Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang
terjadi ialah keadaan imun.Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek.Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit.Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein.Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur.Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal.Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan khusus penulis membuat makalah ini adalah supaya penulis lebih mengetahui
dan memahami tentang definisi reaksi hipersensitifitas pada tubuh manusia serta dapat
menerapkan Ilmu Keperawatan untuk penanganan pasien yang menderita reaksi
hipersensitifitas.

2. Tujuan Khusus
Tujuan umum penulis membuat makalah ini adalah supaya para pembaca dapat
mengetahui definisi dari reaksi hipersensitifitas. Tentang gejala yang timbul sebab akibat
sampai cara pengobatan yang tepat untuk penderita reaksi hipersensitifitas.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

2.2 Klasifikasi
2.2.1 Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2.2.2 Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal)
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).

2.2.3 Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal
ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan
di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan
menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.
2.2.4 Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu
awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis

Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
organik, jelatang atau
Kontak 48-72 jam Eksim (ekzema) makrofag; edema
poison ivy, logam
epidermidis
berat , dll.)

Limfosit, Intraderma
Pengerasan
Tuberkulin 48-72 jam monosit, (tuberkulin, lepromin,
(indurasi) lokal
makrofag dll.)

Makrofag, epithel Antigen persisten atau


Granuloma 21-28 hari Pengerasan oid dan sel senyawa asing dalam
raksaksa, fibrosis tubuh
(tuberkulosis, kusta,
etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


1 Tipe Alergen mengikat silang antibody Anafilaksis, beberapa
Anafilaksis IgE  pelepasan amino vasoaktif bentuk asma bronchial
dan mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan Anemia hemolitik
terhadap antigen pada permukaan autoimun,
antigen sel fagositosis sel target atau eritroblastosis fetalis,
jaringan lisis sel target oleh komplemen atau penyakit Goodpasture,
tertentu sitotosisitas yang diperantarai oleh pemfigus vulgaris
sel yang bergantung antibody
3 Penyakit Kompleks antigen- Reahsi Arthua, serum
Kompleks antibodi mengaktifkan  sickness, lupus
Imun komplemen menarik perhatian eritematosus sistemik,
nenutrofil menjadikan pelepasan bentuk tertentu
enzim lisosom, radikal bebas glumerulonefritis akut
oksigen, dll
4 Hipersensivi Limfisit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis,
tas Selular sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
(Lambat) diperantarai oleh sel T penolakan transplant
2.3 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
3.1.1 Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan
setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.

3.1.2 Fakor Eksternal


a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.

2.4 Patifisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen
akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut
yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
a. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan
eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
b. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai
kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria,
kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen
dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang
menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan
kematian

2.6 Tanda Dan Gejala


Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas.Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapat terjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis
b. Demam
c. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
d. Limfadenopati
e. kejang perut, mual
f. neuritis optic
g. glomerulonefritis
h. sindrom lupus eritematosus sistemik
i. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut sepertidemam,
sesak, batuk dan efusi pleura.Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis.hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
a. Pada saluran pernafasan : asma
b. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
c. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal
d. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

2. 7 Penatalaksanaan
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
7.1.1 Menghindari allergen
7.1 .2 Terapi farmakologis

a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol,
bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin,
pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap
alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai
jaringan.Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam
mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan
analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.Obat ini tidak
mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma
akut.Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig
E mukosa.

7.1.3 Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau
alergi terhadap serangga.Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada
tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin
dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari
beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun

7.1.4 Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar
IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

2.9 Komplikasi

1. Polip hidung
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Anafilaksi
5. Pruritus
6. Edema

2.10 Pengkajian Keperawatan


1. Biodata
Biodara terdiri dari nama, jenis kelamin. Umur, agama, suku bangsa, pendidkan
pendapatan pekerjaan,nomor akses, alamat dan lain- lain
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
b. Keluhan Utama
Pada kasus dermatitis kontak biasanya klien mengeluh kulitnya terasa gatal serta
nyeri.Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan
adalah nyeri pada lesi yang timbul.
c. Riwayat keluhan utama
Provoking Inciden, yang menjadi faktor presipitasi dari keluhan utama. Pada
beberapa kasus dematitis kontak timbul Lesi kulit ( vesikel ),terasa panas pada kulit dan
kulit akan berwarna merah, edema yang diikuti oleh pengeluaran secret. Kembangkan
pola PQRST pada setiap keluhan klien
d. Riwayat Kesehatan masa Lalu
Seperti apakah klien pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, apakah pernah
menderita alergi serta tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya selain itu perlu juga
dikaji kebiasaan klien
e. Riwayat Kesehatan keluarga
Apakah ada salah seorang anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang
sama, tapi tidak pernah ditanggulangi dengan tim medis. Dermatitis pada sanak saudara
khususnya pada masa kanak-kanak dapat berarti penderita tersebut juga mudah menderita
dermatitis atopik
f. Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme
koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan
menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :


1. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta
ukur respirasi rate.
2. Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah
pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
3. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
4. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
5. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa
mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
6. Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor
penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
7. Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS.
8. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya
selama di RS.
9. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
10. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
11. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
12. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.

2.11 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen


2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)

2.12 Intervensi Keperawatan


Tujuan
No DX.Kep NIC
NOC
1 Ketidakefektifan Tujuan :tanda-tanda vital
a. Airway management
pola nafas stabil, ventilasi yang
1. Buka jalan napas, gunakan
berhubungan adekuat setelah dilakukan teknik chinlift atau jaw
dengan terpajan asuhan keperawatan thrust bila perlu
allergen selama 1x24jam dengan
2. Lakukan fisioterapi
kriteria hasil : dadajika perlu
a. Respiratory status:
3. Keluarkan sekret dengan
Ventilation batuk atau suction
Mendemonstrasikan batuk
4. Auskultasi suara napas,
efektif dan suara napas cataadanya suara tambahan
yang bersih, tidak ada
5. Beri bronkodilator bila
sianosis dan dispenea perlu
b. Respiratory status: airway
6. Atur intake unntuk cairan
patency b. Oxygen therapy
Menunjukkan jalan napas
1. Bersihkan mulut, hidung
yang paten (tidak merasa dan secret trakea
tercekik, irama napas,
2. Atur peralatan oksigenasi
frekuensi pernapasan
c. Vital sign monitor
dalam rentang normal,
1. Monitor TD, suhu, nadi, RR
tidak ada suara napas
2. Catat adanya fluktuasi
abnormal) tekanan darah
c. Vital sign status 3. Monitor kualitas nadi
TTV dalm rentang normal 4. Monitor pola pernapasan
abnormal
5. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
2 Kerusakan Tujuan : respon alergi
a. Pressure management
integritas kulit lokal terkontrol, integritas
1. Anjurkan pasien
berhubungan kulit dan membran menggunakan pakaian
dengan infalamasi mukosa utuh, regenerasi longgar
dermal,intrademal luka primer dan sekunder
2. Hindari kerutan pada
sekunder sesuai rentang waktu yang tempat tidur
di harapkan setelah
3. Jagalah kebersihan kulit
dilakukan asuhan agar tetap bersih dan kering
keperawatan selama 1x24
4. Mobilisasi pasien setiap
jam dengan kriteria hasil : 2jam sekali
a. Tissue integrity: skin and
5. Oleskan lotion atau
mucous membranes minyak/baby oil pada
Integritas kulit dan daerah yang tertekan
membran mukosa baik b.: Insision site care
kulit utuh, dapat berfungsi
1. Membersihkan, memantau
dengan baik. dan meningkatkan proses
Regenerasi sel dan jaringan penyembuhan luka yang
membaik ditutup dengan jahitan, klip
Hipersensitif respon atau straples
immune terkendali 2. Bersihkan are sekitar
b. Hemodyalis akses jahitan atau staples,
Akses hemodialisa menggunakan lidi kapas
(pemasangan AV Shunt) steril
berfungsi baik : tidak ada
3. Monitor proses kesembuhan
perdarahan, tidak terjadi area insisi
infeksi
Klien menunjukkan
pemahaman dalam proses
perbaikan kulit dan
penyembuhan luka.
3 Kekurangan Tujuan : keseimbangan
a. Fluid management
volume cairan elektrolit dan asam basa
1. Pertahankan catatan intake
berhubungan adekuat, kekurangan dan output yang akurat
dengan cairan teratasi, status
2. Monnitor status hidrase
kehilangan cairan hidrasi adekuat setelah
3. Monitor vital sign
berlebihan. dilakukan asuhan
4. Monitor masukan
keperawatan selama makanan/cairan dan hitung
1x24jam dengan kriteria intake kalori harian
hasil : 5. Kolaborasi pemberian
a. Fluid balance cairan IV
Urine output(0,5-
6. Dorong masukan oral
1cc/kgBB/24 jam) 7. Monitor status nutrisi
b. Hydration 8. Berikan cairan IV pada
Tidak ada tanda-tanda suhu ruangan
dehidrasi : BB tidak turun,
b. Hypovolemik
elastisitas dan turgor kulit management
baik, membran mukosa
1. Monitor status cairan intake
lembab, mata / UUB tidak dan output
cekung) 2. Monitor tingkat Hb dan
c. Nutritional status : foof hematokrit
dan fluid intake 3. Monitor tanda vital
Pengisian kapiler < 3 detik4. Monitor berat badan
Tidak terjadi perubahan
5. Monitor respon pasien
status mental terhadap penambahan cairan
Elektrolit serum dalam
6. Dorong pasien untuk
batas normal menambah intake oral
Frekuensi, dan irama nafas
7. Pelihara IV line
dalam rentang normal
TTV dalam batas normal
4 Nyeri akut Tujuan : Mengatasia. Pain management
berhubungan pengalaman sensori dan1. Lakukan pengkajian nyeri
dengan agen emosional yang tidak secara komprehensif
cedera biologi. menyenangkan. Setelah termasuk lokasi,
dilakukan keperawatan karakteristik, durasi,
4x24 jam dengan kriteria frekuensi, kualitas dan
hasil : faktor presipitasi
a. Pain level 2. Observasi reaksi nonverbal

dengan indikator: dari ketidaknyamanan

Melaporkan bahwa nyeri3. Gunakan teknik komunikasi


berkurang dengan terapeutik untuk mengetahui
menggunakan manajemen pengalaman nyeri pasien
nyeri b. Analgesic administration
Mampu mengenali nyeri1. Tentukan lokasi,
(skala, intensitas, frekuensi karakteristik, kualitas, dan
dan tanda nyeri) derajat nyeri sebelum
b. Pain control pemberian obat

dengan indikator: 2. Cek instruksi dokter tentang


Mampu mengontrol nyeri jenis obat, dosis, dan
(tahu penyebab nyeri, frekuensi
mampu menggunakan3. Cek riwayat alergi
teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan
c. Comfort level
dengan indikator:
Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi


sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi .Anafilaksis merupakan respon
klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon
berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu :
Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut
ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .

3.2 Saran
Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.
1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen
2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan
terjadi.
3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara
4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali
5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen
yang harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan 2009-2011. Jakarta : EGC.
Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune response.
Academic Press. ISBN 978-0-12-374163
http://saidbongkemtulen.blogspot.co.id/2012/05/askep-hipersensitivitas.html diakses pada pukul
19.00 tanggal 10 oktober 2018
http://ennypsik.blogspot.co.id/2012/08/askep-hipersensitivitas.html diakses pada pukul 19.00
tanggal 10 oktober 2018
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC.
Price& Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.
Jakarta:EGC.
Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.

Anda mungkin juga menyukai