Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Kasus
Seorang pasien wanita inisial EA, berusia 67 tahun, berat badan 73 kg, tinggi
badan 162 cm mendatangi Apoteker yang berpraktek di Apotek XYZ. Beliau memiliki
keluhan nyeri pada perut, mual dan diare. Beberapa minggu yang lalu pasien tersebut
didiagnosis DM tipe 2, hipertensi dan osteoarthritis dan mendapatkan resep dokter sbb
:
● Atorvastatin 20 mg 1x sehari 1 tablet 30 tablet
● Indapamid 2,5 mg 1x sehari 1 tablet 30 tablet
● Lisinopril 20 mg 1x sehari 1 tablet 30 tablet
● Metformin 500 mg 2x sehari 2 tablet 120 tablet
● Nabumeton 500 mg 2x sehari 1 tablet 60 tablet
Sebagai seorang Apoteker lakukanlah pelayanan kefarmasian secara
komprehensif untuk membantu mengatasi keluhan pasien, termasuk memberikan
pelayanan informasi obat dan edukasi yang tepat kepada pasien tersebut?

B. Penggalian Informasi
- Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
- Keseharian bersama suami
- Kondisi perekonomian mencukupi
- Pola makan: biasa
- Selama ini sudah patuh minum obat
- Keluhan muncul sejak beberapa hari setelah minum obat
- Tidak merokok dan tidak konsumsi alkohol
- Setiap pagi berjalan kaki ke pasar selama 30 menit
- Semua obat akan ditebus
- TD 150/95 mmHg
- GDP=100 mg/dL ; GD2PP=170 mg/dL ; HbA1c=9%
- Kolesterol total 185 mg/dL
- Asam urat 6 mg/dL
- Hal-hal yang tidak ada data : riwayat hipertensi dan diabetes melitus, fungsi
hati dan ginjal, adanya udem, letak OA, skala nyeri, konsistensi dan warna
tinja, riwayat konsumsi obat herbal,

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tindakan Apoteker terkait tatalaksana terapi yang diterima pasien?
2. Bagaimana Apoteker memberikan layanan residensial yang tepat kepada pasien?
D. Tujuan
1. Memberikan tatalaksana terapi yang tepat kepada pasien.
2. Mengetahui tatalaksana dan memberikan layanan residensial yang tepat bagi
pasien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Layanan Residensial → ​yoyo
Menurut Departemen Kesehatan (2002) home care adalah pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat
tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan
kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.
Home Health Care adalah sistem dimana pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial
diberikan di rumah kepada orang-orang yang cacat atau orang-orang yang harus tinggal di
rumah karena kondisi kesehatannya (Neis dan Mc.Ewen , 2001).
Syarat pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah
(​home care)​ adalah:
1. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus tentang

penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat


2.​ P
​ asien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS, DM, dll

3. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan salah satu

kriteria atau lebih regimen obat sebagai berikut:


4.​ P
​ asien minum obat 6 macam atau lebih setiap hari

5.​ P
​ asien minum obat 12 dosis atau lebih setiap hari

6. Pasien minum salah satu dari 20 macam obat dalam tabel 1 yang telah diidentifikasi

tidak sesuai untuk pasien geriatri


7.​ P
​ asien dengan 6 macam diagnosa atau lebih

(Binfar,2008)
Peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah (​home care​) yaitu:
A. Melakukan penilaian
​ sebelum melakukan pelayanan kefarmasian di rumah
(​pre-admission assessment​)
Apoteker harus memastikan bahwa setiap pasien yang dirujuk mendapatkan pelayanan
kefarmasian di rumah, telah dilakukan penilaian kelayakan untuk pelayanan ​home care yang
meliputi:
1. Pasien, keluarga atau pendamping pasien setuju dan mendukung keputusan pemberian

pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker


2. P
​ asien, keluarga atau pendamping pasien adalah orang yang akan diberikan pendidikan

tentang cara pemberian pengobatan yang benar


3.​ A
​ poteker pemberi layanan memiliki akses ke rumah pasien

4. Adanya keterlibatan dokter dalam penilaian dan pengobatan pasien secara terus

menerus
5.​ O
​ bat yang diberikan tepat indikasi, dosis, rute dan cara pemberian obat

6. Adanya uji laboratorium yang sesuai untuk dilakukan monitoring selama pelayanan

kefarmasian di rumah
7. Adanya dukungan finansial dari keluarga untuk pelaksanaan pelayanan kefarmasian di

rumah
(Binfar, 2008)
Mengumpulkan informasi pada saat melakukan penilaian sebelum pelayanan
kefarmasian di rumah. Informasi ini akan digunakan menentukan rencana pemberian
pelayanan kefarmasian di rumah. Informasi dan kesimpulan dari penilaian disampaikan
kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian di rumah dan
didokumentasikan. Apoteker juga menjelaskan manfaat dan tanggung jawab pasien (termasuk
kewajiban pembayaran) yang dijelaskan secara rinci kepada pasien, keluarga pasien, pemberi
pelayanan dan dicatat dalam catatan penggunaan obat pasien (Binfar,2008).
A.​ D
​ okumentasi

Dokumentasi adalah penting dalam pelayanan ​home pharmacy care untuk evaluasi
kegiatan dan meningkatan mutu pelayanan. Manfaat lain adanya dokumentasi yaitu menjadi
bukti dan kepastian hukum bagi apoteker dan pasien, dokumentasi dapat digunakan sebagai
acuan pelaksanaan pelayanan kefarmasian dirumah bagi apoteker supaya memiliki standar
kulitas yang sama. Data dalam dokumen digunakan untuk penelitian dan untuk mengetahui
riwayat penyakit pasien. Hal-hal yang perlu didokumentasikan yaitu:
1.​ P
​ rosedur tetap pelayanan kefarmasian dirumah

1) Melakukan penilaian awal terhadap pasien untuk mengindentifikasi adanya


masalah kefarmasian yang perlu ditindaklanjuti dengan pelayanan kefarmasian di


rumah.
2) Menjelaskan permasalahan kefarmasian kepada pasien dan manfaat pelayanan

kefarmasian di rumah bagi pasien


3)​ M
​ enawarkan pelayanan kefarmasian di rumah kepada pasien
4) Menyiapkan lembar persetujuan dan meminta pasien untuk memberikan tanda

tangan, apabila pasien menyetujui pelayanan tersebut.


5) Mengkomunikasikan layanan tersebut pada tenaga kesehatan lain yang terkait,

apabila diperlukan. Pelayanan kefarmasian di rumah juga dapat berasal dari


rujukan dokter kepada apoteker apotek yang dipilih oleh pasien.
6) Membuat rencana pelayanan kefarmasian di rumah dan menyampaikan kepada

pasien dengan mendiskusikan waktu dan jadwal yang cocok dengan pasien dan
keluarganya. Rencana ini diberikan dan didiskusikan dengan dokter yang
mengobati (bila rujukan)
7) Melakukan pelayanan sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah disepakati.

Mengkoordinasikan pelayanan kefarmasian kepada dokter (bila rujukan)


8) Mendokumentasikan semua tindakan profesi tersebut pada Catatan Penggunaan

Obat Pasien.
2.​ C
​ atataan penggunaan obat pasien

Catatan Penggunaan Obat Pasien bersifat rahasia dan hanya boleh


ditulis serta disimpan oleh apoteker. Contoh catatan penggunaan obat pasien:

Gambar 1​. Catatan Penggunaan Obat Pasien (Binfar,2008).


3.​ L
​ embar persetujuan untuk apoteker dan pasien

Lembar Persetujuan adalah bukti tertulis kesepakatan bersama antara pasien dan apoteker
untuk melakukan pelayanan kefarmasian di rumah. Lembar persetujuan dibuat untuk
tujuan :
1)​ M
​ emberikan gambaran hak dan kewajiban pasien
2)​ M
​ emberikan gambaran hak dan kewajiban apoteker
Lembar persetujuan sekurang-kurangnya memuat :
1)​ N
​ ama Pasien

2)​ A
​ lamat Pasien

3)​ U
​ mur Pasien

4)​ P
​ ermasalahan yang dihadapi oleh pasien

5)​ B
​ entuk pelayanan kefarmasian yang direncanakan apoteker

6)​ H
​ ak dan kewajiban apoteker

7)​ H
​ ak dan kewajiban pasien

8)​ T
​ anda tangan pasien dan tanda tangan apoteker

Kartu kunjungan
Kartu Kunjungan menjadi bukti kehadiran dan pertanggungjawaban apoteker dalam
melakukan pelayanan kefarmasian di rumah dan membuat catatan sederhana dan mudah
dimengerti oleh pasien, khususnya tentang perkembangan kondisi pasien yang ditulis
oleh apoteker. Kartu Kunjungan berisi :
1) Nama Pasien
2) Nama Apoteker
3) Tanggal dan jam kunjungan
4) Catatan apoteker
Kartu Kunjungan disimpan oleh pasien dan apoteker
Gambar​ ​2.​ Kartu Kunjungan (Binfar,2008).
Rencana melakukan home care
1. Menjelaskan pengertian dan informasi kepada pasien meliputi pengertian, jadwal,

tujuan, manfaat, dan estimasi biayanya.


2.​ M
​ eminta persetujuan kepada pasien
3. Melakukan kunjungan ke rumah pasien 1 minggu sekali lalu, apabila kondisi

pasien sudah membaik dan tujuan terapi tercapai, frekuensi kunjungan pasien dapat
dikurangin menjadi 2 minggu sekali hingga 1 bulan sekali
4. Dalam kunjungan ke rumah pasien ada beberapa hal terkait yang harus

diperhartikan:
a. Kondisi pasien terkait dengan tujuan terapi terutama kadar gula darah dan

tekanan darah pasien juga efek samping obat


b. Kepatuhan pasien dengan mengecek jumlah obat yang tersisa dan mengisi

catatan penggunaan obat pasien


c. Wawancara dan konseling terhadap pasien mengenaik kondisi dan keluhan

pasien
5.​ M
​ emberi rujukan atau saran untuk ke dokter atau rumah sakit apabila diperlukan
6.​ M
​ engecek stock obat pasien supaya tdiak kehabisan mengisi catatan kunjungan.

B. Informasi Obat
a. Atorvastatin 20 mg

Indikasi Hiperlipidemia

Golongan Statin

Mekanisme Atorvastatin secara selektif dan kompetitif menghambat


enzim reduktase HMG-CoA sehingga menghambat
langkah pembentukan kolesterol.

Dosis Dosis inisial (dosis awal): 10 – 20 mg/hari peroral


Pemeliharaan 10 – 80 mg/hari peroral.

Farmakokinetik Absorbsi: 14% (​parent drug)​


Distribusi: 98% (​protein bound)​ , 318 L (Vd)
Metabolisme: Hati
Ekskresi: Urine (2%)

Dapat terdialisis Tidak

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap atorvastatin, memiliki


penyakit pada liver atau peningkatan transaminase yang
tidak dapat dijelaskan dan sedang hamil/menyusui.

Efek Samping Diare (5 – 14%), Nasofaringitis (4 – 13%) dan arthralgia


(4–12%)

Monitoring Efikasi Hipolipidemia

b. Indapamid 2,5 mg
Indikasi Hipertensi

Golongan Diuretik

Mekanisme Meningkatkan ekskresi NaCl dan air dengan


mengganggu pengangkutan ion Na+ untuk melintasi
epitel tubulus ginjal pada segmen proksimal tubulus
distal. Mekanismenya mirip dengan diuretik tiazid.

Dosis 1.25 mg peroral setiap pagi dapat ditingkatkan pada


interval 4 minggu hingga 5 mg peroral setiap pagi

Farmakokinetik Absorbsi: 93%


Distribusi: 71-79% (​protein bound​), 24-25 L (Vd)
Metabolisme: hati
Ekskresi: urine (70%) dan feses (23%)

Dapat terdialisis -

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap indapamid/sulfonamide dan


anuria

Efek Samping Hipotensi, palpation, flushing, pusing, vertigo, dan


lain-lain

Monitoring Efikasi Hipotensi

c. Lisinopril 20 mg

Indikasi Hipertensi

Golongan ACE Inhibitors

Mekanisme Melebarkan arteri dan vena dengan menghambat


konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menghambat metabolisme bradikinin sehingga akan
mengurangi preload dan afterload pada jantung.

Dosis Terapi tanpa diuretik:


· Dosis awal 10 mg/hari
· Dosis harian tunggal 20 – 40 mg/hari
Terapi dengan diuretik:
· Hentikan diuretik selama 2-3 hari sebelum
menggunakan lisinopril agar tidak terjadi
hipotensi. Jika tekanan darah tidak dapat
terkontrol, maka diuretik dapat dilanjutkkan
· Ketika penggunaan diuretik tidak dapat
dihentikan, maka dosis awal lisinopril 5 mg di
bawah pengawasan selama minimal 2 jam dan
sampai tekanan darah stabil selama 1 jam.

Farmakokinetik Absorbsi: 25%


Distribusi: 25% (​protein bound)​ , 124 L (Vd)
Metabolisme: Tidak mengalami metabolisme
Ekskresi: Urine (tidak sepenuhnya diekskresikan)

Dapat terdialisis Dihilangkan dengan hemodialisis

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap lisinopril atau ACEi lainnya,


riwayat ACEi menginduksi angioedema,
herediter/idiopatik angioedema, pemberian bersama
dengan inhibitor neprilysin dan pemberian bersama
dengan aliskiren pada pasien dengan diabetes
mellitus/gangguan ginjal (GFR < 60 mL/min/1.73m​2​).

Efek Samping Pusing (5 – 12%), batuk (4 – 9%) dan sakit kepala


(4–6%).

Monitoring Efikasi Hipotensi


d. Metformin 500 mg

Indikasi Diabetes Mellitus II

Golongan Antidiabetes

Mekanisme Menurunkan produksi glukosa dalam hati, menurunkan


absorbsi glukosa dalam GI dan meningkatkan
sensitivitas insulin.

Dosis · Awal: 500 mg/12jam peroral atau 850 mg/hari


peroral
· Pemeliharaan: 1500 – 2550 mg/hari peroral
dibagi setiap 8 – 12 jam diminum dengan
makanan.
· Tidak lebih dari 2550 mg/hari.

Farmakokinetik Absorbsi: 50 – 60%


Distribusi: Minimal (​Protein bound)​ , 650 L ​regular
release​ (Vd)
Metabolisme: Bukan di hati
Ekskresi: Urine (90% dengan sekresi tubular)

Dapat terdialisis Ya

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap metformin, CHF,


ketoasidosis diabetik dengan/tanpa koma, penyakit
ginjal berat (eGFR < 30 mL/min/1.73 m​2​), pembersihan
kreatinin yang tidak normal karena syok,
septikemia/infark miokard dan laktasi.

Efek Samping Lemah, diare, perut kembung, Mialgia dan lain-lain

Monitoring Efikasi Penurunan kadar gula darah yang signifikan

e. Nabumeton 500 mg
Indikasi Osteoarthritis

Golongan NSAIDs

Mekanisme Menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan


tubuh dengan menghambat 2 ​cyclooxygenase (​ COX)
isoenzymes,​ COX-1 dan COX-2
Menghambat kemotaksis, mengubah aktivitas limfosit,
menurunkan aktivitas sitokin proinflamasi dan
menghambat agregasi neutrofil

Dosis · Dosis awal: 1000 mg/hari


· Dosis pemeliharaan: 1000 – 2000 mg/hari
peroral dosis tunggal atau dibagi/12 jam
· Tidak melebihi 2000 mg/hari

Farmakokinetik Absorbsi: Onset terjadi beberapa hari


Distribusi: > 99% (​protein bound​) dan 29 – 82 L (Vd)
Metabolisme: Hati
Ekskresi: Urine (80%) dan feses (9%)

Dapat terdialisis Tidak

Kontraindikasi · Absolut: Alergi terhadap aspirin, gangguan


ginjal berat dan nyeri perioperatif dalam operasi
Coronary Artery Bypass Graft ​(CABG).
· Relatif: Ulkus duodenum/lambung/peptikum,
stomatitis, lupus, kolitis, ulseratif, kehamilan
lanjut (mungkin penutupan dini pada ​ductus
arteriosus​.

Efek Samping Diare (14%), dispepsia (13%) dan sakit perut (12%).

Monitoring Efikasi -
f. Paracetamol 500 mg

Indikasi Osteoarthritis

Golongan Analgesik

Mekanisme Menunjukkan aksi analgesik dari dorongan impuls


nyeri oleh penyumbatan perifer sehingga menghasilkan
antipiresis dengan menghambat pusat pengatur panas
hipotalamus. Aktivitas anti peradangan yang lemah
terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin di
CNS.

Dosis Dosis dewasa: 0,5 – 1 gram/4-6 jam peroral. Dosis


maksimal, 4 gram/hari.
Dosis rektal suppositoria: 0,5 – 1 gram/4-6 jam. Dosis
maksimal, 4 gram/hari.
Dosis intravena: 33 – 50 kg 15 mg/kg sebagai dosis
tunggal setidaknya selama 4 jam. > 50 kg 1 gram
sebagai dosis tunggal setidaknya selama 4 jam. Dosis
maksimal 4 gram/hari dengan infuse selama 15 menit.

Farmakokinetik Absorbsi: mudah diserap pada saluran pencernaan


Distribusi: sebagian besar ke jaringan tubuh, dapat
melintasi plasenta dan memasuki ASI.
Metabolisme: hepatik melalui konjugasi asam
glukoronat dan sulfur.
Ekskresi: urin

Dapat terdialisis -

Kontraindikasi Pasien dengan alkoholisme kronis, hipokalemia berat,


malnutrisi kronis, gangguan hati dan ginjal, kehamilan
dan menyusui.
Efek Samping Trombositopenia, leukopenia, neutropenia,
agranulositosis, nyeri dan sensasi terbakar di tempat
injeksi.

Monitoring Efikasi Pemantauan kadar parasetamol serum terutama saat


terjadi overdosis akut dan penggunaan jangka panjang.
Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien.

g. Rosuvastatin 20 mg

Indikasi Hiperlipidemia

Golongan Statin

Mekanisme Menghambat HMG-CoA reduktase

Dosis · Dosis awal: 10 – 20 mg/hari


· Dosis pemeliharaan: 10 – 80 mg/hari

Farmakokinetik Absorbsi: 20%


Distribusi: 88% (​Protein bound​) dan 134 L (Vd)
Metabolisme: 10% oleh CYP2C9 di hepatik
Ekskresi: Feses (90%)

Dapat terdialisis -

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap Rosuvastatin, memiliki


gangguan liver, kehamilan dan menyusui.

Efek Samping Myalgia (3 – 13%), arthralgia (10%), faringitis (9%)

Monitoring Efikasi Hipolipidemia

C. Penatalaksanaan Penyakit
Kita tahu bahwa setiap penyakit memerlukan penanganan atau
penatalaksanaan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi, secara umum
dalam penatalaksanaan suatu penyakit idealnya mutlak dibutuhkan adanya kerjasama
antarprofesi kesehatan, sehingga pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang
comprehensive meliputi 3 aspek yaitu Pelayanan Kefarmasian (​Pharmaceutical Care)​ ,
Pelayanan Medik (​Medical Care​), dan Pelayanan Keperawatan (​Nursing Care)​ .
Berikut ini adalah penatalaksanaan mengenai penyakit diare, diabetes melitus,
osteoarthritis, dan hipertensi.

1. Penatalaksanaan Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
pada arteri. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Penyebab terjadinya hipertensi
primer tidak diketahui mekanisme patofisiologinya. Sedangkan ​secondary
hypertension sebagian besar disebabkan oleh adanya ​Chronic Kidney Deases
(CKD) s​ erta beberapa keadaan seperti masa kehamilan, hipertiroid,
hiperparatiroid, konsumsi obat-obatan (kortikosteroid, NSAID) dan lain-lain.
Tanda dan gejala pada ​primary hypertension biasanya tidak terlihat. Berbeda
dengan tanda gejala pada ​secondary hypertension biasanya sesuai dengan
kondisi kesehatan yang menyertai.

(Dipiro, 2009).
Seiring bertambahnya usia, resiko mengalami tekanan darah tinggi juga
semakin besar. hal ini dikaitkan dengan beberapa fungsi tubuh yang sudah
menurun pada pasien geriatri (60 tahun ke atas). Penatalaksanaan terapi
hipertensi pada pasien geriatri bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
dan mengurangi resiko CKD yang merupakan komplikasi dari hipertensi.
Terapi non farmakologi hipertensi pada geriatri bisa dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup. Pengurangan berat badan dapat menghasilkan
penurunan SBP 5-20 mmHg per 10 kg, diet natrium (penurunan SBP 2-8
mmHg), aktivitas fisik yang ringan (penurunan SBP 2-8 mmHg), dan
menghindari konsumsi alkohol. Prinsip pengobatan farmakologi pada geriatri
umumnya sama dengan penatalaksanaan pada usia dewasa. Hanya saja ada
beberapa perbedaan pada tekanan darah awal mendapatkan ​initial terapi dan
target penurunan tekanan darah. Selain itu, pengobatan juga harus
mempertimbangkan indikasi lain pada pasien seperti adanya diabetes melitus,
stroke dan keadaan klinis lainnya (Lionakis ​et al.​ , 2012).
(JNC 8, 2014).
Pemberian terapi awal antihipertensi pada geriatri harus dimulai
dengan dosis terendah dan secara bertahap meningkat tergantung pada respons
BP terhadap dosis maksimum yang masih dapat ditoleransi. Jika respons
antihipertensi terhadap obat awal tidak memadai, obat kedua dari kelas lain
harus ditambahkan. Jika respons antihipertensi tidak memadai setelah
mencapai dosis penuh dari 2 kelas obat, obat ketiga dari kelas lain harus
ditambahkan. Pada pasien geriatari (usia 60 tahun ke atas) pemberian terapi
hipertensi dimulai saat tekanan darah ≥150 mmHg / ≥90 mmHg. Target terapi
pada pasien geriatri adalah tekanan darah SBP kurang dari 150 mmHg dan
DBP kurang dari 90 mmHg. Untuk pasien geriatri dengan penyakit lain seperti
diabetes,terapi HT dimulai jika SBP ≥140 mmHg dan DBP ≥90 mmHg dengan
target tekanan darah SBP <140 mmHg dan DBP <90 mmHg untuk mencegah
terjadinya komplikasi.

2. Penatalaksanaan Diare
A. Definisi Diare
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan
feses tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih
dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu,
disebut sebagai diare akut, dan bila berlangsung lebih dari 2 minggu
disebut diare kronik. Feses dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus.
Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas,
tenesmus, demam dan tanda-tanda dehidrasi
B. Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Diagnosis pasien diare akut infeksi bakteri memerlukan
pemeriksaan sistematik dan cermat. Perlu ditanyakan riwayat penyakit,
latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama
antibiotik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat pasien
meliputi onset, durasi, frekuensi, progresivitas, volume diare, adanya
buang air besar disertai darah, dan muntah. Selain itu, perlu diketahui
riwayat penggunaan obat, riwayat penyakit dahulu, penyakit komorbid,
dan petunjuk epidemiologis.
Tanda gejala yang memerlukan evaluasi lanjutan :
a. Demam ≥ 38​o​C
b. Nyeri abdomen berat, terutama pada pasien berusia >50 tahun
c. Riwayat perawatan di rumah sakit
d. Berada di panti jompo
e. Riwayat penggunaan antibiotic
f. Disentri (darah dan mukus di tinja)
g. ≥ 6 kali BAB dalam 24 jam
h. Gejala memburuk setelah 48 jam
i. Gejala dehidrasi berat (pusing, haus berat, penurunan volume urin)
C. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada,
dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun
non-infeksi. Sampel harus diperiksa sesegera mungkin karena neutrophil
cepat. Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah
laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan
neutrophil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon.
Pada pasien diare berat dengan demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum,
kreatinin, analisis gas darah, dan pemeriksaan hematologi lengkap.
D. Pendekatan Pasien Dewasa dengan Diare Akut
Langkah-langkah dalam pendekatan pasien diare akut adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan penilaian awal
2. Terapi dehidrasi
3. Mencegah dehidrasi pada pasien tanpa tanda dehidrasi menggunakan
cairan atau larutan rehidrasi oral :
a. Rehidrasi pasien dengan dehidrasi sedang menggunakan larutan
rehidrasi oral dan koreksi dehidrasi berat dengan larutan intravena
yang tepat
b. Memberikan hidrasi menggunakan larutan rehidrasi oral
c. Mengobati gejala
4. Stratifikasi manajemen
a. Petunjuk epidemiologis : makanan, antibiotik, aktivitas seksual,
perjalanan wisata, penyakit lainnya, wabah, musim
b. Petunjuk klinis : diare berdarah, nyeri abdomen, disentri,
penurunan berat badan, inflamasi fekal
5. Mengambil spesimen fekal untuk analisis: Jika diare berat, inflamasi,
berdarah atau persisten, dan pada saat awal wabah atau epidemik
6. Mempertimbangkan terapi antimikrobial untuk pathogen spesifik
E. Penatalaksanaan
a. Penggantian Cairan dan Elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika
tidak dapat minum atau diare hebat membahayakan jiwa yang
memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus
terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium bikarbonat, 1,5
gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan seperti
itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan
dengan dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan
rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok
teh garam, ½ sendok teh ​baking soda,​ dan 2-4 sendok makan gula per
liter air. Dua buah pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intravena
diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan normal
saline atau ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan
kimia darah.
Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, serta
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah yang hendak diberikan sesuai
dengan jumlah cairan yang keluar. Kehilangan cairan dari tubuh dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
Kebutuhan cairan = [(BD plasma – 1,025) / 0,001] x Berat Badan
(kg) x 4 ml
Metode ​Pierce​ berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% x kgBB
- Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% x kgBB
- Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% x kgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis dengan skor :

Goldberger (1980) menjelaskan beberapa cara dalam menghitung


kebutuhan cairan :
Kebutuhan cairan = (skor/15) x 10% x Berat Badan (kg) x 1 liter

Cara 1:
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lain,
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan saat itu.
- Jika disertai mulut kering, oliguria, deficit cairan sekitar 6% dari
berat badan saat itu
- Jika ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas,
perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka deficit
cairan sekitar 7-14% atau sekitar 3,5-7 liter pada orang dewasa
dengan berat badan 50 kg

Cara 2 :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4
kg pada fase akut sama dengan deficit cairan sebanyak 4 liter

Cara 3 :
Dengan menggunakan rumus :
Na​2​ x BW​2​ = Na​1​ x BW​1
Na​1 = kadar natrium plasma normal; ​BW​1 = volume air badan normal,
biasanya 60% berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita; ​Na​2 =
kadar natrium plasma sekarang; ​BW​2​ = volume air badan sekarang.
b. Antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada
diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3
hari tanpa pemberian antibiotik.
Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised​. Pemberian antibiotic dapat secara empiris,
namun terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan
resistensi kuman.

Gambar 1. Antibiotik empiris pada diare akut infeksi


c. Obat Anti-Diare
1. Kelompok anti-sekresi selektif
Terobosan terbaru milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas ​racecadotril y​ ang bermanfaat sebagai penghambat enzim
enkephalinase, ​sehingga ​enkephalin ​dapat bekerja normal kembali.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi elektrolit, sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan. ​Hidrasec s​ ebagai
generasi pertama jenis obat baru anti-diare dapat pula digunakan
dan lebih aman pada anak.
2. Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl, serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein
adalah 15-60 mg 3x sehari, loperamide 2-4 mg/3-4 kali sehari.
Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan, sehingga dapat memperbaiki
konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare. Bila diberikan
dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi frekuensi
defekasi sampai 80%. Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut
dengan gejala demam dan sindrom disentri.
3. Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat
menyerap bahan infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel
mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat
merangsang sekresi elektrolit.
4. Zat hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari ​Plantago oveta,​
Psyllium, Karaya (Strerculia),​ ​Ispraghulla, Coptidis, d​ an ​Catechu
dapat membentuk koloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan
mengurangi frekuensi dan konsistensi feses, tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah
5-10 mL/2 kali sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam
bentuk kapsul atau tablet.
5. Probiotik
Kelompok probiotik terdiri dari ​Lactobacillus ​dan ​Bifi dobacteria
atau ​Saccharomyces boulardii​, bila meningkat jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Untuk
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah
adekuat.
(Amin, 2015)
3. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) adalah gangguan sendi yang ditandai dengan
struktural patologi yang melibatkan seluruh sendi, termasuk tulang rawan lesi,
remodeling tulang, pembentukan osteophyte serta peradangan sendi yang
menyebabkan gejala dan hilangnya fungsi sendi yang normal. Peradangan ini
biasanya muncul pada usia 50 tahun ke atas. OA yang muncul pada usia
dibawah 50 tahun disebabkan karena cedera atau keturunan (ACR, 2017).
Osteoartritis dapat menyerang hampir semua sendi namun sebagian besar
menyerang sendi pada tangan, lutut, pinggul, dan tulang belakang. Tanda dan
gejala dapat dilihat pada gambar berikut:
(Sinusas, 2012).
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang progresif jika tidak
tersembuhkan akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan dan tulang. Faktor
resiko paling besar osteoarthritis adalah bertambahnya usia dan obesitas.
Sehingga selain menggunakan obat perlu ditangani dengan terapi non
farmakologi seperti:
- Olahraga teratur untuk meningkatkan kekuatan otot,
keseimbangan tubuh, dan akan membantu dalam penurunan
berat badan.
- Fisioterapi khususnya penguatan otot tertentu dapat mengurangi
keparahan OA, meningkatkan perbaikan sendi. Sinar USG juga
dapat mengurangi nyeri pada OA
- Meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan edukasi,
diet yang sehat, memberikan latihan dan peregangan sehingga
meningkatkan perbaikan kondisi OA.
- Menggunakan alat bantu untuk mempermudah fungsi sendi
seperti tongkat, dll.
(ACP, AMA, 2012).

Tujuan terapi farmakologi OA adalah mengatasi nyeri, memperbaiki fungsi


sendi tetapi tidak dapat menyembuhkan penyakit. Obat-obatan yang digunakan pada pasien
geriatri meliputi: asetaminofen, NSAID, narkotik, kortikosteroid, hyaluronate dan sediaan
topikal.

● First line terapi OA pada geriatri menggunakan asetaminofen. Obat ini


lebih efektif dan aman digunakan pada pasien 65 tahun ke atas. Dosis
obat tidak ada pengaturan khusus, akan tetapi perlu disesuaikan dengan
kondisi kesehatan pasien (gangguan hati, pengguna alkohol, dll).
● Terapi lini kedua pada geriatri adalah narkotik atau NSAID. Narkotik
merupakan lini kedua yang lebih aman dibandingkan dengan NSAID.
Golongan narkotika oxycodone dan hydromorphone tepat diberikan
pada pasien geriatri. Dosis awal dimulai dengan dosis kecil kemudian
dinaikkan secara perlahan.
● Terapi NSAID tidak dianjurkan sebagai lini pertama terkait efek
sampingnya menyebabkan pendarahan GI, menurunkan fungsi ginjal,
retensi cairan (menyebabkan udem, HT, HF), dan mual. Dosis yang
aman pada geriatri adalah dosis minimal dan penggunaan jangka
pendek.
● Injeksi: Kortikosteroid (metilprednisolon, triamcinolon) dan
Hyaluronate. Kortikosteroid efektif dan aman diberikan pada pasien
geriatri dengan OA. Mekanisme hyaluronate adalah mengganti cairan
synovial pada sendi. Hyaluronat digunakan untuk OA pada lutut
dengan durasi efek mencapai enam bulan.
● Sediaan topikal : diklofenak, capsaicin dan ​Counterirritants (​ Menthol,
methylsalicylate, camphor) pilihan terapi mild OA pada pasien geriatri.

(ACP, AMA, 2012).


4. Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2
Tujuan dari penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Selain itu, masih ada 3
tujuan lain yaitu tujuan jangka pendek, tujuan jangka panjang, dan tujuan
akhir. Tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Tujuan
jangka panjang adalah untuk mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. Sedangkan tujuan akhirnya
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus.

Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada hari pertama, meliputi :
1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan
berat badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang
perawatan DM secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital.
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,
jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
j. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
k. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum​, kulit kering)
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan
j. DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah tes toleransi
glukosa oral (TTGO)
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total​, High Density
Lipoprotein (​ HDL), ​Low Density Lipoprotein (​ LDL), dan trigliserida.
b. Tes fungsi hati
c. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
d. Tes urin rutin
e. Albumin urin kuantitatif
f. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
g. Elektrokardiogram.
h. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan diabetes melitus dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat
antidiabetik oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan darurat dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis,
stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria,
harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau tersier. Pengetahuan
tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
D. SOAP → ​melody dan vv
E. Drug-Related Problems​ (DRP) → ​Rani
F. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) → ​Rani
G. Etik dan Legalitas Penggantian Obat
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016, dalam
memberikan PIO dan konseling kepada pasien, Apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (​medication error) d​ alam
proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah serta mengatasi masalah terkait
obat (​drug related problems​), masalah farmakoekonomi, dan farmasi social
(​sociopharmacoeconomy​). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker juga harus
mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi
untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut,
Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan
evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan
semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian. Dalam pasal 2,
standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk melindungi pasien dan masyarakat
dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (​patient
safety)​ .
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek
pada pasal 21, ada beberapa ketentuan dalam mengganti obat, yaitu :
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek dagang, maka Apoteker
dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generic yang sama
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter
dan/atau pasien.
3. Dalam hal obat yang diresepkan tidak tersedia di Apotek atau pasien tidak
mampu menebus obat yang tertulis di dalam resep, Apoteker dapat mengganti
obat setelah berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat
lain.
4. Apabila Apoteker menganggap penulisan resep terdapat kekeliruan atau tidak
tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
5. Apabila dokter penulis resep sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap pada
pendiriannya, maka Apoteker tetap memberikan pelayanan sesuai dengan
resep dengan memberikan catatan dalam resep bahwa dokter sesuai dengan
pendiriannya
Ketika kondisi pelayanan obat resep mengarah pada tidak tersedianya obat
dengan merek dagang tertentu di Apotek, Permenkes ini menyatakan bahwa setiap
apoteker di Apotek dapat mengganti obat dalam resep dokter yang tidak tersedia
tersebut dengan obat generik yang tersedia di Apotek. Namun penggantian tersebut
harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Adapun pertimbangan mengganti
obat resep yang tidak tersedia tersebut adalah sebagai berikut:
1. Obat resep merupakan obat merek dagang.
2. Obat poin nomor 1 diganti dengan obat generik yang mempunyai
komponen/zat aktif serta dosis yang sama.
3. Atau obat poin nomor 1 diganti dengan obat merek dagang yang lain dengan
komponen yang sama.
4. Penggantian obat merek dagang menjadi obat generik harus mendapat
persetujuan oleh dokter dan/atau pasien.
5. Poin nomor 4 yang bertuliskan “dan/atau” artinya apoteker hendaknya
mendapatkan persetujuan baik dari dokter dan pasien, atau minimal mendapat
persetujuan salah satunya yaitu dari dokter atau pasien.
Apabila dalam kondisi pelayanan obat resep Apoteker menganggap adanya
kekeliruan atau ketidaktepatan terapi, maka Apoteker dapat menghubungi dokter
penulis resep dan memberitahukan hal tersebut. Dalam kejadian tersebut, Apoteker
dapat memberikan saran terkait penanganan atau penggantian terapi yang sesuai
dengan yang diperlukan oleh pasien. Namun, apabila dokter penulis resep tersebut
tetap pada pendiriannya untuk memberikan terapi sesuai dengan resep yang
diberikannya, maka Apoteker dapat memberikan pelayanan sesuai resep dan
memberikan catatan dalam resep tersebut yang menyatakan bahwa dokter tetap
dengan pendiriannya. Pada kondisi seperti di atas, penggantian obat memerlukan
persetujuan dari dokter agar sah secara hukum sebab ini diatur dalam PERMENKES
No. 9 tahun 2017 pasal 21 ayat 2.

H. KIE dan PIO


1. KIE ke Dokter
Apoteker meminta dokter untuk berdiskusi terkait peresepan obat yang di tulis.
Berdasarkan informasi yang diketahui sehingga apoteker mengkonfirmasi ke
dokter. Informasi yang harus didiskusikan meliputi:
a. Pemberian Nabumeton kepada pasien dirasa kurang tepat karena belum tahu
kapan pasien mengalami Osteoarthritis dan terapi apa yang sudah didapatkan
sebelumnya, maka Apoteker menyarankan untuk penggantian Nabumeton
dengan Acetaminofen (Parasetamol) yang merupakan ​first line therapy ​untuk
Osteoarthritis.
b. Penggantian dosis Atorvastatin 20 mg menjadi Atorvastatin 40 mg karena
pasien memiliki resiko tinggi terhadap ASCVD.
c. Pemberian vitamin B12 untuk mencegah kekurangan vitamin B12 akibat
penggunaan Metformin yang dapat mendefisiensi vitamin B12 dalam tubuh.
d. Penambahan terapi Thiozolodindion (Pioglitazone) 15 mg untuk terapi DM
tipe 2 pada pasien karena kadar HbA1C pada pasien yang masih tinggi, yaitu
9%.

2. KIE ke Pasien
Pemberian KIE kepada pasien hal-hal penting yang perlu disampaikan terapi
farmakologi, terapi non-farmakologi, ​monitoring dan evaluasi penggunaan obat.
Informasi terapi farmakologi yang harus disampaikan meliputi nama obat dan
kandungannya, indikasi, cara penggunaan, efek samping dan cara pengatasannya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konseling dengan pasien terkait
peresepan obat yang diterima antara lain:
A. Pembukaan
Apoteker memastikan pasien bersedia dan nyaman untuk melakukan
konseling sebelum konseling dilakukan. Apoteker yang datang ke rumah
pasien harus sudah mengetahui identitas pasien dan harus menjelaskan tujuan
dari datangnya apoteker ke rumah pasien.
B. Pengumpulan Informasi dan Identifikasi Masalah
Apoteker harus mencari informasi apa saja dari pasien terkait masalah
yang mungkin terjadi selama terapi. Pasien yang mendapatkan konseling bisa
merupakan pasien baru atau pasien lama yang melanjutkan terapi sebelumnya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan jika menemui pasien baru. Hal tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Apoteker harus menggali informasi dasar tentang pasien dan sejarah terapi
yang pernah diterima.
2) Mendiskusikan resep yang baru diterima
Apoteker menanyakan terkait penjelasan apa yang telah diterima
pasien berdasarkan ​three prime question​:
a) Apa yang telah dokter jelaskan terkait obat yang diresepkan?
b) Apakah dokter telah menjelaskan harapan setelah minum obat?
c) Apakah dokter telah menjelaskan cara minum obat?
Hal ini penting untuk mempersingkat waktu dan menghindari pasien
mendapatkan informasi yang sama atau mendapatkan informasi yang
berbeda sehingga membuat pasien bingung dalam menggunakan obat
tersebut. Informasi yang diberikan adalah informasi yang penting dan
jelas.
C. Pemberian Informasi Penggunaan Obat
Pemberian informasi penggunaan obat meliputi:
a. Penggunaan obat
i. Indapamid 2,5 mg merupakan obat untuk menurunkan tekanan darah
tinggi. Obat diminum sekali sehari satu tablet pada pagi hari.
ii. Lisinopril 20 mg merupakan obat untuk menurunkan tekanan darah
tinggi. Obat ini diminum sekali sehari satu tablet.
iii. Metformin 500 mg merupakan obat untuk menurunkan kadar gula
darah. Obat ini diminum 2 kali sehari satu tablet dengan air putih.
iv. Paracetamol 500 mg merupakan obat untuk mengurangi rasa nyeri pada
pasien. Obat diminum 3 kali sehari satu tablet pada pagi, siang dan sore
hari dengan air putih.
v. Atorvastatin 40 mg merupakan obat untuk menurunkan kadar kolesterol
pada pasien. Obat diminum sekali sehari dengan air putih.
vi. Thiazolidindion berisi Pioglitazone 15 mg untuk terapi DM tipe 2 pada
pasien diminum sekali sehari dengan air putih.
vii. Vitamin B12 untuk mencukupi vitamin dalam tubuh pasien diminum
1x sehari.
b. Penyimpanan obat yang sudah tidak digunakan
Pasien diberitahu bahwa ada penggantian obat dari Atorvastatin
menjadi Rosuvastatin dan Nabumeton menjadi Paracetamol. Obat-obat
yang sudah tidak digunakan lebih baik diletakkan ditempat yang berbeda
atau bisa juga diletakkan di kantong plastik dan diberi label bahwa obat
tersebut sudah tidak dikonsumsi lagi.

D. Diskusi untuk Mencegah//Memecahkan Masalah beserta Solusinya


Pemecahan masalah harus berkomunikasi dan didiskusikan dengan
pasien. Apoteker harus mencatat terapi dan rencana ​monitoring t​ erapi yang
diterima oleh pasien.
Edukasi yang harus disampaikan ke pasien antara lain:
a. Pentingnya kontrol teratur agar kadar gula darah dan tekanan darah
dapat terkontrol sehingga dapat mengetahui tingkat keberhasilan terapi.
b. Peranan obat yang mengatasi kadar gula darah dan tekanan darah,
bukan sebagai penyembuh. Pasien perlu diberikan informasi bahwa
obat-obat yang digunakan sifatnya bukan untuk menyembuhkan,
namun tetap harus digunakan secara rutin agar kadar gula dan tekanan
darah pasien tetap stabil. Apoteker perlu memberitahukan bahwa terapi
ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien dan pasien dapat
beraktivitas seperti biasa.
c. Efek samping yang mungkin dirasakan pasien dan penanganannya.
Apoteker memberitahukan pasien kemungkinan efek samping yang
dialami seperti kenaikkan berat badan, pusing, mual, diare, muntah
dan/atau nyeri yang tidak berkurang. Apoteker harus memastikan
pasien tidak usah khawatir dengan efek samping yang mungkin terjadi
karena tidak semua pasien mengalami efek samping ini. Namun, bila
pasien mengalami efek samping di atas, maka pasien dapat
berkonsultasi kepada dokter atau Apoteker mengenai efek samping ini.
d. Peranan penting terapi non-farmakologi. Apoteker menjelaskan
mengenai terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan pasien seperti
mengurangi makanan yang asin-asin, mengurangi makanan yang
berlemak, makan-makanan yang bergizi, tidur yang teratur, melakukan
aktivitas fisik secara rutin dan dapat mengoleskan balsem/minyak kayu
putih/sesuatu yang hangat ke lutut sakit.
E. Identifikasi Kepatuhan Pasien
Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat merupakan salah satu
tolak ukur penting dalam kesuksesan suatu terapi. Kepatuhan pasien dapat
Apoteker ketahui dari obat yang tersisa saat kunjungan ke rumah pasien,
keluhan pasien dan parameter penting seperti tekanan darah pasien. Apoteker
juga dapat menanyakan langsung ke pasien tentang penggunaan obatnya
selama ini sudah sesuai dengan aturan pakai obat atau belum.
Dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat,
Apoteker dapat memberikan ​list checker kepada pasien untuk menghindari
pasien lupa dalam mengonsumsi obat.
F. Pendampingan Pengelolaan Obat
Apoteker memberikan informasi kepada pasien mengenai penyimpanan
obat yang baik, misalnya penyimpanan obat di dalam kotak obat yang jauh
dari jangkauan anak-anak dan tidak terpapar langsung dengan sinar matahari.
Jika ada penggantian obat dari dokter, maka Apoteker wajib
memberikan informasi mengenai penggunaan obat yang baru, seperti cara
pemakaian obat dan alasan obat diganti. Alangkah lebih baik jika Apoteker
membawa obat yang sudah tidak digunakan untuk menghindari pasien
menggunakan lagi obat tersebut.
G. Memastikan Pasien Memahami Informasi
Pasien harus memahami informasi yang diberikan oleh Apoteker.
Apoteker memberikan kesempatan pasien untuk mengulang informasi yang
sudah diberikan agar Apoteker tahu informasi tersebut sudah diterima dengan
baik atau belum, dan membenarkan jika pasien salah menerima informasi.
H. Menutup Konseling
Apoteker memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya
hal-hal yang belum dipahami sebelum menutup diskusi. Apoteker harus
mengulang dan mempertegas informasi yang penting agar pasien dapat
mengingat dengan baik informasi tersebut. Apoteker juga harus mengingatkan
agar pasien patuh dalam menggunakan obat dan rutin kontrol gula darah dan
tekanan darah secara berkala.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

ACP, AMA, 2012. Drug Use in the Elderly, ​Alberta College of Pharmacists.
American College of Rheumatology (ACR), 2017. Guideline for the Pharmacologic
and Non-Pharmacologic Management of Osteoarthritis of the Hand, Hip and
Knee.
Amin, L. Z., 2015. Tatalaksana Diare Akut, ​Cermin Dunia Kedokteran 230:
Kalbemed,​ 42 (7), 504-508.
Depkes, RI. 2002. Pengembangan Model Praktek Pelayanan Mandiri keperawatan.
Pusgunakes. Jakarta
Dipiro, T.J., Wells, G.B., Schwinghammer, L.T. dan Dipiro, V.C., 2009.
Pharmacotherapy Handbook Seven Edition. ​111-112​, ​The Mc Graw-Hill
Companies, United States of America.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan., 2008., Pedoman
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah ​(Home Pharmacy Care)., ​Departemen
Kesehatan RI.
Drugs, 2019, Atorvastatin, ​https://www.drugs.com/atorvastatin.html​, diakses pada
18 Maret 2019.
Drugs, 2019, Indapamide, ​https://www.drugs.com/cdi/indapamide.html​, diakses
pada 18 Maret 2019.
Drugs, 2019, Lisinopril, ​https://www.drugs.com/lisinopril.html​, diakses pada 18
Maret 2019.
Drugs, 2019, Metformin, ​https://www.drugs.com/metformin.html​, diakses pada 18
Maret 2019.
Drugs, 2019, Nabumetone, ​https://www.drugs.com/cdi/nabumetone.html​, diakses
pada 18 Maret 2019.
Drugs, 2019, Nabumetone, ​https://www.drugs.com/cdi/nabumetone.html​, diakses
pada 18 Maret 2019.
James, P.A., Al, S.Z.A., dan Carter, B.L., 2014 Evidence-Based Guideline For the
Management of High Blood Pressure in Adults: Report from the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (jnc 8).
JAMA​, ​311​: 507–520.
Lionakis, N., Mendrinos, D., Sanidas, E., Favatas, G., Georgopoulou, M., 2012.
Hypertension in the elderly. ​World Journal of Cardiology​, 135-147.
Medscape, 2019, Atorvastatin,
https://reference.medscape.com/drug/lipitor-atorvastatin-342446​, diakses
pada 18 Maret 2019.
Medscape, 2019, Indapamide,
https://reference.medscape.com/drug/indapamide-342415​, diakses pada 18
Maret 2019.
Medscape, 2019, Lisinopril,
https://reference.medscape.com/drug/prinivil-zestril-lisinopril-342321​,
diakses pada 18 Maret 2019.
Medscape, 2019, Metformin,
https://reference.medscape.com/drug/glucophage-metformin-342717​,
diakses pada 18 Maret 2019.
Medscape, 2019, Nabumetone,
https://reference.medscape.com/drug/relafen-nabumetone-343295​, diakses
pada 18 Maret 2019.
Menteri Kesehatan RI, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2017
tentang Apotek​, Jakarta.
Menteri Kesehatan RI, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasiaan di Apotek,​ Jakarta.
MIMS, 2019, ​http://www.mims.com/india/drug/info/paracetamol?mtype=generic​,
diakses pada 19 Maret 2019.
Nies,M. A. and Mc Ewen,M. 2001. Community Health Nursing, W. B. Saunders
Company, Philadelphia
Sinusas, K., 2012. Osteoarthritis: Diagnosis and Treatment, ​American Family
Physician​, Volume 85, No. 1
Soelistijo, S., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., 2015.
Konsensus: Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia​, Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), 14-42.

LAMPIRAN
1. Skenario
2. Kartu Kunjungan
3. Informed Consent
4. Patient Medication Record
5. Etiket Obat
6. Perhitungan risiko Cardiovascular Disease

Anda mungkin juga menyukai