan yang diberikan oleh suatu ekosistem dan
tidak dijual belikan di pasar. Metode ini biasanya
melibatkan survei terhadap responden tentang
kesediaannya melakukan pembayaran (contingent
variation = CV) atau kesediaannya menerima
pembayaran (equivalent variation = EV).
DEGRADASI: Kerusakan lingkungan yang merupakan penurunan
kualitas lingkungan alami. Contoh: penurunan
kesuburan tanah, rusaknya tata air, dsb.
DEPLESI: Menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan,
pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam.
Contoh: volume penebangan kayu, jumlah batu bara
yang ditambang.
HARGA PASAR: Harga barang dan jasa yang timbul karena
transaksi permintaan dan penawaran di pasar. Pasar
adalah pertemuan antara pembeli dan penjual.
IDENTIFIKASI: Merupakan kegiatan meneliti dan mengamati
macam sumberdaya alam yang dieksploitasi atau
dideplesi, maupun sumberdaya alam dan lingkungan
yang rusak atau terdegradasi.
INPUT ANTARA (Intermediate Inputs): Bahan atau masukan atau
input yang digunakan dalam proses produksi suatu
barang sehingga menjadi produk baru. Contoh:

iv DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU


Untuk menghasilkan kayu lapis diperlukan bahan
mentah kayu bulat, bahan pembantu lem, kanji
tapioka, dan obat pengawet. Semua bahan mentah
dan bahan pembantu yang digunakan disebut
dengan input antara.
JASA BIOLOGI: Jasa suatu habitat, misalnya hutan, terumbu karang,
hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai, dan
sebagainya, yang berupa pelayanan bagi hidup dan
berkembangnya keanekaragaman hayati termasuk
flora dan fauna.
JASA LINGKUNGAN: Jasa yang diberikan oleh suatu habitat seperti
hutan terumbu karang, hutan mangrove, padang
lamun, danau, sungai dan sebagainya, yang berupa
pelayanan seperti menyerap karbon, menaham
banjir, menjaga cadangan air, mempengaruhi tata air,
dan sebagainya.
KESEDIAAN MEMBAYAR (Willingness to Pay): Metode untuk
menentukan nilai suatu lingkungan dengan
menanyakannya kepada responden tentang
kesediaannya memberikan kontribusi
dipertahankannya suatu proyek atau untuk
ditolaknya suatu proyek.
KESEDIAAN MENERIMA PEMBAYARAN (Willingness to Accept):
Metode valuasi untuk suatu lingkungan dengan
menanyakannya kepada responden tentang
kesediaannya menerima ganti rugi untuk
dipertahankannya suatu proyek atau ditolaknya suatu
proyek.
KONTRIBUSI KEHUTANAN: Kontribusi atau sumbangan atau share
sektor kehutanan dalam pembentukan PDRB
Konvensional atau PDRB Hijau.
KUANTIFIKASI: Suatu langkah dalam penilaian ekonomi setelah
dampak dari suatu proyek diidentifikasi, kemudian
ingin diketahui berapa besar volume atau luasnya
dampak tersebut.
LABA LAYAK: Jumlah atau persentase laba atau balas jasa yang
layak diterima oleh seorang pengusaha karena

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISTILAH v


menanamkan uangnya pada usaha tertentu. Biasanya
besarnya persentase tersebut disamakan dengan
tingginya suku bunga bank yang berlaku di pasar.
NILAI EKONOMI TOTAL: Jumlah seluruh nilai sumberdaya alam dan
lingkungan yang terdiri dari nilai atas penggunaan
(use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use
value).
NILAI KEBERADAAN: Nilai sumberdaya alam dan lingkungan tanpa
harus adanya kontak antara seseorang dengan
sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud.
NILAI PILIHAN: Nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang timbul
karena orang memilih untuk tidak menggunakannya
sekarang dan lebih senang menggunakannya di
waktu nyang akan datang.
NILAI PRODUKSI: Jumlah produk dan atau jasa yang dihasilkan
oleh suatu kegiatan dikalikan dengan harganya di
pasar. Contoh: jumlah kayu yang ditebang dalam m3
dikalikan dengan harga kayu per m3 di pasar atau di
toko kayu.
NILAI TAMBAH: Harga produk atau jasa di pasar atau di toko
dikurangi dengan nilai semua input antara. Sebagai
contoh: Harga kayu gergajian di perusahaan
penggergajian kayu Rp. 800.000/m3. Harga kayu
bulat Rp. 400.000/m3, maka nilai tambahnya adalah
Rp. 800.000 – Rp. 400.000 = Rp. 400.000,-
NON-USE VALUE: Nilai lingkungan tanpa harus menggunakan atau
kontak langsung dengan orang yang memberikan
penilaian. Contoh: nilai satwa langka, nilai air terjun
dan nilai hutan lindung.
PDB: Produk Domestik Bruto untuk tingkat nasional
PDRB: Produk Domestik Regional Bruto adalah PDB untuk tingkat
daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
PDRB COKLAT: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung
secara konvensional belum memasukan nilai deplesi
sumberdaya alam dan degradasi lingkungan.

vi DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU


PDRB HIJAU: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung
dengan memasukan nilai deplesi sumberdaya alam
dan degradasi lingkungan atau nilai PDRB Coklat
dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan
nilai degradasi lingkunga.
PDRB HIJAU KEHUTANAN: Nilai tambah yang diciptakan sektor
kehutanan dengan memasukan unsur deplesi
sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan di
sektor kehutanan.
PDRB KONVENSIONAL: Sama dengan PDRB Coklat.
PDRB SEMI HIJAU: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung
dengan mengurangi nilai PDRB Coklat dengan nilai
deplesi sumberdaya alam saja.
PDRB PADA HARGA BERLAKU: PDRB yang nilainya dihitung
menurut hargaharga pada tahun yang bersangkutan.
PDRB HARGA KONSTAN: PDRB yang dihitung berdasarkan pada
harga tahun tertentu. Contoh: PDRB pada harga
konstan tahun 2010.
PENDAPATAN NASIONAL: Nilai PDB dikurangi penyusutan dan
pajak tidak langsung, kemudian dikurangi lagi
dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang
ditanam atau dipekerjakan orang asing di Indonesia,
ditambah dengan aliran pendapatan dari faktor
produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang
Indonesia di luar negeri.
PENDAPATAN REGIONAL: Pendapatan yang diciptakan oleh faktor-
faktor produksi di dalam suatu daerah. Nilai
pendapatan regional sama dengan nilai PDRB
dikurangi nilai penyusutan dan nilai pajak tidak
langsung.
PRODUK EKSTRAKTIF: Produk yang dapat diambil langsung dari
hutan. Contoh: kayu, madu, rotan.
PRODUK NON EKSTRAKTIF: Produk atau jasa yang dapat dinikmati
tanpa harus diambil dari hutan. Contoh: rekreasi,
pendidikan, penelitian, keindahan.

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISTILAH vii


RENTE EKONOMI: Economic Rent, yaitu nilai sumberdaya alam
semasa masih di tempatnya. Nilai rente ekonomi
disebut juga dengan nilai penggunaan (user cost),
(royalty). Contoh: nilai kayu tegakan (stumpage
value), nilai bahan tambang tatkala masih di dalam
tanah.
TRAVEL COST METHOD: Metode valuasi ekonomi dengan
menghitung biaya perjalanan seperti biaya financial
dan biaya waktu, serta total pengeluaran selama di
lokasi yang dituju. Biasanya digunakan untuk menilai
taman rekreasi.
UNIT RENT: adalah rata-rata nilai rente ekonomi per unit produk
atau nilai rente ekonomi total dibagi dengan jumlah
produk yang dihasilkan atau dideplesi.
USE VALUE: Nilai ekonomi terhadap produk-produk ekstraktif
sumberdaya alam. Contoh: nilai kayu, nilai ikan, nilai
timah yang diekstraksi.
VALUASI EKONOMI: Metode penghitungan nilai ekonomi untuk
sumberdaya alam dan lingkungan.
WTP (WILLINGNESS TO PAY): kesediaan membayar oleh seseorang
untuk mendapatkan lingkungan yang bersih.
WTA (WILLINGNESS TO ACCEPT): kesediaan seseorang menerima
pembayaran agar tetap bersedia menerima
pencemaran.

viii DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU


DAFTAR ISI
SAMBUTAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR SINGKATAN iii
DAFTAR ISTILAH iv
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
RINGKASAN EKSEKUTIF xviii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 4
1.3. Manfaat 4
1.4. Ruang Lingkup 4
BAB 2. KONSEP PDRB HIJAU 5
2.1. Pendapatan Daerah Reginal Bruto (PDRB) 5
2.2. PDRB Hijau 12
2.3. Ekonomi Sumberdaya Hutan 15
2.4. Kerangka Pikir 18
2.5. Visi, Misi dan Sasaran Pembangunan Ekonomi
Provinsi Sulawesi Barat 20
BAB 3. METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 39
3.1. Pendekatan 39
3.2. Tahapan Pelaksanaan Studi 39
3.3. Perhitungan PDRB Coklat 41
3.4. Kinerja Pembangunan Sektoral 42
3.5. Perhitungan PDRB Semi Hijau 43

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISI ix


3.6. Perhitungan PDRB Hijau 44
3.7. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 44
3.8. Perhitungan Deplesi Sumberdaya Kehutanan 47
3.8.1. Estimasi Volume dan Valuasi Deplesi
(kerusakan) Hutan 47
3.8.2. Prakiraan Nilai Degradasi 50
3.8.3. Perhitungan Konstribusi Hijau 52
3.9. Perhitungan Unit Rent 53
3.10. Menghitung Degradasi Sektor Kehutanan 54
3.11. Aplikasi Perhitungan Konstribusi Hijau Sektor
Kehutanan 55
3.11.1. Konsep Perhitungan 55
3.11.2. Data yang Diperlukan 58
BAB 4. PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN 59
4.1. Keadaan Umum 59
4.1.1. Geografi dan Adminsitrasi 59
4.1.2. Demografi 60
4.2. Perekonomian 66
4.2.1. Pertumbuhan Ekonomi 66
4.2.2. Struktur Perekonomian 69
4.2.3. Ketenagakerjaan 72
4.3. Gambaran Sektor Kehutanan Provinsi Sulawesi
Barat 74
4.3.1. Luas Kawasan Hutan dan DAS 74
4.3.2. Sumberdaya dan Ekonomi 81
4.3.3. Pengelolaan Hutan 85
BAB 5. KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA
PDRB (COKLAT DAN HIJAU) 89
5.1. PDRB Coklat Sektor Kehutanan 89
5.1.1. Nilai Tambah Sektor Kehutanan 89

x DAFTAR ISI | PDRB-HIJAU


5.1.2. Konstribusi Coklat Sektor Kehutanan 98
5.2. PDRB Hijau Sektor Kehutanan 101
5.2.1. Deplesi Sumberdaya Hutan 101
5.2.2. Degradasi Sumberdaya Hutan 106
5.2.3. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 113
5.3. Implikasi Hasil Analisis 115
BAB 6. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 119
6.1. Kesimpulan 119
6.2. Rekomendasi 121
Referensi: 122
LAMPIRAN 125

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISI xi


DAFTAR TABEL
Tabel 3-1. Forest Value Of Goods And Services Loss Due
To Timber Cutting (USD/Ha) ---------------------- 48
Tabel 3-2. Persentase dan Nilai Jasa Hutan ------------------ 51
Tabel 4-1. Luas, Persentase wilayah, banyak kecamatan
dan desa/kelurahan menurut kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 -------------- 60
Tabel 4-2. Jumlah, distribusi dan kepadadatan
penduduk menurut kabupaten di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2013 ----------------------- 61
Tabel 4-3. Jumlah dan rasio penduduk laki-laki dan
perempuan menurut Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2013 ----------------------- 61
Tabel 4-4. Rasio kelamin (laki-laki terhadap perempuan)
menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi
Barat, Tahun 2013 --------------------------------- 65
Tabel 4-5. Struktur ekonomi Provinsi Sulawesi Barat
menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013 --- 70
Tabel 4-6. Pertumbuhan rill ekonomi Provinsi Sulawesi
Barat menurut lapangan usaha, Tahun 2010 –
2013 ------------------------------------------------ 71
Tabel 4-7. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK
726/Menhut-II/2012 ------------------------------- 76
Tabel 4-8. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK
862/Menhut-II/2014 ------------------------------- 78
Tabel 4-9. Luas penutupan lahan kawasan hutan di
Provinsi Sulawesi Barat ---------------------------- 79
Tabel 4-10. Kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai
(DAS) di Provinsi Sulawesi Barat ------------------ 80

xii DAFTAR TABEL | PDRB-HIJAU


Tabel 4-11. Produksi kayu gergajian menurut perusahaan
di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 ----------- 82
Tabel 4-12. Produksi non-kayu menurut perusahaaan
pengelola di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2012------------------------------------------------- 82
Tabel 4-13. Produksi rotan menurut kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014 -------- 83
Tabel 4-14. Produksi getah pinus menurut kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014 -------- 83
Tabel 4-15. Perkembangan luas hutan rakyat menurut
kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2010-2014 ------------------------------------------ 86
Tabel 4-16. Produksi kayu kebun masyarakat menurut
jenis kayu di Provinsi Sulawesi Barat, tahun
2014------------------------------------------------- 88
Tabel 5-1. Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian
menurut sub sektor di Provinsi Sulawesi
Barat, Tahun 2010-2014 --------------------------- 90
Tabel 5-2. Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian
menurut sub sektor dan kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 -------------- 90
Tabel 5-3. Perkembangan PDRB-ADHB sub-sektor
Kehutanan di Provinsi Sulawesi Barat
menurut kabupaten, Tahun 2011-2014 ----------- 91
Tabel 5-4. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis
kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor
Kehutanan dalam Sektor Petanian di
Kabupaten Majene --------------------------------- 93
Tabel 5-5. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis
kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor
Kehutanan dalam Sektor Petanian di
Kabupaten Polman --------------------------------- 93
Tabel 5-6. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis
kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor

PDRB-HIJAU| DAFTAR TABEL xiii


Kehutanan dalam Sektor Petanian di
Kabupaten Mamasa ------------------------------- 93
Tabel 5-7. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis
kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor
Kehutanan dalam Sektor Petanian di
Kabupaten Mamuju-------------------------------- 94
Tabel 5-8. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis
kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor
Kehutanan dalam Sektor Petanian di
Kabupaten Mamuju Utara ------------------------- 94
Tabel 5-9. Perkembangan distribusi PDRB-ADHB
kehutanan terhadap total PDRB daerah
menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi
Barat, Tahun 2011-2014 -------------------------- 100
Tabel 5-10. Nilai rente ekonomi kayu hutan menurut
kebupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2010-2014----------------------------------------- 104
Tabel 5-11. Estimasi volume produksi kayu yang hilang
akibat kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi
Barat, tahun 2014 --------------------------------- 105
Tabel 5-12. Nilai deplesi produk kayu akibat kebakaran
hutan di provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014--- 106
Tabel 5-13. Estimasi luas hutan yang mengalami
degradasi menurut luas kebakaran hutan dan
estimmasi luas penebangan hutan, Tahun
2014 ----------------------------------------------- 107
Tabel 5-14. Koefisien nilai jasa hutan dalam USD dan
nilai konversi dalam rupiah per 30
September 2014 ---------------------------------- 108
Tabel 5-15. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2014 ---------------------- 109
Tabel 5-16. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk

xiv DAFTAR TABEL | PDRB-HIJAU


kabupaten Mejene dan Kabupaten Polman,
Tahun 2014 --------------------------------------- 109
Tabel 5-17. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk
kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju,
Tahun 2014 --------------------------------------- 110
Tabel 5-18. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk
kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten
Mamuju Tengah, Tahun 2014 ------------------- 110
Tabel 5-19. PDRB Semi Hiajau dan PDRB Hijau Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2014 114
Tabel 5-20. PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau menurut
kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun
2014----------------------------------------------- 115

PDRB-HIJAU| DAFTAR TABEL xv


DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1. Kerangka pikir yang mendasari perumusan
dan penyusunan PDRB Hijau Provinsi
Sulawesi Barat. ----------------------------------- 19
Gambar 4-1. Perkembangan jumlah penduduk menurut
jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Barat,
Tahun 2010 – 2013. ------------------------------ 62
Gambar 4-2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur
di PRovinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013--------- 63
Gambar 4-3. Pertumbuhan PDRB (HK) dan ekonomi
provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 - 2013 ---- 66
Gambar 4-4. Pertumbuhan PDRB Perkapita (Ribu Rp)
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas
Dasar harga Konstan (ADHK) Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2010 – 2013 ------------- 67
Gambar 4-5. Jumlah angkatan kerja dan penduduk
angkatan kerja yang bekerja di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2013---------------------- 73
Gambar 4-6. Persentase penduduk usia +15 tahun yang
bekerja menurut status pekerjaan utama,
Tahun 2014. -------------------------------------- 74
Gambar 4-7. Perkembangan luas wilaya hutan di Provinsi
Sulawesi Batar, Tahun 2010 – 2014 ------------- 75
Gambar 4-8. Persentase kawasan hutan menurut
jenisnya di lima Kabupaten Provinsi
Sulawesi Barat ------------------------------------ 77
Gambar 5-1. Konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB
daerah, kehutanan terhadap pertanian, dan
kehutanan terhadap PDRB total, Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014 --------------- 99
Gambar 5-2. Posisi repatif nilai degradasi sumberdaya
hutan kabupaten terhadap nilai rata-rata
provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014 ----------- 111

xvi DAFTAR GAMBAR | PDRB-HIJAU


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta penunjukan kawasan hutan dan


perairan provinsi Sulawesi Barat----------------- 126
Lampiran 2. Nilai Tambah (PDRB-ADHB) Semua Sektor
di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-
2014----------------------------------------------- 127
Lampiran 3. NIlai PDRB sub-sektor kehutananan atas
dasar harga berlaku dan atas dasar harga
konstan dan nilai indeks implisitnya ------------ 128

PDRB-HIJAU| DAFTAR LAMPIRAN xvii


RINGKASAN EKSEKUTIF
BAB I. PENDAHULUAN
Kegiatan penyusunan PDRB HIJAU ini bertujuan untuk menghitung
secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di
Provinsi Sulawesi Barat dan menyediakan dokumen statistik yang
menggambarkan peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada
pembangunan daerah yang tampak lebih realistis sehingga
perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah akan dapat
terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. Manfaat dari studi ini
adalah pemahaman dan penyempurnaan dokumen perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di
sektor kehutanan dan pemerintah, tetapi semua stakeholder pada
sektor kehutanan. Teridentifikasinya tingkat keberhasilan
pembangunan dalam presfektif lingkungan hidup serta khususnya
pada sektor kehutanan.

BAB II. KONSEP PDRB HIJAU


Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang
dapat digunakan, yaitu: 1) Menurut pendekatan produksi; 2) menurut
pendekata pendapatan; 3) menurut pendekatan pengeluaran.
Pendekatan pertama merupakan pendekatan utama yang dijadikan
dasar dalam penyusunan PDRB Hijau, dengan kata lain nilai-nilai
deplesi dan degradasi yang diperkurangkan berasal dari nila PDRB
pendekatan yang pertama, yang dalam konteks ini disebut denan
PDRB Coklat. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi
dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan
sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis.
Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah
terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, maka paradigma
pembangunan haruslah berwawasan lingkungan, dengan tidak hanya
memperhatikan aspek ekonomis jangka pendek saja, namun juga
pada aspek ekologis yang akan menjamin keberlanjutan ekonomi itu
sendiri (produksi = ekonomi + ekologi), atau disebut juga dengan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

BAB III. METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU


Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pendekatan
statistik kuantitatif dengan dasar analisis parameter-parameter
pendapatan (ekonomi) dan kerusakan (deplesi dan degradasi).
Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat

xviii RINGKASAN EKSEKUTIF | PDRB-HIJAU


pengolahan industri hasil hutan, digunakan berbagai metode yang
paling mendekatai angka degradasi, yakni dengan metode
prevention cost. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah
metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan
menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonomi dapat
menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan
metode pendapatan yang hilang (forgone income). Tahapan Studi
adalah: 1) Review literatur terhadap konsep PDRB hijua dan
pedoman-pedoman terkait PDRB hijau yang diterbitkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh kementerian
Kehutanan; 2) Review dan pengambilan data laporan-laporan PDRB
provinsi Sulawesi Barat dan beberapa Kabupaten yang masuk dalam
ruanglingkup lokasi studi; 3) Review dan pengambilan data sekunder
dari berbagai data dan informasi statistik yang relevan dengan
pendekatan yang dilakukan seperti publikasi statistik Daerah dalam
Angka baik tingkat provinsi maupun kabupaten; 4) Mengindentifikasi
macam produk sumberdaya hutan yang ada dalam daerah
berdasarkan dokkumen statistik/publikasi yang telah dikumpulkan
sebelumya; 5) Pengambilan data promer melalui survey dan
observasi lapangan pada beberapa kabupaten dalam lokasi studi; 6)
Identifikasi ragam produk kehutanan yang mengalami deplesi; 7)
Menghitung volume deplesi produk (sumberdaya) kehutanan yang
telah diidentifikasi pada poin 6; 8) Perhitungan valuasi deplesi
produk/summberdaya kebutunan; 9)Perhitungan konstribusi semi
hijau sektor kehutanan; 10) Perhitungan degradasi lingkungan sektor
kehutanan; dan 11) perhitungan konstribusi hijau sektor kehutanan.

BAB IV. PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN


Selama periode 2010 – 2013 (empat tahun) pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sulawesi Barat secara umum menunjukkan pola
perkembangan linier. Pada Tahun 2010. Nilai PDRB pada tahun 2010
sebesar Rp 17.184 milyar secara signifikan telah mengalami
peningkatan menjadi Rp. 22.229 Milyar di tahun 2013. Demikian pula
dengan pendapatan perkapita penduduk, pada tahun 2010 sebesar
Rp. 14,76 juta/kapita menjadi Rp 20,46 juta/kapita. Struktur
perekonomian daerah pada Tahun 2014 di dominasi oleh sektor
primer dengan Pertanian (terdiri dari tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan dan kehutanan) sebagai kontributor utama
sebesar 47,30%, kemudian sektor tertier, yaitu Jasa-jasa sebesar
17,47%, dan yang ketiga adalah pada sektor sekunder yaitu
Perdagangan, Hotel dan Restauran dengan konstribusi sebesar
12,64%. Pada tahun 2010 total luas wilayah hutan di provinsi

PDRB-HIJAU| RINGKASAN EKSEKUTIF xix


Sulawesi Barat seluas 1.119.876 ha, kemudian mengalami perluasan
sekitar 5,25% menjadi 1.178.416 ha di tahun 2011; selanjutnya di
Tahun 2012 luas wilayah hutan mengalami kenaikan 0,18% atau
5,41% dari luas Tahun 2010 menjadi 1.180.516 ha. Luas wilayah hutan
tersbut kemudian mengalami penurunan secara signifikan selama
tahun 2013-2104 bahkan lebih rendah dari keadaan di tahun 2010. Di
Tahun 2013 luas wilayah hutan menurun 6,3% menjadi 1.105.821 ha;
dan 1,22% di tahun 2014 menjadi 1.092.376 ha.

BAB V. KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB


Nilai tambah kehutanan menunjukkan nilai yang paling kecil, yakni
hanya sekitar 84,5 milyar di tahun 2010, namun meningkat menjadi
103,3 milyar di tahun 2014. Pada tingkat kabupaten, nilai tambah
kehutanan dalam struktur PDRB sektor pertanian terlihat sangat
bervariasi. Kabupaten Polman menunjukkan nilai tambah kehutanan
yang paling besar di Tahun 2014, kemudian kabupaten Mamuju,
Mamasa, Mamuju Utara dan terkecil kabupaten Majene. Sebagaina
keadaan provinsi, besarnya nilai tambah sub-sektor kehutanan
adalah yang paling kecil dibandingkan dengan sub-sektor lain di
sekrot pertanian. Pada tingkat provinsi, perkembangan PDRB
kehutanan terlihat mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2011-
2014, perkembangan yang paling rendah terjadi di tahun 2011 yaitu
sebesar 3,9%; namun memasuki tahun 2014, perkembangan PDRB
kehutanan meningkat menjadi 6,67%. kabupaten Polman dan
kabupaten Mamuju menunjukkan nilai share yang negatif, sementara
kabupaten lainnya menunjukkan nilai share yang positif. Hal ini
berarti bahwa perkembangan share sub-sektor kehutanan di
kabuapten Polman dan Mamuju cenderung mengalami penurunan
dibandinngkan dengn alokasi sub-sektor lainnya dalam menyusun
pendapatan dalam kabupaten dan regional. Pertumbuhan nilai share
sektor kehutanan yang paling tinggi adalah di kabupaten Mamasa,
kemudian Mamuju Utara, Majene, Mamuju dan Kabupaten Polman.
Nilai deplesi sumberdaya kayu dari akibat kebakaran hutan lebih
tinggi dibandingkan dengan deplesi akibat aktifitas produksi kayu
gergajian. Total nila deplesi dari kedua parameter di atas sebesar Rp
4,2 milyar lebih, nilai deplesi akibat kebakaran hutan tertinggi di
kabupaten polewali Mandar diikuti kabupaten Mamuju, untuk deplesi
nilai kayu gergajian hanya ditemuakn di tiga kabupaten, dan terbesar
di kabupaten Mamuju Tengah. Nilai degradasri atau nilai
pengurangan jasa hutan yang tertinggi adalah di Kabupaten Polewali
Mandar yang mencapai 2,44 milyar rupiah, selanjutnya kabupaten
Mamuju Tengah sebesar 2,07 milyar rupiah, kabupaten Mamuju

xx RINGKASAN EKSEKUTIF | PDRB-HIJAU


sebesar 1,4 milyar rupiah, kabupaten Mamasa sebesar 1,3 milyar
rupiah dan kabupaten Majene sebesar 298 juta rupiah.

BAB VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


Sumberdaya hutan bukan hanya sebatas memberikan nilai tambah
melalui produksi kayu dan non-kayu yang selama ini menjadi salah
satu sumber pendapatan bagi daerah maupun sebagai devisa
negara, namun hutan juga memiliki berbagai nilai jasa lingkungan
yang dapat dikuantifikasi sesuai dengan kondisi dan kemungkinan di
masing-masing wilayah. Kabupaten dengan wilayah hutan terluas
adala di kabupaten Mamuju dan Mamasa sedangkan yang paling
sempit adalah di kabupaten Majene. Produk hutan utama berupa
barang yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Provinsi
Sulawesi Barat adalah kayu, rotan dan getah pinus. Informasi
penebangan kayu dan produksi kayu bulat tidak ditemukan sejak
tahun 2011, namun untuk produksi damar dan getah pinus masih
tersedia. Daerah penghasil rotan tertinggi adalah di kabupaten
Mamuju dan Polewali Mandar, sedangkan getah pinus hanya
diproduksi di Kabupaten Mamasa. Besarnya konstribusi PDRB Coklat
sub-sektor kehutanan sebsar 0,46 di tahun 2011 kemudian menurun
menjadi 0,38 di athun 2014. Dalam struktur sektor pertanian, sub-
sektor kehutanan merupakan konstributor produk daerah yang
paling kecil. Perkembangan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga
2014 menunjukkan besar nilai konstribusi yang positif namun belum
mempengaruhi dinamika peningkatan sektor secara nyata.
Dibandingkan dengan sub-sektor lainnya, laju petumbuhan sektor
kehutanan masih lebih rendah; dan kecuali di kabupaten Polewali
Mandar dan kabupaten Mamuju menunjukkan nila share yang positif
yangn berarti bahwa besaran konstribusi khsusunya dari sektor
kehutanan secara relatif semakin besar di empat Kabupaten lainnya.

PDRB-HIJAU| RINGKASAN EKSEKUTIF xxi


BAB I
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan


penghasil devisa dan penghidupan masyarakat secara luas.
Industri primer berbasis sumber daya alam menyumbang 16,6
persen terhadap PDB nasional dan menyediakan lapangan
pekerjaan bagi 8,8 juta penduduk Indonesia pada tahun 2013.
Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi dengan
pembangunan yang masih sangat bertumpu pada sumberdaya
alam, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
merupakan kontributor terbesar dengan capaian sebesar
47,44%, sektor jasa-jasa pada urutan kedua (19%), dan
perdagangan, hotel, dan restoran pada urutan ketiga (13,15%).
Pertumbuhan ekonomi dalam daerah juga menunjukkan
akselerasi yang memuaskan dari tahun-ketahun. Pertumbuhan
PDRB Provinsi Sulawesi Barat terus mengalami peningktan dari
tahun ketahun. Pada Tahun 2010 nilai PDRB Provinsi sebesar
Rp. 10 985,15 M dan telah meningkat sekitar 47% menjadi
Rp.16.184,01 M pada tahun 2013.
Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang stabil
tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan kondisi
lingkungan hidup, karena aktifitas ekonomi yang mengkonversi
sumberdaya alam tersebut ikut berkonstribusi terhadap
kerusakan lingkuangan. Secara nasional, kurang lebih 25%
Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya minyak, sumberdaya
mineral, dan hutan, menyebabkan deplesi sumberdaya alam

PDRB-HIJAU| PENDAHULUAN 1
dan degradasi lingkungan. Oleh karenanya, dalam RPJMN 2015-
2019 pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup
masyarakat dengan tata kelola pelaksanaan pembangunan yang
mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu
generasi ke generasi berikutnya menjadi salah satu issue
strategis dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup dengan sasaran pada tata kelola dan
perencanaan yang dilakuakan secara terencana, terkoordinasi,
sistematis dan berkesinambungan.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah
satu indikator penting pembangunan daerah sebagai alat ukur
nilai produksi yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi
wilayah. PDRB disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat
regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Hanya saja PDRB yang selama ini dihitung atau yang disebut
sebagai PDRB Konvensional (Coklat), hanya mengukur hasil
kegiatan ekonomi semata tanpa memasukkan dimensi
lingkungan hidup didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus
dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi
lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut
sebagai PDRB Hijau.
PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan
sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan
sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih
realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat
perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih
baik karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian

2 PENDAHULUAN | PDRB-HIJAU
setiap tahunnya secara lebih lengkap. Sektor-sektor dalam
PDRB Hijau mencakup sektor pertanian, peternakan, kehutanan
dan perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor
perindustrian pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih,
sektor bangunan (konstruksi), sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dikatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum. Sebagai wujud implementasi dari undang-undang
tersebut, dan untuk ikut mendukung sistem perencanaan yang
berwawasan lingkungan, maka Badan Lingkungan Hidup
Provinsi Sulawesi Barat berinisiatif untuk melakukan analisis
PDRB Hijau untuk provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015. Dengan
maksud untuk menghasilkan laporan yang reliable, valid dan
lebih bermanfaat, maka ruang lingkup PDRB Hijau pada Tahun
Anggaran 2015 ini difokuskan atau memrioritaskan sektor
kehutanan.

PDRB-HIJAU| PENDAHULUAN 3
1.2. Maksud dan Tujuan

• Kegiatan penyusunan PDRB HIJAU ini bertujuan untuk


menghitung “secara lengkap” kontribusi sektor
kehutanan pada nilai PDRB di Provinsi Sulawesi Barat;
• Menyediakan dokumen statistik yang menggambarkan
peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada
pembangunan daerah yang tampak lebih realistis
sehingga perencanaan serta pelaksanaan
pembangunan daerah akan dapat terlaksana dengan
baik dan berkelanjutan.

1.3. Manfaat

• Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan


penyempurnaan dokumen perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para
pengelola di sektor kehutanan dan pemerintah, tetapi
semua stakeholder pada sektor kehutanan
• Teridentifikasinya tingkat keberhasilan pembangunan
dalam presfektif lingkungan hidup serta khususnya
pada sektor kehutanan

1.4. Ruang Lingkup

o Runga lingkup wilayah. Ruang lingkup wilayah yang


akan dianalisis adalah 6 (enam) kabupaten di provinsi
Sulawesi Barat.
o Runga lingkup sektor. Ruang lingkup sektor yang
dianalisis pada studi ini adalah sektor kehutanan.
o Ruang lingkup data. Ruang lingkup data adalah 1)
laporan/publikasi PDRB pada tingkat kabupaten dan
provinsi, khususnya pada sektor kehutanan dan
turunannya; 2) laporan/publikasi Status Lingkungan
Hidup (SLH) Provinsi;

4 PENDAHULUAN | PDRB-HIJAU
BAB II
2. KONSEP PDRB HIJAU
2.1. Pendapatan Daerah Reginal Bruto (PDRB)

Terdapat tiga unsur utama yang menjadi penyusun


indikator ekonomi Pendapatan Daerah Regional Broto, berikut
ini beberapa batasan dan defenisi terkait dengan PDRB dalam
glosarium Badan Pusat Statistik Nasional. Pertama adalah
“regional” atau wilayah domestik yang dapat merupakan
Provinsi atau Kabupaten/Kota. Transaksi ekonomi yang dihitung
adalah transaksi yang terjadi di wilayah domestik suatu daerah
tanpa memperhatikan apakah transaksi dilakukan oleh
masyarakat (residen) dari daerah tersebut atau masyarakat lain
(non-residen). Kedua adalah Produk Domestik, yakni semua
barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi
yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan
apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh
penduduk daerah tersebut atau merupakan produk domestik
daerah yang bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh
karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan
pendapatan domestik.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor
produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu
daerah berasal dari daerah lain atau dari luar negeri, demikian
juga sebaliknya faktor produksi yang dimilki oleh penduduk
daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain
atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik
yang timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 5


yang diterima penduduk daerah tersebut. Dengan adanya arus
pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari
da ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji,
bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara
produk domestik dan produk regional. Produk regional
merupakan produk domestik ditambah dengan pendapatan
dari faktor produksi yang diterima dari luar daerah/negeri
dikurangi dengan pendapatan dari faktor produksi yang
dibayarkan ke luar daerah/negeri. Jadi produk regional
merupakan produk yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang
dimiliki oleh residen.
PDRB atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah
bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor
perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang
ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku
dalam proses produksi. Penghitungan nilai tambah adalah nilai
produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto di
sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah
dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan
pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nlai
tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan
nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya
Faktor. Perbedaan antara konsep biaya faktor di sini dan konsep
harga pasar di atas, ialah karena adanya pajak tidak langsung
yang dipungut pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh

6 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung ini
meliputi pajak penjualan, bea ekspor dan impor, cukai dan lain-
lain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan.
Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada
biaya produksi atau pada pembeli hingga langsung berakibat
menaikkan harga barang. Berlawanan dengan pajak tidak
langsung yang berakibat menaikkan harga tadi, ialah subsidi
yang diberikan pemerintah kepada unit-unit produksi, yang bisa
mengakibatkan penurunan harga. Jadi pajak tidak langsung dan
subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang,
hanya yang satu berpengaruh menaikkan sedang yang lain
menurunkan harga, hingga kalau pajak tidak langsung dikurangi
subsidi akan diperoleh pajak tidak langsung neto. Kalau Produk
Domestik Regional Neto atas dasar harga pasar dikurangi
dengan pajak tidak langsung neto, maka hasilnya adalah Produk
Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor.
Pendapatan Regional. Dari konsep-konsep yang
diterangkan di atas dapat diketahui bahwa Produk Domestik
Regional Neto atas dasar biaya faktor itu sebenarnya
merupakan jumlah balas jasa faktor-faktor produksi yang ikut
serta dalam proses produksi disuatu daerah. Produk Domestik
Regional Neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari
pendapatan yang berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan
keuntungan yang timbul atau merupakan pendapatan yang
berasal dari daerah tersebut. Akan tetapi pendapatan yang
dihasilkan tadi, tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk
daerah itu, sebab ada sebagian pendapatan yang diterima oleh

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 7


penduduk daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang
modalnya dimiliki oleh orang luar, tetapi perusahaan tadi
beroperasi di daerah tersebut, maka dengan sendirinya
keuntungan perusahaan itu sebagian akan menjadi milik orang
luar yaitu milik orang yang mempunyai modal tadi. Sebaliknya
kalau ada penduduk daerah ini yang menambahkan modalnya
di luar daerah maka sebagian keuntungan perusahaan akan
mengalir ke dalam daerah tersebut, dan menjadi pendapatan
dari pemilik modal. Kalau Produk Domestik Regional Neto atas
dasar biaya faktor dikurangi dengan pendapatan yang mengalir
ke luar dan ditambah dengan pendapatan yang mengalir ke
dalam, maka hasilnya akan merupakan Produk Regional Neto
yaitu merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima
oleh seluruh yang tinggal di daerah yang dimaksud. Produk
Regional Neto inilah yang merupakan Pendapatan Regional.
Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1. Menurut Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa
yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-
unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan
menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu:
o Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
o Pertambangan dan Penggalian
o Industri Pengolahan
o Listrik, Gas dan Air Bersih

8 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


o Konstruksi
o Perdagangan, Hotel dan Restoran
o Pengangkutan dan Komunikasi
o Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
o Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.
Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-
sub sektor.
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh
faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di
suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah
dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya
sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung
lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan
dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi
subsidi).
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang
terdiri dari:
o Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga swasta nirlaba
o Pengeluaran konsumsi pemerintah
o Pembentukan modal tetap domestik bruto
o Perubahan inventori, dan
o Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor
dikurangi impor).

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 9


Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan
menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan
sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan
harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor
produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai
PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup
pajak tak langsung neto.
PDRB hingga saat ini masih sangat popular digunakan
sebagai salah satu indikator ekonomi makro, untuk melihat
pertumbuhan ekonomi, biasanya digunakan PDRB atas dasar
harga konstan. Disamping untuk mengukur pertumbuhan
ekonomi, angka PDRB sektoral juga bermanfaat untuk
mengukur besar konstribusi masing-masing sektor dalam
membentuk PDRB, yang secara langsung juga dapat
menggambarkan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing
sektor. Penggunaan PDRB bersifat simultan sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pembanging antar wilayah, baik antar
provinsi secara nasional maupun antar kabupaten dalam
provinsi atau kabupaten dengan kabupaten lain di provinsi yang
berbeda.
Hanya saja penggunaan PDRB belakangan ini dianggap
memiliki banyak kelemahan, terutama penggambaran PDRB
terhadap perkembangan kesejahteraan, sumberdaya manusia,
bahkan terhadap sumberdaya alam. Salah satu kebijakan
ekonomi yang mengemuka pada masa lalu adalah Kebijakan
trickle down effect, yang dimaksudkan untuk mengejar dan
mewujudkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan

10 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


cara menambah jumlah investasi-investasi baru dengan
membuka akses dan pendanaan secara menyeluruh terhadap
segala aktivistas investasi domestik yang diharapkan akan
berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada
sektor bisnis infrastruktur serta pasar keuangan sehingga pada
gilirannya akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi
yang meningkat. Berdasarkan skema ini, laju produksi yang
menggeliat kemudian akan menggiring harga-harga pada
tingkat yang lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja
untuk para kelas menengah dan menengah kebawah, sehingga
kesejahteraan diasumsikan akan menetes sampai kesemua level
sosial ekonomi masyarakat. Pada Tahun 2004 hingga 2013,
pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5%, kecuali
pada tahun 2009 (turun menjadi 4,5%) akibat krisis keuangan
global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global,
pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai
angka 6,49% pada tahun 2011, setelah itu terjadi perlambatan
pertumbuhan ekonomi, meskipun masih pada kisaran 6% atau
masih cukup tinggi (BPS, 2012-2013). Tingkat pertumbuhan
ekonomi yang cukup besar tersebut tentu telah memberikan
dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Namun demikian,
pendekatan yang hanya terpusat pada pertumbuhan ekonomi
ternyata memiliki dampak yang kurang baik. Peningkatan
pendapatan nasional tidak secara otomatis berarti
kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Pada
kenyataannya pendapatan terdistribusi secara tidak merata,
sehingga meskipun secara nasional perhitungan pendapatan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 11


lebih tinggi, mayoritas rumah tangga tetap berada pada
keadaan sosial ekonomi yang buruk. Keadaan ini juga cukup
memprihatinkan pada aspek kelestarian lingkuangan, sebagai
dampak yang sama, lingkungan mengalami degradasi akibat
pengurasan dan eksploitasi yang berlehan karena pengukuran
kualitas lingkungan hidup lebih dikesampingkan dibandingkan
denngan pengukuran kualitas ekonomi. Oleh karena dua
maslah pokok di atas, maka saat ini pengukuran kualitas
pembangunan /kesejahteraan manusia dan lingkungan tidak
hanya bergantung pada nilai PDRB saja, namun telah
dikembangkan beberapa indikator yang lebih mewakili seperti
Indeks Pembangunan Manusia, termasuk didalamnya
pengembangan konsep PDRB Hijau.

2.2. PDRB Hijau

Perencanaan pembangunan daerah hingga saat ini masih


menjadikan PDRB sebagai salah satu landasan prioritas dan
sasaran program, besarnya nilai PDRB sektor selau dijadikan
sebagai ukuran keberhasilan program/kinerja pemerintah.
Namun demikian, penggunaan indikator tersebut bisa saja
keliru karena parameter yang digunakan hanya menampilkan
nilai tambah kegiatan produksi, sementara sumberdaya alam
(lingkkungan hidup) yang menjadi (modal) kegiatan ekonomi
tidak dimasukkan kedalam perhitungan PDRB. Angka PDRB
yang belum memasukkan parameter lingkungan dalam
perhitungannya tersebut, dalam konteks ini deisebut sebagai
PDRB konvensional atau PDRB Coklat. Soeparmoko, (2006),

12 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan
sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan
sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih
realistis.
Deplesi dan degradasi lingkungan saat ini telah menjadi
perhatian banyak pihak, laju pembangunan yang semakin pesat,
pertumbuhan penduduk, konversi lahan, dan peningkatan
kebutuhan hidup secara akumulatif berkonsekuensi pada
peningkatan penamfaatan sumberdaya alam. Peningkatan
pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya alam baik kualitas
maupun kuantitasnya terutama oleh indsutri juga telah
dirasakan dampak negatifnya bagi lingkungan banhak kepada
manusia sendiri. Untuk menghindari dampak pembangunan
yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan, maka paradigma pembangunan haruslah
berwawasan lingkungan, dengan tidak hanya memperhatikan
aspek ekonomis jangka pendek saja, namun juga pada aspek
ekologis yang akan menjamin keberlanjutan ekonomi itu sendiri
(produksi = ekonomi + ekologi), atau disebut juga dengan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya.
Tuntuan perubahan paradigma pembangunan
berwawasan lingkungan seyogyanya telah terlihat dari
banyaknya kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah dalam

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 13


upaya pembatasan pengelolaan sumberdaya alam (terbarukan
dan tidak terbarukan). Pola pembangunan berkelanjutan
mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam harus dikelola
secara nasional dan bijaksana, hal ini berarti bahwa pengelolaan
sumberdaya alam harus memadukan antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup (pembangungan berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup). Pembangunan berwasasan
lingkunan merupakan upaya sadar dan terencana yang
memadukan lingkungan hidup/sumberdaya kedalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang. Hal ini
berarti bahwa pembangunan suatu sektor harus memperhatikan
dampaknya bagi sektor yang lain.
Kemajuan pembangunan daerah tentu hanya akan dicapai
apabila pembangunan dilakukan secara lebih menyeluruh di
segala bidang. Proses pengolahan sumberdaya alam dan
pendayagunaan sumberdaya manusia dengan memanfaatkan
tenologi sebagai pola pembangunan, perlu untuk
memperhatikan fungsi sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia agar secara terus menerus menunjang keberlanjtan
pembangunan. Sumarwoto (2006) mengemukakan bahwa
pengertian pembanguna berkelanjutan adalah: Perubahan
positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi
dan sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya,
keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan,
perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu,
viabilitas polotiknya tergantung pada dukungan penuh

14 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


masyarakat melalui pemerintahnya, elembagaan sosialnya, dan
kegiatan dunia usahanya. Sebagai perwujudan bentuk
perubahan paradigma pembanngunan berkelanjutan ini maka
seyogyanya, parameter pengukuran keberhasilan pembangunan
harus mengakomodasi aspek keberlanjutan (lingkungan)
tersebut, oleh karena itu maka indikator pembangunan juga
semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung
atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan
pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau Green-
GDP) yang dihitung atas dasar konsep sistem penghitungan
terpadu antara lingkungan dan ekonomi atau System of
Integrated Environmental and Economic Account (United
Nations, 1993).

2.3. Ekonomi Sumberdaya Hutan

Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon


yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam
hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan
pemerintah sebagai hutan. Jika pengertian hutan ditinjau dari
sudut pandang sumberdaya ekonomi terdapat sekaligus tiga
sumberdaya ekonomi (Wirakusumah, 2003), yaitu: lahan,
vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan
itu sendiri sebagai sumberdaya ekonomi yang pada akhir-akhir
ini tidak dapat diabaikan. Sedangkan kehutanan diartikan
sebagai segala pengurusan yang berkaitan dengan hutan,
mengandung sumberdaya ekonomi yang beragam dan sangat
luas pula dari kegiatan-kegiatan yang bersifat biologis seperti

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 15


rangkain proses silvikultur sampai dengan berbagai kegiatan
administrasi pengurusan hutan. Hal ini berarti kehutanan sendiri
merupakan sumberdaya yang mampu menciptakan sederetan
jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.
Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi
potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan
mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil
hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah,
pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian
tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil
hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang
mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas
ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian
ekonomi akan meliputi semberdaya sendiri-sendiri atau secara
majemuk sehingga disebut sumberdaya hutan (Wirakusumah,
2003).
Sumberdaya hutan (SDH) sebagai penggerak ekonomi
dapat teridentifikasi daalam beberapa hal, yaitu: pertama,
penyediaan devisa untuk membangun sektor lain yang
membutuhkan teknologi dari luar negeri; kedua, penyediaan
hutan dan lahan sebagai modal awal untuk pembangunan
berbagai sektor, terutama untuk kegiatan perkebunan, industri
dan sektor ekonomi lainnya; dan yang ketiga, peran kehutanan
dalam pelayanan jasa lingkungan hidup dan lingkungan sosial
masyarakat. Ketiga bentuk peranan tersebut berkaitan dengan
peranan sumberdaya hutan sebagai penggerak ekonomi yang
sangat potensial, sangat kompleks dan saling terkait. Peran SDH

16 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


tersebut dikarenakan sifat produk SDH yang multiguna, tingkat
konsumsi produk yang relatif stabil, berpengaruh luas terhadap
keadaan ekonomi, padat karya, dan bersifat industrial.
Kayu merupakan produk multiguna, sehingga diperlukan
banyak jenis industri dan produk kayu hampir selalu berperan
pada setiap tahapan perkembangan teknologi dan
perekonomian. Produk konsumsi hasil hutan (kayu dan bukan
kayu) relatif stabil dan investasi usahanya relatif kecil serta
pengembalian modalnya dapat cepat kembali pada areal hutan
alam. Produk hasil hutan memiliki ”forward lingkage” dan
”backward lingkage” yang kuat terhadap perkembangan sektor
ekonomi lainnya, sehingga dapat mendorong berkembangnya
ekonomi pedesaan, karena sifat produk sumberdaya hutan
tersebar dan volume produksinya besar, biaya angkut tinggi,
dapat menciptakan kegiatan ekonomi di permukiman dekat
kawasan hutan. Industri hasil hutan relatif lebih muda didirikan,
biasanya tidak memerlukan input teknologi tinggi dan skala
usaha tidak terlalu besar.
Peranan sumberdaya hutan sebagai penghasil devisa
sangat penting untuk perbaikan ekonomi makro dan
perdagangan global. Peranan hasil hutan selalu lebih tinggi
untuk menghasilkan devisa, terutama pada negara yang baru
berkembang dan berbasis pada sumberdaya, karena hutan pada
awal perkembangan ekonomi suatu negara sangat mudah
dipanen (biaya eksploitasinya rendah. Sebagai penggerak sektor
ekonomi lainnya, maka hasil hutan memberi dukungan modal
bagi pembangunan infrastruktur industri dalam negeri dan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 17


untuk penyediaan teknologi yang berasal dari impor. Dukungan
lainnya adalah banyak kegiatan yang dibiayai langsung dari
hasil kayu tebangan untuk mendorong kegiatan perkebunan,
sebagai hasil konversi hutan. Sumberdaya hutan juga sangat
penting artinya dalam penyediaan lapangan kerja, karena
kehutanan memiliki banyak alternatif lapangan usaha.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari sektor kehutanan saat ini
mengalami penurunan dibandingkan pada awal pembangunan
Indonesia, disamping itu angka dan konstribusinya sangat kecil
dari seharusnya karena perhitungan PDB (Produk Domestik
Bruto) hanya menghitung nilai uang (nilai pasar), tidak
menghitung intangible benefit seperti fungsi sumberdaya hutan
dalam pengaturan tata air, pencegah erosi dan penyerapan
karbon, dan tidak melihat keterkaitan /dampak positif dari
sektor kehutanan ke sektor lain seperti dampak terhadap
peningkatan sektor industri dan pertanian sawah irigasi.

2.4. Kerangka Pikir

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah


satu indikator penting pembangunan daerah sebagai alat ukur
nilai produksi yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi
wilayah. PDRB disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat
regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Hanya saja PDRB yang selama ini dihitung atau yang disebut
sebagai PDRB Konvensional (Coklat), hanya mengukur hasil
kegiatan ekonomi semata tanpa memasukkan dimensi
lingkungan hidup didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus

18 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi
lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut
sebagai PDRB Hijau. Adapun kerangka pikir yang mendasari
perumusan dan penyusunan PDRB Hijau provinsi Sulawesi Barat,
khususnya untuk sektor kehutanan dapat dilihat pada
Gambar 2-1.

Gambar 2-1. Kerangka pikir yang mendasari perumusan dan


penyusunan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 19


2.5. Visi, Misi dan Sasaran Pembangunan Ekonomi
Provinsi Sulawesi Barat
Berdasarkan kondisi Provinsi Sulawesi Barat saat ini, maka
tantangan yang dihadapi dalam 20 tahun ke depan dengan
memperhatikan potensi dan faktor strategis yang dimiliki
daerah ini, maka dibuatlah Visi dan Misi Pembangunan Jangka
Panjang Provinsi Sulawesi Barat tahun 2005-¬2025 yang telah
dituangkan dalam bentuk visi pembangunan. Visi
pembangunan berfungsi untuk mengarahkan aktivitas dari
semua tatanan internal pada satu sasaran yang disepakati
bersama.

Visi Pembangunan Jangka Panjang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Sulawesi Barat


2005-2025 merumuskan bahwa Visi Pembangunan Jangka
Panjang Provinsi Sulawesi Barat 2005-2025, adalah:
”Terwujudnya Sulawesi Barat yang Sejahtera, Maju, dan
Malaqbi”
Visi Sulawesi Barat ini mengandung pengertian yang luas
dan menggambarkan aspirasi serta cita-cita masyarakat
Sulawesi Barat dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang.
Makna yang terkandung dalam Visi diuraikan berikut ini:
Sulawesi Barat yang Sejahtera dapat dimaknakan sebagai
pencapaian kondisi kehidupan yang lebih baik, yang ditandai
oleh terpenuhinya hak-hak dasar dan meningkatnya taraf hidup
masyarakat secara berkelanjutan.
Sulawesi Barat yang Maju dapat diartikan sebagai
kemampuan daerah ini untuk mampu sejajar dengan provinsi

20 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


lainnya di Indonesia. Visi ini penting mengingat bahwa Provinsi
Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru terbentuk
(pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan). Dukungan sumberdaya
alam dan akar budaya yang kuat, menjadi pondasi yang kuat
untuk menuju Sulawesi Barat yang Maju.
Sulawesi Barat yang Malaqbi lebih dimaknakan sebagai
kemampuan manusia daerah ini untuk mencapai derajat
sebagai manusia mulia dan bermartabat. Manusia mulia dan
bermartabat dimaksud merupakan manifestasi dari nilai-nilai
budaya dan agama masyarakat Sulawesi Barat. Visi ini sekaligus
ingin menegaskan bahwa manusia merupakan muara dari
seluruh aktivitas pembangunan.

Misi Pembangunan Jangka Panjang

Misi Pembangunan Jangka Panjang Sulawesi Barat tahun


2005-2025 dapat dirumuskan sebagai berikut:
• Mendorong Pemenuhan Hak-hak Dasar Masyarakat
Sulawesi Barat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat
dapat didorong melalui pertumbuhan ekonomi,
perluasan lapangan kerja, dan peningkatan akses
penduduk terhadap sumberdaya.
• Mendorong Kemajuan Daerah Sulawesi Barat Secara
Merata Kemajuan daerah secara merata dapat didorong
melalui optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya lokal serta pengembangan kerjasama antar
daerah dan kemitraan antar pelaku dalam pengelolaan
sumberdaya.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 21


• Mewujudkan Peningkatan Kualitas Manusia Sulawesi
Barat Meningkatkan kualitas manusia melalui
peningkatan kehidupan beragama, perbaikan kualitas
pendidikan dan kesehatan, pengembangan seni budaya
dan olah raga. Kualitas manusia mengandung arti
memiliki jatidiri dan wawasan yang luas sehingga selain
mampu mengaktualisasikan dirinya secara mandiri juga
mampu bersikap dan melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai anggota dari tatanan pada berbagai
strata dan sebagai makhluk menyadari bahwa
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan
suatu keniscayaan

Nilai-Nilai Pembangunan Jangka Panjang

Masyarakat Sulawesi Barat yang multi etnik, setidaknya


memiliki nilai-nilai budaya lokal yang diwarnai oleh empat etnik
besar yakni Mandar, Toraja, Bugis, dan Makassar membentuk
nilai universal yang dapat membangun suatu tatanan
masyarakat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa,
pengaruh nilai luar, juga ikut memberikan nuansa yang makin
menguatkan akar jati diri Masyarakat Sulawesi Barat.
Nilai Budaya Tradisional menjadi kuat karena pengaruh
Nilai-nilai agama yang diterima secara baik, sekalipun terkadang
masih muncul pemahaman berbeda dalam implementasi
kehidupan sosial sehari-hari. Nilai-nilai luhur Budaya Lokal
mampu menyatu dengan nilai-nilai ajaran Agama sehingga
menciptakan masyarakat Sulawesi Barat yang religius.

22 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


Inti nilai luhur budaya lokal Sulawesi Barat sesungguhnya
tercermin dalam nilai malaqbi’. Malaqbi' dalam bahasa mandar
dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan
keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat. Makna
ini dapat ditemukan dalam budaya mandar yang diungkapkan
diberbagai lontar yaitu:
”pelindo lindo maririo nanacanringngo’ opaqbanua”
(anda diharuskan memiliki sifat yang berharkat dan
bermartabat agar dicintai oleh rakyat)

Nilai-nilai dasar masyarakat Sulawesi Barat dalam RPJPD


ini diharapkan menjadi landasan moral dan etika dalam visi, misi
dan arah kebijakan pembangunan daerah. Bahkan diharapkan
dapat dijabarkan dalam prioritas program melalui implementasi
pembangunan Budaya lokal yang dapat membentuk jati diri
Manusia Sulawesi Barat yang malaqbi.
Untuk itu diperlukan identifikasikan nilai-nilai yang
dibutuhkan itu yang dapat ditemukenali melalui berbagai
literature-lontarak-pappaseng-pasanga atau pada semua
rumpun budaya lokal, namun sesuai wacana kemandirian lokal,
setidaknya dibutuhkan nilai yang bersifat universal.
Nilai kemandirian berbasis pada nilai kerja keras yang
berbasis pada makna resopa temmangingi namalomo naletei
pammpase dewata; yang hanya dapat berhasil jika etos kerja
kerja keras yang diridhoi oleh Tuhan yang maha kuasa. Sebagai
semangat kerja, tekad untuk pantang mundur sebelum berhasil
dalam falsafah, kualleangngangi tallangi natowaliya; takkalai
nisombalang dotai ruppu dai natuwali.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 23


Nilai kemitraan dan kebersamaan yang berbasis pada
falsafah sipakatau, sipakalebbi - sipakalabbiri; sirondo-rondoi;
sitaiyyang apiangang tassitaiyyang addaiyyang; abbulo sipappa-
allemo sibatu-tallang sipahua manya siparampe dengan makna
menjalin kerjasama dan kebersamaan berdasarkan penghargaan
sesama manusia atau kelompok manusia. Saling mengingatkan
kepada kebaikan dan saling mencegah pada kejahatan. Nilai
keterbukaan/akuntabilitas dapat ditemukan dalam falsafah,
lempu; getteng; ada tongeng; temmapassilaingeng; tappa;
barani sukaran aluk; mballa asi-asinna jiong mangapagna tana;
membawa makna kehidupan kemasyarakatan dan penegakan
hukum secara jujur, tegas, adil terpercaya, berani karena benar,
tunduk pada hukum, transparan dan bertanggungjawab. Nilai
kesadaran kosmologis, berbasis pada falsafah, parrampunganta;
malilu sipakainge mali siparappe sipatuo sipatokkong; siama
amasei; yang mengandung makna mempersatukan atau
memposisikan secara integral antara alam, manusia dan sang
pencipta. Harus saling melindungi, menyadarkan, tolong
menolong satu dengan lainnya bahkan saling mendukung
untuk kebaikan bersama. Oleh karena itu harus terjadi
interkoneksitas harmonis agar tetap terlindungi oleh sang
pencipta Falsafah ini sekaligus memberitahu makna
tanggungjawab dalam kelestarian lingkungan baik lingkungan
alam maupun lingkungan sosialnya.
Nilai kebhinekaan yakni menghargai keberagaman untuk
kebersamaan dalam bingkai kesetiakawanan sosial dalam
masyarakat sebagai kekayaan budaya yang menjamin

24 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


terselenggaranya pembangunan yang berkesinambungan, basis
falsafah ini dapat ditarik dari makna siri na pacce; pesse; siama
masei; sianaccapamei; yakni memiliki rasa kesetiakawanan
sosial.
Nilai demokrasi dapat dicermati melalui angngaru-
mangngaru, sumpah kesetiaan dan kontak sosial antara
pemerintah dan masyarakat assamaturuseng; passamaturukang;
abbulo sibatang; ademi ripopuang; luka taro arung-telluka taro
ade-luka taro ade-telluka taro anang; tengkona tang diturung-
ajokkana tang dilendokang; persatuan dan kesatuan dengan
makna kebersamaan dalam kemufakatan sebagai kiat untuk
mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat menjadi basis
harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Adat lebih
menentukan dari penguasa, bahkan rakyat lebih menentukan
dari adat. Kekuasaan di tangan rakyat karena aturan ade’ yang
dipatuhi bukan karena kehendak sang penguasa.
Nilai profesionalisme/kwalitas SDM sebagai modal dasar
untuk pengembangan tataran modern dapat dipetik makna
budaya lokal dari falsafah sulapa eppa; sulapa appa; toddopuli
temmalara; misa kada sipatuo; pantang kada dipomate; anre
nakulle nigiling nijarrekkija tanirokkai; yakni jika tekad memang
sudah bulat tidak akan bisa diubah oleh siapapun. Nekad
bertindak menurut kesepakatan, dalam pengertian seseorang
akan memiliki tekad keras yang bulat karena dalam pengertian
seseorang akan memiliki kemampuan, keterampilan, dan
pengetahuan yang memadai sehingga bisa bertekad untuk
mengemban amanah/tugas yang dibebankan kepadanya.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 25


Mewujudkan Daerah Sulawesi Barat yang Maju

Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi yang baru


terbentuk, ketimpangan pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang belum optimal
nampaknya masih cukup terasakan secara signifikan di daerah
ini. Untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Barat sebagai daerah
yang maju, maka arah pembangunan daerah ke depan harus
diorientasikan pada pembangunan yang merata baik antar
sektor maupun antar wilayah dan optimalisasi pengelolaan
sumberdaya alam untuk menuju kepada terciptanya
pembangunan berkelanjutan.
1. Terwujudnya pembangunan yang merata antar sektor
dan antar wilayah
a. Infrastruktur Daerah
Arah kebijakan bidang infrastruktur daerah diarahkan
pada berkurangnya kesenjangan antarwilayah yang tercermin
dari terpenuhinya pelayanan dasar masyarakat sampai ke
wilayah terpencil seperti ketersediaan air, listrik, transportasi
dan telekomunikasi; meningkatnya pertumbuhan ekonomi
daerah dan pemerataan pendapatan sebagai akibat dari
kelancaran distribusi barang dan jasa; meningkatnya arus
informasi IPTEK; dan meningkatnya investasi dari sektor swasta.
Arah pembangunan infrastruktur daerah dijabarkan dalam
bentuk:
1. Perbaikan infrastruktur jalanan dan jembatan provinsi
dan kabupaten melalui pengaspalan dan pelebaran
jalanan, pelebaran jembatan permanent dan perbaikan

26 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


jalanan semua desa agar dapat dijangkau kendaraan
roda empat
2. Peningkatan pelayanan infrastruktur air bersih dan
tenaga listrik
3. Peningkatan kerjasama dengan sektor swasta dalam
pembangunan infrastruktur
b. Investasi Daerah
Pengembangan investasi daerah diarahkan pada
terwujudnya iklim investasi yang kondusif dan sehat untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi,
penurunan pengangguran, dan tingkat kemiskinan baik di
perkotaan maupun dipedesaan; terciptanya pengembangan
wilayah; dan meningkatnya peran Sulawesi Barat dalam
pembangunan regional Sulawesi. Hal ini dilakukan melalui
upaya:
1. Peningkatan jaminan dan kepastian hukum
termasuk didalamnya jaminan atas keamanan
usaha dan kejelasan peraturan daerah
2. Penciptaan iklim investasi yang kondusif seperti
pemberian insentif bagi dunia bisnis, kemudahan
perijinan usaha (pemangkasan birokrasi)
3. Peningkatan promosi dan kerjasama investasi
seperti penyusunan profil investasi daerah,
pengembangan pameran investasi dan
pengembangan potensi unggulan daerah.
c. Wilayah dan Tata Ruang

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 27


Arah pembangunan wilayah dan tata ruang diarahkan
pada terciptanya keserasian pemanfaatan tata ruang dan
terciptanya optimalisasi pengembangan wilayah melalui
pemanfaatan potensi-potensi unggulan wilayah. Arah
pembangunan ini dijabarkan dalam bentuk:
1. Perbaikan percepatan infrastruktur
2. Pemetaan ruang secara optimal seperti perbaikan
lokasi kegiatan dan batasan kemampuan lahan
3. Pemanfaatan ruang wilayah dengan tetap
memperhatikan aspek wilayah lainnya
4. Penguatan kelembagaan daerah
5. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar
wilayah
6. Regulasi tata ruang yang mendukung
berkurangnya kerentanan wilayah terhadap
bencana
d. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
diarahkan pada lahirnya teknologi berbasis pengetahuan asli
masyarakat dan tepat guna bagi pengembangan produk
unggulan serta sumberdaya lokal. Arah pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dijabarkan dalam bentuk:
1. Kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi
serta adopsi teknologi dari luar
2. Peningkatan kreativitas masyarakat melalui
pelatihan penerapan teknologi

28 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


3. Penyiapan sarana dan prasarana untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
e. Kerja Sama Daerah
Pengembangan kerjasama daerah diarahkan pada
meningkatnya pelayanan publik kepada masyarakat dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang dijabarkan dalam
bentuk:
1. Pengembangan kerjasama dalam keterkaitan
fungsional antar wilayah perencanaan Provinsi
Sulawesi Barat, terutama keterkaitan aktivitas
ekonomi antara kabupatan dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Barat
2. Pengembangan kerjasama fungsional dengan
wilayah-wilayah yang berbatasan secara langsung,
khususnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan
jaringan industri dan distribusi komoditas-
komoditas unggulan
3. Pengembangan pola kemitraan dalam
pembangunan infrastruktur
4. Peningkatan koordinasi antar daerah
5. Penguatan kelembagaan baik pemerintah, swasta
maupun masyarakat
6. Peningkatan investasi melalui perbaikan iklim
investasi yang kondusif; dan (vii) peningkatan
kerjasama di bidang ekonomi.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 29


2. Terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup secara berkelanjutan
a. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
Pengembangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
diarahkan pada meningkatnya hasil dan nilai tambah
sumberdaya alam, tertekannya tingkat kerusakan sumberdaya
alam secara fisik dan biotik serta meningkatnya daya dukung
lingkungan bagi keberlanjutan pembangunan. Pengembangan
ini dijabarkan dalam bentuk:
1. Penegakan hukum untuk menjamin berkurangnya
kerusakan lingkungan
2. Perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup
3. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam
seperti hasil hutan, hasil tambang dan hasil laut
4. Perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidup
5. Peningkatan nilai tambah hasil sumberdaya alam
6. Peningkatan investasi yang berwawasan
lingkungan yang mendukung pengembangan
pariwisata.
b. Perikanan dan Kelautan
Pembangunan perikanan dan kelautan diarahkan pada:
1. Meningkatnya produksi dan nilai tambah hasil
perikanan dan kelautan seperti rumput laut, ikan
tuna, teripang, lobster dan lain-lain

30 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


2. Meningkatnya kemampuan petani nelayan dalam
mengelola sumberdaya alam yang selanjutnya
dapat meningkatkan pendapatan petani nelayan
3. Berkurangnya pelanggaran dan perusakan
sumberdaya pesisir dan laut
Arah pembangunan perikanan dan kelautan dapat
dijabarkan dalam bentuk upaya:
1. Penataan dan perbaikan lingkungan perikanan
budidaya
2. Perbaikan dan peningkatan sumberdaya perikanan
tangkap
3. Pengembangan kelembagaan dan pembinaan
petani nelayan
4. Pengembangan pasca panen untuk meningkatkan
nilai tambah
5. Pengembangan budidaya perikanan dan kelautan
6. Peningkatan kemampuan kualitas SDM petani
nelayan
7. Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi
perikanan dan kelautan (hasil tangkap dan
budidaya)
8. Pengelolaan sumberdaya laut yang berbasis
ekosistem
9. Pengurangan pelanggaran dan perusakan
sumberdaya pesisir dan laut.
c. Perkebunan
Arah pengembangan perkebunan diarahkan pada:

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 31


1. Meningkatnya daya saing, produksi, produktivitas
dan nilai tambah hasil perkebunan seperti, kakao,
kopi, kelapa sawit, dan kelapa dalam
2. Meningkatnya kesejahteraan petani
3. Meningkatnya volume ekspor komoditas unggulan
hasil perkebunan
Arah pengembangan perkebunan dapat dijabarkan dalam
bentuk upaya:
1. Peningkatan kualitas SDM petani melalui kegiatan
pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta
penguatan kelembagaan para petani
2. Peningkatan kesejahteraan petani,melalui
penciptaan kualitas dan nilai tambah hasil
perkebunan
3. Peningkatan pemasaran hasil perkebunan
4. Peningkatan penerapan teknologi
5. Peningkatan volume ekspor komoditas unggulan
hasil perkebunan melalui peningkatan mutu dan
kualitas produk hasil perkebunan.
d. Kehutanan
Arah pembangunan kehutanan diarahkan pada
meningkatnya produksi dan nilai tambah hasil hutan dan
terpeliharanya hutan secara berkelanjutan, meningkatnya
pendapatan masyarakat disekitar kawasan hutan, dan
terwujudnya keseimbangan fungsi hutan dan alam hayati
lainnya sebagai penopang kelanjutan sistem kehidupan. Arah
pembangunan kehutanan dapat dijabarkan dalam bentuk:

32 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


1. Pemanfaatan secara optimal potensi sumberdaya
hutan
2. Pengembangan jenis-jenis tanaman baru yang
memiliki nilai tinggi dan mampu berproduktivitas
tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri
3. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta
masyarakat terhadap reboisasi dan rehabilitasi
hutan serta lahan dan penghijauan di luar kawasan
hutan
4. Perlindungan sumberdaya hutan seperti
penyadaran kepada masyarakat mengenai dampak
pembakaran hutan, sosialisasi pencegahan
kebakaran hutan dan lahan
5. Pengembangan industri dan pemasaran hasil
hutan
6. Penataan kawasan hutan dan pembuatan tata
batas untuk menjamin terciptanya kepastian
hukum dalam pengelolaan kawasan hutan, baik
oleh masyarakat maupun untuk kepentingan
industri dan perlindungan dalam arti luas
7. Peningkatan koordinasi dan penguatan
kelembagaan dalam wilayah DAS dan diikuti
dengan peningkatan pengawasan dan penegakan
hukum.
e. Pertambangan
Arah pembangunan pertambangan diarahkan pada
terkondisinya pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 33


yang dikelola secara efisien dan berkelanjutan, yang dijabarkan
dalam bentuk:
1. Identifikasi potensi-potensi pertambangan yang
potensial dan berdaya saing
2. peningkatan produksi dan nilai tambah hasil
pertambangan
3. pengelolaan potensi sumberdaya tambang secara
efisien dan berkelanjutan, terutama eksplorasi
migas, baik di darat maupun di lepas pantai.
f. Industri
Arah pengembangan perindustrian diarahkan pada
meningkatnya daya saing, produksi, produktivitas dan nilai
tambah hasil industri, terciptanya perluasan lapangan kerja,
berkembangnya industri yang berorientasi ekspor dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Pengembangan
perindustrian dijabarkan dalam bentuk:
1. Peningkatan daya saing melalui peningkatan mutu
dan kualitas produk
2. Peningkatan pola kemitraan/kerjasama dengan
lembaga-lembaga terkait
3. Penguatan kelembagaan industri kecil dan
menengah
4. Peningkatan pemasaran hasil industri
5. Peningkatan kemudahan aksesibilitas modal bagi
industri kecil kepada perbankan
6. Peningkatan kemampuan penerapan teknologi
industri

34 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


7. Pengembangan sentra-sentra industri potensial
8. Penyediaan fasilitas sarana dan prasarana
pendukung.
g. Perdagangan
Arah pengembangan perdagangan diarahkan pada
meningkatnya skala dan volume perdagangan antar daerah,
kawasan, dan pulau serta membaiknya sistem distribusi barang
dan jasa melalui upaya:
1. Peningkatan efisiensi dan efektifitas sistem
pemasaran dan distribusi barang dan jasa antar
daerah, kawasan, dan pulau
2. Pengembangan pasar lokal di daerah-daerah
perdesaan, terutama daerah terpencil, terisolasi
dan tertinggal
3. Peningkatan peran usaha perdagangan skala
mikro, kecil dan menengah dalam bidang jasa
perdagangan
4. Peningkatan kerjasama perdagangan antar
kawasan, pulau, dan negara
5. Penguatan kelembagaan perdagangan seperti
kelembagaan perlindungan konsumen dan
kelembagaan persaingan usaha yang sehat serta
kelembagaan perdagangan lainnya
6. Penyederhanaan prosedur dan perijinan yang
menghambat kelancaran distribusi barang dan
jasa.
h. Pariwisata
Pembangunan pariwisata diarahkan pada peningkatan
penerimaan daerah, memperluas kesempatan kerja, pelestarian
dan pengenalan kebudayaan daerah yang sejalan dengan letak
Provinsi Sulawesi Barat yang strategis dalam Lintas Sulawesi.
Sasaran pengembangan pariwisata tersebut dapat dicapai
dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 35


Sulawesi Barat, khususnya yang berkaitan dengan kebaharian,
kebudayaan dan sejarah yang dijabarkan dalam bentuk:
1. Pengembangan pemasaran pariwisata melalui
pembentukan jaringan kerjasama
2. Pembangunan dan peningkatan pembangunan
sarana dan prasarana pariwisata
3. Pengembangan daerah tujuan wisata
4. Pengembangan SDM di bidang kebudayaan dan
pariwisata
5. Pembangunan infrastruktur pendukung
kepariwisataan.
3. Terwujudnya pemerintahan yang kuat dan kehidupan
demokrasi yang sehat dan dinamis
a. Pemerintahan
Arah pembangunan pemerintahan diarahkan pada
terimplementasikannya prinsip-prinsip good governance dan
clean government dalam pelaksanaan pemerintahan dan
pelayanan publik, yang dijabarkan dalam bentuk:
1. Pelaksanaan pemerintahan yang kolaboratif antara
kelembagaan pemerintah, kelembagaan swasta
dan kelembagaan masyarakat yang berlangsung
transparan dan akuntabel
2. Peningkatan kualitas pelayanan publik dan
pelayanan dasar masyarakat
3. Penguatan kelembagaan dan kapasitas aparat
pemerintah pada setiap tingkatan pemerintahan
4. Efektifitas koordinasi antar unit kerja dan antar
daerah kabupaten

36 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


5. Peluasan jangkauan pelayanan pemerintahan pada
daerah-daerah terisolasi dan terpencil, rawan
bencana, serta daerah tertinggal dan perbatasan.
b. Politik
Arah pembangunan politik diarahkan pada terwujudnya
stabilitas politik dan keamanan serta kematangan berdemokrasi,
yang dijabarkan dalam bentuk:
1. Pengembangan organisasi sosial, budaya, ekonomi
dan politik serta kemasyarakatan lainnya sebagai
wadah penyaluran aspirasi masyarakat
2. Posialisasi nilai-nilai demokrasi melalui kerjasama
dengan instansi terkait
3. Pengembangan organisasi dan profesionalisme
partai politik
4. Peningkatan peran partai politik sebagai sarana
sosialisasi, komunikasi, dan rekruitmen politik
5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses
perumusan dan implementasi kebijakan publik
6. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas DPRD
sebagai mitra kerja eksekutif.
c.Hukum & Kesatuan Bangsa
Arah pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya
kehidupan masyarakat yang tertib dan sadar hukum, iklim
investasi yang baik dan hubungan perusahaan dengan pekerja
yang harmonis, melalui upaya perumusan peraturan daerah dan
penegakan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk
menghilangkan kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU 37


nepotisme. Arah pengembangan kesatuan bangsa diarahkan
untuk memantapkan harmoni antar etnis, agama, golongan dan
lapisan serta merestorasi modal sosial melalui dorongan
kerjasama, resolusi konflik, dan saling percaya serta penguatan
organisasi sosial kemasyarakatan.

38 KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


BAB III
3. METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

3.1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah


pendekatan statistik kuantitatif dengan dasar analisis
parameter-parameter pendapatan (ekonomi) dan kerusakan
(deplesi dan degradasi). Khusus dalam menghitung dampak
negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan,
digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka
degradasi, yakni dengan metode prevention cost. Selain itu,
metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung
dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer.
Kemudian valuasi ekonomi dapat menggunakan metode biaya
pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang
hilang (forgone income).

3.2. Tahapan Pelaksanaan Studi

Untuk mencapai tujuan penelitian (studi), maka secara


sistematis prosedur penelitian yang dilakukan menurut tahapan
sebagai berikkut:
1. Studi/review literatur terhadap konsep PDRB hijua dan
pedoman-pedoman terkait PDRB hijau yang
diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
maupun oleh kementerian Kehutanan;
2. Studi/review dan pengambilan data laporan-laporan
PDRB provinsi Sulawesi Barat dan beberapa

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 39


Kabupaten yang masuk dalam ruanglingkup lokasi
studi;
3. Studi/review dan pengambilan data sekunder dari
berbagai data dan informasi statistik yang relevan
dengan pendekatan yang dilakukan seperti publikasi
statistik Daerah dalam Angka baik tingkat provinsi
maupun kabupaten, dan laporan kinerja institusi atau
statistik yang disusun oleh SKPD di Provinsi Sulawesi
Barat terkait bidanng kebuhatan dan lingkungan
hidup, seperti Dinas Kehutanan dan Lingkungan
Hidup, Dinas Perindustrian, Dinas Pendapatan Daerah
dan lain sebagainya yang dianggap relevan dan
mendukung dalam pengayaan informasi dalam
penyusunan PDRB Hijau ini;
4. Mengindentifikasi macam produk sumberdaya hutan
yang ada dalam daerah berdasarkan dokkumen
statistik/publikasi yang telah dikumpulkan sebelumya;
5. Pengambilan data promer melalui survey dan
observasi lapangan pada beberapa kabupaten dalam
lokasi studi;
6. Identifikasi ragam produk kehutanan yang mengalami
deplesi;
7. Menghitung volume deplesi produk (sumberdaya)
kehutanan yang telah diidentifikasi pada poin 6
8. Menghitung valuasi deplesi produk/summberdaya
kebutunan
9. Menghitung konstribusi semi hijau sektor kehutanan

40 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


10. Menghitung degradasi lingkungan sektor kehutanan
11. Menghitung konstribusi hijau sektor kehutanan dan
konstribusi sektor kehutanan dalam pembangunan
berkelanjutan.

3.3. Perhitungan PDRB Coklat

Perhitungan PDB atau PDRB apabila dalam lingkup


regional yang terbatas menggunakan dua metode utama, yaitu
metode langsung dan metode tidak langsung. PDRB yang
umum kita dapati adalah hasil perhitungan dengan metode
langsung, dimana perhitungan dilakukan dengan menggunakan
data yang bersumber dan tersedia oleh badan-badan
pemangku kepentingan dari daerah. Dalam implementasinya,
terdapat tiga pendekatan yang digunakan dalam perhitungan
PDRB langsung ini, yaitu 1) Pendekatan Produksi; 2) Pendekatan
Pendapatan; dan 3) Pendekatan Pengeluaran.

Nilai produksi Rp. ……………


Input Perantara (Intermediate Inputs) Rp. …………… (-)
Nilai Tambah (PDRB) Coklat Rp. ……………
Persamaan i

Pendekatan Produksi merupakan pendekatan yang paling


banyak digunakan apabila perhitungan dilakukan terkait
dengan sumberdaya alam. Dalam pendekatan ini perhitungan
nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh
kegiatan ekonomi dilakukan dengan cara mengurangi output
dari masing-masing sektor atau sub sektor dengan biaya

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 41


antaranya olehnya pendekatan ini dikenal juga dengan
pendekatan Nilai Tambah. Konstribusi sektoral terhadap angka
PDRB dihitung dengan Persamaan (i).

3.4. Kinerja Pembangunan Sektoral

Identifikasi terhadap kinerja pembangunan sub-sektor


kehutanan dalam subsektor pertanian (sektor primer) diukur
dengan menggunakan metode Shift Share Analysis (disingkat
SSA). Menurut Setiyanto, dkk (2014), analisis SSA digunakan
untuk mengetahui pergeseran struktur aktivitas perekonomian
suatu wilayah, mengukur kemampuan berkompetansi aktivitas
tertentu (sektor atau sub-sektor), dan mengkur kinerja aktifitas
tertentu dalam suatu wilayah. Bentuk umum dan persamaan
dari analisis Shift-Share dan komponen-komponennya adalah
sebagai berikut:
Dij = Nij + Mij + Cij
Dimana:
i = sektor ekonomi yang dikaji
j = variabel wilayah yang dikaji
Dij = perubahan sektor ke-i didaerah ke-j (daerah
bawah)
Nij = pertumbuhan regional sektor ke-i di daerah
ke-j (daerah bawah)
Mij = bauran industri/pertumbuhan proporsional
sektor ke-i di daerah ke-j (daerah bawah)
Cij = keunggulan kompetitif/pertumbuhan pangsa
wilayah sektor ke-i didaerah ke-j (daerah
bawah)

42 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


Variabel yang digunakan adalah tenaga kerja atau PDRB
yang dinotasikan sebagai (E), maka:
Dij = E*ij – Eij
Nij = Eij x Rn

Mij = Eij (Rin – Rn)


Cij = Eij (Rij – Rin)
Dimana:
Eij PDRB sektor ke-i di daerah ke j (daerah bawah)
E*ij PDRB sektor ke-i di daerah ke j akhir tahun
analisis (daerah bawah)
Rij Laju pertumbuhan ekonomi sektor ke-i di daerah
ke j (daerah bawah)
Rin Laju pertumbuhan ekonomi sektor ke-i di daerah
ke j (daerah atas)
Rn Laju pertumbuhan GNP di daerah n (daerah atas)

3.5. Perhitungan PDRB Semi Hijau

Hasil pengembangan konsep PDRB Coklat dengan


memasukkan dimensi lingkungan (deplesi sumberdaya alam
dan kerusakan-kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan
PDRB konvensional (PDRB-Coklat) kemudian desebut dengan
PDRB Semi Hijau. Pada kajian ini, fokus analisis PDRB adalah
pada sektor kehutanan, sehingga nilai tambah produksi yang
digunakan dalam PDRB Coklat adalah nilai tambah dari sektor
kehutanan. PDRB Coklat sektor kehutanan selanjutnya
dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan, Perhatikan
Persamaan (ii) berikut ini:

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 43


Nilai produksi Sek. Kehutanan Rp. ……………
Input Perantara (Intermediate Inputs) Rp. …………… (-)
Nilai Tambah (PDRB) Coklat Sek. Rp. ……………
Kehutanan
Deplesi Sumberdaya Alam Rp. …………… (-)
PDRB Semi Hijau Rp. ……………
Persamaan ii

3.6. Perhitungan PDRB Hijau

PDRB Hijau merupakan nilai-nilai pada PDRB Semi Hijau


yang dikurangi lagi dengan nilai kerusakan atau degradasi
lingkungan. Jadi pengembangan menjadi PDRB Hijau adalah
sebagaimana pada Persamaan (iii) berikut ini:

PDRB Semi Hijau Rp. ……………


Degradasi Lingkungan Rp. …………… (-)

PDRB Hijau Rp. ……………


Persamaan iii

3.7. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan

Ruang lingkup studi dalam kajian BPRB Hijau Provinsi


Sulawesi Barat ini adalah sektor kehutanan. Selain merupakan
inisiasi pemerintah daerah untuk menggunakan parameter dan
paradigm baru dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi yang
berwawasan lingkungan, provinsi Sulawesi Barat juga masih
memiliki kawasan hutan yang luas dan masih berpengaruh
penting terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi

44 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


daerah. Karena hutan merupakan bagian dari sistem lingkungan
hidup yang tidak terlepas dari sektor-sektor lain, maka dalam
tahapan penyusunan konstribusi PDRB Hijau Sektor Kehutanan
tetap dilakukan identifikasi sektor-sektor lain yang
berkaitan/relevan. Secara sederhana penyusunan Kontribusi
Hijau Sektor Kehutanan diuraikan sebagai berikut:
1) Identifikasi dan analisis sektor turunan Kehutanan
Identifikasi dan analisis terhadap sektor turunan yang
berkaitan dengan sektor kehutanan (sub sektor kehutanan),
paling tidak industri pengolahan hasil hutan;

2) Identifikasi Produksi Sumberdaya Hutan


Identifikasi produksi hutan adalah upaya untuk
menginfentarisir jenis dan volume sumberdaya hutan
(produk) yang memiliki nilai ekonomi dalam wilayah.
Produk atau sumberdaya ini dapat merupakan kayu
maupun non kayu yang diambil/digunakan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara teknis, informasi
ini dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian, Badan Pusat
Statistik, atau melalui wawancara dengan beberapa
perusahaan dan industri yang ada.

3) Menentukan/Menghitung Valuasi Ekonomi, Deplesi dan


Degradasi Sumberdaya Hutan

Valuasi ekonomi sumberdaya hutan dilakukan untuk


menyatakan seluruh hasil produk hutan yang digunakan
(diekstrak dari hutan) kemudian menyatakannya dalam satu
nilai moneter. Penentuan valuasi ekonomi, deplesi dan
degradasi sumberdaya hutan mengacu pada Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 45


Nomor 15 Tahun 2012, tentang Panduan Valuasi Ekonomi
Ekosistem Hutan. Penetapan nilai ekonomi total maupun
nilai ekonomi kerusakan lingkungan dapat menggunakan
pendekatan harga pasar dan pendekatan non pasar.
Pendekatan harga pasar dapat dilakukan melalui
pendekatan produktivitas, pendekatan modal manusia
(human capital) atau pendekatan nilai yang hilang (foregone
earning), dan pendekatan biaya kesempatan (opportunity
cost). Sedangkan pendekatan harga non pasar dapat
digunakan melalui pendekatan preferensi masyarakat (non-
market method). Beberapa pendekatan non pasar yang
dapat digunakan antara lain adalah metode nilai hedonis
(hedonic pricing), metode biaya perjalanan (travel cost),
metode kesediaan membayar atau kesediaan menerima
ganti rugi (contingent valuation), dan metode benefit
transfer. Data harga diperoleh dari data sekunder ataupun
data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses
produksi dan penggunaan sumberdaya hutan.

4) Menghitung volume kerusakan deplesif

Menghitung volume kerusakan akibat deplesi sumberdaya


hutan dan menghitung dampak negatif yang ditimbulkan
akibat adanya proses produksi industri hasil hutan. Khusus
dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat
pengolahan industri hasil hutan ini maka digunakan
berbagai metode yang paling mendekati angka degradasi,
misalnya dengan metode prevention cost yaitu dengan
menginternalkan biaya pengolahan limbah pada hasil akhir
industri pengolahan. Selain itu metode lain yang digunakan
adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan

46 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


dengan menggunakan benefits transfer. Kemudian valuasi
ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti
(replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang
(forgone income).

5) Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi


industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya
nilai-nilai tersebut dikurangkan dari kontribusi sektor

kehutanan sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau


sektor kehutanan pada PDRB.
6) Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan
diperoleh dengan jalan menjumlahkan kontribusi sektor
kehutanan dengan depresiasi lingkungan kemudian
dikurangi dengan degradasi industri pengolahan hasil
hutan.

3.8. Perhitungan Deplesi Sumberdaya Kehutanan

3.8.1. Estimasi Volume dan Valuasi Deplesi


(kerusakan) Hutan
Perkiraan nilai deplesi (kerusakan) dan degradasi
lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya hutan dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) macam metode. Pertama metode
dan nilai yang diberikan oleh Natural Resources Management
(NRM) yang merupakan proyek yang dikelola oleh BAPPENAS
dan USAID; Kedua, pendekatan yang telah dibuat oleh Bintang
Simangunsong yang memberikan nilai yang berbeda terhadap
berbagai fungsi hutan; dan Ketiga, pendekatan yang dibuat oleh
Suparmoko dkk (2006) yang memperkirakan nilai deplesi dan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 47


degradasi atas dasar pungutan dana reboisasi dan Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar 15% dari nilai hutan secara
keseluruhan. Nilai sumber daya hutan atas dasar perkiraan ini
adalah 100/15 x (nilai PSDH dan nilai degradasi).
Pada penelitian ini, perhitungan estimasi volume deplesi
hutan menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan yang
digunakan oleh Simangunsong (2003). Apabila hutan ditebang
diperkirakan oleh Simangunsong akan terjadi kerusakan seperti
dalam Tabel 3-1.

Tabel 3-1. Forest Value Of Goods And Services Loss Due To


Timber Cutting (USD/Ha)

Service USD/Ha
Non Timber 8.59

Residual Stand Damage 79.41

Soil and Water Conservation service loss 1.33

Carbon Sink Service 113.01

Food protection service 1.18

The Option value 0.41

The existence value 1,41

Total Loss 205.34


Sumber: Simangunsong, 2003

Perhitungan Simangunsong hanya mencakup degradasi


atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan
hutan. Nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai. Untuk
mendapatkan nilai total deplesi dan degradasi hutan, dalam
pendekatan ini akan dijumlahkan antara nilai deplesi atas dasar
perhitungan NRM dan nilai degradasi atas dasar perhitungan

48 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


Simangunsong. Luas areal hutan yang ditebang dan yang rusak
atau yang terbakar (A). Luas areal hutan yang ditebang dan
yang terbakar umumnya dapat diketahui dari data yang
disajikan oleh Dinas Kehutanan setempat. Volume kayu yang
ditebang dan terbakar diestimasi dengan menggunakan
Persamaan di bawah ini kecuali bila datanya langsung tersedia
dalam volume kayu.

Qk = A x k ………Persamaan (iv)

Dimana: Qk = volume kayu total


A = Luas area hutan ditebang (ha)
K = volume kayu perhektar

Volume produk lain (non kayu) yang hilang: rotan, damar,


madu, sarang burung dan sebagaimnya (Qi), dihitung dengan
persamaan:
QI = A x I ………Persamaan (v)

Dimana: QI = volume produk non-kayu


A = Luas area hutan ditebang (ha)
I = volume produk non-kayu perhektar

Perhitungan valuasi ekonomi deplisi sumberdaya hutan


untuk kayu (timber) dengan persamaan (vi) dan non kayu (non
timber) dengan persamaan (vii), sebagai berikut:
VK = Qk x Pk ………Persamaan (vi)

Dimana: Vk = nilai deplesi kayu


Pk = Unit rent kayu
VI = QI x PI ………Persamaan (vii)

Dimana: VI = nilai deplesi produk non-kayu


Pk = Unit rent produk non-kayu

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 49


3.8.2. Prakiraan Nilai Degradasi

Perhitungan nilai degradasi lingkungan pada dasarnya


lebih kompleks dibandingkan pada perhitungan nilai deplesi
yang lebih terukur. Sehingga dalam perhitungannya diperlukan
perkiraan-perkiraan sesuai dengan jenis sumberdaya alam dan
lingkungan yang terdegradasi, serta pemahaman hubungan
kausal antara sumber kerusakan dengan dampak yang
ditimbulkan. Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 disebutkan
bahwa kerugian utama yang timbul sebagai akibat kerusakan
hutan dan penebangan hutan dapat berupa:
1. Kehilangan produk kayu dan non kayu;
2. Erosi tanah;
3. Kehilangan unsur hara tanah;
4. Penimbunan tanah di bagian hilir;
5. Pengurangan kesuburan tanah;
6. Penurunan produktifitas pertanian, perikanan dan
transportasi; dan/atau
7. Kehilangan air karena tingkat larian air yang tinggi

(water run-off).
8. Selain beberapa variable kerusakan di atas yang dinilai
juga adalah parameter serapan karbon yang
merupakan salah satu fungsi hutan. Sehingga, dalam
pengukuran degradasi hutan pada kajian ini mengacu
pada letentuan Natural Resources Management (NRM),
yang mengukur nilai-nilai degradasi lingkungan oleh

50 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


akibat pengunaan langsung dan penggunaan tidak
langsung. Koefisien yang digunakan dalam perkiraan
nilai ekonomi (valuasi) degradasi sebagai kompensasi
dari nilai-nilai fungsi hutan disajikan pada Tabel 3-2.

Tabel 3-2. Persentase dan Nilai Jasa Hutan


Persentase Nilai
Jenis Nilai Jasa Hutan
(%) (US$/ha/thn)
Atas dasar penggunaan 95,42 4.071,26
- Nilai penggunaan langsung 52,39 2.235,44
Kayu 29,11 1.242,14
Kayu bakar 0,08 3,2
Produk hutan non kayu 23,00 981,43
Konsumsi air 0,20 8,66
- Nilai penggunaan tak langsung 43,03 1.835,83
Konservasi air dan tanah 19,85 847,12
Penyerap karbon 3,14 133,85
Pencegah banjir 12,33 525,92
Transportasi air 2,90 123,81
Keanekaragaman hayati 4,94 210,79
Atas dasar bukan penggunaan 4,58 195,34
Nilai opsi 1,62 69,28
Nilai keberadaan 2,95 126,05
Nilai Ekonomi Total 100 4.266,60
Sumber: NRM, 2006.
Catatan: Nilai degradasi ditunjukan oleh nilai penggunaan tak
langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan. Nilai
ekonomi tersebut dengan asumsi bahwa penebangan
kayu dihutan berakibat pada rusak atau hilangnya
fungsi hutan seperti tersebut diatas.

Nilai degradasi (valuasi degradasi) selanjutnya dikalikan


dengan volume kerusakan yang terjadi. Dengan asumsi 1 hektar

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 51


hutan menghasilkan 40 m3 kayu, besarnya dana reboisasi
sebesar US$ 16/m3 kayu, maka dana reboisasi yang terkumpul
per hektar hutan adalah US$ 640/ha; 1 ha hutan primer
menyimpan 283 ton karbon (Brown dan Peaece, 1994). Nilai
karbon adalah $ 5/ton.

3.8.3. Perhitungan Konstribusi Hijau

Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB


provinsi selanjutnya dilakukan dengan mengurangkan
konstribusi total dalam PDRB Coklat dengan nilai (valuasi)
deplesi dan nilai degradasi, dengan persamaan berikut:
KH = KCkl - (VK + VL) – (VE + VC + VS) – (VK + VP)…..
Persamaan (viii)

Dimana: KH = kontribusi hijau


KCkl = kontribusi coklat
VK = nilai deplisi kayu
VL = nilai deplisi produk non kayu
VE = nilai erosi
VC = nilai penyerapan karbon (CO2)
Vs = nilai sedimentasi
VK = nilai keberadaan
Vo = nilai pilihan

Selanjutnya, nilai ekonomi total dihitung dengan


menjumlahkan semua nilai ekonomi dari sektor kehutanan di
atas (baik deplesi maupun degradasi) termasuk nilai konstribusi
rill dan konstribusi coklat dengan persamaan:

52 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


Kpemb = KCkl + (VK+VL) + (VE+VC+VS) +
(VK+VP)…Persamaan (ix)

Dimana: Kpem = kontribusi pembangunan

3.9. Perhitungan Unit Rent

Perhitungan unit rent dilakukan dengan menggunakan


Persamaan (x), sebagai berikut:

Harga per unit Rp. ……………


Biaya produksi per unit (bahan, sewa, Rp. ……………
tenaker,dll) (-)
Laba Kotor per Unit Rp. ……………
Laba layak (balas jasa investasi) Rp. ……………
(Suku Bungan SBI x total biaya produksi) (-)
Unit Rent Rp. ……………

Sehubungan dengan kebutuhan dalam menentukan nilai


deplesi sumberdaya hutan dibutuhkan nilai unit rent untuk
masing-masing jenis produk sumberdaya hutan. Cara
menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan seluruh
biaya produksi dari nilai penerimaan hasil pengambilan
sumberdaya hutan itu. Dari perhitungan ini diperoleh nilai laba
kotor. Untuk sampai pada perhitungan nilai unit rent, terhadap
nilai laba kotor itu harus dikurangkan lagi nilai laba yang layak
diterima oleh si pengusaha. Adapun nilai laba yang layak
diterima pengusaha dianggap sama dengan tingkat bunga
pinjaman di bank sebagai alternative cost dari modal yang
ditanam untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya
hutan di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 53


3.10. Menghitung Degradasi Sektor Kehutanan

Perhitungan nilai degradasi lingkungan lebih kompleks,


karena perlu menggunakan berbagai perkiraan sesuai dengan
jenis sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi.
Sebagai misal dengan adanya penebangan hutan, ekan terjadi
erosi sumberdaya tanah, sehingga lapisan tanah yang subur
(stop soil) akan hilang. Dalam hal ini terjadi degradasi
sumberdaya lahan. Selanjutnya kalau tanah yang terbawa erosi
itu terbawa melalui sungai akan terjadi pendangkalan sungai
dan menambah kekeruhan air sungai. Dalam hal ini terjadi
degradasi sumberdaya air, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Kalau tanah yang terbawa erosi itu diendapkan
dimuara sungai dan pantai, maka akan terjadi degradasi pantai
yang dapat mengakibatkan terganggunya kegiatan rekreasi
atau wisata pantai di pantai tersebut. Untuk menilai degradasi
tersebut perlu diadakan penelitian pendahuluan mengenai
sumberdaya alam dan komponen lingkungan yang mana yang
mengalami degradasi pada tahun yang bersangkutan. Langkah
ini merupakan langkah identifikasi. Kemudian langkah
berikutnya adalah langkah mengkuantifikasi besaran atau
luasan degradasi yang bersangkutan. Akhirnya terhadap lauasan
degradasi tersebut dapat diperkirakan besarnya nilai degradasi
yang bersangkutan.
Bagaimana cara menilainya? Untuk hal-hal yang ada
kaitannya dengan sumberdaya ekstraktif dapat didekati dengan
menggunakan harga pasar dan unit rent. Selanjutnya untuk hal-
hal yang merupakan jasa lingkungan dan jasa keanekaragaman

54 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


hayati penilaiannya harus didekati dengan menggunakan nilai
biaya pengganti, nilai kesenangan (hedonik) atau biaya
perjalanan (travel cost), maupun dengan cara survey (contingent
valuation) dengan meneliti tentang kesediaan membayar
(willingnes to pay) atau kesediaan untuik menerima ganti rugi
(willingnes to accept).
Degradasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah
degradasi di sektor industri pengolahan hasil hutan, dimana
kegiatan ini juga menghasilkan limbah yang dapat
mendegradasi fungsi lingkungan. Dalam hal ini, peneliti
menganalisa dengan pendekatan metode prevention cost yaitu
pihak perusahaan melakukan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke badan sungai. Sehingga nilai degradasi ini dapat
didekati dengan melihat besarnya biaya pengolahan limbah
termasuk didalamnya tenaga kerja, bahan-bahan kimia yang
dibutuhkan dan harga penyusutan alat pengolah limbah per
tahun. Biaya keseluruhan kegiatan pengolahan limbah inilah
yang nantinya digunakan sebagai angka degradasi pada
industri pengolahan hasil hutan.

3.11. Aplikasi Perhitungan Konstribusi Hijau Sektor


Kehutanan
3.11.1. Konsep Perhitungan

Berikut ini adalah salah satu contoh perhitungan nilai


ekonomi hijau dari beberapa produk kehutanan yang dihitung
dalam dokumen ini. Sebagai ilustrasi, dibawah ini dilakukan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 55


perhitungan nilai tambah (nilai coklat) pada produk kayu
gelondongan yang ditebang di hutan:
Nilai tambah = Nilai Produk Kayu – Nilai bahan
NTK = Hk – Ni
Dimana:
NTk = nilai tambah kayu di hutan
Hk = harga kayu
Ni = nilai input untuk menghasilkan kayu
Harga kayu tegakan (stumpage value) adalah nilai rente
kayu per unit (unit rent) lyang merupakan nilai tambah yang
dihasilkan oleh hutan atau sektor kehutanan. Karena input
perantara (intermediate input) sektor kehutanan tidak perlu
diberikan oleh manusia melalui usaha-usaha tertentu (alam
hutan sendiri yang memberikan/menyediakan intermediate
input-nya), maka nilai intermediate input sama dengan nol. Oleh
karena itu nilai tambah yang diciptakan sama dengan harga
kayu tegakan itu sendiri. Konsep ini berlaku pula untuk semua
jenis sumberdaya alam yang tidak perlu dibudidayakan oleh
manusia.
Contoh perhitungan berikut menunjukan bahwa
sumbangan sektor kehutanan untuk PDRB adalah nilai tambah
yang diciptakan di sektor kehutaan yang terdiri dari laba
perusahaan ditambah dengan nilai rente ekonomi kayu dan
produk ekstraktif kainnya yang sesungguhnya adalah sama
dengan laba kotor. Laba kotor adalah nilai produksi kayu bulat
dan produk ekstraktif lainnya yang dihasilkan dari hutan
ditambah dengan nilai rente ekonomi. Secara teoritis nilai rente
ekonomi harus sama dengan nilai pungutan pemerintah dari

56 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


sektor kehutanan seperti PSDH, Dana Reboisasi, IHH, IHPH, dan
sebagainya.
Contoh Perhitungan:
Nilai rente ekonomi kayu bulat (komersil I) tahun 2010
Satuan -----Rupiah (Rp)-----
Nilai Produksi 620.0001
Biaya Produksi:
- Biaya Umum 128.000
- Biaya Pemeliharaan 145.000
- Biaya sarana & prasarana 24.000
- Biaya Eksploitasi 70.000
- Biaya pemasaran 18.000
- Biaya penyusutan 8.000
- Biaya lain-lain 5.000 +
Laba Kotor 398.000-
Laba perusahaan (balas jasa
investasi) 222.000-
(Suku bunga SBI = 11,03% x total
biaya produksi) 43.899-
Rente Ekonomi 132.100

Catatan: Untuk sampai pada nilai Unit Rent maka Rente Ekonomi
dibagi dengan volume produksi.
Sumber: Suparmoko dan Maria Ratnaningsih, M. Asta, Harlini Kahar,
”Forest Resource Accounting” dalam M Suparmoko, Editor,
Neraca Sumberdaya Alam (Natural Resource Accounting),
BPFE Yogyakarta, 2005.

1
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.68/Menhut-II/2014
tentang Penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan
provisi sumber daya hutan, ganti rugi tegakan dan penggantian nilai
tegakan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 57


3.11.2. Data yang Diperlukan

Dalam rangka menyusun kontribusi hijau sektor


kehutanan terhadap PDRB suatu daerah, tentunya diperlukan
data atau informasi mengenai:
1. Macam dan jumlah produk kehutanan yang diekstrak
dari hutan (kayu, damar, rotan, dsb) di daerah yang
bersangkutan pada tahun tertentu.
2. Biaya pengambilan atau biaya produksi masing-
masing jenis produk hutan tersebut (kayu, damar,
rotan, dsb)
3. Harga masing-masing jenis produk industri yang
menggunakan bahan mentah produk hutan (kayu
gergajian, kayu lapis, perabot rumah tangga, dan lain
sebagainya)
4. Biaya produksi masing-masing jenis produk industri
berbasis produk hutan (kayu gergajian, kayu lapis,
perabot rumah tangga, dsb).
5. Tingkat bunga bank yang berlaku di daerah
bersangkutan untuk investasi di kehutanan.
6. Data yang berkenaan dengan besarnya biaya
pengolahan limbah oleh perusahaan-perusahaan
pengolahan industri kehutanan;
7. Data lain terkait atau yang diperlukan dalam
pendugaan nilai kerusakan lingkungan (misal debit air,
biaya pengerukan, laju dan besar sedimentasi,
pembuatan tanggul, teknik penanganan pencemaran,
dsb).

58 METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU


BAB IV
4. PEREKONOMIAN DAN SEKTOR
KEHUTANAN
4.1. Keadaan Umum

4.1.1. Geografi dan Adminsitrasi

Secara geografis, Provinsi Barat terletak anatara 0o12"-


3o38" Lintang Selatan dan antara 118o43"15" – 119o54"3" Bujur
Timur. Sebelah utara, berbatasan dengan provinsi Sulawesi
Tengah, sebelah Timur dan Selatan dengan Sulawesi Selatan
dan sebelah Brat dengan Selat Makassar dan pulau Kalimantan.
Secara administrasi terbagi menjadi 6 Kabupaten (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2013 Tentang
Pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah Di Provinsi Sulawesi
Barat), 69 Kecamatan dan 649 Desa/Kelurahan (BPS-Sulbar,
2015). Wilayah perairan provinsi Sulawesi Barat masuk dalam
alur pelayaran Selat Makassar, yang menghubungkan Samudera
Hindia dan Laut Cina Selatan. Panjang garis pantai ±752 km,
dengan luas wilayah laut ±7.668,84 km², dan luas daratan
±16.937,16 km2.
Sebagai ibu kota provinsi, Kabupaten Mamuju adalah
daerah dengan persentase wilayah yang paling luas, bahkan
Kabupaten Mamuju Tengah merupakan bagian/pecahan dari
Kabupaten Mamuju. Kabupaten dengan persentase wilayah
yang paling kecil adalah Kabupaten Majene (Tabel 4-1).

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 59


KEHUTANAN
Tabel 4-1. Luas, Persentase wilayah, banyak kecamatan dan
desa/kelurahan menurut kabupaten di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2013
Persentase
Luas Luas Jumlah Desa/
Kabupaten
(km2) Wilayah Kecamatan Keluarahan
(%)
Majene 947,84 5,60 8 82
Polewali 2.022,30 11,94 16 167
Mamasa 2.909,21 17,18 17 182
Mamuju 4.999,69 29,52 11 99
Mamuju Utara 3.043,75 17,97 12 63
Mamuju Tengah 3.014,37 17,80 5 56
Sulawesi Barat 16.937,16 100,00 69 649
Sumber:BPS-Sulbar, 2014

4.1.2. Demografi

Estimasi jumlah penduduk provinsi Sulawesi Barat pada


Tahun 2013 sebanyak 1.234.251 jiwa dengan distribusi
penduduk terbesar di Kabupaten Polewali Mandar sedangkan
Mamuju Tengah diperkirakan merupakan daerah dengan
jumlah penduduk terendah sebesar 115.118 jiwa. Secara
keseluruhan kepadan penduduk sebesar 72,9 jiwa/km2 dengan
kepadatan tertinggi di kabupaten Polewali Mandar dan
terendah di Kabupaten Mamuju Tengah (Tabel 4-2).
Perbandingan jumlah penduduk laki-laki relatif lebih
tinggi dibandingakan dengan penduduk perempuan, pada
Tahun 2013, terdapat sebanyak 618.800 jiwa penduduk laki-laki
dan 615.451 jiwa penduduk perempuan, dengan rasio total laki-
laki berbanding perempuan sebesar 1,01. Kabupaten Majene
dan Polewali Mandar adalah dua kabuapten dengan jumlah

60 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah laki-
laki (Tabel 4-3).

Tabel 4-2. Jumlah, distribusi dan kepadadatan penduduk


menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat,
Tahun 2013

Penduduk Distribusi Kepadatan


Kabupaten
(jiwa) (%) (jiwa/Km2)
Majene 158.890 12,9 167,6
Polewali 412.122 33,4 203,8
Mamasa 147.660 12,0 50,8
Mamuju 252.262 20,4 50,5
Mamuju Utara 148.129 12,0 48,7
Mamuju Tengah 115.188 9,3 38,2
Sulawesi Barat 1.234.251,00 100,00 72,9
Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014
Tabel 4-3. Jumlah dan rasio penduduk laki-laki dan perempuan
menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat,
Tahun 2013

Laki-Laki Perempuan Rasio Sex


Kecamatan
(L) (P) ( L/P)

Majene 77.521 81.369 0,95


Polewali 201.112 211.010 0,95
Mamasa 74.779 72.881 1,03
Mamuju 128.671 123.591 1,04
Mamuju Utara 77.104 71.025 1,09
Mamuju Tengah 59.613 55.575 1,07
Sulawesi Barat 618.800 615.451 1,01
Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014.

Laju pertumbuhan penduduk di relatif cepat, selama


periode 2010–2013 laju pertumbuhan penduduk mencapai

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 61


KEHUTANAN
angka 2,14%/tahun. Pertumbuhan penduduk berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan: penduduk laki-laki tumbuh dengan rata-
rata 2,09%/tahun sementara perempuan sebesar 2,19%/tahun.
Dengan laju pertumbuhan sedemikian, diperkirakan terjadi
pertambahan penduduk rata-rata tahunan yang melebih angka
sepuluh ribu jiwa (Gambar 4-1).

630,0 1240,0
Laki-laki
620,0
Perempuan 1220,0

Total Jumlah Penduduk


Jumlah Penduduk L / P

610,0 Jumlah
1200,0
600,0
590,0 1180,0
580,0
1160,0
570,0
1140,0
560,0
550,0 1120,0
2010,0 2011 2012 2013
Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014.
Gambar 4-1. Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis
kelamin di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 –
2013.

Perubahan demografis yang selalu mendapat perhatian


dalam analisis kependudukan adalah perubahan struktur umur.
Perubahan struktur umur ini umumnya akibat dari menurunnya
tingkat fertilitas dan mortalitas. Proporsi penduduk yang
berumur muda akan mengalami penurunan, sedangkan
proporsi penduduk yang berumur tua akan mengalami
peningkatan. Keadaan struktur umur penduduk akan tampak
jelas dengan menggunakan grafik piramida penduduk. Bentuk

62 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


piramida penduduk Provinsi Sulawesi Barat di Tahun 2013
disajikan pada Gambar 4-2.

75+
70-74
65-69
60-64
55-59
Kelompok Umur (tahun)

50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4

,0 50000,0 100000,0 150000,0


Jumlah Penduduk (jiwa)

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014


Gambar 4-2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

Piramida penduduk menggambarkan perkembangan


penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Bentuk
piramida penduduk dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, tingkat
kelangsungan hidup setiap kelompok umur, dan oleh mobilitas
penduduk. Penduduk dengan tingkat kelahiran tinggi biasanya

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 63


KEHUTANAN
ditandai dengan bentuk piramida penduduk yang alasnya besar
dan berangsur mengecil hingga puncak piramida. Tingkat
kelahiran rendah ditandai oleh bentuk piramida dengan alas
tidak begitu besar dan tidak langsung mengecil hingga
puncaknya. Adapun tingkat kelangsungan hidup dan tingkat
perpindahan penduduk pada setiap kelompok umur akan
mempengaruhi fluktuasi pada piramida. Apabila
memperhatikan proporsi penduduk menurut kelompok umur di
atas, terlihat komposisi penduduk berusia antara 0 hingga 14
tahun sebesar 32,5%, 63,4% berusia antara 15 hingga 64 tahun
dan 4,1% sisanya penduduk berusia 65 tahun keatas
(Gambar 4-2).
Penduduk Sulawesi Barat dapat digolongkan penduduk
muda. Artinya, lebih banyak jumlah penduduk pada kelompok
usia muda dibandingkan dengan penduduk usia tua. Batang
piramid untuk kelompok umur 0-4 tahun dan 5–9 tahun terlihat
relatif panjang dibandingkan kelompok umur lainnya, hal ini
dapat bermakna fertilitas penduduk masih cukup tinggi.
Apabila dibandingkang dengan batang piramida kelompok
umur 10-14 yang hampir sama, maka dapat ditafsirkan paling
tidak dalam 15 tahun terakhir tidak terjadi penurunan kelahiran
yang signifikan, bahkan untuk 20 tahun terakhir. Berkaitan
dengan gambar di atas, Tabel 4-4 menunjukkan rasio jenis
kelamin penduduk usia 65 tahun keatas sebesar 84,16 atau 0,84
yang mengindikasikan bahwa harapan hidup laki-laki lebih
tinggi bdibandingkan dengan perempuan.

64 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Tabel 4-4. Rasio kelamin (laki-laki terhadap perempuan)
menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat,
Tahun 2013

Kelompok Umur
Kabupaten Jumlah
0-4 15-16 65+
Majene 104,65 92,29 74,99 95,27
Polewali Mandar 104,91 93,09 71,72 95,31
Mamasa 104,95 102,23 91,43 102,6
Mamuju 106,78 102,93 99,95 104,11
Mamuju Utara 103,98 110,7 118,69 108,56
Mamuju Tengah 105,38 107,73 118,81 107,27
SulBar 105,20 99,36 84,16 100,54
Sumber: BPS-Sulbar, 2014

Dengan memperhatikan komposisi usia penduduk


tersebut, dapat diketahui rasio beban tanggungan (dependency
ratio) sebesar 57,6% yang berarti sebanyak kurang lebih 56
penduduk penduduk usia non produktif (usia 0-14 tahun dan 65
tahun ke atas) di tanggung oleh setiap 100 penduduk usia
produktif (usia 15-64 tahun). Tingginya angka beban tanggung
dapat menyebabkan pembangunan manusia menjadi lebih
lambat, dikarenakan sebagian pendapatan yang diperoleh
golongan penduduk usia produktif harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif. Gambaran
keadaan diatas menunjukkan rasio beban tanggung yang cukup
ideal, karena jumlah penduduk dalam usia produktif hampir dua
kali libat dibandingkan dengan penduduk yang belm dan sudah
tidak produktif.

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 65


KEHUTANAN
4.2. Perekonomian

4.2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah


satu ukuran kinerja pembangunan daerah khususnya di bidang
perekonomian. Pertumbuhan ekonomi ini dapat dilihat dari laju
pertumbuhan PDRB atas harga konstan, yaitu dengan
menghilangkan faktor perubahan harga (inflasi) dan
menggunakan faktor pengali harga konstan (at constant price
inflation factor) sehingga diperoleh gambaran peningkatan
produksi secara makro. Meskipun instrument ini tidak mutlak
memberi gambaran kemajuan dan kesejahteraan
masyarakatnya, namun paling tidak bisa digunakan sebagai
parameter kuantitatif dalam menghitung pertumbuhan
ekonomi dalam daerah.

30000,0 PDRB (HK) Ekonomi 12,0

25000,0 10,0
Pertumbuhan Ekonomi (%)
PDRB (RpMilyar)

20000,0 8,0

15000,0 6,0

10000,0 4,0

5000,0 2,0

,0 ,0
2010 2011 2012 2013

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar (PDRB-Sulbar), 2014


Gambar 4-3. Pertumbuhan PDRB (HK) dan ekonomi provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2010 - 2013

66 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Selama periode 2010 – 2013 (empat tahun) pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sulawesi Barat secara umum menunjukkan
pola perkembangan linier. Pada Tahun 2010 (Gambar 4-3).
Nilai PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2010 sebesar
Rp 17.184 milyar secara signifikan telah mengalami peningkatan
menjadi Rp. 22.229 Milyar di tahun 2013. Demikian pula dengan
pendapatan perkapita penduduk, pada tahun 2010 sebesar Rp.
14,76 juta/kapita menjadi Rp 20,46 juta/kapita. Pertumbuhan
PDRB (ADK) diatas tidak selaju dengan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonommi dalam daerah dalam empat tahun
terahir ini tumbuh melambat, pada tahun 2010 capaian
pertumbuhan ekonomi sebesar 11,13 sedangkan pada tahun
2014 mengalami pertumbuhan lebih lambat menjadi 6,94.

25000 2,5
ADHB ADHK Pertumbuhan
PDRB/Kapita (Ribu Rp)

Pertumbuhan (%/tahun)
20000 2

15000 1,5

10000 1

5000 0,5

0 0
2010 2011 2012 2013
Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar (PDRB), 2014
Gambar 4-4. Pertumbuhan PDRB Perkapita (Ribu Rp) Atas Dasar
Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar harga
Konstan (ADHK) Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2010 – 2013

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 67


KEHUTANAN
Secara sederhana, Gambar 4-4 menunjukkan
pertumbuhan PDRB provinsi Sulawesi Barata atas dasar harga
konstan (ADHK) dan atas dasar harga berlaku (ADHB) yang
mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2010–
2013. Namun demikian, pertumbuhan perkapita secara rill
terlihat mengalami perlambatan, pada Tahun 2011
pertumbuhan rill PDRB perkapita sebesar 1,97%/tahun,
kemudian terus melambat di tahaun 2012 dan 2013 menjadi
1,96 dan 1,94%/tahun. Gambaran tersebut menunjukkan
indikasi bahwa secara makro, pendapatan masyarakat
mengalami peningkatan, namun besaran peningkatan tidak
bertumbuh secara linier atau lebih rendah dari tahun
sebelumnya, bahkan cenderung menurun.
Apabila nilai PDRB perkapita dianggap sebagai proksi
pendapatan masyarakat, dan nilai pendapatan perkapita
tersebut dikonversi kedalam nilai US dolar (kurs 13 Juni 2013),
maka diketahui bahwa pendapatan rata-rata penduduk provinsi
Sulawesi Barat sebesar USD 2,77. Mengacu pada parameter
prasejahtera oleh UNDP dalam MDGs-2015 (UNDP, 2008), maka
secara sederhana dapat dinyatakan bahwa sebagian besar
penduduk Provinsi Sulawesi Barat telah berpenghasilan di atas
USD 1, atau sudah keluar dari kemiskinan golongan USD 1.
Namun demikian, berdasarkan Sistem Informasi Pembangunan
Derah (SIPD) tahun 2013 menunjukkan bahwa Indeks Gini
provinsi Sulawesi Barat sebesar 0,35 atau masuk dalam kategori
“Sedang”, dan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
nasional 0,38, mengalami peningkatan dari atahun 2012 sebesar

68 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


0,31 (BI, 2014). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat
ketimpangan pendapatan yang realatif tinggi di provinsi
Sulawesi Barat.

4.2.2. Struktur Perekonomian

Struktur perekonomian menunjukkan besarnya kontribusi


masing-masing sektor ekonomi dan merupakan indikasi
seberapa besar kekuatan ekonomi dalam suatu daerah.
Indikator makro ini penting bagi evaluasi capaian
pembangunan dan pengambilan keputusan untuk menentukan
arah dan sasaran kebijakan pembangunan di masa yang akan
datang termasuk kebijakan-kebijakan dalam penanggulangan
kemiskinan. Struktur ekonomi tersebut dapat dilihat dari
besarnya nilai pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atas
dasar harga konstan.
Struktur perekonomian daerah pada Tahun 2014 di
dominasi oleh sektor primer dengan Pertanian (terdiri dari
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan
kehutanan) sebagai kontributor utama sebesar 47,30%,
kemudian sektor tertier, yaitu Jasa-jasa sebesar 17,47%, dan
yang ketiga adalah pada sektor sekunder yaitu Perdagangan,
Hotel dan Restauran dengan konstribusi sebesar 12,64%. Secara
struktural tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam
perekonomian daerah baik berdasrkan 3 (tiga) sektor
utama/unggulan, maupun berdasarkan 9 (sembilan) sektor
lapangan usaha. Sektor pertanian tetap menjadi leading sektor
sekaligus merupakan tempat bergantung hidup sebagian besar

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 69


KEHUTANAN
penduduk, namun dengan proporsi distribusi yang cenderung
menurun. Sektor Jasa-jasa sebagai kontributor terbesar kedua,
dalam perkembangan lima tahun terkhir menunjukkan pola
perkembangan parabolik dengan kecenderungan tumbuh
positif, .sedangkan pada sektor Perdagangan, Hotel dan
Restauran menunjukkan pola perkembangan yang fluktuatif
juga dengan kecendrungan penurunan konstribusi (Tabel 4-5).

Tabel 4-5. Struktur ekonomi Provinsi Sulawesi Barat menurut


lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013

Lapangan Usaha/ Tahun


Sub-Sektor 2010 2011 2012 2013
SEKTOR PRIMER
Pertanian 47,30 46,25 45,38 44,72
Pertambangan dan
0,93 0,94 0,96 0,99
Penggalian
SEKTOR SEKUNDER
Indusri Pengolahan 8,79 9,19 8,9 8,87
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,47 0,48 0,52 0,56
Bangunan 4,66 4,66 5,64 4,78
Perdagangan, Hotel dan
12,69 12,65 12,45 12,64
Restauran
Angkutan dan Komunikasi 3,43 3,5 3,39 3,44
SEKTOR TERSIER
Keuangan, Persewaan dan
6,95 6,51 6,35 6,52
Jasa Perusahaan
Jasa-jasa 14,79 15,81 17,41 17,47
TOTAL 100 100 100 100
Sumber: Hasl olah BPS-Sulbar, 2014

70 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Tabel 4-6. Pertumbuhan rill ekonomi Provinsi Sulawesi Barat
menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013

Lapangan Usaha/ Tahun


Sub-Sektor 2010 2011 2012 2013
SEKTOR PRIMER
Pertanian 14,55 7,87 6,94 5,6
Pertambangan dan
1,56 11,29 11,77 10,6
Penggalian
SEKTOR SEKUNDER
Indusri Pengolahan 15,47 15,3 5,57 6,84
Listrik, Gas dan Air Bersih 22,01 14,23 16,23 15,58
Bangunan -2,85 10,42 8,62 10,36
Perdagangan, Hotel dan
13,87 9,93 7,31 8,82
Restauran
Angkutan dan Komunikasi 21,29 12,74 5,64 8,68
SEKTOR TERSIER
Keuangan, Persewaan dan
5,12 3,41 6,25 10,13
Jasa Perusahaan
Jasa-jasa 7,22 17,96 20 7,53
TOTAL 11,89 10,32 9,01 7,16
Sumber: Hasl olah BPS-Sulbar, 2014

Berdasarkan pertumbuhan rill ekonomi menurut sektor


(Tabel 4-6), pada Tahun 2013, diketahui bahwa sektor Listrik,
Gas dan Air Bersih menunjukkan capaian peningkatan tertinggi,
sedangkan beberapa sektor lain yang mengalami pertumbuhan
di atas 10% antara lain: Pertambangan dan Penggalian;
Bangunan; dan Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan,
sementara pertanian sebagai sektor andalan menunjukkan
perkembangan yang kurang memuaskan. Sebagaimana laju
pertumbuhan ekonomi, konstribusi sektor pertanian mengalami
penurunan secara konsisten selama periode 2010 – 2013 (Tabel

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 71


KEHUTANAN
4-5), bahkan pada tahun 2013, pertumbuhan rill sektor
pertanian hanya mampu meningkat sebanyak 5,6%; bahkan
sektor ini merupakan sektor dengan laju pertumbuhan yang
paling rendah dianatara sembilan sektor yang ada
(Tabel 4-6).
Selain sektor pertanian, dua sektor dengan konstribusi
tertinggi terhadap PDRB dalam daerah lainnya juga
menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan. Sektor Jasa-jasa
sebagai kontributor terbesar kedua (Tabel 4-5), mengalami
perlambatan yang sangat signifikan, dimana pada tahun 2012
pertumbuhannya sebesar 20% kemudian turun menjadi 7,53%
pada tahun 2013. Selanjutnya pada sektor Perdagangan, Hotel
dan Restauran, sektor ini juga mengalami perlambatan,
walaupun tidak sebesar sektor prioritas kedua, namun di tahun
2013 perumbuhan sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran
kembali membaik sebesar 8,82% dibandibbg tahun sebelumnya
7,31%.

4.2.3. Ketenagakerjaan

Perhatian pada sisi ketenagakerjaan setidaknya meliputi


dua hal utama, pertama terkait dengan sumberdaya manusia
dan kedua dengan lapangan kerja. Penelaahan pada
sumberdaya manusia meliputi kajian terhadap distribusi
penduduk usia kerja, pendidikan tenaga kerja (anngkatan kerja),
dan efisiensi tenaga kerja. Berdasarkan gambaran piramida
penduduk (Gambar 4-2) dan Rasio penduduk menurut jenis
kelamin (Tabel 4-4), diketahun bahwa pada Tahun 2013

72 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


persentase angkatan kerja (penduduk 15+ tahun) di Sulawesi
Barat sebesar 61,95%, dan 38,06% penduduk bukan angkatan
kerja.
Angkatan kerja di provinnsi Sulawesi Barat terutama pada
kelompok usia 25 hingga 44 tahun, tenaga kerja muda
menunjukkan jumlah yang seimbang dengan tenaga kerja yang
berusia 45 tahun keatas. Kira-kira 94 hingga 96% penduduk
usia kerja dalam status bekerja, yang berarti banyak penduduk
yang pengangguran hanya kurang lebih 2%. Pada penduduk
yang berusa lebiih dari 60 tahun terlihat semuanya masih
bekerja (Gambar 4-5).

Sumber: BPS-Sulbar (Keadaan Tenaker), 2014


Gambar 4-5. Jumlah angkatan kerja dan penduduk angkatan
kerja yang bekerja di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2013

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 73


KEHUTANAN
Gambar 4-6. Persentase penduduk usia +15 tahun yang bekerja
menurut status pekerjaan utama, Tahun 2014.

Gambar 4-6 menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja


dominan berstatus pekerjaan Pekerja Tak Dibayar; kemudian
Pekerja Bebas di Sektor Pertanian; Buruh atau Karyawan; dan
Pengusaha yang dibantu buruh tidak tetap. Status pekerjaan
“Pekerja Tak Dibayar” dengan proporsi 33% tersebut adalah
pekerja yang umumya bekerja di tempat keluarga, seperti miliki
orang tua, namun secara defenisi mereka tidak memperolah
upah/gaji baik berupa barang maupun uang.

4.3. Gambaran Sektor Kehutanan Provinsi Sulawesi


Barat
4.3.1. Luas Kawasan Hutan dan DAS

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu, yang ditunjuk dan


atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu
ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status
kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang
sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan

74 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga
dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan
sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional
serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional
dan global. Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Barat demikain
juga di Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam
bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Peta
penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi Barat
dapat dilihat pada Lampiran 1.

Luas Wil. Hutan (ha)


1178416,0 1180516,0

1119876,0
1105821,0
1092376,0

2010 2011 2012 2013 2014


Sumber: BPS-Sulbar, 2011 – 2015
Gambar 4-7. Perkembangan luas wilaya hutan di Provinsi
Sulawesi Batar, Tahun 2010 – 2014

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat


yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Sulawesi Barat, pada Publikasi Provinsi Sulawesi Barat dalam
Angka terbitan Tahun 2011 hingga pada Tahun 2015, diperoleh
perkembangan luas hutan sebagaimana disajikan pada Gambar

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 75


KEHUTANAN
4-7. Secara umum terllihat perkembangan luas wilayah hutan
dalam daerah mengalami pertumbuhan yang cukup dinamis
dengan adanya peningkatan dan penurunan yang cukup
signifikan sejalan dengan perjalanan tahun. Pada tahun 2010
total luas wilayah hutan di provinsi Sulawesi Barat seluas
1.119.876 ha, kemudian mengalami perluasan sekitar 5,25%
menjadi 1.178.416 ha di tahun 2011; selanjutnya di Tahun 2012
luas wilayah hutan mengalami kenaikan 0,18% atau 5,41% dari
luas Tahun 2010 menjadi 1.180.516 ha. Luas wilayah hutan
tersbut kemudian mengalami penurunan secara signifikan
selama tahun 2013-2104 bahkan lebih rendah dari keadaan di
tahun 2010. Di Tahun 2013 luas wilayah hutan menurun 6,3%
menjadi 1.105.821 ha; dan 1,22% di tahun 2014 menjadi
1.092.376 ha.

Tabel 4-7. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per


Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013
berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 726/Menhut-
II/2012
Luas Hutan menurut Fungsi (ha)
Kabupaten Jumlah
KSA/KPA HL HPT HP HPK
Majene - 45.259 7.564 - - 52.823
Polman 944 55.472 22.660 - - 79.076
Mamasa 63.779 91.732 51.935 - 433 207.879
Mamuju 149.461 153.883 198.589 75.133 18.038 595.104
Matra - 106.041 55.313 2.212 8.610 172.176
Mateng2
SulBar 214.184 452.387 336.061 77.345 27.081 1.107.058
Sumber: Kemenhut, 2013

2
Pemekaran Kab. Mamuju menjadi Kab. Mamuju dan Mamuju
Tengah berlangsung setelah penerbitan SK SK 726/Menhut-II/2012,
yaitu pada Tahun 2013.

76 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Kawasan hutan provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan
pada Tahun 2012 mencapai 65,6% dari total wilayah daratan
provinsi. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No: SK
726/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Peraturan Kawasan
Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan, potensi luas daratan kawasan hutan provinsi
Sulawsi Barat adalah 1.107.058 ha. Kabupaten Mamuju, Mamasa
dan Mamuju Utara adalah tiga kabupaten dengan arahan
pengembangan wilayah hutan yang luas sedangkan daerah
hutan paling sempit ada di Kabupaten Majene (Tabel 4-7).

Gambar 4-8. Persentase kawasan hutan menurut jenisnya di lima


Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat

Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam


(KPA) seluas 214.184 ha ditepakan di kabupaten Mamuju,
Mamasa dan kabupaten Polewali Mandar, dan kabupaten
Mamuju, dengan persentase areal masing-masing 24,9; 21,9;
dan 0,5%. Kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas dan
hutan produksi konservasi paling luas di Kabupate Mamuju,

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 77


KEHUTANAN
dengan proporsi masing-masing kawasan terhadap total luas
wilayah kabupaten masing-masing 25,6; 33,1; 12,5; dan 3,0%
(Gambar 4-7).
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan
pemerkaran wilayah Kabupaten Memuju menjadi Kabupaten
Mamuju dan Mamuju Tengah, pada Tahun 2014, Menteri
Kehutanan mengeluarkan keputusan melalui SK Menteri
Kehutanan SK: 862/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan
Provinsi Sulawesu Barat, sebagaimana disajikan pad Tabel 4-8.

Tabel 4-8. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per


Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013
berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 862/Menhut-
II/2014

Luas Hutan menurut Fungsi (ha)


Kabupaten Jumlah
KSA/KPA HL HPT HP HPK
Majene - 45.091 7.518 - - 52.609
Polman 989 65.464 22.830 - - 89.283
Mamasa 63.329 89.386 49.499 - 400 202.614
Mamuju 95.504 132.765 85.352 41.057 12.510 367.188
Matra - 103.049 54.855 2.186 8.457 168.547
Mateng 55.368 16.275 110.646 28.616 1.230 212.135
SulBar 215.190 452.030 330.700 71.859 22.597 1.092.376
Sumber: Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Barat, 2015

Luas kawasan hutan provinsi pada Tabel 4-8 adalah sama


dengan luas wilayah hutan menurut fungsinya seebagaimana
diterbitkan oleh BPS-Sulsel, 2015. Selain perubahan alokasi
wilayah hutan akibat pemekaran wilayah, terlihat bahwa luas
wilayah hutan menurut fungsinya antara tahun 2012 dan 2014
memang mengalami perubahan yang signifikan (lihat juga
Gambar 4-7). Apabila dilakukan perbandingan luas wilayah

78 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


hutan antara (menurut) SK 726/Menhut-II/2012 dengan SK:
862/Menhut-II/2014 (luas wilayah hutan mamuju dan mamuju
utara dijumlahkan), maka beradasarkan fungsinya, semua
bagian hutan mengalami penurunan luasan wilayah, kecuali
pada fungsi KSA/KPA. Penurunan luas wilayah hutan untuk HL,
HPT, HP dan HPK, secara berturut-turut adalah 0,08; 1,60; 7,09;
dan 16,56%, smentara alokasi wilayah untuk kawasan
pelestarian dan suaka alam mengalami peningkatan 0,47%.
Apabila ditelusuri pada tingkat kabupaten, maka kabupaten
Polewali Manda aadalah satu-satunya kabupaten yang
mengalami peningkatan untuk alokasi wilayah hutan untuk
fungsi pertama hingga ke tiga, sementara kabupaten Mamuju
dan Mamuju Tengah (nilai agregat) menunjukkan peningkatan
alokasi wilayah hutan untuk fungsi KSA/KPA.

Tabel 4-9. Luas penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi


Sulawesi Barat

Luas Hutan menurut Fungsi (ha)


Tutupan
KSA/ Jumlah
Lahan HL HPT HP HPK
KPA
A. Hutan 0 491,8 286,2 32 12,5 822,5
- Hutan Primer 0 234,7 89,8 12,3 0 336,8
- Hutan Sekunder 0 257,1 196,4 19,6 12,5 485,6
- Hutan Tanaman 0 0 0 0 0 0
B. Non Hutan 1,3 186,1 75,6 33 67,2 363,2
Total 1,3 677,9 361,8 65 79,7 1.185,7
Sumber: Kemenhut, 2013

Rekapitulasi luas penutupan lahan dalam dan luar


kawasan hutan berdasarkan Penafsiran citra satelit s/d 2012 dan
landsat 7 ETM+ 2011 yang dimuat dalam statistik Kementerian
PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 79
KEHUTANAN
Kehutanan hingga pada tahun 2013 sebagaiman disajikan pada
Tabel 4-9. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit, total
tutupan daerah hutan di provinsi Sulawesi Barat adalah 1.185,7
ha, hutan lindung merupakan jenis/fungsi hutan yang paling
banyak sekitar 57% dari total luas hutan yang ada. Jensi hutan
kedua adalah hutan produksi konservasi kemudian hutan
produksi terbatas, masing-masing 6,7 dan 5,5% dari total luas
hutan dalam daerah.

Tabel 4-10. Kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) di


Provinsi Sulawesi Barat

Luas K.
Luas
Daerah Aliran Luas DAS Hutan
Kawasan
Sungai (DAS) (ha) thd Luas
Hutan (ha)
DAS (%)
Budong-Budong 423.225 304.978 72,1
Karama 375.433 309.345 82,4
Lariang 143.457 71.542 49,9
Mamuju 119.496 84.711 70,9
Mapilli 398.401 213.078 53,5
Pasang Kayu 44.098 15.892 36,0
Saddang 157.101 93.244 59,4
Surumana 32.280 14.270 44,2
Pulau-Pulau 153 -
Jumlah 1.693.644 1.107.060 65,4
Sumber: Kemenhut, 2013a

Sisi konservasi juga terutama dilakukan pada daerah-


daerah yang dialiri oleh sungai atau daerah aliran sugai, posisi
sebagian besar kawasaan hutan cukup luas dibandingkan
dengan luas DAS sebagaimana disajikan pada Tabel 4-10. DAS
terluas adalah Budong-budong dan Mapilli, merupakan salah

80 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


dua aliran sungai yang melalui kabupaten Mamuju dan Polewali
Mandar. Luas DAS Budong-budong mencapai 423.225 ha
dengan panjang seitar 309,5km dan melalui kawasan hutan di
kabupaten Mamuju sekitar 304.978 atau 72,1% dari luas DAS.
Sedangkan di kabupaten Polaman, DAS Mapilli membentang
sepanjang 285,8 km, menutupi areal sekitar 398.401 ha dan
melalui kawasan hutan 213.078 ha atau 53,5% dari laus kawasan
hutan.

4.3.2. Sumberdaya dan Ekonomi

Potensi sumberdaya hutan di Provinsi Sulawesi Barat


meliputi potensi produksi kayu dan non-kayu. Potensi kayu
yang dapat dimanfaatkan dari kawasan hutan negara meliputi
Kayu Eboni, Meranti, Jati, Palapi, Damar, Kemiri, Rotan, Durian,
Getah Pinus dan Kayu, Campuran lainnya, sedangkan Potensi
Kayu di hutan rakyat meliputi Jati Emas, Jati Ambon, Durian,
Sengon dan Kayu Campuran lainnya. Berdasarkan data statistik
kehutanan Nasional Tahun 2013, produksi Kayu Bulat di provinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2012 sebesar 21.694,70m3 yang
berasal dari IUPHHK PT. Rante Mario sebesar 14.597,35 m3 dan
yang berasal dari Hutan Rakyat sebesar 7.097,35 m3. Keadaan di
Tahun 2014 berdasarkan data dari dinas Kehutanan Povinsi
Sulawesi Barat, produksi kayu gergajian mencapai 2.654,3 m3
yang merupakan produksi dari enam perusahaan /pengusaha
kayu dari tiga kabupaten, yaitu kabupaten Mamuju, Mamuju
tengah dan Mamuju Utara (Tabel 4-11).

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 81


KEHUTANAN
Tabel 4-11. Produksi kayu gergajian menurut perusahaan di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Nama Lokasi/
Batang M3
Perusahaan Kabupaten
UD Ampera 13.680 202,76 Mamuju
UD Sumber Rejeki 1.545 33,17 Mamuju
CV Nur Arif 32.223 1.945,89 Mateng
UD Surya Latibung 4.796 211,60 Mateng
CV. Bukit Harapan 8.253 147,17 Matra
Karya Utama 976 113,72 Matra
61.473,0 2.654,3 SulBar
Sumber: Dishut-Sulbar, 2015

Produksi non kayu yang banyak dikembangkan di Provinsi


Sulawesi Barat adalah rotan dan getah pinus. Menurut data
Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 2013,
produksi rotan dalam Provinsi Sulawesi Barat di tahun 2012
yang dikelola oleh 5 perusahaan secara keseluruhan sebesar
697,654 ton. Sedangkan produksi getah pinus mencapai 124
drum atau setara dengan 9.619 kg (Tabel 4-12).

Tabel 4-12. Produksi non-kayu menurut perusahaaan pengelola


di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2012

Nama Produksi (ton)


Perusahaan Rotan Getah Pinus
PT Sinar Beru-beru 219.154 0
CV.Sinar Wonomulyo 279.000 0
CV. Sinar Niaga Utama 159.500 0
UD Citra Belang-Belang 40.000 0
PT Milatronika 0 9,62
Total 697.654 9,62
Sumber: Kemenhut, 2013.

82 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Secara lebih terperinci, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Sulawesi Barat mencatat perkembangan produksi hasil hutan
non-kayu, adapun perkembangan sejak tahun 2010 hingga
2014 dapat dilihat pada Tabel 4-13 dan Tabel 4-14.

Tabel 4-13. Produksi rotan menurut kabupaten di Provinsi


Sulawesi Barat, tahun 2010-2014

Produksi Rotan (ton)


Kabupaten
2010 2011 2012 2013 2014
Majene 530 0 0 0 0
Polman 0 1.040 510.000 254,8 205.963
Mamasa 0 0 0 0 0
Mamuju 110 1.526 25.843 846,9 866.863
Matra 0 0 0 0 0
Mateng 0 0 0 0 0
SulBar 640 2.566 535.843 1.101,7 1.072.826
Sumber: BPS-Sulbar 2011 – 2015
Tabel 4-14. Produksi getah pinus menurut kabupaten di Provinsi
Sulawesi Barat, tahun 2010-2014

Produksi Getah Pinus (ton)


Kabupaten
2010 2011 2012 2013 2014
Majene 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Polman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Mamasa 0,0 132.359,0 154.789,0 29.038,0 48.612,0
Mamuju 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Matra 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Mateng 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
SulBar 0,0 132.359,0 154.789,0 29.038,0 48.612,0
Sumber: BPS-Sulbar 2011 – 2015

Produksi hasil hutan yang paling dominan adalah rotan


dan getah pinus, pada tahun 2014 produksi rotan Provinsi
Sulawesi Barat mencapai 1.072.826 ton, dan produksi getah
pinus sebesar 48.612 ton. Perkembangan dalam kurun waktu

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 83


KEHUTANAN
lima tehun terakhir, menunjukkan terdapat tiga daerah
produsen rotan di Provinsi Sulawesi Barat, yaitu Kabupaten
Majene, Polman dan Mamuju Utara, namun sejak tahun 2011
produksi rotan kabupaten Majene tidak terlihat lagi dalam
berbagai publikasi statistik yang tersedia. Sementara satu-
satunya daerah produsen getah pinus adalah kabupaten
Mamasa. Perkembangan produksi rotan terlihat berfluktuasi
secara signifikan dari tahun-ketahun, produksi rotan yang tinggi
terlihat di Tahun 2012 dan di Tahun 2014. Pola pertumbuhan
yang sama juga ditunjukkan pada komoditi getah pinus, antara
tahun 2011 hingga 2014 produksi getah pinus di Kabupaten
Mamasa terlihat berfluktuasi dari 132.359 ton di tahun 2011,
kemudian meningkat menjadi 154.789 ton di tahun 2012.
Namun, berbeda dengan produksi rotan, pertumbuhan
produksi getah pinus menunjukkan trend penurunan sementara
rotan cenderung mengalami kenaikan. Memasuki tahun 2013
produksi getah ppinus kemudian mengalami penuruna
signifikan menjadi 29.038 ton atau menurun sekitar 64% dari
tahun sebelumnya (Tabel 4-14).
Untuk flora dan fauna, di Prov. Sulawesi Barat mempunyai
spesies unggulan seperti pohon Ebony (kayu hitam), Cempaka
hutan, Palapi, Aren dan Rotan. Cempaka hutan kasar (kadang
disebut juga cempaka hutan) merupakan flora identitas provinsi
Sulawesi Barat. Banyak literatur berbahasa Indonesia yang
memberi nama latin Elmerrillia ovalis kepada tanaman ini
meskipun nama ilmiah resminya adalah Magnolia vrieseana.
Nama yang pertama adalah nama sinonim. Sedangkan pada

84 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


fauna terdapat jenis Babi Rusa, Burung Maleo, Ayam Hutan
serta Kera, semuanya tersebar dibeberapa Kabupaten di
Sulawesi Barat. Babirusa hanya terdapat di sekitar Sulawesi,
Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa
banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar
melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur
dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam
hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering
menyerang (Kemenhut, 2014).
Selain menyediakan produk dalam bentuk barang, hutan
juga menyediakan jasa-jasa lingkungan yang salah satu
bentuknya adalah wilsata alam. Terdapat beberapa lokasi wisata
alam di provinsi Sulawesi Barat, salah satunya adalah Taman
Nasional Ganda Dewata yang kwasannya meliputi kabupaten
Mamuju dan Kabupaten Mamasa, terdapat juga Taman Hutan
Raya Lampoko yang terletak kabupaten Polewali Mandar.
Kawasan-kawasan tersebut masih menyimpan keindahan
panorama alam hutan yang menarik untuk dikelola untuk
pengembangan ekowisata. sedangkan untuk pemanfaatan jasa
lingkungan lainnya.

4.3.3. Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan di Provinsi Sulawesi Barat dilakukan


melalui kerjasama antara perusahaan swasta maupun
masyarakat (publik) menurut koridor perizinan sesuai peraturan
pernudang-udangan yang berlaku. Kerjasama tersebut
merupakan bentuk Bina Usaha Kehutanan, dengan kegiatan

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 85


KEHUTANAN
antara lain mencakup rencana pemanfaatan hutan produksi,
pengembangan hutan alam dan hutan tanaman, pengelolaan
iuran kehutanan, peredaran hasil hutan serta pengolahan dan
pemasaran hasil hutan. Pemanfaatan hasil hutan kayu
merupakan bentuk usaha yang memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Kegiatan
pemanfaata ini pun dibatasi pada pada areal hutan yang
memilki potensi untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil
hutan kayu dan dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha.
Beberapa izin pengelolaan yang terdapat di Provinsi Sulawesi
Barat adalah IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, skema HTR, HKm dan
Hutan Desa/Rakyat. Berdasarkan statistik kehutanan Tahun
2013, luas hutan di provinsi Sulawesi Barat dengan izin
penglolaan seluas 189.450,06 ha, yang terdiri atas 163.205 ha
IUPHHK-HA; 20.240 ha IUPHHK-HTI; dan 6.005,06 ha IUPHHK-
HTR.

Tabel 4-15. Perkembangan luas hutan rakyat menurut


kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-
2014
Luas Hutan Rakyat (ha)
Kabupaten a
2010 2011a 2012ab 2013b 2014b
Majene 3.032 3.032 30.032 3.032 3.032
Polman 285 100 0 0 100
Mamasa 375 375 375 14.198 14.198
Mamuju 125 50 2.450 2.450 2.450
Matra 0 0 0 0 0
Mateng
SulBar 3.817 3.557 5.857 19.680 19.780
a b
Sumber: Kemenhut, 2014; dan Dinhut-Sulbar, 2015.

86 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah
yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan luas minimum
0,25 Ha. Pembangunan hutan rakyat diarahkan untuk
mengembalikan produktivitas lahan kritis, konservasi lahan,
perlindungan hutan dan pengentasan kemiskinan melalui
pemberdayaan masyarakat (Kemenhut, 2013). Hutan rakyat di
Sulawesi Barat pada Tahun 2012 mengalami perluasan yang
cukup signifikan dibandingkan perkembangan tahun
sebelumnya, dimana antara tahun 2008 hingga 2010 hutan
rakyat hanya 3.817 ha, meningkat menjadi 5.857 ha di tahun
2012. Perluasan yang paling signifikan adalah di Kabupaten
Mamuju, dari 50 ha di Tahun 2011 meningkat menjadi 2.450 ha
di Tahun 2011. Perkembangan selanjutnya, antara tahun 2012
hingga tahun 2014 menunjukkan perluasan areal hutan rakyat
menjadi 19.780 ha (Tabel 4-15).
Di Sulawesi Barat pengelolaan hutan rakyat dilakukan
masyarakat secara swadaya maupun kerjasama/dukungan dari
instansi pemerintah. Pemerintah dalam hal in imenjadi mitra
masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat dan usaha
berbasis hutan dan kebun (agroforestry). Secara kelembagaan
pengembangan hutan rakyat tersebut dilakukan melalui
pembentukan kelompok tani kehutanan dan perkebunan serta
kelompok. Produk jenis kayu yang dikembangkan di hutan
rakyat Sulawesi Barat antara lain jenis tanaman/kayu Sengon,
Jati Ambon (Jabon), Gmelina dan Kemiri sedangkan untuk non
kayu seperti Bambu, Kakao, Durian dan Kelapa Sawit. Relevan
dengan hal tersebut, dalam buku Statistik Kehutanan Provinsi

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR 87


KEHUTANAN
Sulawesi Barat tahun 2015 menunjukkan produksi kayu dari
kebun masyarakat menurut jenisnya (Tabel 4-16).

Tabel 4-16. Produksi kayu kebun masyarakat menurut jenis kayu


di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

Produksi menurut Jenis Kayu (m3)


Kabupaten Kayu Rimba
Meranti Jati
Indah Campuran
Majene 0 0 0 0
Polman 245,3 976,0 23,2 647,9
Mamasa 0 0 0 0
Mamuju 0 0 0 0
Matra 0 0 0 150
Mateng
SulBar 245 976 23 798
Sumber: Dishut-Sulbar, 2015

Belum tersedia data yang mendetail tentang produksi,


ragam produksi dan kegiatan produksi apa yang telah dan yang
sedang dikembangkan pada hutan rakyat di Provinsi Sulawesi
Barat. Data yang paling relevan/identik yang diperoleh adalah
data produksi kayu kebun masyarakat sebagaimana disajikan di
atas. Jenis kayu jati perupakan komoditi kayu dengan produksi
tertinggi, kemudian berbagai macam kayu (rimba campuran),
kayu meranti, dan kayu indah.

88 PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU


BAB V
5. KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
5.1. PDRB Coklat Sektor Kehutanan

5.1.1. Nilai Tambah Sektor Kehutanan

5.1.1.1. PDRB Sub-Sektor Kehutanan

Di Provinsi Sulawesi Barat, sektor kehutanan cukup


berperan penting dalam memberikan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi dalam daerah baik langsung maupun
tidak langsung. Peranan sektor kehutanan ini dalam melayani
dan menyediakan kebutuhan pembangunan dapat dilihat
bagaimana pengarauhnya kedepan (forward linkages) ataupun
bagaimana pengaruhnya di belakang (backward linkages).
Pengaruh kebelakang bermakna telah sedemikian rupa hutan
berkonstribusi bagi penghidupan masyarakat yang secara
langsung memanfaatkan hasil hutan, dan bagaimana hutan
berperan dalam sistem ekologi kehidupan flora, fauna dan
lingkungan hidup; pengaruh kedepan adalah kesinambungan
potensi hutan untuk memberikan hasil secara ekonomi dan
ekologis bagi manusia dan pembangunan daerah.
Saat ini kontribusi kehutanan hanya dihitung dari nilai
tambah kontribusinya terhadap pembentukan PDRB dan masuk
kedalam kelompok sektor pertanian. Khususnya dalam
kelompok sektor pertanian, nilai tambah sektor kehutanan di
provisi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel 5-1.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 89


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Tabel 5-1. Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian
menurut sub sektor di Provinsi Sulawesi Barat,
Tahun 2010-2014
Milyar rupah
Sektor Tahun
Pertanian 2010 2011 2012 2013 2014
Tan.Pangan 1.758,3 1.793,3 1.960,7 2.129,0 2.340,3
Perkebunan 3.619,5 4.196,1 4.656,8 5.275,2 6.178,4
Peternakan 373,8 413,7 438,1 486,3 536,4
Kehutanan 84,5 87,8 91,9 96,8 103,3
Perikanan 1.650,6 2.146,2 2.336,8 2.688,9 3.150,9
Pertanian 7.486,6 8.637,0 9.484,4 10.676,4 12.309,4
Sumber: BPS-PDRB-Sulbar, 2014

Tabel 5-2. Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian


menurut sub sektor dan kabupaten di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2014
Milyar rupah
Sektor Tahun 2014
Pertanian Majene
a
Polman Mamasa Mamuju Matra
Tan.Pangan 172,1 652,8 245,2 501,6 374,3
Perkebunan 308,3 1.199,2 277,9 984,7 2.444,9
Peternakan 53,3 234,6 56,4 175,2 22,9
Kehutanan 5,9 32,8 20,0 23,3 10,2
Perikanan 584,7 1.077,7 56,0 948,0 247,9
Pertanian 1.124,3 3.197,1 655,6 2.632,8 3.100,2
Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara,
2014; aKab. Majene dalam Angka 2015

Table 5-1 menunjukkan, nilai tambah sektor pertanian


terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Perkebunan
memiliki nila tambah yang paling tinggi dibandingkan dengan
subsektor lainnya, diikuti perikanan, tanaman pangan dan
peternakan. Nilai tambah kehutanan menunjukkan nilai yang
paling kecil, yakni hanya sekitar 84,5 milyar di tahun 2010,

90 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
namun meningkat menjadi 103,3 milyar di tahun 2014. Pada
tingkat kabupaten, nilai tambah kehutanan dalam struktur PDRB
sektor pertanian terlihat sangat bervariasi. Kabupaten Polman
menunjukkan nilai tambah kehutanan yang paling besar di
Tahun 2014, kemudian kabupaten Mamuju, Mamasa, Mamuju
Utara dan terkecil kabupaten Majene. Sebagaina keadaan
provinsi, besarnya nilai tambah sub-sektor kehutanan adalah
yang paling kecil dibandingkan dengan sub-sektor lain di sekrot
pertanian (Tabel 5-2).

Tabel 5-3. Perkembangan PDRB-ADHB sub-sektor Kehutanan


di Provinsi Sulawesi Barat menurut kabupaten,
Tahun 2011-2014

Perkembangan BDRB Kehutanan (%)


Kabupaten
2011 2012 2013 2014
Majene 3,62 1,05 3,33 3,97
Polman 2,58 2,02 3,08 2,39
Mamasa 6,01 11,98 3,93 7,67
Mamuju 3,06 3,17 3,84 10,29
Matra 7,56 10,58 3,28 6,65
SULBAR 3,90 4,65 5,36 6,67
Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara,
SulBar 2014

Pada tingkat provinsi, perkembangan PDRB kehutanan


terlihat mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2011-2014,
perkembangan yang paling rendah terjadi di tahun 2011 yaitu
sebesar 3,9%; namun memasuki tahun 2014, perkembangan
PDRB kehutanan meningkat menjadi 6,67%. Pada tingkat
kabupaten, berdasarkan Tabel 5-3 diketahui bahwa kabupaten
Polewali Mandar merupakan daerah dengan laju perkembangan
sub-sektor kehutanan yang paling lamban, selama periode
PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 91
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
2011-2014, terlihat tidak ada peningkatan yang signifikan,
walaupun di Tahun 2013 sempat mengalami peningkatan dari
angka 2,58% di tahun 2011 menjadi 3,08%, pada tahun 2014
perkembangannya menjadi 2,39. Kabupaten Polewali Mandar
juga merupakan satu-satunya kabupaten yang mengalami
perlambatan petumbuhan di Tahun 2014. Pada tahun 2012,
kabupaten Mamasa dan Mamuju Utara terlihat mengalami
perkembangan yang signifikan, hanya saja setahun kemudian
kembali mengalami penurunan dan kembali menunjukkan
akselerasi pada Tahun 2013. Untuk keadaan di tahun 2014,
kabupaten Mamuju bukan hanya memperlihatkan nilai tambah
yang cukup besar dibandingkan dengan kabupaten lain, namun
juga pada persentase perkembangan yang cukup signifikan dari
angka 3,84% pada tahun 2013 meningkat menjadi 10,29 di
tahun 2014 (Tabel 5-3).

5.1.1.2. Kinerja Pembangunan Sub-Sektor Kehutanan

Pengukuran kinerja pembangunan sub-sektor kehutanan


secara ekonomi dibandingkan dengan sub-sektor lain dalam
sektor pertanian, melalui penggunaan metode analisis Shift
Share, menghasilkan indikasi petumbuhan wilayah (Dij),
pertumbuhan regiona sektor pertanian (Nij), bauran sub-sektor
kehutanan (Mij), dan keunggulan kompetitif sub-sektor
kehutanan (Cij). Hasil analisis pada masing-masing kabupaten di
provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel 5-4 sampai
Tabel 5-8.

92 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
Tabel 5-4. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja
pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan
dalam Sektor Petanian di Kabupaten Majene
ΔE =
Sub-Sektor Nij Mij Cij Dij
E*ij - Eij
Tanaman Pangan 56,12 -16,56 -5,25 34,30 34,30
Perkebunan 100,65 8,57 -48,01 61,22 61,22
Peternakan 15,70 -3,34 2,43 14,78 14,78
Kehutanan 2,00 -1,04 0,04 1,00 1,00
Perikanan 174,30 23,22 -40,68 156,84 156,84
Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015

Tabel 5-5. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja


pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan
dalam Sektor Petanian di Kabupaten Polman
ΔE =
Sub-Sektor Nij Mij Cij Dij
E*ij - Eij
Tanaman Pangan 194,45 -57,39 38,44 175,50 175,50
Perkebunan 358,43 30,52 -69,65 319,29 319,29
Peternakan 69,61 -14,82 8,89 63,68 63,68
Kehutanan 11,47 -5,96 -0,88 4,63 4,63
Perikanan 300,89 40,09 -1,97 339,01 339,01
Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015
Tabel 5-6. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja
pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan
dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamasa
ΔE =
Sub-Sektor Nij Mij Cij Dij
E*ij - Eij
Tanaman Pangan 75,08 -22,16 7,99 60,91 60,91
Perkebunan 104,88 8,93 -93,36 20,45 20,45
Peternakan 19,91 -4,24 -8,17 7,50 7,50
Kehutanan 6,51 -3,38 0,93 4,05 4,05
Perikanan 15,06 2,01 2,00 19,07 19,07
Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 93


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Tabel 5-7. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja
pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan
dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju
ΔE =
Sub-Sektor Nij Mij Cij Dij
E*ij - Eij
Tanaman Pangan 166,44 -49,13 -24,32 93,00 93,00
Perkebunan 267,16 22,75 39,00 328,91 328,91
Peternakan 54,81 -11,67 -2,54 40,60 40,60
Kehutanan 8,02 -4,17 -0,28 3,57 3,57
Perikanan 244,41 32,56 71,08 348,05 348,05
Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015
Tabel 5-8. Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja
pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan
dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju Utara
ΔE =
Sub-Sektor Nij Mij Cij Dij
E*ij - Eij
Tanaman Pangan 123,78 -36,54 -16,86 70,39 70,39
Perkebunan 642,05 54,67 172,02 868,74 868,74
Peternakan 7,26 -1,54 -0,60 5,12 5,12
Kehutanan 3,42 -1,78 0,19 1,83 1,83
Perikanan 77,58 10,34 -30,43 57,49 57,49
Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015

Pertumbuhan regiona sektor pertanian (N), merupakan


pertumbuhan total wilayah antara tahun 2011 dan 2014 yang
menunjukkan dinamika total wilayah. Perubahan produksi suatu
wilayah disebabkan perubahan produksi diwilayah atasnya,
perubahan kebijakan ekonomi regional atau kebijakan yang
mempengaruhi semua sektor dalam wilayah. Hasil analisis
menujukkan nilai pertumbuhan regional (N) yang bernilai positif
pada semua sub-sektor di semua kabupaten kota. Hal ini
bermakna bahwa sektor pertanian secara umum memberikan
efek positif terhadap konstribusi pendapatan wilayah baik di
tingkat kabupaten maupun provinsi. Sub-sektor perkebunan

94 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
menunjukkan nilai pertumbuhan regional (N) relatif tertinggi
kecuali di kabupaten Majene dengan sub-sektor perikanan yang
berada pada posisi N tertinggi. Hal ini berarti bahwa sektor
perkebunan cenderung memberikan efek yang paling tinggi
dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten, kecuali kabupaten Majene
yang lebih bergantung pada sub-sektor perikanan.
Peran sub-sektor kehutanan dalam mengungkit laju
pertumbuhan sektor pertanian secara regional tertinggi di
Kabupaten Polman, kemudian Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara
dan terakhir Kabupaten Majene. Hal ini bermakna dalam kurun
waktu 2011-2014, kabupaten Polman merupakan wilayah yang
memberikan pengaruh paling tinggi terhadap pertumbuhan
sektor kehutanan provinsi.
Bauran sub-sektor kehutanan (M), atau pertumbuhan
proporsional total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan
dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang
menunjukkan dinamika aktifitas total dalam wilayah. Pengaruh
bauran sub-sektor akan bernilai positif jika sektor tertentu
tumbuh lebih cepat daripada sektor keseluaruhan dalam suatu
wilayah. Dari lima subsektor penyusun sektor pertanian, hanya
sub-sektor perkebunan dan sub-sektor perikanan yang
menunjukkan bauran (M) yang bernilai positif di seluruh
kabupaten. Keadaan ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan
sektor perkebunan dan perikanan dalam kurun waktu tahun
2011-2014 di seluruh wilayah kabupaten merupakan sub-sektor
yang bertumbuh paling cepat. Dibandingkan dengan sektor

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 95


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
lainnya yang bernilai negatif, hal ini mengindikasikan bahwa
akselerasi pertumbhan sub-sektor tersebut tidak secara
signifikan dalam mengungkit laju pertumbuhan sub-sektor dan
sektor baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi.
Khsusunya apda sub-sektor kehutanan, nilai bauran sub-
sektor kehutanan (M) bernilai negatif di seluruh kabupaten. Nilai
terendah secara berturut-turut adalah di Kabupaten Polman,
Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara dan kabupaten Majene.
Memperhatikan kembali nilai pertumbuhan regional (N) sub-
sektor kehutanan sebelumnya, nila bauran masing-masing
kabupaten menunjukkan nilai urutan yang sama dengan sifat
perbandingan terbalik. Hal ini berarti, bahwa tingkat pengaruh
pertumbuhan sub-sektor kehutanan pada masing-masing
kabupaten terhadap pertumbuhan sub-sektor kehutanan di
tingkat provinsi memang masih berperan, namun laju
pertumbuhan sub-sektor kehutanan masih lebih rendah
dibandingkan dengan laju pertumbuhan keseluruhan sektor
pertanian.
Keunggulan kompetitif sub-sektor kehutanan (C)
merupaan tingkat kompetensi sub-sektor dibandingkan dengan
sub-sektor lainnya dalam suatu wilayah, atau nilai share suatu
sub-sektor dalam sektornya. Nilai share sub-sektor yang negatif
mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan sub-sektor atau
sektor tersebut mengalami penurunan, sedangkan nilai share
positif menunjukkan adanya peningkatan konstribusi sub-sektor
secara relatif, dalam kurun waktu analisis. Sub-sektor
perkebunan yang pada analisis sebelumnya menunjukkan

96 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
pengaruh atau efek yang paling tinggi terhadap laju
pertumbuhan sektor pertanian regional, ternyata tidak serta
merta diikuti dengan kenaikan nilai share pada secra regional
maupun pada tiap-tiap kabupaten. Selama periode tahun 2011-
2014, terlihat adanya penurunan proporsi konstribusi (share) di
kabupaten Majene, Polman, dan kabupaten Mamasa. Berbeda
dengan sub-sektor perikanan, yang sebelumnya memiliki nilai
pertumbuhan regional (N) kedua terbesar setelah sub-sektor
perebunan, menunjukkan nilai share yang berbeda-beda pada
masing-masing kabupaten. Kabupaten Majene yang produk
regionalnya paling besar dipengaruhi oleh sub-sektor
perikanan, senyatanya tidak identik dengan knaikan alokasi
konstribusi sektor perikanan sepanjang tahun, keadaan yang
sama juga terlihat di kabupaten Mamuju Utara dimana sektor
perikanan berada pada urutan ketiga konstributor produk
regional kabupaten.
Khususnya pada sub-sektor kehutanan, kabupaten
Polman dan kabupaten Mamuju menunjukkan nilai share yang
negatif, sementara kabupaten lainnya menunjukkan nilai share
yang positif. Hal ini berarti bahwa perkembangan share sub-
sektor kehutanan di kabuapten Polman dan Mamuju cenderung
mengalami penurunan dibandinngkan dengn alokasi sub-sektor
lainnya dalam menyusun pendapatan dalam kabupaten dan
regional. Pertumbuhan nilai share sektor kehutanan yang paling
tinggi adalah di kabupaten Mamasa, kemudian Mamuju Utara,
Majene, Mamuju dan Kabupaten Polman.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 97


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Perubahan sektoral (D) secara keseluruhan menunjukkan
angka positif baik pada nilai-nilai menurut sub-sektor maupun
pada tiap-tiap kabupaten kota. Hal ini berarti bahwa perubahan
atau pertumbuhan sektor pertanian masih bernilai positif dalam
kurun waktu tahun 2011-2014. Suatu hal yang menjadi catatan,
adalah bahwa pada semua indikator yang ada, apabila
perbandinan dilakukan diantara sub-sektor, sektor kehutanan
adalah sub-sektor yang selalu memperoleh nilai terendah. Hal
ini berarti bahwa konstribusi sektor kehutanan menurut nilai
produksi regional adalah yang terendah dibandingkan dengan
sub-sektor lain dalam sektor pertanian.

5.1.2. Konstribusi Coklat Sektor Kehutanan

Besar konstribusi sektor kehutanan dalam perekonomian


daerah, dalam sudut pandang coklat tercermin dari
perbandingan nilai tambah sub-sektor kehutanan terhadap
sektor pertanian dan terhadap total nilai tambah daerah.
Konstribusi kehutanan terhadap sektor pertanian merupakan
yang paling kecil diantara 5 (lima) sub-sektor dalam kelompok
pertanian, walaupun dengan nilai tambah yang terus
mengalami peningkatan darti tahun-ketahun (Tabel 5-9),
terlihat adanya penurunan besar konstribusi kehutanan dalam
lima tahun terahir. Terhadap sektor pertanian, kehutanan
berkonstribusi sebesar 1,13% pada tahun 2010, namun
kemudian mengalami perlambatan hingga pada tahun 2014,
besar konstriusi hanya sebesar 0,84%. Terhadap total nilai PDRB
provinsi, sektor kehutanan secara coklat hanya berkonstribusi

98 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
0,49% di tahun 2010 dan 0,35% di tahun 2014 (Gambar 5-1).
Besar konstribusi sub-sektor kehutanan diduga kerena adanya
sektor lain atau sub-sektor lain yang semakin mendominasi
ruang PDRB, hal ini terindikasi dari perkembangan yang
menurun pada konstribusi sektor pertanian secara umum,
dalam tiga tahun terakhir konstribusi sektor pertanian hanya
bisa bertahan pada angka 41,9%, setelah mengalami penurunan
dari angka 43,6% pada tahun 2010 dan 42,8% pada tahun 2011.

45
Kehutanan thd Pertanian
01
Kehutanan thd Total
01 Pertanian thp Total (aksis kanan) 44
43,5678
01
42,7801 43
01
42,2836
01 41,880842
41,9178
000

00
000

000

000

41
000

00
001

001

001

001

001

00 40
2010 2011 2012 2013 2015
Sumber: Diolah dari BPS-Sulbar, 2014
Gambar 5-1. Konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB daerah,
kehutanan terhadap pertanian, dan kehutanan
terhadap PDRB total, Provinsi Sulawesi Barat, Tahun
2010-2014

Konstribusi sub-sektor kehutanan di Kabupaten Mamuju


Utara dan Majene adalah yang terendah dibandingkan dengan
kabupaten lainnya, selain itu, dalam tiga tahun terakhir terlihat
penurnan dari angka 0,20 menjadi 0,15%. Perkembangan

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 99


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
konstribusi yang hampir sama di Kebupaten Mamuju dan
Polewali Mandar. Peranan sub-sektor kehutanan yang paling
tinggi terlihat di kabupaten Mamasa, namun demikian nilai
konstribusi tersebt juga menunjukkan penurunan dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir (Tabel 5-9). Secara umum, konstribusi
sektor kehutanan memang cukup rendah sebagaimana terlihat
pada keadaan konstribusinya di tingkat provinsi (Gambar 5-1).

Tabel 5-9. Perkembangan distribusi PDRB-ADHB kehutanan


terhadap total PDRB daerah menurut kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2011-2014

Konstribusi BDRB Kehutanan (%)


Kabupaten
2011 2012 2013 2014
Majene 0,21 0,20 0,19 0,19
Polman 0,49 0,45 0,43 0,4
Mamasa 1,09 1,1 1,06 1,05
Mamuju 0,4 0,36 0,33 0,32
Matra 0,2 0,2 0,18 0,15
SULBAR 0,46 0,42 0,41 0,38
Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara,
SulBar 2014

Sebagaimana keadaan pada sub sektor pertanian lainnya


atau sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam, dalam
pengukuran nilai tambahnya (PDRB), terutama pada sub-sektor
kehutanan, tidak semua hasil hutan diperhitunngakn sebagai
nilai tambah (value added) dalam proses perhitungan, padahal
terdapat banyak pemanfaatkan secara langsung oleh
masyarakat sekitar hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-
hari (misalnya untuk kayu bakar, tanaman obat, madu, dll). Nilai
tambah tersebut, pada dasarnya memiliki nilai yang sama

100 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
dengan jumlah penghasilan dari faktor produksi (upah/gaji,
sewa, bunga modal dan laba) yang diciptakan dalam kegiatan
ekonomi. Demikian pula dengan nilai bahan atau sumberdaya
alam yang mealami deplesi tidak diperhitungakn atau tidak
muncul dalam bentuk nilai tambah, hal ini sehingga nilai
tambah sub-sektor kehutanan selalu berada pada posisi terkecil
dibandingkan dengan sub sektor lain dalam sektor pertanian
atau sektor lainya dalam perhitungan PDRB.
Karena itu jika penghitungan untuk PDRB bagi sektor-
sektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang
tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan
kontribusinya bagi pembangunan daerah. Salah satu dampak
tidak diperhitungkannya nilai-nilai deplesi lingkungan tersebut
adalah nilai konstribusi yang relatif kecil jika dibandingkan
dengan sektor lainnya, walaupun pada kenyataanya, terdapat
banyak penduduk yang bergantung dan memenuhi kebutuhan
hidupnya dari sektor tersebut.

5.2. PDRB Hijau Sektor Kehutanan

5.2.1. Deplesi Sumberdaya Hutan

Secara umum deplesi (depletion) merupakan katalain


penyusutan atau amortisasi yang terjadi pada suatu benda ayng
bersifat alami dan tidak dapat diperbaharui, istilah ini umumnya
digunakan pada ekonomi geografi yang digunakan dalam dunia
pertambangan untuk menyatakan penyusutan pada SDA yang
tidak dapat diperbaharui. Dalam konteks biologi, penggunaan
istilah deplesi digunakan untuk penyusutan yang tidak bersifat

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 101


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
merugikan tetapi mempunyai manfaat bagi bagian-bagian yang
menerima hasil dari penyusutan tersebut (www.kamusq.com).
Dalam konteks deplesi sumberdaya hutan, maka pendekatan
defenisi secara biologis lebih mengena dibandingkan dengan
defenisi sebelumnya. Sehingga term deplesi yang dimaksud
pada konteks ini adalah hilangnya sumberdaya hutan terutama
kayu. Hal ini didasarkan pada Kartodiharjo (1996) yang
mengemukakan bahwa hutan merupakan salah satu sumbedaya
alam yang pada dasarnya memiliki atau bernilai fungsi untuk
dimanfaatkan bagi hidup dan kehidupan mahluk sehingga perlu
disertakan dengan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja,
modal, alat, infrastruktur dan lainnya, untuk itu setiap kegiatan
penggunaan sumberdaya hutan selalu diperhitungkan sebagai
deplesi. Dalam Manual Kehutanan Tahun 1992, deplesi
didefenisikan sebagai biaya asli (intrinsik) suatu sumberdaya
alam seperti hutan bila ditebang, atau sama dengan depresiasi
pada hutan, sehingga deplesi sumberdaya hutan diartikan
secara bebas sebagai penguranngan atau pengambilan
sumberdaya huhtan dari persediaan yang ada.
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa hal utama yang menjadi penyebab
deplesi hutan, yaitu pengambilan hasil hutan, konversi hutan,
dan kerusakan hutan. Oleh karena itu, dalam perhitungan nilai
deplesi sumberdaya hutan pada perhitungan PDRB HIjau
Provinsi Sulawesi Barat ini, khususnya pada komoditi kayu yang
akan dihitung nilai deplesinya akan menggunakan data hasil

102 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
produksi kayu dan nilai dari data kebakaran/kerusakan hutan
yang terjadi.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam analisis deplesi
sumberdaya hutan, khususnya produk kayu, baik gergajian
maupun kayu bulat adalah, tidak tersedianya data series terkait
dengan produksi kayu baik dari BPS-Provinsi dan Kabupaten
maupun dari Dinas Kehutanan Setempat. Data produksi kayu
terakhir ditemukan pada Publikasi Sulawesi Barat Dalam Angka
Tahun 2011, pada publikasi selanjutnya hingga saat ini, produksi
hutan yang tersedia hanya untuk kategori Non Kayu. Sementara
buku statistik kehutanan provinsi Sulawesi Barat, baru
dipublikasi di Tahun 2015 untuk statistik tahun 2014.
Selain keterbatasan data prduksi kayu, keterbatasan Data
juga ditemukan pada kuantitas penebangan hutan. Sehingga
untuk kebutuhan anallisis deplesi nilai penebangan hutan dapat
menggunakan nilai konfersi dari luas kebakaran hutan dan data
pencurian kayu. Informasi tentang pencurian kayu, secara resmi
tidak ada publikasi yang menerbitkan, namun untuk informasi
kebakaran hutan, publikasi Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi
Barat telah menerbitkan data tersebut. Adapun tambahan
informasi luas kebakaran hutan yang telah digali dari berbagai
referensi dengan maksud untuk menyusun data series
perkembangan luasan kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi
Barat, yang kami temaukan bahwa tidak pernanah ada laporan
baik pada Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan RI dari
Tahun 2011 hingga 2013, maupun data agregat kejadian
kebakaran hutan yang tersdia dlam SiPongi3.

3
Aplikasi sistem deteksi kebakaran hutan yang diluncurkan oleh
kementerian kehutanan dan lingkungan hidup RI, lunch pada 12
Maret 2015 pada laman http://sipongi.menlhk.go.id/
PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 103
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Dalam perhitungan Unit Rent atau Rente Ekonomi hasil
hutan digunakan estimasi perhitungan unit rent berdasarkan
nilai inflate menggunakan indeks implisit4 sektor kehutanan
provinsi Sulawesi Barat (Lampiran 3) dikalikan dengan
perhitungan unit rent pada tahun 2014 menurut harga kayu
per-unit, pada masing-masing kabupaten dengan nilai SBI (BI
Rate) sebesar 7,54% (Lampiran 4). Adapun nilai rente ekonomi
kayu hutan hasil analisis disajikan pada Tabel 5-10.

Tabel 5-10. Nilai rente ekonomi kayu hutan menurut kebupaten


di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014

Kabupate Rente Ekonomi Kayu Hutan (Rp/m3)


n 2010 2011 2012 2013 2014
Majene 294.814,8 306.619,4 337.178,7 379.574,8 447.437,5
Polman 282.219,4 285.344,6 291.626,8 309.116,6 340.904,8
Mamasa 301.511,3 302.079,5 317.313,5 337.289,7 374.995,3
Mamuju 338.424,4 342.114,4 357.148,4 377.535,3 426.131,0
Matra 287.507,0 299.211,5 340.429,2 397.633,6 497.152,8
SulBar 327.588,0 328.112,1 344.572,7 369.604,3 417.324,3
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Nilai rente ekonomi tersebut di atas selanjutnya


digunakan sebagai pengali untuk menghitung nilai produksi
kayu menurut konversi luas hutan yang terbakar dan produksi
kayu gergajian (sesuai data tersedia). Nilai perkiraan produksi
kayu untuk kawasan hutan primer dan sekunder sesuai dengan
nilai asumsi kementerian kehutanan adalah 40 m3/ha untuk
dalam kawasan hutan primer, dan dari hutan sekunder
diperkirakan volume kayunya adalah setengahnya yaitu 20
m3/ha, maka atas dasar perkiraan ini dapat diperoleh angka

4
Rasio PDRB atas dasar harga berlaku dengan PDRB atas dasar harga
konstan dikali 100%
104 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
produksi/volume sumber daya kayu hutan yang hilang di
provinsi Sulawesi Barat yang diakibatkan oleh kebakaran hutan
sebagaimana disajikan pada Tabel 5-11. Kejadian kebakaran
hutan dalam kawasan hutan primer terlihat lebih besar
dibandingkan diluar kawasan hutan primer. Total luas kawasan
hutan yang terbakar pada tahun 2014 seluas 273,25 ha dengan
kejadian paling tinggi di kabupaten Polewali Mandar, kemudian
Mamasan dan seterusnya. Total estimasi produksi kayu yang
hilang (terdeplesi) berdasarkan hasil konversi sebesar 7.510 m3.

Tabel 5-11. Estimasi volume produksi kayu yang hilang akibat


kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi Barat, tahun
2014
Luas Kebakaran Hutan Estimasi Volume kayu
Rakyat (ha) (m3)
Kabu-
Dalam Luar Dalam Luar
paten
Kawas Kawas Total Kawas Kawa Total
an an an san
Majene 2 10 12 80 200 280
Polman 21 77 98 840 1.540 2.380
Mamasa 25 27 52 1.000 540 1.540
Mamuju 20 31 51 800 620 1.420
Matra 15 16 31 600 320 920
Mateng 19,25 10 29,25 770 200 970
SulBar 102,25 171,00 273,25 4.090 3.420 7.510
Sumber: Diolah dari data Dinas Kehutanan-Sumbar, 2015

Berdasarkan hasil estimasi nilai produk kayu yang hilang


akibat kebakaran hutan pada Tabel 5-11, dan volume kayu
gergajian yang diproduksi pada tiga kabupaten seperti
ditunjukkan pada Tebel 4-11 (Bagian 4) maka dapat
diperkirakan nilai deplesi sumberdaya kayu untuk tahun 2014
sebagaimana pada Tabel 5-12.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 105


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Tabel 5-12. Nilai deplesi produk kayu akibat kebakaran hutan di
provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Deplesi Deplesi
Unit
Kayu Kayu Total
Kabupaten Rent
Kebakaran Gergajian
-----Rp. X 1000-----
Majene 447,4 125.282,5 0,0 125.282,5
Polman 340,9 811.353,4 0,0 811.353,4
Mamasa 375,0 577.492,7 0,0 577.492,7
Mamuju 426,1 605.106,0 100.540,3 705.646,3
Matra 497,2 457.380,6 129.706,0 587.086,5
Mateng 426,1 413.347,0 919.370,7 1.332.717,7
SulBar 417,3 3.134.105,2 1.107.711,8 4.241.817,0
Keterangan: Unit rent yang digunakan untuk kabuaten Mamuju
Tengah mengacu pada nilai kabupaten Mamuju

Dari hasil perhitungan yang diperoleh terlihat bahwa nilai


deplesi sumberdaya kayu dari akibat kebakaran hutan lebih
tinggi dibandingkan dengan deplesi akibat aktifitas produksi
kayu gergajian. Total nila deplesi dari kedua parameter di atas
sebesar Rp 4,2 milyar lebih, nilai deplesi akibat kebakaran hutan
tertinggi di kabupaten polewali Mandar diikuti kabupaten
Mamuju, untuk deplesi nilai kayu gergajian hanya ditemuakn di
tiga kabupaten, dan terbesar di kabupaten Mamuju Tengah.
Total nilai deplesi kayu tertinggi di kabupaten Mamuju Tengah
dan Kabupaten mamuju, atau dalam nilai agregat di Kabupaten
Mamuju.

5.2.2. Degradasi Sumberdaya Hutan

Setelah menghitung nilai deplesi sumberdaya hutan


sebagaimana yang teah dilakukan di atas, selanjutnya akan
dihitung nilai degradasi hutan, atau nilai-nilai jasa secara

106 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
ekonomi yang timbul sebagai dampak aktifitas kegiatan
pengelolaan hutan, terutama penebangan hutan. Sebagaiman
dikemukakan sebelumnya, bahwa tidak terdapat data arela
penebangan hutan secara terperinci dan valid yang terpublikasi
secara resmi. Namun demikian, dengan menggunakan asumsi-
asumsi nilai konversi kayu/hektar hutan yang sama pada
perhitungan nilai deplesi, maka dapat diperkirakan luas area
hutan yang terdegradasi seperi disajikan pada Tabel 5-13.

Tabel 5-13. Estimasi luas hutan yang mengalami degradasi


menurut luas kebakaran hutan dan estimmasi luas
penebangan hutan, Tahun 2014

Luas Area Konversi Nilai Estimasi Luas


Kabupaten Terbakar Produksi Tebangan
----- ha -----
Majene 12,0 0,00 12,00
Polman 98,0 0,00 98,00
Mamasa 52,0 0,00 52,00
Mamuju 51,0 5,90 56,90
Matra 31,0 6,52 37,52
Mateng 29,3 53,94 83,19
SulBar 273,3 66,4 339,6
Sumber: Hasil olah Dinhut-Sulbar, 2015

Sebagai cacatan bahwa metode estimasi di atas tentu


tidak begitu akurat, apabila dibandingkan dengan keadaan
dimana data penebangan hutan tersedia secara jelas. Belum
lagi, belum terdapat metode untuk mengestimasi besaran
penebangan liar mengingat data tersebut juga tidak tersedia
atau belum terpublikasi, dengan demikian maka nilai degradasi
yang terhitung nantinya belum termasuk nilai yang berasal dari
aktifitas penebangan liar.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 107


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Nilai jasa hutan yang dihitung pada peniaian degradasi
hutan adalah nilai penggunaan tidak langusng dan nilai atas
dasar bukan penggunaan, seperti yang disajikan pada Tabel 3-
2 (Bagian 2). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka konversi
kedalam rupiah per 30 September 2014 sebesar Rp. 12.202,-
diperoleh koefisien nilai jasa hutan sebagaimana disasjikan pada
Tabel 5-14.

Tabel 5-14. Koefisien nilai jasa hutan dalam USD dan nilai
konversi dalam rupiah per 30 September 2014

Jenis Nilai Nilai


Jasa Hutan (US$/ha/thn) (Rp/ha/thn)
Nilai penggunaan tak
langsung
Konservasi air dan tanah 847,12 10.336.558,24
Penyerap karbon 133,85 1.633.237,70
Pencegah banjir 525,92 6.417.275,84
Transportasi air 123,81 1.510.729,62
Keanekaragaman hayati 210,79 2.572.059,58
Atas dasar bukan
penggunaan
Nilai opsi 69,28 845.354,56
Nilai keberadaan 126,05 1.538.062,10
Nilai Ekonomi Total 2.036,82 24.853.277,64

Berdasar koefisien nilai jasa hutan di atas selanjutnya


diperoleh nilai jasa hutan menurut penggunaan untuk provinisi
Sulawesi Barat sebagaimana pada Tabel 5-15. Hasil
perhitungan nilai jasa hutan untuk enam kabupaten dalam
provinsi Sulawesi Barat yang dikelompokkan menjadi tiap dua
kabupaten, dapat dilihat pada Tabel 5-16 sampai Tabel 5-18.

108 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
Tabel 5-15. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan di Provinsi
Sulawesi Barat, Tahun 2014

Nilai
Paramater Nilai
US$ x 1000/ Rp x 1000/
Jasa Hutan
thn thn
Nilai penggunaan tak
langsung
Konservasi air dan tanah 287,7 3.510.377,6
Penyerap karbon 45,5 554.660,6
Pencegah banjir 178,6 2.179.358,1
Transportasi air 42,0 513.055,8
Keanekaragaman hayati 71,6 873.492,0
Atas dasar bukan
penggunaan
Nilai opsi 23,5 287.089,2
Nilai keberadaan 42,8 522.338,2
Nilai Ekonomi Total 691,7 8.440.371,4
Tabel 5-16. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten
Mejene dan Kabupaten Polman, Tahun 2014

Nilai Jasa Hutan


Paramater Nilai
(Rp. X 1000)
Jasa Hutan
Majene Polman
Nilai penggunaan tak
langsung
Konservasi air dan tanah 124.038,7 1.012.982,7
Penyerap karbon 19.598,9 160.057,3
Pencegah banjir 77.007,3 628.893,0
Transportasi air 18.128,8 148.051,5
Keanekaragaman hayati 30.864,7 252.061,8
Atas dasar bukan
penggunaan
Nilai opsi 10.144,3 82.844,7
Nilai keberadaan 18.456,7 150.730,1
Nilai Ekonomi Total 298.239,3 2.435.621,2

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 109


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Tabel 5-17. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten
Mamasa dan Kabupaten Mamuju, Tahun 2014

Nilai Jasa Hutan


Paramater Nilai
(Rp. X 1000)
Jasa Hutan
Mamasa Mamuju
Nilai penggunaan tak
langsung
Konservasi air dan tanah 537.501,0 588.134,0
Penyerap karbon 84.928,4 92.928,7
Pencegah banjir 333.698,3 365.133,0
Transportasi air 78.557,9 85.958,2
Keanekaragaman hayati 133.747,1 146.346,2
Atas dasar bukan
penggunaan
Nilai opsi 43.958,4 48.099,4
Nilai keberadaan 79.979,2 87.513,3
Nilai Ekonomi Total 1.292.370,4 1.414.112,7
Tabel 5-18. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak
langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten
Matra dan Kabupaten Mateng, Tahun 2014

Nilai Jasa Hutan


(Rp. X 1000)
Paramater Nilai Jasa Hutan
Mamuju Mamuju
Utara Tengah
Nilai penggunaan tak
langsung
Konservasi air dan tanah 387.852,9 859.868,3
Penyerap karbon 61.283,1 135.864,3
Pencegah banjir 240.791,8 533.834,6
Transportasi air 56.686,3 125.673,2
Keanekaragaman hayati 96.510,0 213.962,2
Atas dasar bukan
penggunaan
Nilai opsi 31.719,8 70.322,6
Nilai keberadaan 57.711,8 127.946,9
Nilai Ekonomi Total 932.555,6 2.067.472,0
110 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
3000,0
Nilai Degradasi Hutan (Rp.Juta) Kabupaten
2500,0

2000,0

1500,0

1000,0

500,0

,0
Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju Mamuju
Mandar Utara Tengah

Gambar 5-2. Posisi repatif nilai degradasi sumberdaya hutan


kabupaten terhadap nilai rata-rata provinsi Sulawesi
Barat, tahun 2014

Nilai jasa hutan yang merupakan wujud dari nilai


degradasi hutan, atau bentuk-bentuk nilai hutan yang berasal
dari nilai penggunaan tidak langsung dan atas dasar bukan
penggunaan ternyata cukup besar untuk provinsi Sulawesi
Barat. Pada Tahun 2014, nilai jasa hutan hasil analisis lebih dari 2
kali lipat dari nilai jasa menurut penggunaan langusng
sebagaiman hasil hitungan nila deplesi. Total nilai jasa hutan di
provinsi Sulawesi Barat adala 8,4 trilyun lebih atau sekitar 691,7
ribu dolar/tahun. Pada tingkat provinsi, nilai penggunaan tak
langsung dari konservasi air dan tanah menunjukkan nilai
terbesar mencapai Rp. 3,5 trilyun kemudian nilai jasa untuk
fungsi pencegahan banjir yang mencapai Rp. 2,2 trilyun lebih
(Tabel 5-15).

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 111


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Berdasarkan perhitungan pada tingkat kabupaten, nilai
degradasri atau nilai pengurangan jasa hutan yang tertinggi
adalah di Kabupaten Polewali Mandar yang mencapai 2,44
milyar rupiah, selanjutnya kabupaten Mamuju Tengah sebesar
2,07 milyar rupiah, kabupaten Mamuju sebesar 1,4 milyar
rupiah, kabupaten Mamasa sebesar 1,3 milyar rupiah dan
kabupaten Majene sebesar 298 juta rupiah (Tabel 5-16 sampai
Tabel 5-18). Apabila memperhatikan posisi relatif masing-
masing kabupaten terhadap nilai rata-rata provinsi, maka tiga
kabupaten, yaitu kabupaten Polma, mamuju Tengah dan
Mamuju berada di atas rata-rata sementara tiga kabupaten
lainya berada dibawah rata-rata provnsi (Gambar 5-2). Secara
umum, urutan dari nilai terbesar ke terendah pada parameter
nilai penggunaan tidak langsung, paling tinggi adalah pada
perameter konservasi air dan tanah; kemudian pencegah banjir,
keanekaragaman hayati, penyerap karbon dan jasa hutan untuk
transportasi air. Sementara atas dasar bukan penggunaan, nilai
keberadaan hutan lebiih tinggi dibandingkan dengan nila
opsi/pilihan.
Nilai keberadaan menurut Widada (2004) adalah nilai
yang diberikan oleh masyarakat, baik oleh penduduk setempat
maupun pengunjung terhadap suatu kawasan, seperti manfaat
spiritual, estetika, dan kultural. Keberadaan Hutan memberikan
manfaat spiritual dapat ditunjukkan antara lain: a) kekayaan dan
keindahan alam hutan yang dapat membangkitkan naluri rasa
syukur manusia akan kebesaran Sang Pencipta atas ciptaan-
Nya, b) keharmonisan hubungan unsur ekosistem hutan dapat

112 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
melahirkan keakraban manusia dengan manusia, alam seisinya
serta Penciptanya, dan c) tingginya keanekaragaman hayati dan
keaslian ekosistem hutan yang dapat mengilhami manusia
untuk terus menerus menggali misteri tentang ilmu biologi
konservasi, disamping dapat mengilhami manusia dalam
berbagai bidang karya seni. Adapun nilai pilihan adalah nilai-
nilai asumsi dimana terdapat keterbatasan peneliti untuk
mengakomodir semua nilai degradasi yang terambil akibat
kegiatan eksploitasi hutan. Misalnya dalam analisis ini, kita
belum mengukur nilai madu, buah-buahan, tumbuhan obat,
tanaman hias dan lain sebagainya.
Perhitungan series (menurut) perjalanan tahun sulit untuk
dilakukan mengingat keterbatasan data mentah untuk analisis
di atas. Namun demikian, sebagai bentuk permulaan dalam
upaya menghasilkan analisis PDRB Hijau untuk prvinsi Sulawei
Barat, maka inisiasi yang memang baru dilakukan pada Tahun
2014 ini sekiranya dapat menjadi stimulant untuk terus
mengembangankan perhituang PDRB hijua, khususnya bagi
sub-sektor kehutanan dan tentunya untuk sektor lain yang
identik memiliki pengaruh terhadap lingkungan.

5.2.3. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan

Besarnya PDRB Hijau sub-sektor kehutanan atau nilai


tambah hijau adalah nilai PDRB Coklat dikurangi dengan total
nilai Deplesi, dan dikurangi lagi dengan nilai Degradasi atau
nilai jasa hutan. Adapun nilai PDRB Semi Hiaua dan PDRB Hijau
tersebut disajikan pada Tabel 5-19 dan 5-20.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 113


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
Tabel 5-19. PDRB Semi Hiajau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi
Barat, Tahun 2014

Nilai
Uraian
(Rp. M)
PDRB Coklat 103,30
Deplesi 4,24
PDRB Semi Hijau 99,06
Degradasi 8,44
PDRB Hijau 90,62

Nilai PDRB semi hijau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawei


Barat setelah melalui prosedur analisis yang telah dilakukan
menunjukkan nilai PDRB Semi Hijaua sebesar Rp. 99,06 M dan
PDRB Hijau sebesar Rp, 90,62 M, dengan isaran perbedaan
sebesar 12,28%. Nilai PDRB Hijau yang dipoerleh menunjukan
nilai yang lebih kecil sebagai akibat dari pengurangan nilai
Deplesi dan Degradasi hutan, dengan kata lain maka nilai
tambah sesuangguhnya apabila besar konstribusi sektor
kehutanan dikurangi dengan nilai kerusakan yang timbul dalam
hutan selama setahun adalah sebesar Rp. 90,06 M. Nilai PDRB
Semi Hijau dan PDRB Hijau yang bernilai positif (tidak hingga
minus) berarti bahwa aktifitas penggunaan langsung terhadap
sumberdaya hutan di provinsi Sulawesi Barat masih memberikan
konstribusi yang lebih besar terhadap pendapatan daerah (nilai
tambah) demikian pula dengan dampak kerusakan lingkungan
secara tidak langsung yang timbl dari penggunaan-penggunaan
secara tidak langsung. Dengan kata lain karena nilainya yang
positif maka nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penggunaan
melebihi nilai kerusakan yang ditimbulkannya (Tabel 5-19).
114 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN
PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
Tabel 5-20. PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau menurut
kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

PDRB
PDRB Nilai Nilai PDRB
Semi
Kabupaten Coklat Deplesi Degradasi Hijau
Hijau
---- Rp. Juta ----
Majene 5.906,1 125,3 5.780,8 298,2 5.482,5
Polman 32.781,0 811,4 31.969,6 2.435,6 29.534,0
Mamasa 20.030,0 577,5 19.452,5 1.292,4 18.160,1
Mamuju 23.250,0 705,6 22.544,4 1.414,1 21.130,2
Matra 10.231,4 587,1 9.644,3 932,6 8.711,8

Keadaan provinsi terseebut di atas sama dengan keadaan


di tingkat kabupaten. Tabel 5-20 menunjukkan semua nila
PDRB semi Hijau maupun PDRB Semi Hijau menunjukkan angka
positif yang berarti bahwa nilai ekonomi aktifitas penggunaan
sumberdaya hutan masih lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai ekonomi kerusakan yang ditimbulkan. Namun demikian,
sebagai bentuk evaluasi dari keseluruhan nilai analisis yang
diperoleh diatas, bahwa persentase nilai ekonomi keusakan
yang timbul akibat aktifitas penggunaan hutan aling tinggi di
Kabupaten Mamuju Utara, yaitu sebesar 14,85% dari total nilai
tambah sub-sektor kehutanan, selanjutnya adalah Kabupaten
Polewali mandar, sebesar 9,9% atau hampir mencapai 10%,
kemudian kabupaten Mamasa dan Mamuju sebesar 9,3 dan
9,1% dan terkecil di Kabupaten Majene yang hanya sebesar
7,2%.
5.3. Implikasi Hasil Analisis

Pendapatan nasional yang terus mengalami peningkatan


hampir di semua negara di planet bumi ini telah mendorong

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 115


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
pengurasan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Hal
ini kemudian menjadi perhatian Club of Rome pada tahun 1972
(Kuncoro, 2003) termasuk para pemimpin negara-negara di
dunia dalam KTT BUMI di Rio de Janeiro pada tahun 1991. Guna
mencegah semakin memburuknya dampak pembangunan
terhadap lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru, yaitu
bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga
pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable
development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai
pembangunan dengan pengelolaan sumberdaya alam
sedemikian rupa sehingga ketersediaan dan kualitasnya
terjamin untuk generasi mendatang (Callan, 2002). Oleh karena
paradigma pembangunan akan berubah ke arah pembangunan
yang berkelanjutan, maka indikator pembangunan juga
semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung
atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan
pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau Green GDP)
yang dihitung atas dasar konsep sistem penghitungan terpadu
antara lingkungan dan ekonomi atau System of Integrated
Environmental and Economic Account (United Nations, 1993).
Apresiasi terhadap lingkungan sebagai faktor produksi
perekonomian, juga dikemukakan oleh Pearce dan Worford
(1993). Modal lingkungan hidup (enveronmental capital),
misalnya hutan, kualitas tanah, dan sebagainya tidak boleh
susut, dan harus terjaga dari waktu ke waktu. Atas dasar itu
kalkulasi GDP konvesional harus dikoreksi menjadi SGDP
(sustainable gross domestik product).

116 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
Hasil perhitungan PDRB Hijau yang diperoleh di atas
banyak berbeda dengan beberapa hasil perhitungan yang telah
dilaporkan dari beberapa hasil penelitian. Setyarko (2006), hasil
pengukuran PDRB Hijau Kabupaten Batang Hari pada tahun
2004 dan tahun 2005, masing-masing negatif Rp 89,27 M; dan
negatif Rp 72,64 M. hal yang sama juga ditemukan oleh Utama
(2009) menemukan hasil dimana konstribusi sektor kehutanan
dengan nilai total deplesi dan degradasi antara tahun 2004 –
2006 sebesar Rp.54,83 juta; Rp. 75,86 juta ; dan negatif Rp.46,64
Juta. yang bermakna bahwa nilai manfaat kehutanan yang
diciptakan oleh sektor kehutanan sebagaimana dilaporkan pada
PDRB coklat Kabupaten Karangasem lebh kecil daripada modal
alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi.
Berbeda dengan keadaan tersebut, hasil ujicoba yang dilakukan
pada sektor pertanian oleh Waluyati, dkk (2010) menunjukkan
bahwa pada sektor pertanian di kabupaten Jayapura dan
Merauke selama periode 2006 hingga 2008 mengindikasikan
adanya peningkatan PRDB Hijau, pada tahun 2006 naik sebesar
Rp 181.791,46 juta rupiah (45,43 persen), tahun 2007 naik
sebesar 153.495,13 juta rupiah (34,98 persen) dan tahun 2008
naik sebesar 176.664,89 juta rupiah (36,96 persen).
Besar kecilnya ukuran PDRB Hijau, tentu sangat
bergantung pada luasnya kerusakan yang ditimbulkan oleh
segama bentuk pemanfaatan dan ekstraksi sumberdaya hutan.
Demikian dengan hasil analisis sementara (permulaan) yang
telah dilakukan untuk provinsi Sulawesi Barat. Namun demikian,

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN 117


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)
sebagai catatan penting dari hasil analisis yang telah diuraikan
di atas, antara lain sebagai berikut:
1. Belum tersedianya data terkait dengan daya guna
hutan secara lebih meluas, produk-produk hutan,
serta keadaan lingkungan masyarakat di sekitar
hutan. Beberapa komponen penggunaan langsung
hutan kemungkinan besar dapat diidentifikasi melalui
observasi pasar. Madu, tanaman obat dan beberapa
produk lainnya dapat dijumpai dipasaran, sehingga
kedepan diperlukan metode sampling yang efektif
untuk mengakomodir semua bentuk ekstraksi
sumberdaya hutan tersebut.
2. Produk kayu sebagai produk utama hutan tingkat
produksinya dilaporkan setiap tahunnya melalui
publikasi resmi BPS atau Dinas Kehutanan, namun
demikian data porduksi kayu sudah tidak muncul
sejak publikasi Tahun 2012;
3. Kita mendengar adanya kasusu pencurian kayu,
namun tidak menemukan data resminya;
4. Nilai-nailai jasa hutan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat ditingkatkan keragamannya agar
menjadi lebih detail apabila semua data dan informasi
bentuk-bentuk penggunaan jasa hutan disatukan dan
difenisikan secara terpadu lintas sektoral.
Berdasarkan beberapa catatan di atas maka sudah tentu
nilai PDRB Hijau yang akan dianalisis akan semakin menurun,
walaupun kemungkinan besar belum mengeser nila konstribusi
hijau kebawah nilai minus. Namun demikian dukungan dari
semua pihak guna menginisiasi program penyusunan Dokumen
PRDB-Hijau per-institusi/ bidang/ sektor/ sub-sektor/ level
pemerintahan/ publik dan swasta sangat diperlukan, demi untuk
pembangunan provinsi Sulawesi Barat yang berwawasan
lingkungan secara terpadu berkesinambungan.

118 KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN


PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU
BAB VI
6. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan

Berdasarkan Hasil analis yang teah dilakukan maka dapat


ditarik bebebrapa kesimpulan sebagai berikut:
• Sumberdaya hutan bukan hanya sebatas memberikan
nilai tambah melalui produksi kayu dan non-kayu
yang selama ini menjadi salah satu sumber
pendapatan bagi daerah maupun sebagai devisa
negara, namun hutan juga memiliki berbagai nilai jasa
lingkungan yang dapat dikuantifikasi sesuai dengan
kondisi dan kemungkinan di masing-masing wilayah;
• Kabupaten dengan wilayah hutan terluas adala di
kabupaten Mamuju dan Mamasa sedangkan yang
paling sempit adalah di kabupaten Majene.
• Produk hutan utama berupa barang yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat di Provinsi Sulawesi
Barat adalah kayu, rotan dan getah pinus. Informasi
penebangan kayu dan produksi kayu bulat tidak
ditemukan sejak tahun 2011, namun untuk produksi
damar dan getah pinus masih tersedia.
• Daerah penghasil rotan tertinggi adalah di kabupaten
Mamuju dan Polewali Mandar, sedangkan getah pinus
hanya diproduksi di Kabupaten Mamasa.
• Besarnya konstribusi PDRB Coklat sub-sektor
kehutanan sebsar 0,46 di tahun 2011 kemudian
menurun menjadi 0,38 di athun 2014. Dalam struktur

PDRB-HIJAU| KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 119


sektor pertanian, sub-sektor kehutanan merupakan
konstributor produk daerah yang paling kecil.
Perkembangan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga
2014 menunjukkan besar nilai konstribusi yang positif
namun belum mempengaruhi dinamika peningkatan
sektor secara nyata. Dibandingkan dengan sub-sektor
lainnya, laju petumbuhan sektor kehutanan masih
lebih rendah; dan kecuali di kabupaten Polewali
Mandar dan kabupaten Mamuju menunjukkan nila
share yang positif yangn berarti bahwa besaran
konstribusi khsusunya dari sektor kehutanan secara
relatif semakin besar di empat Kabupaten lainnya;
• Nilai deplesi sumberdaya hutan di provinsi Sulawesi
Barat pada Tahun 2014 sebesar Rp 4,2 Milyar, yang
terdiri dari Rp 3,1 M nilai deplesi akibat kebakaran
hutan dan Rp 1,11 M akkibat kegiatan penggarjian
kayu. Berdasarkna nilai tersebut, mana PDRB semi
hijau provinsi Sulawesi Barat sebesar Rp. 99,06 M dari
nilai Rp. 103,30 M.
• Nilai degradasi sumberdaya hutan atau penguranngan
nilai jasa-jasa hutan akibat kegiatan tidak langsung
dan akibat bukan kegiatan sebesar Rp. 8,44 M, dengan
demikian maka besar nila PDRB Hijau Provinsi
Sulawesi Barat sebesar Rp. 90,62 M dari nilai Rp. 99,06
M.
• Nilai PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau Provinsi
Sulawesi Barat dan lima kabupaten (termasuk Mamuju

120 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN | PDRB-HIJAU


Tengah yang diagregat kedalam kabupaten Mamuju
dalam analisis ini) mengindikasikan bahwa konstribusi
nilai ekonomi kegiatan kehutanan masih lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai-nilai kerusakan secara
ekonomi yang ditimbulkan dari aktifitas sub-sektor.

6.2. Rekomendasi

• Perlunya penyediaan data terkait dengan daya guna


hutan, produksi hutan dan keadaan lingkungan
masuarakat di sekitar hutan;
• Dinas kehutanan sebaiknya menyajikan data laporan
kasus pencurian kayu yang terjadi; dan
mengkuantifikasi aktifitas perladangan perpindah
yang masih ada;
• Nilai-nailai jasa hutan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat ditingkatkan agar menjadi dlebih
detail apabila semua data dan informasi bentuk-
bentuk penggunaan jasa hutan disatukan dan
difenisikan secara terpadu oleh lintas sektoral;
• Penggunaan indikator PDRB Hijau sebagai salah satu
indikator pembangunan secara nyata menunjukkan
konstribusi sub-sektor atau sektor setelah dikurang
dengan nilai kerusakan dan hutang terhadap
lingkuangan. Nilai selisih antara PDRB Coklat dan
PDRB Hijau dapat menjadi bahan rujukan dalam
perumusan kebijakan penganggaran khususnya pada
bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

PDRB-HIJAU| KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 121


Referensi:
BPS-Majene, 2015. Kabupaten Majene dalam Angka Tahun
2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, Majene.
BPS-Majene, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Kabupaten Majene Tahun
2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, Majene.
BPS-Mamasa, 2015. Kabupaten Mamasa dalam Angka Tahun
2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa,
Mamasa.
BPS-Mamasa, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamasa Tahun
2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa,
Mamasa.
BPS-Mamuju, 2015. Kabupaten Mamuju dalam Angka Tahun
2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju, Mamuju.
BPS-Mamuju, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamuju Tahun
2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju, Mamuju.
BPS-Matra, 2015. Kabupaten Mamuju Utara dalam Angka Tahun
2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju Utara,
Mamuju.
BPS-Matra, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamuju Utara
Tahun 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju
Utara, Mamuju Utara.
BPS-Nasinoal, 2012-2013. Data Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Tahun 2012 hingga 2013. Badan Pusat Statistik Nasional
(www.bps.go.id).
BPS-Polman, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Kabupaten Polewali Mandar
Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Polewali
Mandar, Polman.

122 Referensi: | PDRB-HIJAU


BPS-Polman, 2015.Kabupaten Polewali Mandar dalam Angka
Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Polewali
Mandar, Polman.
BPS-Sulbar, 2011. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun
2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
BPS-Sulbar, 2012. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun
2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
BPS-Sulbar, 2013. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun
2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
BPS-Sulbar, 2014. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun
2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
BPS-Sulbar, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menurut Lapangan Usaha Provinsi Sulawesi Barat Tahun
2011-2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
BPS-Sulbar, 2015. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun
2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat,
Mamuju.
Callan, Scott J. And Jennets M. Thomas. 2002. Ekonomika dan
Manajemen Lingkungan: Teori, Kebijakan, dan Aplikasi.
Alih bahasa: I Ketut Nehen. Program Magister Ekonomi
Pembangunan Universitas Udayana, Denpasar, Bali,
Indonesia.
Dishut-Sulbar. 2015. Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat.
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju.
Kartodihardjo, H. 1996. Restrukturisasi industri kehutanan dalam
pembangunan kehutanan secara lestari. Makalah
disampaikan dalam Seminar Mahasiswa Kehutanan
(SMKI) VI tanggal 26 Desember 1996, Bogor.

PDRB-HIJAU| Referensi: 123


Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori,
Masalah, dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Setiyanto, A. Irawan, B., Tafakresnanto, C.,Diyanti, F., Sativa, M.,
Widiasih, SCL., Suwandi, dan Adji, T.S. 2014. Metode
Analisis Perencanaan Kawasan Pertanian. Lumintu,
Yogyakarta.
Setyarko, Y. 2006. Kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB
dan pembangunan regional Kabupaten Batang Hari
Provinsi Jambi. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12, No.2,
2008: 1 – 20.
Soemarwoto, O. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: Antara
Konsep dan Realitas. Departemen Pendidikan Nasional,
Penerbit Universitas Padjadjaran, Bandung.
United Nations. 1993. Handbook of Integrated Environmental
and Economic Accounting, Statistical Devision of United
Nations, New York.
Utama, M. S., 2009. Integrasi antara aspek lingkungan dan
ekonomi dalam penghitungan PDRB Hijau pada sektor
kehutanan di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Jurnal
Bumi Lestari, Vol. 9 No. 2, Agustus 2009: 129 – 137.
Waluyati, LR., Suryantini, A., Masbaitubun, H, Herkulen, L. dan
Irawan NC. 2010. Penyusunan model produk domestic
regional bruto hijau (PDRB-Hijau) sektor pertanian di
Kabupten Jayapura serta Kabupaten Marauke.
Ringakasan Eksekutif: Kerjasama Kemitraan Penelitian
Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).
Widada, 2004. Valuasi Ekonomi Taman Nasional Gunung
Halimun. Desertasi Doktor Program Studi Ilmu
Kehutanan. IPB, Bogor. Tidak Diterbitkan.
Wirakusumah, S. 2003. Mendambakan Kelestarian Sumberdaya
Hutan bagi Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.

124 Referensi: | PDRB-HIJAU


LAMPIRAN

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN 125


Lampiran 1. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan
provinsi Sulawesi Barat

126 LAMPIRAN | PDRB-HIJAU


Lampiran 2. Nilai Tambah (PDRB-ADHB) Semua Sektor di
Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014

Sumber: BDPR-Sulbar, 2015

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN 127


Lampiran 3. NIlai PDRB sub-sektor kehutanana atas dasar harga
berlaku dan atas dasar harga konstan dan nilai
indeks implisitnya

PDRB ADHB dan ADHK


Tahun
Kabupaten PDRB
2010 2011 2012 2013 2014
ADHB 1,03 4,91 5,21 5,48 5,91
Majene
ADHK 0,83 4,72 4,77 4,93 5,13
Polewali ADHB 27,15 28,15 29,02 30,94 32,78
Mandar ADHK 27,15 27,85 28,41 29,29 29,99
ADHB 15,08 15,98 17,90 18,60 20,03
Mamasa
ADHK 15,08 15,95 17,08 17,56 18,20
ADHB 19,09 19,68 20,30 21,08 23,25
Mamuju
ADHK 19,09 19,47 19,48 20,00 20,87
Mamuju ADHB 7,81 8,40 9,29 9,59 10,23
Utara ADHK 7,81 8,08 8,28 8,39 8,52
SulBar ADHB 84,5 87,8 91,9 96,8 103,3
ADHK 84,54 87,66 87,71 90,66 92,7

INDEKS IMPLISIT
Indeks Implisit
Kabupaten
2010 2011 2012 2013 2014
Majene 100,0 103,8 109,1 111,2 115,2
Polman 100,0 101,1 102,2 105,7 109,3
Mamasa 100,0 100,2 104,8 105,9 110,1
Mamuju 100,0 101,1 104,2 105,4 111,4
Mamuju Utara 100,0 103,9 112,1 114,4 120,0
SulBar 100,0 100,2 104,8 106,8 111,4

128 LAMPIRAN | PDRB-HIJAU


Lampiran 4. Perkembangan dan Nilai Rerata Suku Bunga SBI
Selama tahun 2014
Period BI Rate
17-Nov-15 7,50%
15-Oct-15 7,50%
17-Sep-15 7,50%
18-Aug-15 7,50%
14-Jul-15 7,50%
18-Jun-15 7,50%
19-May-15 7,50%
14-Apr-15 7,50%
17-Mar-15 7,50%
17-Feb-15 7,50%
15-Jan-15 7,75%
11-Dec-14 7,75%
18-Nov-14 7,75%
13-Nov-14 7,50%
07-Oct-14 7,50%
11-Sep-14 7,50%
14-Aug-14 7,50%
10-Jul-14 7,50%
12-Jun-14 7,50%
08-May-14 7,50%
08-Apr-14 7,50%
13-Mar-14 7,50%
13-Feb-14 7,50%
09-Jan-14 7,50%
Rata-rata 2014 7,54%
Sumber: http://www.bi.go.id/en/moneter/bi-
rate/data/Default.aspx

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN 129

Anda mungkin juga menyukai