Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan nama Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun inflamatif kronik, dengan etiologi yang belum diketahui, manifestasi
klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Sehingga penyakit ini dikenal
dengan “Penyakit seribu wajah”. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang
wanita pada usia reproduktif.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung,
paru, ginjal, SSP dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa, manifestasi
klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 84%, ruam malar 58%, demam 52% sedangkan
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah ruam diskoid 10 %, anemia hemolitik 8%, Lesi
subkutaneus akut 6% dan khorea 2% . ANA positif didapatkan pada 96% dan antibodi anti-dsDNA
78%.
Gejala konstitusional: Gejala yang merupakan manifestasi umum (sistemik) dari penyakit ini yang
tidak termasuk dalam kategori organ tertentu. Yaitu: demam, penurunan berat badan, kelelahan
(fatigue), anoreksia.
1. Manifestasi kutaneus:
a. Fotosensitivitas (sun sensitivity): 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif terhadap sinar ultraviolet
(UV). Reaksinya dapat berupa ruam ringan, demam, arthritis, kelelahan sampai ke ruam yang berat.
c. Ulkus oral: 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya mengenai mukosa bukal dan
langit-langit keras, tetapi kadang-kadang juga di lidah dan langit-langit lunak. Lesinya berbatas tegas,
tepi berwarna keputihan, dan biasanya tidak nyeri.
e. Discoid Lupus
2. Manifestasi kutaneovaskular:
a. Vaskulitis kutaneus: radang pembuluh darah kecil yang terlihat di kulit pada bagian tubuh tertentu
(biasanya di tangan dan kaki). Terlihat sebagai ptekie atau purpura yang dapat diraba, dan sangat
jarang terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.
b. Fenomena raynaud: terjadi karena hiperplasia tunika intima dari arteriol jari-jari disertai
instabilitas vasomotor yang diperantarai syaraf autonom. Hal ini akan menyebabkan timbulnya
vasodilatasi pada keadaan hangat, dan vasokonstriksi pada keadaan dingin, sehingga akan
menimbulkan perubahan warna pada jari, dari merah, pucat sampai kebiruan. Jika berat dapat
menimbulkan ulkus atau gangren pada ujung jari (fingertip).
3. Manifestasi muskuloskeletal:
a. Arthralgia dan arthritis: Arthralgia terjadi pada 80% – 90% SLE. Disini tidak terdapat tanda-tanda
inflamasi obyektif yang dapat ditemukan, pasien hanya mengeluh nyeri saat diam maupun
digerakkan. Pada arthritis mengenai 50% pasien SLE), terdapat tanda lain selain nyeri yaitu bengkak
sendi, kemerahan, sendi teraba hangat, kekakuan pagi hari setelah bangun tidur).
b. Myalgia dan myositis: Mayalgia terjadi pada 70% pasien, sedangkan myositis pada 5-10% pasien.
Pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.
c. Osteopenia dan osteooporosis: Inflamasi kronik karena SLE serta obat-obatan misalnya
kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan osteopenia dan osteoporosis pada pasien
SLE. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena pasien SLE harus menghindari paparan
sinar ultraviolet.
a. Pleurisi: 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri saat inspirasi, dan sekitar 25%
pernah mengalami efusi pleura yang bermakna. Pleuritis dan efusi pleura tidak termasuk organ
threatening disease karena parenkim paru tidak terkena.
b. Lupus pneumonitis akut, Interstitial lung disease ( bersifat kronik, gejala biasanya sesak),
pulmonary hemorrhage, pulmonary emboli, pulmonary hypertension, shrinking lung syndrom.
5. Manifestasi Kardiovaskular
a. Perikarditis: pasien mengeluh dadanya seperti ditekan, dan membaik jika dia agak membungkuk
ke depan. Sekitar 25% diantaranya, terdapat efusi pericardial
c. Hipertensi: terutama terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, juga yang dengan terapi
kortikosteroid.
d. Accelerated atherosclerosis.
6. Manifestasi Renal:
a. Lupus nephritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di ginjal. Pemeriksaan urinalisa
menunjukkan adanya proteinuria, hematuria mikros, adanya silinder. Para ahli sangat menyarankan
untuk dilakukan biopsi ginjal untuk diagnosis standar Lupus nephritis, sehingga terapi lebih terarah.
7. Manifestasi Hematologi:
8. Manifestasi Neuropsikiatrik:
a. Susunan saraf pusat: Psikosis, kejang, aseptik meningitis, stroke, demyelinating disorder,
myelopati, anxiety disorder, mood disorder, cognitive dysfunction, sakit kepala.
b. Susunan saraf tepi: polineuropathy, Guillain Barre’ syndrome, mononeuropathy, cranial
neuropathy, myastenia gravis.
9. Manifestasi gastrointestinal:
Pathogenesis
Kriteria diagnostic
Seseorang dikatakan menderita SLE jika memenuhi 4 dari 11 kriteria SLE menurut American
Reumatism Association (ARA, 1992), yaitu:
4. Sensitive terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar UV A dan B)
5. Bercak discoid
a. Anemia hemolitik
b. Leukosit <4000/mm3
c. Limfosit <1500/mm3
d. Trombosit <100000/mm3
Uji Laboratorium
1. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya
antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA,
juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA diketahui dari
pemeriksaan preparat dibawah sinar UV. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-
tipe gangguan lainnya.
2. antibody terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat
menyebabkan ANA positif, tetapi antibody anti DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE.
3. laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur
peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
4. uji factor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut
mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh
leukosit normal yang masih ada.
5. urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, laukosit, dan eritrosit. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit.
Penatalaksanaan SLE
Meski masih belum dapat disembuhkan, odapus (orang dengan penyakit lupus) tetap bisa
mendapatkan pengobatan agar dapat hidup lebih lama seperti orang yang sehat. Pengibatan
ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang ada. Pengobatan juga perlu didukung perubahan
pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan pengaturan gizi seimbang.
Manifestasi yang terjadi dapat bervariasi untuk tiap pasien sehingga terapi SLE dilakukan secara
individual. Nutrisi, cairan, dan elektrolit yang adekuat merupakan pengobatan suportif yang sangat
dibutuhkan. Berikut Algoritme terapi SLE.
1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da seombang. Hal ini dalakukan untuk
mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE.
2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan dapat
menjadi factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CAD
3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita hamil
dengan antifosfolipid antibody.
4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblok
5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya SLE.
b. Terapi Farmakologi
Strategi terapi SLE adalah dengan menekan system imun dan dapat menghilangkan inflamasi. Terapi
dengan obat bagi pasien meliputi pemberian OAINS, kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan
imun. Pemilihan obat bergantung pada organ-organ yang terkena oleh penyakit ini.
1. OAINS
Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala yang
masih awal merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki insidensi
hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar. Pasien SLE
juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga
penggunaannya perlu dimonitoring.
2. Obat Antimalaria
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-
gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan
remisi. Antimalaria dapat mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia, pleuritis, inflamasi
pericardial, fatigu, dan leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui lebih aman dibandingkan dengan
cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE.
Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui bahwa obat antimalaria menggangu
aktivitas limfosit T. dosis dan durasi penggunaan tergantung dari respon pasien, toleransi terhadap
efek samping, dan potensi terjadinya toksisitas renal yang dapat terjadi pada penggunaan cloroquin
jangka panjang. Dosis yang direkomendasikan adalah 200-400 mg/hari untuk hidroksikloroquin dan
250-500 mg/hari untuk cloroquin.
Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit kepala, insomnia, kegugupan, dll. Selain itu
rash, dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, mutah, dan toksisitas ocular reversible. Karena
kemungkinan adanya retinophati, evaluasi ophtalmologik harus dilakukan diawal terapi, minimal 3
bulan untuk penggunaan cloroquin, dan setiap 6-12 bulan untuk penggunaan hydroxicloroquin. Jika
diketahui terjadi abnormalitas retina maka terapi antimalaria harus dihentikan atau dikurangi
dosisnya.
3. Kortikosteroid
Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang
matang harus dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang
ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis,
dan beberapa penyakit psikiatris.
Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE tetapi apabila
gejala yang terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi (10-20
mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus ditapering dan
dipertahankan pada dosis terendah yang dapat memberikan efek.
Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan gejala nefritis
parah, gejala pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan biasanya adalah
500-1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan 1-1,5 mg/kg/hari
prednison, yang kemudian ditapering sampai dosis terendah yang masih dapat memberikan efek.
4. Obat Sitotoksik
Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun
SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :
2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP, anemia
hemolitik akut.
Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3 mg/kg BB per oral dan 0,5-1,0
g/m² BSA secara intra vena. Efek samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik, komplikasi
kandung kemih, kemandulan, dan efek teratogenesis. Azatioprin dapat jugs digunakan sebagai
kombinasi dengan kortikosteroid, namum belum ada bukti yang memastikan bahwa penggunaan
azatioprin lebih baik dibanding siklofosfamid. Agen sitotoksik baru yang mulai banyak digunakan saat
ini adalah mycofenolat mofenil. Pada beberapa studi secara random menunjukkan mycofenolat
mofenil memberikan efek yang lebih baik dibanding azatioprin dan siklofosfamid.
Penyapihan
Bila keadaan klinis baik dan gambaran laboratorium dalam batas normal maka mulai dilakukan
penyapihan bertahap. Pemeriksaan konversi negatif sel LE dan titer ANA dapat dipakai sebagai
pegangan untuk memulai penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis inisial harus diberikan dalam dosis
terbagi 3-4 kali sehari, setelah itu dapat dipertimbangkan pemberian dosis tunggal pada pagi hari.
Bila terdapat stress (infeksi, trauma, luka, kelelahan, tekanan kejiwaan) pengobatan diberikan dalam
dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh kembali, dosis dinaikkan dengan 25-50%
terapi saat itu dalam dosis terbagi yang dipertahankan dalam beberapa lama sebelum diputuskan
untuk meneruskan penyapihan, atau menaikan dosis kembali.
Patokan penyapihan : 10 mg/hari : turunkan 0,5-1,0 mg setiap 2-4 minggu, 10-20 mg/hari : turunkan
1,0-2,5 mg setiap minggu, 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5,0 mg setiap minggu.
PERENCANAAN KEPERAWATAN
No
Diagnosa keperawatan
Intervensi (NIC)
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau
potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri
Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat
diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
Pain Level
Setelah dilakukan perawatan 3 hari, nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria :
Pain control
Setelah dilakukan perawatan 3 hari pasien: mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :
Comfort level
Setelah dilakukan perawatan pasien menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Pain Management
- Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
lampau
Definisi: gangguan jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi
waktu dalam jumlah dan kualitas.
Batasan karakteristik:
- Ketidakpuasan tidur
Istirahat
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, klien menunjukkan istirahat yang adekuat dengan indikator:
Tidur
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, pada klien menunjukkan tidur yang adekuat dengan
indikator:
Peningkatan Tidur
- Monitor pola tidur dan catat hubungan faktor-faktor fisik (apnea saat tidur, nyeri/
ketidaknyamanan) dan faktor psikologi
- Modifikasi lingkungan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan untuk mengunyah
atau mengabsorbsi nutrisi dikarenakan faktor biologis, psikologi atau ekonomi.
Status nutrisi intake makanan dan cairan, dengan kriteria hasil pasien memiliki:
- Monitor intake makanan dan minuman yang dikonsumsi klien setiap hari.
Infection severity
Indikator:
- Nyeri
- Demam
Risk Control: infection process
Indikator:
Infection control
Aktivitas:
- Membatasi pengunjung
- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas, atau drainage
- Mengedukasi pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi, serta melaporkan kepada
tenaga kesehatan
Aktivitas:
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, JT., et.al, 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Edisi 6th, Mc. GrawHill.
Harrison, et.al., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit-Penyakit Dalam, Edisi 13th, diterjemahkan Asdie
AH., Penerbit buku kedokteran EKG, Jakarta.
Price A. Sylvia, 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6, Penerbit buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Wahono, C.S. 2012. Mengenal Seribu Wajah Lupus. (Online), diakses pada 1 Desember 2014
(http://singgihwahono.lecture.ub.ac.id/2012/04/manifestasi-klinis-lupus-eritematosus-sistemik-les-
dan-diagnosisnya/)
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) fourth edition.
Missouri: Mosby
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC)
fourth edition. Missouri: Mosby
Wiley, J. & Sons. 2009. Nursing Diagnoses definitons and classification 2009-2011. United Kingdom:
Blackwell.