Anda di halaman 1dari 18

Permainan Ayah dan Anak yang Melatih Motorik

Sejumlah permainan tertentu lebih sering dilakukan bersama ayah. Permainan tersebut juga bisa jadi sarana untuk melatih motorik anak. Antara lain:

1. Main Bola
Tujuan : Melatih gerak motorik kasar dan halus.
Cara : Untuk motorik kasarnya, dorong si kecil menendang bola, berlari mengejar bola dan melompat. Untuk motorik halus, ajak anak
menangkap dan melempar bola. Ukuran bola dapat disesuaikan dengan usianya, misalnya, bola kecil untuk anak usia 6 bulan - 5 tahun.

2. Main pesawat-pesawatan
Tujuan : Melatih indra perabaan bayi, kekuatan tubuh bagian atas dan kepercayaan diri.
Cara : Peluk anak di bagian dada dan pinggangnya dalam posisi tengkurap, dengan salah satu tangan Anda. Gunakan tangan yang lain
untuk menyangga tubuhnya. Jaga agar badannya dekat dengan badan Anda. Ayun secara perlahan dengan gerakan maju mundur. Sambil
mengayun, tirukan bunyi pesawat yang sedang mengudara. Dijamin si kecil akan tertawa senang! Bisa dilakukan dengan anak di atas 1
tahun.
3. Main ayun mengayun
Tujuan : Membuat anak gembira, merangsang keseimbangan, dan pendengaran.
Cara : Peganglah bayi di kedua ketiaknya, sehingga tangan bayi bebas bergerak. Ayun-ayun pelan melayang rendah ke kanan ke kiri sambil
bernyanyi-nyanyi. Si kecil pasti tertawa-tawa senang. Nah, sekali waktu anak lebih tinggi sedikit lalu ke bawah, ini dapat mengejutkan anak
sekaligus lebih menggembirakannya. Lakukan hati-hati, jangan terlalu mengejutkan atau terlalu sering memberi kejutan.
Dilakukan dengan anak usia 6 bulan - 2 tahun
4. Main Musik
Tujuan : Melatih motorik halus, pendengaran (mengenal bunyi) dan kemampuan musikal.
Cara : Ambil sebuah alat musik khusus anak, misalnya piano mainan, belira atau drum mainan. Dorong anak untuk memencet tuts piano,
memegang tongkat belira atau tongkat drum. Biarkan ia menemukan 'nada' sendiri. Bila ia mulai bosan, Anda dapat memainkan lagu
sederhana dari alat musik tersebut, misalnya lagu 'Lihat Kebunku', atau 'Pelangi'. Setelah ia tertarik, tunjukan padanya cara memainkan alat
itu dengan benar.
Bisa dilakukan dengan anak 6 bulan - 5 tahun lebih
5. Mainan Stimulasi
Tujuan: Merangsang kepekaan indera, dan melatih anak mengenali perbedaan bentuk, warna, dan bunyi
Permainan ini melibatkan benda-benda mainan. Di antaranya mainan yang bertombol atau tidak tapi bisa mengeluarkan bunyi. Mainan
warna-warni, atau berlobang-lobang untuk tempat keluar masuk benda, atau mainan berbagai bentuk.
6. Main tanpa Alat
Main tanpa alat seperti bermain pendekar-pendekaran, bergulat, lomba lari, bisa dilakukan dengan balita. Permainan ini juga meningkatkan
koordinasi motorik, keseimbangan, dan fungsi otak.

Bersama Ayah Tingkatkan Fungsi Otak


Banyak kegiatan yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan fungsi otak si kecil. Di antaranya:

* Membaca bersama
Ayah biasanya suka membaca koran. Libatkan anak saat membaca. Jelaskan gambar-gamabar di koran, baca headline atau berita-berita yang bisa di
mengerti anak, dsb., akan merangsang daya pikir anak untuk lebih kritis.

* Melibatkan Anak dalam Kegiatan Ayah


Ayah mungkin senang mengotak-atik mesin mobil, memperbaiki benda-benda yang rusak, atau sekadar mencuci mobil. Melibatkan anak dalam
kegiatan tersebut mendekatkan anak-ayah secara emosional. Meski kegiatan tersebut khas ayah, namun Anda juga bisa mengajak si upik.

* Jalan-jalan di Hari Cerah


Manfaatkan hari libur untuk berjalan-jalan pagi. Banyak hal yang bisa ditemui anak dan merangsang rasa ingin tahunya. Misal, bagaimana burung
bernyanyi di pagi hari. Bagaimana bunga bermekaran dan harum baunya. Mengapa banyak orang berolahraga di hari Minggu, dsb.

* Sesekali, Ajaklah Melihat Pekerjaan Ayah


Anak selalu tahu kapan ayah pergi untuk bekerja, kapan pulang, dan apa pekerjaannya. Tapi tahu persiskah anak apa yang dilakukan ayah saat
bekerja? Mengajak dan memperlihatkan pekerjaan pada anak memperkaya daya pikirnya seperti, mengetahui mengapa ayahnya bekerja, untuk apa,
dan bagaimana ia bekerja.

Bagaimana Sih Caranya?


Sebagai ayah, tentu saja Anda ingin melakukan segalanya untuk mengasuh si kecil. Tetapi saat si kecil masih tergantung dengan ibunya, tentu saja
Anda bingung untuk memulainya darimana. Tetapi, jangan khawatir, dengan tekad dan rasa cinta yang dalam, Anda pasti bisa melakukannya. Tips
dibawah ini dapat Anda jadikan tolak ukur untuk memulainya:
1. Cari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sesekali membaca buku panduan pengasuhan anak, buku tentang psikologi anak atau buku-buku
yang berisikan informasi tentang tumbuh kembang si kecil adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Bahkan, sesekali mengikuti
seminar atau kelas tentang bagaimana cara mengasuh bayi bukanlah hal yang tabu dilakukan.

2. Temani istri Anda saat ia mengikuti kelas senam hamil atau pelatihan di klinik laktasi. Hal ini membuat Anda lebih memahami mengapa
ikatan emosional antara ibu dan bayi sangat kuat. Ini akan meringankan perasaan Anda saat istri Anda tiba-tiba menomerduakan Anda.
3. Bila Istri Anda menyusui ASI, jadilah partner yang baik . Caranya, tawarkan bantuan untuk menyendawakan bayi saat ia selesai menyusu.
Bahkan bila ia terbangun pada malam hari, temani dia. Ini membuat ikatan batin antara Anda dan si kecil semakin kuat.
4. Dekatkan diri dengan si kecil sesering mungkin.Tidak ada kursus untuk menjadi Ibu atau Ayah yang baik. Untuk mengasuh si kecil dengan
baik yang dibutuhkan adalah insting dan menghadapinya kenyataan. Untuk itu, jangan takut bila Anda tidak tahu cara mengendong bayi
atau menemani si kecil bermain. Dengan sering melakukannya Anda pasti bisa.

5. Beberapa Ayah kadang-kadang menjadi


Jangan pedulikan komentar istri atau orang lain tentang cara Anda mengasuh anak.
putus asa mengasuh si kecil karena sering 'dicela'. Ingat, Anda bukan istri atau mertua, mungkin saja, cara Anda
malah membuat si kecil lebih dekat pada Ayahnya dibanding pada Ibu.
KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR (LD) YANG
MEMILIKI INTELIGENSI DI ATAS RATA-RATA

(Studi Kasus terhadap Siswa Sekolah dasar Di Kotamadya Bandung yang telah
Diidentifikasi Tim Ahli yayasan PUSPPA Suryakanti dalam rangka Menyusun
Model Alternatif Bimbingannya)

Sunardi
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: titin@upi.edu

ABSTRAK

Diduga kuat bahwa pemahaman guru sekolah dasar terhadap karakteristik anak
berkesulitan belajar kelompok learning disability (LD) masih sangat rendah.
Akibatnya, mereka belum mendapatkan layanan bimbingan yang tepat sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhannya. Pada hal prevalensinya cukup tinggi dan
banyak di antara mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Bagi kelompok anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, paduan


antara sebab-sebab khusus yang dialami, yaitu disfungsi minimal dalam sistem
syaraf pusat di otak, dan keunggulan potensi yang dimilikinya diduga kuat akan
memunculkan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kelompok anak LD
yang lain maupun berkesulitan belajar pada umumnya.

Penelitian ini berupaya menemukan pemahaman khusus terhadap karakteristik


kelompok siswa di atas, yaitu anak LD di SD yang memiliki inteligensi di atas
rata-rata (IQ 120 ke atas), melalui studi kasus terhadap mereka yang telah
diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA Suryakanti Bandung, yaitu AM
dengan IQ 129, HN dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135. Fokus penelitian
diarahkan pada faktor dominan yang melatarbelakangi, karakteristik akademik
(baca, tulis, dan hitung), serta masalah psikologis sosial yang dihadapi.
Berdasarkan hasil temuan tersebut selanjutnya digunakan sebagai salah satu
landasan untuk menyusun model alternatif layanan bimbingannya.
A. PENDAHULUAN

Salah satu kelompok kecil anak yang termasuk dalam kualifikasi learning
problems atau learning difficulties adalah kelompok learning disabilities (LD),
Specific Learning Diificulties (SLD) atau DMO. Kelompok anak ini bukan tidak
mampu belajar tetapi mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya "tidak
siap belajar" (Indria Laksmi Gumayanti, 1997).

Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan


dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau
gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang
nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca,
mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan
tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan
emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan
lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan.

Kelompok anak LD dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang


menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah
gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran,
intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body
image, dan konsep diri. Sedangkan menurut Hammil dan Myers (1975) meliputi
gangguan aktivitas motorik, persepsi, perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan
ingatan. Sedangkan ditinjau dari aspek akademik, kebanyakan anak LD juga
mengalami kegagalan yang nyata dalam penguasaan keterampilan dasar belajar,
seperti dalam membaca, menulis dan atau berhitung.

LD dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari yang terbelakang mental, rata-rata,
sampai yang berinteligensi tinggi. Sejarah membuktikan bahwa tokoh-tokoh
kaliber dunia seperti Thomas Alva Edison, Albert Einstein, Leonardo da Vinci,
Winston Churcill, dan Nelson Rockefeller, awalnya juga dikenal sebagai
penyandang LD (Osmon, 1979; Mulyono Abdurrahman, 1994). Secara teoretis
prevalensi penyandang LD berkisar antara 3-10 persen dari populasi anak usia
sekolah (Schwartz, 1984; Hallahan, 1985).

PUSPPA Surya Kanti adalah salah satu lembaga sosial yang secara intensif
menangani anak LD usia sekolah dasar melalui pendekatan multidisipliner. Data
di yayasan maupun di klinik psikologi dan bimbingan belajar yang ditangani tim
ahli yayasan menunjukkan bahwa di antara klien yang telah diidentifikasi
sebagai anak LD, banyak yang memiliki IQ di atas rata-rata bahkan jauh di atas
rata-rata, dan saat ini masih berusia sekolah dasar.

Kemampuan intelektual dapat berpengaruh luas terhadap berbagai kemampuan


manusia, terutama dalam prilaku belajarnya. Sementara itu Shwartz (1984)
menegaskan bahwa dua masalah utama yang dihadapi anak LD adalah masalah
akademik dan masalah pribadi-sosial. Berdasar ini diduga kuat bahwa paduan
antara keunggulan intelektual yang dimiliki dan kesulitan belajar yang dihadapi
dapat melahirkan karaktersitik sendiri yang berbeda dengan anak-anak LD pada
umumnya.

Secara potensial, anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata adalah


sumber daya manusia unggul bagi pembangunan bangsa dan negara. Karena itu
seyogyanya mereka mendapat perhatian yang lebih serius dalam upaya
mengatasinya. Namun demikian, dalam praktek pendidikan di lapangan,
khususnya di sekolah dasar, sangat mungkin terjadi guru mengalami berbagai
kesulitan dalam membantu siswanya yang termasuk LD.

Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di sekolah dasar, guru merupakan


ujung tombak dalam membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi para
siswanya, termasuk permasalahan yang dihadapi anak LD yang memiliki
kemampuan intelegensi di atas rata-rata. Berdasarkan permasalahan tersebut
tampaknya diperlukan suatu model alternatif bimbingan yang dipandang efektif
dan efisien dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi mereka,
baik masalah akademik maupun non akademis.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, melalui studi kasus terhadap


3 siswa sekolah dasar yang telah diidentifikasi oleh tim ahli di Yayasan PUSPPA
Suryakanti memiliki (IQ 120 ke atas) dan telah ditetapkan sebagai penyandang
berkesulitan belajar (LD), masing-masing adalah AM dengan IQ 129, HN
dengan IQ 134 dan YN dengan IQ 135. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan untuk
kepentingan analisis data terutama digunakan analisis data silang.

C. TEMUAN PENELITIAN

Setelah melalui serangkaian kegiatan penelitian ditemukan beberapa hal menarik


sebagai berikut:

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditinjau dari aspek neurologis ada kecenderungan bahwa kesulitan belajar yang
dialami oleh kasus dilatarbelakangi oleh aspek motorik, baik kasar maupun
halus. Hal ini terbukti bahwa seluruh kasus mengalami problem dalam vestibulo
proprioseption. Vestibulo propioseption berkaitan dengan aspek motorik kasar,
terutama kemampuan keseimbangan badan atau vertikalisasi tubuh, sehingga
memiliki batas toleransi minimal menjaga tubuhnya untuk tetap seimbang atau
vertikal. Gejala yang sering ditampakkan pada penderita ini, tidak mampu
berjalan pada garis lurus, tidak mampu berjalan pada papan keseimbangan, tidak
mampu meloncat secara simetris, sering menabrak benda di depan atau
sampingnya, tidak bisa diam, tidak mampu bertahan lama untuk duduk tegak
atau berdiri, dan dalam melakukan aktivitas tertentu merasa lebih nyaman bila
badan bertumpu pada suatu benda.

Masalah neurologis lain yang berkaitan dengan kemampuan motorik kasar


adalah kemiskinan dalam persepsi tubuh dan kemiskinan dalam integrasi
bilateral. Kemiskinan tersebut, cenderung mengakibatkan seseorang mengalami
gangguan dalam persepsi ruang dan bergerak secara luwes. Misalnya kesulitan
dalam memahami kanan-kiri, atas bawah, maju-mundur, dsb. Hal ini secara tidak
langsung berakibat pada kekurangmampuan anak dalam diskriminasi huruf.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketiga kasus mengalami masalah


neurologis yang berkaitan dengan keterampilan motorik halus (fine motorik),
seperti dyspraxia, tremor, sensory inetegrasi, dan problem refleks babynsky.
Keterampilan motorik halus sangat diperlukan dalam keterampilan menulis. Hal
ini terbukti bahwa ketiga kasus mengalami kegagalan dalam menulis secara
akurat. Gangguan dalam aspek motorik, terutama yang disebabkan oleh problem
dalam vestibulo proprioseption secara langsung atau tidak langsung dapat
berakibat pada munculnya gangguan konsentrasi pada anak.

Dari data psikologis di atas juga terbukti bahwa kesulitan belajar yang dialami
kasus juga bermuara pada adanya masalah atau gangguan dalam proses
psikologis dasar, yaitu persepsi visual motor dan kurangnya konsentrasi.
Gangguan dalam persepsi visual motor atau koordinasi mata tangan, dapat
mengandung tiga makna sekaligus.

Pertama, mengindikasikan adanya gangguan dalam persepsi visual sehingga


tidak mampu mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan obyek
secara akurat. Kedua, mengindikasikan adanya gangguan dalam aspek motorik
halus, yaitu yang berkaitan dengan pengendalian dan keluwesan pergelangan
tangan dan jari-jari tangan seperti yang dibutuhkan dalam menulis. Ketiga,
gangguan dalam keduanya, yaitu dalam persepsi dan motorik sekaligus. Data
psikologis juga menunjukkan bahwa kesulitan belajar yang dihadapi kasus, juga
dilatarbelakangi oleh kurangnya konsentrasi atau gangguan konsentrasi.

Hal di atas menunjukkan bahwa faktor dominan yang melatarbelakangi kasus


adalah gangguan dalam proses psikologis dasar dan motorik. Gangguan mana
yang primer dan mana yang sekunder tampaknya sulit untuk dijawab secara
tegas, tergantung pada masing-masing kasus dan gejala-gejala yang ditampilkan.
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa: Pertama, gangguan dalam motorik halus
secara langsung dapat berakibat pada kegagalan dalam menulis secara akurat.
Kedua, gangguan dalam motorik kasar seperti pada gangguan vestibulo
proprioseption, body perception, dan atau integrasi bilateral secara tidak
langsung dapat berakibat pada munculnya gangguan konsentrasi dan persepsi,
yang pada akhirnya dapat berdampak pada kegagalan dalam membaca, menulis,
dan atau berhitung secara akurat. Ketiga, gangguan persepsi secara langsung
dapat berakibat pada kegagalan-kegagalan dalam penguasaan atau belajar
akademik, serta munculnya gangguan konsentrasi. Keempat, gangguan
konsentrasi secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada munculnya
gangguan persepsi, serta kegagalan dalam penguasaan belajar akademik.
Kelima, gangguan konsentrasi, persepsi, dan motorik merupakan gangguan yang
dapat berdiri sendiri-sendiri, atau muncul sebagai rangkaian sebab akibat.

2. Permasalahan bidang akademik


Berdasar hasil analisis kasus, ditemukan bahwa secara akademik masing-masing
memiliki dua ciri-ciri yang menonjol sekaligus. Pertama, ciri-ciri sebagai siswa
yang memiliki keunggulan intelektual, dan kedua ciri-ciri sebagai siswa yang
mengalami kegagalan dalam belajar akademik. Masing-masing kasus dikenal
sebagai anak yang sebenarnya pandai, memiliki pengetahuan umum yang luas,
mudah dalam menangkap pelajaran, dan cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas
akademik yang diberikan, namun di sisi lain disamping dikenal memiliki
kegagalan-kegagalan khusus dalam dalam membaca dan atau menulis, juga
cenderung memiliki sikap-sikap belajar yang kurang mendukung upaya
pencapaian prestasi yang baik. Seperti, malas, menyepelekan, cepat bosan,
kurang memperhatikan pelajaran, semaunya, bahkan sikap penolakan. Akibatnya
secara umum prestasinya rendah dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.

Hal di atas mengandung makna bahwa akumulasi dari keunggulan intelektual


dan gangguan-gangguan yang dihadapinya, secara nyata juga berpengaruh
negatif terhadap munculnya sikap-sikap belajar yang kurang menguntungkan.
Sehingga prestasi belajarnya rendah dibandingkan dengan potensi yang
dimilikinya.

Dari tiga kasus yang ditampilkan, sekalipun mereka memiliki latar belakang
kondisi neurologis dan psikologis yang hampir mirip, tetapi kemampuan
membacanya relatif bervariasi. Tergantung pada jenis dan kompleksitas
gangguan yang dihadapi kasus. Secara umum dapat ditafsirkan bahwa
kegagalan-kegagalan yang cenderung dialami adalah kekurangmampuan dalam
keterampilan pengenalan kata, analaisis kata, dan pemahaman isi bacaan.
Kekurang mampuan dalam pengenalan kata ditunjukkan dengan kegagalan
dalam diskriminiasi huruf atau kata, dan konfigurasi. Dalam analisis kata
ditunjukkan dengan kekurangcermatan dan kekurangtelitian dalam membaca,
seperti ditunjukkan dengan kecenderungan menebak kata, meloncat,
penggantian, penambahan, atau pengurangan huruf atau kata, serta pemahaman
tanda baca. Kegagalan-kegagalan dalam membaca ini merupakan dampak dari
adanya gangguan persepsi dan konsentrasi yang dialami kasus. Sedangkan
dilihat dari sikapnya, ada kecenderungan ujung jari tangan mengikuti arah kata
yang dibaca, kurang mampu memusatkan perhatian, tidak bisa diam, dan badan
bertumpu pada benda tertentu.

Sedangkan kasus yang tidak memiliki problem dalam persepsi visual motor (LN)
tidak mengalami kesulitan dalam diskriminasi huruf maupun kata, penambahan,
pengurangan, atau penggantian huruf/kata. Sedangkan kegagalan kasus RS
dalam membaca seperti menebak, meloncat, mengulang, atau dalam pemahaman
bacaan kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan dalam konsentrasinya.
Dengan demikian gangguan-gangguan dalam proses psikologis dasar seperti
gangguan persepsi dan konsentrasi secara langsung dapat berdampak pada
kegagalan-kegagalan dalam membaca. Sedangkan gangguan motorik secara
langsung dapat berdampak pada sikap membacanya, dan secara tidak langsung
pada kemampuan dalam konsentrasi, yang pada akhirnya menimbulkan
kegagalan dalam membaca, karena perhatian terhadap apa yang dibaca menjadi
tidak selektif.
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua anak LD mengalami kesulitan dalam
membaca, tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Ada
kecenderungan pada anak yang berlatarbelakang gangguan motorik, tidak
mengalami kesulitan dalam membaca, namun berpengaruh terhadap sikapnya
dalam membaca.

Dalam hal menulis, gejala-gejala umum yang ditunjukkan adalah


kekurangmampuan dalam keterampilan analisis bentuk huruf, struktural, dan
keterbacaan. Kekurangterampilan dalam analisis bentuk huruf ditunjukkan
dengan kegagalan dalam menuliskan bentuk-bentuk huruf tertentu secara sama
dalam setiap kata. Dalam analisis struktural ditunjukkan dengan gejala
penghilangan atau penggantian komponen huruf yang seharusnya ada dalam
suatu kata. Sedangkan aspek keterbacaan ditunjukkan dengan gejala tulisan
jelek, tidak beraturan, ketidakkonsistenan kualitas garis, bergerigi, terputus-
putus, atau tersambung.

Terdapat kecenderungan pula bahwa anak LD dalam aktivitas menulis tangan


disertai dengan sikap-sikap tertentu, yaitu kaku, cara memegang alat tulis kurang
tepat (ke bawah dan kurang kuat), tarikan garis mengambang/semi, lamban, sulit
dikendalikan, tersendat-sendat, dan sebentar-sebentar berhenti. Semua ini diduga
kuat sebagai manifestasi dari gangguan-gangguan yang berkaitan dengan aspek
motorik halus, termasuk dispraxia, gangguan refleks babynsky, dan tremor.
Sedangkan kecenderungan badan dan atau kepala mengikuti arah tarikan garis
dan bertumpu, merupakan dampak dari adanya gangguan dalam keseimbangan.

Berdasarkan analisis data silang di atas, gejala yang ditampilkan oleh anak LD
dalam menulis dapat bervariasi, tergantung pada faktor yang
melatarbelakanginya. Kesulitan menulis yang dilatarbelakangi oleh aspek
motorik secara langsung berpengaruh terhadap keterampilan dalam analisis
bentuk tulisan dan keterbacaan. Sedangkan yang dilatarbelakangi gangguan
motorik dan persepsi, kesulitan juga dijumpai dalam keterampilan analisis
struktural.

Penilitian ini tampaknya tidak dapat digunakan untuk menganalisis secara tajam
dan obyektif karakteristik mereka dalam berhitung. Dikarenakan dari ketiga
kasus yang diambil tidak secara khusus mengalami kesulitan dalam hal tersebut.
Hal ini berkaitan dengan kesulitan peneliti untuk memperoleh kasus yang khusus
mengalami kesulitan dalam berhitung.

Sekalipun demikian, dari kasus-kasus yang ditampilkan dapat ditafsirkan bahwa


sekalipun dalam berhitung sudah menguasai konsep-konsep bilangan, lambang
operasi hitung, dan teknik operasi hitung, namun cenderung mengalami
kegagalan dalam penyelesaian soal-soal transformasi hitung, baik soal biasa
maupun ceritera. Hal ini menunjukkan bahwa mereka cenderung kurang mampu
menggunakan pendekatan jamak dalam penyelesaian suatu persoalan.
Kecenderungan lain adalah ketidakmampuan menyelesaikan masalah yang
menuntut konsentrasi tinggi. Hal ini terbukti dengan kecenderungan bahwa
sekalipun mereka memahami konsep-konsep dasar hitungan, tetapi
kemampuannya terebut hanya dapat dimanfaatkan pada awal mengerjakan soal
hitungan, sedangkan soal-soal berikutnya cenderung asal mengerjakan.

3. Permasalahan psikologios dan sosial yang dihadapi

Secara psikologis masing-masing kasus memiliki kesenjangan yang cukup


berarti antara kemampuan dalam aspek verbal dan performen seperti yang
ditunjukkan dalam tes inteligensi. Bahkan kesenjangan tersebut dapat mencapai
lebih dari 25 poin. Kasus AM dan LN membuktikan hal tersebut. Secara umum
juga tampak bahwa kemampuan VIQ jauh lebih tinggi dari pada PIQ.

Dari ketiga kasus yang ditampilkan dapat pula ditafsirkan bahwa disamping
memiliki keunggulan-keunggulan tertentu sebagai pengaruh dari keunggulan
intelektualnya, namun secara umum juga dihadapkan pada berbagai masalah
antara lain: (1) kurang mampu menyesuaikan diri; (2) hiperaktif, ditunjukkan
dengan perilakunya yang tidak bisa diam, sulit diatur, dan kurang pengendalian
diri; (3) kehidupan emosinya labil, ditunjukkan dengan kehidupan perasaannya
yang cenderung sensitif, mudah tersinggung, emosional, dan mudah frustrasi; (4)
Kurang matang dalam mengambil keputusan yang ditunjukkan dengan sikapnya
yang ingin menang sendiri, terburu-buru, kurang perhitungan, dan tidak sabaran,
(5) kurang mampu memusatkan perhatian dalam jangka waktu yang relatif lama,
(6) sikap bertahan, ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menolak dengan
berbagai alasan, dan (7) suka menghayalkan sesuatu. Munculnya masalah-
masalah diduga kuat merupakan manifestasi dari adanya kesenjangan yang
cukup lebar antara potensi yang dimiliki dengan kemampuan nyatanya yang
terbatas akibat adanya gangguan dalam proses psikologis dasar dan motorik.

Sedangkan secara sosial ada kecenderungan bahwa masing-masing kasus kurang


memiliki keterampilan sosial yang diperlukan dalam menjalin relasi sosial yang
memuaskan dengan ingkungannya. Hal di atas ditunjukkan dari ketiga kasus
yang cenderung menarik diri dari pergaulan sosial, pendiam, dan sikap-sikapnya
yang kurang kooperatif atau kooperatif terbatas.

D. PEMBAHASAN

1. Faktor dominan yang melatarbelakangi

Ditemukan bahwa terdapat satu atau lebih gangguan proses psikologis dasar dan
motorik yang melatarbelakangi kesulitan belajar pada anak LD. Gangguan dalam
proses psikologis dasar terutama gangguan persepsi dan konsentrasi, sedangkan
gangguan dalam motorik adalah gangguan keseimbangan dan motorik halus, di
samping gangguan persepsi tubuh dan lateralisasi. Gangguan-ganguan tersebut
secara nyata dapat muncul sendiri-sendiri, bersamaan, atau sebagai rangkaian
sebab akibat.

Munculnya gangguan-gangguan tersebut secara langsung menjadikan anak tidak


mampu menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat belajar akademik
(preakademic skills), sehingga menghambat penguasaan keterampilan dasar
belajar akademiknya (baca, tulis, dan atau hitung) secara baik.
Dalam belajar akademik, membaca misalnya, di samping dituntut penguasaan
kemampuan fisik (gerak mata dan ketajaman penglihatan) juga dituntut
penguasaan aktivitas mental yang baik, yaitu kemampuan dalam
mengidentifikasi dan menginterpretasikan diskriminasi bentuk huruf dan urutan.

Munculnya gangguan persepsi menjadikan anak gagal dalam mengidentifikasi,


membedakan, dan menginterpretasikan huruf atau kata yang dilihatnya.
Munculnya gangguan konsentrasi, menjadikan ketidakmampuan anak dalam
memusatkan perhatian (perhatian selektif) terhadap stimuli yang disajikan,
sehingga menjadi informasi untuk diproses lebih lanjut. Pada hal menurut Ross
(1976) perhatian selektif merupakan keterampilan dasar yang diperlukan dalam
membaca, sebelum keterampilan scaning urutan, diskriminasi, pengkodean, dan
pemahaman.

Sedangkan munculnya gangguan keseimbangan menjadikan keterbatasan dalam


menjaga vertikalisasi tubuh sehingga cenderung tidak bisa diam. Kondisi ini
secara langsung atau tidak langsung dapat berakibat pada gangguan ruang
pandang. Gangguan ruang pandang, secara langsung berpengaruh terhadap
keakuratan dalam mengidentifikasi, membedakan, dan menginterpretasikan
obyek yang dilihat atau dibaca, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap
kemampuan persepsi, konsentrasi, maupun ingatannya.

Sedangkan gangguan motorik halus menjadikan anak tidak mampu keluwesan


dalam kontrol gerak pergelangan tangan dan otot jari, sehingga secara langsung
akan berpengaruh terhadap kemampuan menulisnya. Namun, kegagalan dalam
menulis secara tidak langsung juga dapat menjadikan anak mengalami gangguan
dalam konsentrasinya.

Kemampuan lateralisasi adalah kemampuan untuk mengenal arah, seperti kiri-


kanan atau atas-bawah. Dalam membaca, munculnya gangguan lateralisasi,
secara langsung akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk membedakan
bentuk huruf yang hampir sama, menentukan awal dan akhir kata, serta dalam
membacanya sendiri. Sedangkan gangguan dalam persepsi tubuh, berarti
ketidakmampuan dalam gambaran tubuh (body image) dan skema tubuh (body
sceme). Dikarenakan anak belum mampu mengidentifikasi dan membedakan
dengan baik bentuk, ukuran, dan letak anggota tubuhnya sendiri, maka
cenderung sulit untuk mengenal hal-hal lain di luar dirinya, termasuk huruf.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa penanganan terhadap anak LD harus


mampu menjangkau masalah-masalah mendasar yang dihadapi anak. Yaitu
melalui latihan-latihan penguasaan keterampilan prasyarat akademik.
Penanganan yang langsung pada masalah akademik, melalui pengajaran
remedial diyakini kurang memberikan hasil yang memuaskan, bahkan diduga
kuat dapat memperparah kesulitan belajar yang dialaminya.

Mengingat kompleksitas masalah aau gangguan yang dihadapi anak, penanganan


juga perlu melibatkan ahli lain melalui tim multidisipliner. Dikarenakan banyak
masalah-masalah yang penanganannya memerlukan keahlian khusus di luar
kemampuan dan kewenangan guru, baik sebagai pengajar maupun sebagai
pembim bing. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara simultan atau berdasar
skala prioritas sesuai dengan kebutuhan anak.

2. Karakteristik akademik

Ditemukan bahwa kemiripan kondisi psikologis (gangguan persepsi dan


konsentrasi) dan kondisi neurologis (gangguan keseimbangan dan motorik halus)
dapat melahirkan perbedaan dalam karakteristik akademik, dan sebaliknya
kemiripan karakateristik akademik yang ditampilkan kasus dapat disebabkan
oleh kondisi neurologis dan psikologis yang berbeda.

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa karakteristik akademik yang ditampilkan


anak LD sifatnya khas untuk masing-masing anak, tergantung pada berbagai
faktor yang mengitarinya. Untuk itu dalam membantu mengatasi kesulitan
belajarnya, perlu dilakukan secara individual (kasuistik) melalui studi yang
mendalam pada anak itu sendiri secara individual. Untuk kepentingan ini
diperlukan suatu assesmen yang mendalam dan komprehensif, sehingga
diperoleh informasi yang obyektif, akurat, dan menyeluruh tentang individu itu
sendiri dan lingkungan, untuk dijadikan dasar dalam perencanaan program
treatmen. Kekhasan karakteristik akademik anak LD yang memiliki inteligensi
di atas rata-rata, juga tampak bahwa anak memiliki dua karakteristik sekaligus,
yaitu karakteristik sebagai anak yang memiliki keunggulan intelektual dan
karakteristik sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Sehingga
yang ditampilkan adalah akumulasi dari kedua karakteristik tersebut.
Karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Mudah menangkap pelajaran, petunjuk, atau instruksi yang diberikan,


tetapi cenderung malas melakukan aktivitas belajar, mudah bosan,
meremehkan, bahkan penolakan.
b. Memiliki pengetahuan yang luas, tetapi cenderung kurang mampu
melakukan tugas-tugas akademik secara akurat dan memuaskan.
c. Dikenal sebagai siswa yang cukup pandai, tetapi mengalami kesulitan
dalam satu atau lebih bidang akademik dan tidak mampu memanfaatkan
kepandaiannya tersebut untuk mencapai prestasi akademik tinggi.

Pemilikan karakteristik mudah menangkap pelajaran, berpengetahuan luas, dan


dikenal sebagai siswa pandai, diduga kuat muncul sebagai pengaruh dari
keunggulan intelektualnya. Keunggulan intelektual secara langsung akan
memberikan berbagai kemudahan dalam belajar. Sedangkan pemilikan sikap
negatif dalam belajar, seperti malas dan sebagainya diduga kuat muncul sebagai
dampak negatif dari keungulan intelektualnya dan atau dampak dari kesulitan
belajarnya. Karena itu diduga kuat pula bahwa sikap belajar yang negatif dan
ketidakmampuan dalam belajar akademik tertentu, dapat saja muncul pada anak-
anak kelompok LD yang lain, yaitu yang memiliki inteligensi rata-rata ataupun
di bawah rata-rata.

Temuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam membantu mengatasi kesulitan


belajar pada anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, tidak dapat
menggunakan pendekatan yang sama dengan pada mereka yang memiliki
inteligensi rata-rata ataupun di bawah rata-rata. Dikarenakan perlu
mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan keunggulan
intelektualnya, baik untuk kepentingan treatmennya itu sendiri maupun
penyaluran atau pengembangannya.

Dalam membaca, secara umum ditemukan bahwa anak LD yang memiliki


inteligensi di atas rata-rata adalah sebagai berikut:

a. Dapat membaca dengan cepat, kecuali ada hambatan dalam alat


artikulasinya, namun cenderung kurang teliti dan cermat sehingga sering
dijumpai kegagalan dalam satu atau lebih keterampilan membaca serta
menebak kata.
b. Cenderung malas membaca, tetapi mampu memanfaatkan saluran lain
untuk menggali informasi yang lebih banyak.

Temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa kegagalan membaca yang


dialami anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata dapat terjadi pada
aspek keterampilan pengenalan kata, analisis kata, dan atau pemahaman isi
bacaan. Tergantung pada jenis dan kompleksitas gangguan yang dimilikinya.
Kegagalan dalam pengenalan kata, yang dicirikan dengan ketidakmampuan
dalam diskriminasi huruf yang hampir sama merupakan gejala khusus pada
mereka yang memiliki problem dalam persepsi.

Secara umum kegagalan di atas dicirikan dengan munculnya gejala penggantian,


penambahan, pengurangan huruf atau kata, dan menebak kata. Munculnya gejala
ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memahami isi
bacaan dan sikapnya dalam membaca. Namun, perlu ditegaskan bahwa
kegagalan-kegagalan membaca dan sikap-sikap tertentu di atas dapat saja
muncul pada anak berkesulitan belajar kelompok lain, di luar yang memiliki
inteligensi di atas rata-rata.

Di sisi lain, secara khusus keunggulan intelektual yang dimiliki anak ternyata
juga memunculkan ciri-ciri tersendiri, yaitu dapat membaca dengan cepat.
Kecepatan dalam membaca inilah yang diduga kuat sebagai karakteristik khusus
pada mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Dalam hal menulis, kesulitan yang dihadapi cukup bervariasi tergantung pada
faktor yang melatarbelakanginya. Gejala menulis yang dilatarbelakangi oleh
aspek motorik halus cenderung gagal dalam diskriminasi huruf dan aspek
keterbacaan. Sedangkan yang disertai dengan gangguan persepsi, juga
mengalami kegagalan dalam analisis struktural. Gejala-gejala umum yang sering
ditemukan adalah pengulangan, penggantian, penambahan, dan pengurangan
huruf atau kata, tulisan jelek sulit dibaca.

Di samping itu mereka mampu menulis dengan cepat, kecuali disertai dengan
tremor pada otot jari. Namun, dilakukan dengan tarikan yang asal, tak terkendali,
terburu-buru, kurang konsentrasi, bahkan penolakan.

Bervariasinya kemampuan menulis di atas, sangat mungkin terjadi mengingat


kemampuan menulis tidak semata-mata ditentukan oleh keterampilan dan
keluwesan dalam gerak pergelangan tangan dan kontrol otot jari, tetapi juga
terkait dengan persepsi, konsentrasi, koordinasi mata tangan, ingatan, perabaan,
kinestetik, posisi tubuh (propioception), posisi kertas, cara memegang alat tulis,
kemampuan bahasa, dan sebagainya. Dilihat dari segi proses, semua itu harus
diorganisasikan, sehingga tampil daam tulisan yang baik. Gangguan dalam satu
atau lebih aspek di atas, cenderung berpengaruh terhadap kualitas proses
menulis, sehingga hasil atau produknya juga beragam.

Satu hal diduga kuat cukup membedakan antara mereka yang memiliki
keunggulan intelektual dan tidak, adalah kenyataan bahwa mereka dapat
melakukan aktivitas menulis dengan cepat, walaupun kurang cermat dan teliti.

Dalam berhitung ditemukan bahwa sekalipun anak LD yang memiliki inteligensi


di atas rata-rata sudah menguasai konsep-konsep dasar bilangan, lambang
operasi bilangan, hitungan, dan operasi hitung, namun cenderung gagal dalam
soal-soal operasi hitung yang berbentuk transformasi, serta ketidakmampuan
untuk mengerjakan soal-soal berhitung tersebut dalam waktu yang relatif lama.

Sebenarnya, temuan di atas kurang mampu memberikan gambaran yang akurat


dan representatif tentang karakteristik mereka dalam berhitung. Namun
demikian, temuan di atas cukup memberikan gambaran bahwa sekalipun
memiliki keunggulan intelektual, namun ada kecenderungan kurang memiliki
fleksibilitas dalam berpikir dalam menghadapi persoalan yang dihadapi, mampu
menguasai dengan baik suatu pendekatan tertentu tetapi bingung ketika harus
menyelesaikan melalui pendekatan lain.

3. Karakteristik psikologis dan sosial

Ditemukan bahwa karakteristik psikologis anak LD yang memiliki inteligensi di


atas rata-rata cukup bervariasi. Namun, ditemukan beberapa kecenderungan
menarik, yaitu:

a. Memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara skor tes kemampuan


verbal dan performennya.
b. Memiliki daya tangkap yang bagus, tetapi cenderung hiperaktif dan
kurang mampu menyeuaikan diri.
c. Memiliki daya imaginatif yang tinggi, tetapi cenderung emosional.
d. Mampu mengambil keputusan dengan cepat, tetapi cenderung kurang
disertai pertimbangan yang matang, terburu-buru, semaunya.
e. Lebih cepat dalam belajar dan mengerjakan suatu persoalan, tetapi
cenderung malas dan memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi.
f. Lebih percaya diri, tetapi cenderung meremehkan dan menolak tugas-
tugas yang diberikan dengan berbagai alasan.

Temuan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa secara psikologis anak LD


yang memiliki inteligensi di atas rata-rata di samping memiliki ciri-ciri tertentu
sebagai pengaruh dari keunggulan intelektualnya, juga memiliki ciri-ciri negatif
tertentu sebagai pengaruh tidak langsung dari kesulitan belajarnya atau sebagai
dampak negatif dari keunggulan intelektualnya.

Menarik untuk dibahas adalah kecenderungan bahwa anak memiliki kemampuan


imaginatif tinggi, yang ditunjukkan gejala suka menghayal. Perilaku sering
menghayal ini dimiliki oleh anak di samping karena secara potensial
mendukung, juga tidak menuntut keterampilan aktivitas belajar tertentu,
sehingga anak memiliki kebebasan dan keleluasaan mengekspresikan pikirannya
tanpa dihambat oleh ketidakmampuannya dalam membaca, menulis, ataupun
berhitung.

Ditemukan bahwa secara sosial anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-
rata memiliki karakteristik yang cukup bervariasi. Tergantung dari berbagai
faktor yang mengitarinya, terutama lingkungan keluarga. Namun, terdapat
kecenderungan bahwa mereka kurang kooperatif, pendiam, dan menarik diri dari
lingkungan.

Munculnya kecenderungan tersebut, diduga kuat di samping karena pengaruh-


pengaruh dari keunggulan intelektualnya juga karena pengaruh dari kegagalan-
kegagalan dalam belajar akademiknya.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat ditafsirkan bahwa anak LD


yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata adalah sumber daya
manusia yang potensial, namun karena gangguan-gangguan yang dialamiya
menjadikan fungsi kognitif, afektif, intuitif, dan psikomotornya menjadi
terhambat. Sehingga tidak mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi
yang dimilikinya.

Karena itu, sudah saatnya para tenaga profesional kependidikan, khususnya


pedagog, guru dan petugas bimbingan memperhatikan lebih serius masalah di
atas untuk dicarikan solusinya secara tepat dan akurat. Sehingga mereka mampu
mengaktualisasikan potensinya secara optimal dan memberikan sumbangan yang
berharga bagi kemajuan bangsa dan negara.

Pendidikan di tingkat sekolah dasar merupakan dasar bagi keberhasilan pada


tingkat pendidikan selanjutnya. Karena itu penanganan anak LD yang memiliki
inteligensi di atas rata-rata di sekolah dasar, perlu dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya melalui model
layanan bimbingan tertentu, yang mampu mengakses keunggulan potensi dan
kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak LD tersebut.

E. KESIMPULAN

1. Kondisi neurologis (gangguan motorik) dan psikologis (gangguan


persepsi dan atau konsentrasi) merupakan faktor dominan yang
melatarbelakangi munculnya kegagalan dalam penguasaan keterampilan
dasar belajar akademik pada siswa LD sekolah dasar yang memiliki
inteligensi di atas rata-rata. Akibat kondisi tersebut anak kurang mampu
menguasai keterampilan prasayat belajar akademik (preacademic skills)
yang dibutuhkan. Kondisi tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri atau
muncul sebagai rangkaian sebab akibat.
2. Kemiripan kondisi neurologis dan psikologis pada anak LD yang
memiliki iteligensi di atas rata-rata dapat melahirkan perbedaan dalam
karakteristik akademik, psikologis, maupun sosialnya, dan sebaliknya.
Sifatnya khas untuk masing-masing individu, namun cenderung tampil
dalam dua karakteristik sekaligus, yaitu sebagai anak yang memiliki
keunggulan intelektual dan sebagai anak yang berkesulitan belajar.
3. Secara akademik dikenal sebagai siswa yang pandai, mudah menangkap
pelajaran, dan berpengetahuan luas, namun cenderung malas, mudah
bosan, suka meremehkan, tidak bisa diam, dan memiliki kesulitan dalam
satu atau lebih bidang akademik, sehingga menghambat pencapaian
prestasi tinggi.
4. Dapat membaca dengan cepat, namun sering dijumpai kegagalan dalam
satu atau lebih keterampilan dalam pengenalan kata, analisis kata, dan
pemahaman isi bacaan, serta kurang mampu memusatkan perhatian pada
bacaan. Gejala umum yang sering menyertai adalah gagal dalam
diskriminasi huruf atau kata, konfigurasi, penambahan, pengurangan,
penggantian, dan cenderung menebak kata.
5. Dapat menulis dengan cepat, namun sering gagal dalam satu atau lebih
keterampilan alam diskriminasi huruf, analisis struktural, dan aspek
keterbacaan. Gejala umum yang sering menyertai adalah pengulangan,
penambahan, dan pengurangan huruf atau kata, tulisan jelek - sulit
dibaca, tarikan asal tak terkendali, terburu-buru, malas, dan sering
berhenti.
6. Dalam berhitung mampu menguasai konsep dasar bilangan dan konsep
hitungan dengan baik, tetapi cenderung gagal dalam soal-soal operasi
hitung yang berbentuk transformasi, termasuk soal ceritera. Mampu
mengerjakan dengan baik pada tahap awal, tetapi kurang pada tahap
selanjutnya.
7. Secara psikologis memiliki kesenjangan yang cukup signifikan antara
skor tes kemampuan verbal dan performen, memiliki daya tangkap
bagus, imajinatif tinggi, cepat dalam menyelesaikan persoalan, tetapi
cenderung hiperaktif, emosional, terburu-buru kurang pertimbangan,
malas, mudah frustrasi, serta menolak dengan berbagai alasan.
8. Secara sosial cenderung kurang mampu menjalin relasi sosial yang
memuaskan dengan lingkungannya, yang ditandai dengan gejala kurang
kooperatif, pendiam, dan menarik diri.

F. REKOMENDASI

Kekhasan karakteristik anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata,


mengisyaratkan bahwa dalam pelaksanaan bimbingan perlu dilakukan melalui
studi yang mendalam secara individual. Untuk itu perlu dilakukan assesmen
secara obyektif, akurat, mendalam, dan komprehensif sehingga diperoleh
pemahaman yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya terhadap berbagai
permasalahan, keterbatasan, hambatan, kekurangan, ketidakmampuan, maupun
keunggulan-keunggulan tertentu yang dimilikinya, untuk dijadikan sebagai dasar
dalam merumuskan program bimbingan yang tepat sesuai dengan karakteristik
dan kebutuhannya.
Pemahaman terhadap keunggulan anak, di samping penting untuk dimanfaatkan
dalam upaya mengatasi masalahnya, juga dalam rangka mengembangkan
keunggulannya tersebut, sehingga mereka mampu berprestasi tinggi sesuai
potensi yang dimilikinya.

Hasil pengamatan di lapangan tentang layanan bimbingan pada anak LD sekolah


dasar yang memiliki di atas rata-rata, menunjukkan bahwa para guru masih
belum mampu menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pembimbing secara
maksimal, belum mampu menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang
dihadapi anak, serta belum secara aktif melakukan konsultasi dan koordinasi
dengan ahli lain yang terkait dengan permasalahan anak.

Secara teoretis, pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD, termasuk yang


memiliki inteligensi di atas rata-rata, seyogyanya dimulai dengan pemahaman
karakteristik anak, familier dengan instrumen-instrumen assesmen yang
digunakan untuk menentukan jenis dan tingkat kesulitan belajar anak dalam
rangka pemahaman dan mengkomunikasikan pada tim ahli tentang masalah
belajar anak, melakukan koordinasi dengan tim ahli (guru kelas, psikolog
sekolah, tenaga medis, dan ahli terapi lain) yang menangani anak, melakukan
konseling dan konsultasi dengan orang tua dalam rangka meningkatkan
pemahaman dan memfasilitasi perkembangan anak, melaksanakan konseling
pada anak sesuai dengan keunikan masalah yang dihadapinya, dan melakukan
konseling dan konsultasi dengan personel sekolah dalam rangka peningkatan
pemahaman mereka terhadap masalah belajar, sosial, dan tingkah laku anak
(Rudolph, 1978, dalam Thompson dan Rudolph, 1983).

Sementara itu Kavanagh dan Truss (1988) menegaskan bahwa penanganan anak
LD di sekolah hanya akan efektif bila dibarengi dengan penangan khusus di
klinik-klinik. Khusus bagi mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata,
perlu dirumuskan suatu program khusus sesuai dengan potensinya. Sebab, dalam
membantu mengatasi masalahnya tidak cukup dengan pendekatan yang
digunakan untuk mereka yang memiliki inteligensi rata-rata atau di bawah rata-
rata. Sedangkan Dunn dan Dunn (Milgram, 1991) mengaskan perlunya
penyesuaian antara teknik konseling yang digunakan dengan gaya belajar anak,
serta perlunya keterlibatan secara intensif dari orang tua dalam keseluruhan
program bimbingan.

Uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan bimbingan terhadap anak


LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata, hendaknya:

1. Anak dijadikan sebagai unsur sentral yang harus diperhatikan dalam


keselurhan program bimbingan.
2. Dilakukan melalui tim multidisipliner dengan guru sebagai ujung tombak
3. Dilakukan berdasarkan program khusus yang mampu mengakses
kelebihan dan kekurangan anak, atau karakteristik dan kebutuhannya.
4. Menempatkan kegiatan konseling sebagai inti dari keseluruhan program
bimbingan, di samping pengajaran remedial.

Berangkat dari keseluruhan pemikiran di atas, maka layanan bimbingan yang


dibutuhkan anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata,
adalah model layanan bimbingan yang mampu:

1. Menempatkan penghargaan tinggi terhadap keunikan anak sebagai


totalitas pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
2. Menjangkau persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak.
3. Menjamin terjadinya eskalasi kemampuan berpikir tingkat tinggi anak
sesuai dengan keunggulan intelektualnya.
4. Melibatkan ahli lain dalam suatu tim multidisipliner.
5. Menempatkan layanan konseling sebagai inti dari keseluruhan program
bimbingan.
6. Menempatkan guru sebagai ujung tombak dari keseluruhan program
bimbingan.

Untuk menjawab permasalah di atas, maka Model Bimbingan Berdiferensiasi


yang ditawarkan, merupakan pilihan tepat dalam membantu mengatasi
permasalahan yang dihadapi anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi
di atas rata-rata sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Cruickshank, W.M. (1980). Psychology of Exceptional Children and Youth. New


York: Prentice Hall Inc.

Dwidjo Saputro. (1997). "Pemeriksaan Brain Electro Activity Mapping pada


Gangguan Tingkah laku Anak". Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh
Kembang Anak, Yogyakarta.

Hallahan, D.P. et al. (1985). Introduction to Learning Disabilities. New Jersey:


Prentice Hall Inc.

Hallahan, D.P. dan Kauffman, J.M. (1978). Exceptional Children: Introduction


to Special Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Indria Laksmi G. (1997). "Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan


Gangguan Pemusatann Perhatian di PPPTA". Makalah Seminar Pengkajian dan
Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta.

Johnson, J.C. dan Morasky, C.R. (1980). Learning Disabilities. Massacussetts:


Alyn and bacon Inc.

Kavanagh, James F dan Ross E. Truss. (1988). Learning Disabilities:


Proccedings of the National Conference. Parkton-Maryland: York Press Inc.

Kirk, S.A. dan Gallagher, J.J. (1986). Educating Exdeptional Children. Boston:
Houston Mifflinn Company.
Lawson, J.S. dan Inglis, J. (1985). "Learning Disabilities and Intelligence Test
Result: A Based Model on Prinncipal Component Analysis of The WISC-R".
British Journal of Psychology. London: The British Psychology Society.

Lerner, Janet. (1989). Learning Disabilities: Theories, diagnosis, and Teaching


Strategies. Boston: Hougton Mifflin Company.

McLoughlin, J.A. dann Lewis, R.B. (1986). Assesing Special Students. Ohio:
Merril Publishing Company

Milgram, M. Roberta. (1991). Counseling Gifted and Telented Children: A


Guide for Teachers, Counselors, and Paretns. New York: Ablex Publishing
Corporation.

Mulyono Abdurrahman. (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar.


Jakarta: Dirjen Dikti PPPG.

Myers, P.I. dan Hammil, D.D. (1976). Methods for Learning Disorder. Canada:
Johnn Willey and Sons, Inc.

Ross, Alon O. (1976). Psychological Aspects of Learning Disabilities and


Reading Disorders. New York: McGraw-Hill Book Company.

Schwartz, Lita L. (1984). Exceptional Students in the Mainstreaming. Belmont-


California: Wadsworth Inc.

Somanntri, T. Sutjihati. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen Dikti
PTA.

Thomson, C. L. dan Rudolph, L. B. (1983). Counseling Children. California:


Brooks/Cok Publishing Company.

Zaenal A. dan Sunardi. (1996). Pendidikan Anak Berbakat Penyandang


Ketunaan. Jakarta: Dirjen Dikti PPTA

Kembali

{ About Us | Web Info | WEb Stat | Web Link | Contact | Email }


CopyRight @ Direktorat PLB, 2004 ==> Versi@2005 | 2006

Butuh keseimbangan
Gerakan tubuh, menurut Nuki, ternyata merupakan perantara yang aktif untuk
mengembangkan kemampuan persepsi motorik. ''Masa bayi anak bermain dengan
menggerak-gerakkan anggota tubuhnya,'' tuturnya. Pada tahun-tahun pertama dalam
kehidupan, seorang anak melakukan gerak motorik kasar. Tambah usia, anak akan mulai
memainkan alat permainan atau objek yang dapat digunakannya untuk bermain. ''Pada saat
usia prasekolah, anak membutuhkan keleluasaan untuk bermain dan bergerak,'' imbuhnya.
Dengan menguasai kegiatan motorik, pada diri anak akan timbul rasa senang dan percaya
diri karena dapat berprestasi.
Bila seorang anak memiliki keterampilan berolahraga, tutur Nuki, maka pada diri si buah hati
akan muncul rasa senang. Lewat olahraga pula, anak akan belajar bersaing. ''Berolahraga
juga bisa meningkatkan harga diri dan keterampilan sosial,'' katanya. Tentu saja, anak pun
bisa merasa bugar. Bahkan, sebuah penelitian ilmiah menyebutkan kebiasaan berolahraga
yang dilakukan seorang anak ternyata mampu meningkatkan kinerja akademis. Bahkan,
olahraga pun ternyata bisa mengurangi tingkah laku negatif. ''Olahraga bisa mengurangi
tingkah laku yang merusak,'' imbuhnya. Intinya, kata Nuki, seorang anak perlu diberi
keseimbangan.Keseimbangan itu berupa stimulasi yang dapat mengembangkan ke
seluruhan kecerdasannya. ''Olahraga/aktivitas merupakan salah satu stimulasi,'' paparnya.

Melalui olahraga anak bisa belajar. Sebab, olahraga dapat memengaruhi aspek kognitif dan
emosi-sosial si buah hati. Hal senada diungkapkan dr Indrarti S SpKO. Menurut dia, secara
naluri anak-anak cenderung selalu aktif bergerak. Mereka bergerak didasari oleh rasa ingin
tahu terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Aktivitas motorik pada anak akan
tumbuh seiring proses tumbuh kembang yang harus mereka lalui.

Menurut dokter spesialis kedokteran olahraga ini, kemampuan motorik akan berkembang
menjadi suatu keterampilan motorik tertentu. Hal itu, imbuh dia, akan tergantung sejauh mana
mereka mendapat pengalaman-pengalaman gerak dari lingkungan sekitarnya. ''Peran orang
tua, guru, teman dan orang-orang terdekat serta sarana prasarana akan sangat
mempengaruhi hal itu.'' Tubuh yang selalu aktif bergerak, kata Indrarti, ternyata tak hanya
bisa memberi pengaruh positif pada kondisi fisik, namun juga akan berpengaruh pada kondisi
psikologis, intelektual, dan sosialnya. Anak-anak pun bakal mempelajari segala macam yang
ada di dunia melalui aktivitas motoriknya sesuai dengan tahapan perkembangan
psikomotornya. ''Anak-anak yang mendapat lingkungan yang kondusif akan menjadikannya
sebagai anak-anak yang aktif, bugar, kreatif dan terampil,'' paparnya.

Anda mungkin juga menyukai