Anda di halaman 1dari 41

Implementasi Manajemen Modul

Berbasis Sekolah di Indonesia 6


PENDAHULUAN
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan model manajemen yang menjadikan
sekolah sekagai pusat pengambilan keputusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
dan menempatkan kepala sekolah sebagai manajer pendidikan untuk memberdayakan
segala potensi sumber daya yang ada di melingkupi sekolah dalam mendukung
kesuksesan sekolah.
Sebagai konsep manajemen, MBS telah mulai disosialisasikan dan diimplemen-
tasikan di sekolah-sekolah rintisan di Indonesia sejak tahun 1999 melalui pemberian dana
hibah (block-grant). Meskipun masih ada sekolah-sekolah dan masyarakat yang ragu
dalam implementasi karena inersia sumber daya di sekolah, secara umum masyarakat
Indonesia telah menerima konsep itu sebagai pembaruan dan mulai mengimplemen-
tasikannya.
Di samping karena masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan (changing
sosieties), implementasi MBS juga membutuhkan perubahan paradigma masyarakat
tentang pentingnya pendidikan dan pengelolaan pendidikan, dari menyerahkan begitu
saja kepada pemerintah menjadi secara bersama-sama „menanggung‟ pendidikan. Di
samping itu, perlu adanya keterbukaan, kesadaran dan kejujuran semua lapisan
penyelenggara pendidikan baik pemerintah, sekolah, masyarakat, maupun orang tua
untuk mengoptimalkan perannya masing-masing dalam „mengangkat‟ pendidikan di
Indonesia dari keterpurukan.
Modul 6 membicarakan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia.
Modul ini dibagi menjadi dua kegiatan belajar. Kegiatan belajar pertama membahas
langkah-langkah yang ditempuh dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah di
Indonesia. Secara lebih spesifik langkah ini diawali dengan: 1) evaluasi diri sekolah
dalam penyelenggaraan sekolah. Suatu langkah yang menuntut keterbukaan, kesadaran
dan kejujuran pengelola sekolah untuk membuka „jatidirinya‟. Langkah ini diikuti
dengan 2) perumusan visi, misi dan tujuan sekolah, 3) perencanaan, 4) pelaksanaan, 5)
evaluasi dan 6) pelaporan. Apabila langkah-langkah ini dapat diikuti sekolah, diharapkan
MBS dapat memperbaiki proses penyelenggaraan pendidikan dan pada akhirnya akan
meningkatkan mutu pendidikan.
Kegiatan belajar kedua membahas ujud konkrit dari implementasi yang telah dan
sedang dilakukan di Indonesia. Pembahasan ini didasarkan pada hasil monotoring dan
studi yang dilakukan menyertai program perintisan implementasi MBS di sekolah dasar,
SLTP maupun SMU di seluruh Indonesia.
Setelah selesai mempelajari Modul 6 tentang implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah ini, diharapkan para mahasiswa dapat menjelaskan dan menganalisis:
 Langkah-langkah Manajemen Berbasis Sekolah
 Pelaksanaan Rintisan Manajemen Berbasis Sekolah

6. 1
Kegiatan Belajar 1

Langkah-langkah
Manajemen Berbasis Sekolah

Setelah membahas MBS sebagai kerangka manajemen sekolah dan model


sekolah efektif serta elemen manajemen mutu terpadu, dengan prinsip-prinsip dasar yang
merangkum ketiganya menjadi landasan MBS, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana
operasionalisasi dari konsep dan prinsip-prinsip tersebut di dalam pengelolaan sekolah.
Bagi sekolah yang ingin menerapkan dasar-dasar MBS tersebut, dari mana harus
memulainya?
Bagi sekolah yang sudah beroperasi, Umaedi (2004) mengajukan paling tidak
ada 6 (enam) langkah pokok yang dapat dilakukan dalam implementasi MBS, yaitu: 1)
evaluasi diri (self assessment); 2) perumusan visi, misi, dan tujuan; 3) perencanaan; 4)
pelaksanaan; 5) evaluasi; dan 6) pelaporan. Masing-masing langkah dapat dijelaskan
lebih rinci pada bagian-bagian berikut.

1. Evaluasi diri (self assessment)


Evaluasi diri merupakan langkah awal bagi sekolah yang ingin, atau akan
melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat
(brainstorming) yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, dan diikutkan
juga anggota komite sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah Kepala Sekolah.
Untuk memancing minat, acara rapat dapat dimulai dengan pertanyaan seperti: perlukah
kita meningkatkan mutu? Seperti apakah mutu sekolah kita pada saat ini? Mengapa
sekolah kita tidak/belum bermutu?
Adapun tujuan dilakukannya kegiatan ini adalah:
a. Mengetahui segala aspek sekolah (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah
dicapai, maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami.
b. Refleksi/mawas diri, untuk membangkitkan kesadaran/keprihatinan akan penting dan
perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk
menigkatkan mutu (sense of quality).
c. Merumuskan titik tolak (point of departure) bagi sekolah dalam mengembangkan diri
terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena sekolah yang sudah berjalan
untuk memperbaiki mutu, mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi
yang dimiliki.
Evaluasi atau penilaian diri (self assessment) dalam buku lain sering disebut
“school review” atau penilaian keadaan sekolah secara menyeluruh sebagai tindakan awal
sebelum melakukan perencanaan pengembangan sekolah. Buku ini cenderung
menggunakan istilah evaluasi diri, karena di dalamnya terdapat nuansa kesadaran dan
pengakuan jujur serta refleksi akan kondisi yang dialami sehingga berkembang
kepedulian bersama akan masalah yang dihadapi sekolah, dan dorongan bersama untuk

6. 2
keluar dari masalah serta keinginan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan. Di dalam
evaluasi diri, secara kolektif ada suasana emosional bersama, apalagi kalau peserta
diskusi membandingkan sekolah lain yang sudah lebih maju. Sementara “school review”
memiliki nuansa yang lebih formal, tanpa menyentuh emosi, dan dapat dilakukan oleh
pihak eksternal di luar sekolah yang bersangkutan, sedangkan self assessment harus
dilakukan oleh warga sekolah sendiri. Kalaupun ada pihak luar, perannya sekedar
memfasilitasi dan membimbing sesuai keperluan sekolah yang bersangkutan.
Kegiatan evaluasi diri, meskipun dilakukan secara bebas dan demokratis yang
diawali dengan “curah pendapat”, akhirnya menghasilkan rumusan tentang profil sekolah
atau pemetaan keadaan sekolah dalam segala aspeknya, mulai dari komponen
ketenagaan, sarana dan prasarana, pendanaan, program-program sekolah dan proses
pembelajaran, prestasi (kinerja) siswa dan guru yang dicapai di dalam pelaksanaan
program dan proses pembelajaran, serta ketertinggalan serta persoalan yang belum atau
tidak teratasi yang dialami oleh sekolah.
Dukungan orang tua siswa/masyarakat dan birokrasi, semangat dan disiplin warga
sekolah pun perlu dievaluasi. Semua komponen dibahas untuk mengetahui sejauh mana
ia memberikan kontribusi, dukungan atau memberi pengaruh terhadap mutu pendidikan
yang dicapai selama ini.
Dari catatan Umaedi (2004) dalam beberapa diskusi sejenis, terutama dikaitkan
dengan mengapa suatu sekolah banyak tertinggal dalam hal mutu, sebagian besar peserta,
baik kepala sekolah, guru, maupun komite sekolah cenderung lebih menyoroti kondisi
fisik, sarana prasarana, pendanaan pendidikan, minimnya gaji, kurikulum yang berubah-
ubah dan terlalu padat, pungutan-pungutan, input siswa dengan nilai rendah dan orang tua
yang tidak mampu, dan seterusnya. Seolah ingin lepas tanggung jawab, semua masalah
yang dihadapi dianggap datangnya/penyebabnya dari luar. Jarang yang mau jujur, dengan
pertanyaan “Apakah saya sudah mengajar dengan sungguh-sungguh dan secara
profesional?”, “Apakah proses pembelajaran sudah dilakukan dengan tepat?”, “Apakah
materi yang disajikan sudah dipilih secara kontekstual dan sesuai dengan anak didik yang
dihadapi, atau sekedar mengikuti buku petunjuk dan apa yang tertulis dalam kurikulum?”
Berbagai lontaran pikiran/kesan yang selalu melihat kelemahan dari luar
dirinya, dicatat saja karena itu tidak salah dan tidak masalah, perlu diidentifikasi sebagai
daftar masalah yang bermanfaat untuk menilai kondisi yang ada. Yang diinginkan adalah
mengidentifikasi juga masalah-masalah di luar yang disebutkan di atas, dengan memulai
juga introspeksi, berani menganalisis kelemahan yang yang sifatnya internal, atau berfikir
bagaimana mencari jalan keluar.
Kalau pertanyaannya dibalik, “apakah kalau kebutuhan sarana prasarana
dipenuhi, insentif dinaikkan, jumlah tenaga tercukupi dan biaya operasional dipenuhi,
maka mutu pendidikan secara otomatis akan meningkat?” Banyak sekolah negeri dengan
modal yang sama (baku) dari pemerintah, “mengapa yang satu dapat terus maju dalam
hal mutu, sementara lainnya terus terpuruk? Mengapa suatu sekolah didukung sekuat-
kuatnya oleh orang tua siswa, sekolah lain tidak? Mengapa di suatu sekolah guru-gurunya
bersemangat, banyak senyum, dan tak banyak berkeluh kesah, sedangkan di sekolah
lainnya terjadi sebaliknya? Mengapa suatu sekolah saat dipimpin oleh Mr. X mutunya
bagus, setelah Mr. X pensiun berangsur mutunya merosot? Dapatkah seorang kepala
sekolah yang berambisi meningkatkan mutu dapat berhasil tanpa dukungan para guru dan
staf lainnya? Atau sebaliknya, dapatkah guru yang cerdas dan inovatif melakukan

6. 3
peningkatan mutu pembelajaran tanpa didukung kepala sekolah, atau teman sejawat
lainnya justru lebih suka rutinitas seperti yang ada? Dapatkah sekolah (kepala sekolah
dan guru serta staf lainnya) yang sudah sepakat menyusun program untuk meningkatkan
mutu dapat berhasil baik, kalau orang tua siswa dan masyarakat (sekarang Komite
Sekolah) menentangnya/tidak mendukung? Dapatkah Komite Sekolah yang menggebu-
gebu ingin meningkatkan mutu dapat berhasil, kalau kepala sekolah dan guru-guru tidak
mendukung/tidak ada semangat, karena merasa diremehkan?
Singkatnya, evaluasi diri yang komprehensif, jujur, dan sungguh-sungguh
sangat penting sebagai langkah awal kalau sekolah berniat untuk meningkatkan mutu.
Evaluasi diri akan membantu sekolah dalam menentukan dari mana sekolah akan
memulai, apa saja masalah yang dihadapi, prioritas-prioritas apa saja yang difokuskan,
dan kemana arah selanjutnya? Karena pentingnya tahapan ini, ada yang melakukannya
dengan pendekatan analisis “SWOT” atau “Strength-weakness-opportunity-threat”.
Kekuatan atau potensi yang dimiliki, kelemahan yang terjadi selama ini, peluang yang
mungkin dapat diraih, serta hambatan atau ancaman yang bakal terjadi (resiko) semua
dianalisis, sehingga memberikan gambaran yang lebih rinci tentang peta atau profil diri
sekolah yang bersangkutan. Dengan demikian, perencanaan program dan skenario
pelaksanaannya dapat dilakukan lebih teliti dan lebih antisipatif (memperhatikan
kemungkinan/keadaan yang akan terjadi di masa depan). Apabila menggunakan analisis
SWOT, maka terdapat faktor “internal” (kekuatan dan kelemahan sebagai esensi
pengenalan diri) dan faktor “external” berupa peluang dan ancaman. Pengenalan kedua
faktor tersebut sangat penting dalam perencanaan strategis dan menghadapi kompetisi
yang ketat.

2. Perumusan Visi, Misi, dan Tujuan


Bagi sekolah yang baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan
merupakan langkah awal yang harus dilakukan, menjelaskan ke mana arah pendidikan
yang ingin dituju oleh para pendiri/penyelenggara pendidikan. Dalam kasus sekolah
swasta hal ini cukup jelas, bahkan terkadang sudah tercantum dalam akte pendirian
(yayasan). Dalam hal sekolah negeri, kepala sekolah bersama guru mewakili pemerintah
pusat atau pemerintah kabupaten/kota sebagai pendiri dan bersama wakil
masyarakat/tokoh masyarakat setempat ataupun orang tua siswa harus merumuskan ke
mana sekolah akan dibawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional
seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Bagi sekolah yang sudah berjalan, perumusan visi, misi, dan tujuan merupakan
langkah lanjutan atau langkah kedua sebagai tindak lanjut dari kegiatan evaluasi diri
terutama bagi sekolah yang belum memiliki rumusan yang jelas. Sekolah yang sudah
memiliki visi, misi, dan tujuan, evaluasi diri memberikan bahan pertimbangan akan perlu
tidaknya dilakukan revisi terhadap visi, misi, dan tujuan yang telah dimiliki.
Berdasarkan gambaran tentang kondisi yang dimiliki oleh sekolah (sebagai hasil
self assessment), ada pertanyaan-pertanyaan yang datang dari sekolah yang bersangkutan
terhadap diri mereka sendiri.
“Apakah kita sudah puas dengan kondisi sekolah kita seperti sekarang ini?”
“Kalau belum/tidak puas, kita ingin sekolah kita seperti apa?” Kalau warga
sekolah sudah merasa puas dengan kondisi yang ada, maka tidak akan ada upaya
peningkatan mutu dan tidak ada komitmen untuk meningkatkan mutu.

6. 4
Kondisi yang diharapkan dan diimpikan dalam jangka panjang itu, kalau
dirumuskan secara singkat dan menyeluruh disebut visi. Keadaan yang diinginkan
tersebut hendaklah ada kaitannya dengan idealisme dan mutu pendidikan. Idealisme di
sini dapat berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keluhuran budi pekerti,
ataupun kualitas pendidikan sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya.
Rumusan visi suatu lembaga bukan hanya menggambarkan mimpi yang
diidamkan, tetapi mengkomunikasikan tujuan akhir (ultimate goal), nilai yang dianut dan
sikap pendirian yang dianut oleh suatu institusi. Rumusan visi hendaknya singkat,
langsung, dan menggambarkan tujuan akhir institusi. Sebuah restoran X, misalnya
merumuskan misi: penyaji makanan sehat, rasa lezat, dan layanan cepat. Untuk bidang
pendidikan dapat berbunyi: “layanan standar pembelajaran terbaik bagi semua siswa”,
atau “prestasi terbaik bagi setiap anak”, “peluang menjadi yang terbaik bagi semua”,
“sukses bagi semua anak”, dan seterusnya.
Contoh lain misalnya “Yayasan Harapan Bangsa” merumuskan visi untuk
sekolah yang diasuhnya sebagai berikut: “Anak sebagai rahmah dan amanah,
dikembangkan menjadi calon khalifah”. Penjelasan dari visi tersebut adalah bahwa
lembaga pendidikan memandang anak sebagai rahmat atau anugerah Tuhan Yang Maha
Esa yang keberadaannya patut disyukuri dan disambut dengan penuh kegembiraan, tetapi
pada saat yang sama ia dianugerahkan sebagai amanah (titipan Yang Maha Esa),
karenanya harus ditumbuhkembangkan dengan baik (melalui pendidikan yang bermutu)
agar sesuai kehendak Yang Maha Esa menjadi calon khalifah (pemimpin, pengelola) di
atas bumi yang diciptakan-Nya dengan penuh kearifan.
Pendidikan, menurut versi ini harus mengembangkan calon-calon pemimpin
dalam berbagai bidang, agar mampu mengelola bumi dan isinya (termasuk manusia),
agar manusia hidup sejahtera. Sehubungan dengan visi tersebut, maka pendidikan akan
menfokuskan pada aspek:
- pengembangan berpikir kritis
- pegembangan kreativitas dan seni
- pengembangan keterampilan sosial dan budi pekerti luhur (akhlak mulia), serta nilai-
nilai spiritual berdasarkan agama
- pengembangan cara hidup sehat, sikap dan kebiasaan mandiri, dan
- pengembangan kepemimpinan yang dilandasi oleh falsafah bangsa.
Aspek-aspek tersebut kemudian dijadikan dasar untuk perumusan visi sekolah
yang bersangkutan.
Setiap lembaga pendidikan dapat merumuskan visi dan misi yang berbeda,
sesuai dengan kondisi dan konteks lembaga tersebut serta kekhususan jenis dan jenjang
yang berbeda.
Perumusan visi dan misi yang dibuat sendiri oleh sekolah akan meningkatkan
kesadaran, komitmen, dan motivasi untuk merealisasikannya, karena mereka merasa
terlibat baik secara intelektual maupun emosional tentang gambaran cita-cita yang
mereka inginkan. Rumusan yang dibuat sendiri oleh sekolah juga lebih realistik, karena
dibuat dalam konteks yang mereka amati dan mereka alami secara konkrit, baik dalam
praktek sehari-hari di sekolah, maupun lingkungan masyarakat di mana mereka terlibat di
dalamnya.

6. 5
Misi, merupakan jabaran dari visi atau merupakan komponen pokok yang harus
direalisasikan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, misi
merupakan tugas-tugas pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi.
Sebagai contoh rumusan visi: “prestasi terbaik bagi setiap siswa”. Dalam visi ini
terkandung asumsi bahwa setiap anak, di samping memiliki kelemahan, ia memiliki
potensi, bakat, dan minat yang masing-masing berbeda dan khas. Tugas pendidikan,
disamping transformasi budaya (sosialisasi nilai), adalah menumbuhkembangkan potensi,
bakat dan minat setiap anak untuk meraih prestasi yang maksimal dalam berbagai bidang
yang berbeda sesuai kekhasan individu yang bersangkutan, sehingga memberi nilai
tambah baginya sebagai insan yang berprestasi. Sekiranya satuan pendidikan ini bernama
“Sekolah Menengah Atas Mutiara Bangsa”, maka untuk mewujudkan visi tersebut, SMA
Mutiara Bangsa dapat merumuskan misinya sebagai berikut:
- Terus mengkaji dan mengenali potensi, bakat, dan minat setiap siswa yang khas dan
menumbuhkembangkan menjadi prestasi unggulan bagi yang bersangkutan.
- Memberikan layanan program baik akademik maupun non-akademik yang bervariasi
melalui kegiatan kurikuler maupun ekstra-kurikuler secara inovatif dan efektif sesuai
kebutuhan tumbuh kembang anak/siswa dan perkembangan iptek.
- Memberikan layanan bimbingan dan program remedial secara profesional sesuai
karakteristik siswa.
- Meningkatkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan secara berkelanjutan
untuk mendukung program keunggulan mutu
- Menjalin kerja sama yang erat dengan orang tua siswa dan mitra institusi lain yang
relevan.
- Menyelenggarakan gelar prestasi siswa secara berkala untuk motivasi dan diketahui
masyarakat luas.
- Mengembangkan dan memelihara budaya (kultur) apresiasi/ komitmen pada mutu
bagi seluruh warga sekolah.
Perumusan misi dapat juga dikelompokkan menurut aspek pengembangan
misalnya, kognitif, afektif dan psikomotorik, atau menurut dimensi-dimensi, seperti:
intelektual, emosional, spiritual, dan vokasional; atau dapat pula dengan pengelompokan
sesuai fungsi-fungsi sekolah seperti: ekonomi dan teknologi, manusia (sosial), politik,
budaya, pendidikan, dan spiritual seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Pendeknya, terserah kepada sekolah, yang penting secara makro tidak bertentangan dan
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, dan secara mikro memenuhi aspirasi warga
sekolah untuk mewujudkan visi yang telah disepakati bersama.
Sallis, dalam “Total Quality Management in Education” (1993, h. 110-111),
memberikan rambu-rambu (butir-butir penting) yang perlu perhatian ketika seseorang
merancang rumusan pernyataan misi dalam bidang pendidikan (satuan pendidikan).
Dalam pandangan Sallis, perumusan misi dalam suatu satuan lembaga pendidikan
hendaknya:
 Mudah diingat,
 Mudah dikomunikasikan,
 Hakekat (tugas pokok) lembaga pendidikan yang bersangkutan harus jelas (SLB, SD,
atau SMK punya karakteristik yang berbeda),
 Mewujudkan komitmen (tekad) untuk meningkatkan mutu,

6. 6
 Menyatakan tujuan-tujuan jangka panjang dari lembaga (satuan pendidikan) yang
bersangkutan,
 Memfokuskan pada kepentingan pelanggan/ pengguna jasa pendidikan (customers),
dalam hal ini anak,
 Dalam rumusan yang fleksibel.
Pernyataan visi dan misi suatu satuan pendidikan yang berbeda antara satu
dengan lainnya pada gilirannya akan merupakan karakteristik masing-masing sesuai
aspirasi, konteks lingkungan dan kondisi lembaga yang bersangkutan. Di bidang lain,
seperti produsen barang juga terjadi demikian. Misalnya di antara produsen sepatu bola,
meskipun produknya sama-sama sepatu bola dan tujuan sesungguhnya sama-sama
mencari untung sebesar-besarnya, di antara mereka memiliki visi dan misi yang berbeda
yang akan memberi warna/corak dalam kualitas produk, metode kerja, dan strategi
memajukan perusahaan masing-masing. Dua sekolah yang keduanya sama-sama
berusaha keras untuk meningkatkan prestasi akademis dan penguasaan bahasa asing,
rumusan visi dan misinya dapat berbeda, dan masing-masing memiliki alasan sendiri-
sendiri.
Di dalam rumusan misi terkadang sudah terkandung nilai-nilai yang dianut
(dipegang) oleh suatu organisasi/lembaga atau terkadang nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dalam satuan organisasi dirumuskan secara terpisah. Di antara nilai-nilai yang dianut
misalnya:
- keberhasilan siswa adalah hasil kerja team, karena itu kita mengutamakan “team
work” (kerja tim).
- kepentingan peserta didik merupakan prioritas utama
- kita sepakat untuk meningkatkan mutu pembelajaran secara berkelanjutan
- lembaga sangat menghargai prestasi individu dan prestasi kerja kelompok/kolektif.
- Dan seterusnya, tetapi sangat selektif (tidak terlalu banyak) sehingga susah
mengingatnya.
Visi dan misi serta nilai-nilai yang dianut oleh suatu organisasi (seperti satuan
pendidikan) merupakan pengikat dan sekaligus tekad serta komitmen bersama yang
mengarahkan perilaku semua personil yang terlibat di dalam pelaksanaan managemen
organisasi yang berangkutan, sehingga di dalam operasional sekolah nilai-nilai pribadi
tunduk kepada nilai koleketif yang disepakati atau nilai kolektif (bersama) mengalahkan
nilai individual.
Perumusan tujuan adalah satu rangkaian penting dalam langkah strategi
manajemen mutu pendidikan sesudah visi dan misi. Tujuan jangka panjang dalam hal ini
telah terumuskan di dalam visi dan misi. Di Indonesia dulu dikenal tujuan pembangunan
jangka panjang dengan kurun waktu antara 25-30 tahun untuk mencapainya. Tujuan
jangka panjang ini dalam wujud yang lebih kongkrit dan operasional, dipenggal menjadi
beberapa tahap tujuan jangka menengah misalnya 3-5 tahun, dan jangka pendek yang
dapat dicapai dalam waktu satu tahun ke depan.
Untuk mewujudkan visi dan misi tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat
misalnya 1 tahun meskipun semua kebutuhan finansial dipenuhi dan instrumen
pendukungnya juga dicukupi. Justru memenuhi sarana prasarana pendukung dan
perangkat lunaknya (berbagai rancangan program, desain dan panduan teknis dan materi)
juga memerlukan waktu yang tidak sedikit, lebih-lebih kondisi yang berkaitan dengan
budaya/kultur mutu perlu waktu untuk mengubah dengan pembiasaan yang cukup lama.

6. 7
Dengan demikian fokus rumusan tujuan sesudah rumusan misi adalah tujuan
jangka menengah (antara 3-5 tahun), terserah sekolah apakah akan merumuskan 3 tahun
yang akan datang atau 5 tahun yang akan datang. Apa yang harus (akan) dicapai 3 tahun
yang akan datang atau 5 tahun yang akan datang perlu dipertegas dalam suatu rumusan
yang jelas dan dapat diukur. Disamping kemampuan merealisasi berkaitan dengan waktu,
juga berkaitan dengan lingkup capaian misi baik secara kuantitatif maupun kwalitatif
tidak dapat dicapai sekaligus. Artinya, untuk kurun waktu tertentu mungkin baru
sebagian dari misi yang dapat dicapai.
Kalau visi dan misi SMU Mutiara Bangsa diambil sebagai contoh, maka tujuan
yang dirumuskan untuk tahun 2008 misalnya sebagai berikut:
1. Pada tahun 2008, rata-rata prestasi siswa SMU Mutiara Bangsa masuk dalam
peringkat “tiga-terbaik” tingkat kabupaten dalam prestasi hasil UAN untuk bidang
studi/mata pelajar yang soalnya dibuat oleh pusat.
2. Pada tahun 2008, minimal menjadi salah satu finalis lomba tingkat provinsi dalam
program ekstrakurikuler.
3. Pada tahun 2008, menjadi SMU yang paling bersih dan bebas kenakalan siswa untuk
tingkat kabupaten.
4. Pada tahun 2008, menjadi sekolah yang paling peduli lingkungan baik fisik maupun
sosial.
5. Pada tahun 2008 program ketrampilan “ Z ” sebagai andalan, produknya sudah dapat
dipasarkan ke luar kabupaten.
6. Dan seterusnya sesuai perkiraan kemampuan merealisasikannya.
Jadi, tujuan dalam paparan di atas merupakan tahapan antara, atau tonggak-
tonggak penting antara titik berangkat (kondisi awal) dan titik tiba pada tujuan akhir yang
rumusannya tertuang dalam bentuk visi-misi. Tujuan-tujuan antara ini sebagai tujuan
jangka menengah kalau tiba saatnya berakhir (tahun yang ditetapkan) akan disusul
dengan tujuan berikutnya, sedangkan visi dan misi (relatif/pada umumnya) masih tetap.
Tujuan (jangka menengah), dipenggal-penggal menjadi tujuan tahunan yang
biasa disebut target/sasaran, dalam formulasi yang jelas baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Tujuan-tujuan jangka pendek (1 tahun) inilah yang rincian persiapannya
dalam bentuk perencanaan.

3. Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk
menjawab apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk mewujudkan
tujuan (tujuan-tujuan) yang telah ditetapkan/disepakati pada sekolah yang bersangkutan,
termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan.
Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dulu tentang kegiatan
yang harus dilakukan, prosedurnya serta metoda pelaksanaannya untuk mencapai sesuatu
tujuan organisasi atau satuan organisasi.
Perencanaan oleh sekolah merupakan persiapan yang teliti tentang kegiatan
yang akan dilakukan dan skenario melaksanakannya untuk mencapai tujuan yang
diharapkan, dalam bentuk tertulis. Dikatakan teliti karena ia harus menjelaskan apa yang
akan dilakukan, seberapa besar lingkup-cakupan kuantitatif dan kualitatif yang akan
dikerjakan, bagaimana, kapan dan berapa perkiraan biayanya, serta hasil yang
diharapkan.

6. 8
Perencanaan yang rinci, lengkap dengan perhitungan anggarannya dibuat untuk
satu tahun dan setiap tahun, biasa disebut RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah). Rencana tahunan mempunyai target/sasaran yang jelas baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, sebagai bagian dari tujuan jangka menengah 3-5 tahunan.
Berkait dengan tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2008 (sebagai contoh,
SMU Mutiara Bangsa), kalau tujuan pertamanya adalah: pada tahun 2008 harus mencapai
peringkat “tiga-terbaik” dalam hasil UAN yang soalnya dibuat oleh pemerintah pusat,
maka perencanaan harus menyebutkan apa yang harus dicapai sekolah pada tahun 2005,
2006, dan seterusnya. Demikian pula tujuan ke-2, ke-3, dan tujuan lainnya.
Dalam menyusun rencana tahunan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Mempertimbangkan prioritas, artinya sesuatu yang mendesak harus segera
dilakukan, karena kalau tidak dikerjakan terlebih dahulu akan mengganggu proses
belajar, khususnya program peningkatan mutu.
b. Mempertimbangkan kondisi awal yang telah dirumuskan melalui langkah
“evaluasi diri” untuk menentukan prioritas yang akan ditetapkan dan sebagai titik
berangkat.
c. Perencanaan sekolah (RAPBS) tahunan harus ada kaitannya dengan kemajuan
mutu yang ingin dicapai pada tahun yang bersangkutan.
d. Penyusunan buram (draf) rencana tahunan sekolah dibuat bersama staf pengajar
dan staf lainnya. Masing-masing guru atau kelompok guru mata pelajaran dan
tenaga kependidikan menyampaikan usulan yang ada hubungannya dengan
peningkatan atau perbaikan mutu.
e. Mempertimbangkan konteks lingkungan dan aspirasi masyarakat, terutama orang
tua siswa.
f. Finalisasi (pembahasan akhir) harus melibatkan Komite Sekolah untuk mem-
peroleh dukungan. Pada satuan pendidikan tingkat SMP/MTs dan SMU/SMK/
MA, wakil siswa perlu dilibatkan agar ada komitmen bersama dalam pelaksanaan
program untuk peningkatan mutu.

Untuk memberikan gambaran keterkaitan antara visi, misi, tujuan, dan


perencanaan, dapat ditelusuri dari ilustrasi berikut. Misalkan kita ingin mengunjungi
suatu “pulau idaman”, jaraknya sangat jauh (visi = gambaran pulau idaman). Untuk
mencapai ke pulau idaman itu secara bersama-sama harus ada semangat, tekad
(komitmen bersama), mengingat jarak, tantangan yang dihadapi, dan kitapun belum
pernah ke sana. Berdasarkan kesepakatan, kita harus melakukan perjalanan menuju
pulau idaman (misi). Misi perjalanan ini harus diperjelas menjadi: a) menyiapkan kapal
yang kuat, cepat, aman, dan cocok dengan kondisi yang akan dihadapi; b) menyiapkan
awak kapal yang mampu bertugas di kapal tersebut beserta nakhodanya (awak dan
nakodanya dapat dari kita sendiri); c) menetapkan route perjalanan yang efisien dan
efektif dan jenis perbekalan yang pokok/esensial. Setelah itu, tetapkan pelabuhan-
pelabuhan antara (tujuan jangka menengah) mengingat jarak yang begitu jauh. Kemudian
tetapkan pelabuhan-pelabuhan lebih kecil yang akan disinggahi dan rincikan
persiapannya (rencana tahunan).
Gambaran yang sama diumpamakan kita ingin membangun “istana idaman” (ada
bentuk bangunan ideal). Untuk membangunnya memerlukan waktu yang lama, dan ada

6. 9
tahap-tahap urutan, serta skala prioritasnya, mana yang didahulukan, apakah atap,
dinding, tiang, fondasinya, atau pintu gerbangnya?
Pemahaman atas “pulau idaman” yang akan didatangi, dan route pelayaran serta
pelabuhan-pelabuhan yang akan disinggahi sangat penting, sebab kalau tidak maka kita
akan berlayar tanpa arah, mungkin hanya berputar-putar, atau makin jauh, dan hanya
mengikuti arah kemana angin bertiup. Hal seperti ini banyak terjadi pada sebagian
sekolah di Indonesia yang seolah-olah banyak melakukan program dan kegiatan dengan
dalih “dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan”, tetapi kenyataannya hasilnya
seperti berjalan di tempat. Sekolah yang tampaknya banyak mempunyai aktivitas,
dinamis, dan semarak tetapi tidak jelas tingkat kompetensi yang akan dicapai. Fenomena
ini oleh Umaedi (2004) biasa disebut dengan sekolah yang menerapkan “manajemen
poco-poco”, yaitu manajemen yang tampak aktif dinamis maju-mundur, ke kiri dan ke
kanan, semua senang tetapi tetap di tempat dan tidak ada kemajuan.
Begitu pentingnya perencanaan dalam mencapai tujuan, Umaedi (2004) berani
mengatakan bahwa perencanaan yang baik merupakan 50 % keberhasilan. Perlu dingat
disini bahwa sasaran tahunan sebagai dasar perencanaan adalah rumusan sasaran mutu
yang diharapkan akan dicapai pada kurun waktu satu tahun ke depan dengan fokus
layanan (program) dan hasilnya terhadap siswa. Program-program dan kegiatan
pendukung yang berkaitan dengan pengadaan dan pembinaan ketenagaan, sarana
pendidikan, penciptaan lingkungan, dan pendanaan harus diupayakan sedapat mungkin
ada kaitannya dengan sasaran mutu yang akan dicapai bagi siswa pada tahun yang
bersangkutan.

4. Pelaksanaan
Apabila bertitik tolak dari fungsi-fungsi manajemen yang lebih umum dikenal
dengan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/penggerakan atau
kepemimpinan dan kontrol/pengawasan serta evaluasi, maka langkah pertama sampai
dengan ketiga dapat digabungkan ke dalam fungsi perencanaan. Didalam pelaksanaan,
sebenarnya juga masih ada kegiatan perencanaan yang lebih mikro (kecil) baik yang
berkait dengan penggalan waktu (bulanan, semesteran, bahkan mingguan), atau yang
berkait erat dengan kegiatan khusus, misalnya menghadapi lomba bidang studi, atau
kegiatan lainnya.
Tahap pelaksanaan, pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi
manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan lembaga yang telah di tetapkan
melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada, dapat berjalan
sebagaimana mestinya (efektif dan efisien). Pelaksanaan juga dapat diartikan sebagai
suatu proses kegiatan merealisasikan kegiatan yang telah direncanakan.
Di dalam proses merealisasikan kegiatan yang telah direncanakan setidak-
tidaknya ada tiga pihak yang memiliki peran masing-masing yang sangat penting untuk
keberhasilan program sekolah yang telah direncanakan. Ketiga pihak tersebut adalah
kepala sekolah, guru dan staf sekolah lainnya, serta orang tua/masyarakat yang
direpresentasikan sebagai Komite Sekolah.

a. Peran Kepala Sekolah


Dengan kedudukan sebagai manajer, Kepala Sekolah bertanggungjawab atas
terlaksananya fungsi-fungsi manajemen. Sebagai perencana, Kepala Sekolah

6. 10
mengidentifikasi dan merumuskan hasil kerja yang ingin dicapai oleh sekolah dan
mengidentifikasi serta merumuskan cara-cara (metoda) untuk mencapai hasil yang
diharapkan. Peran dalam fungsi ini mencakup: penetapan tujuan dan standar, penentuan
aturan dan prosedur kerja di sekolah, pembuatan rencana, dan peramalan (prediksi) apa
yang akan terjadi/diharapkan untuk masa yang akan datang.
Dalam fungsi pengorganisasian, peran Kepala Sekolah mencakup pemberian dan
pembagian tugas dan wewenang kepada masing-masing staf, menetapkan jalur
komunikasi, mekanisme kerja, melengkapi masing-masing staf dengan sarana/alat dan
sumber daya lain dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas staf, untuk mewujudkan
rencana yang dibuat sekolah.
Dalam fungsi ini, termasuk kemungkinan inisiatif membentuk satuan tugas atau
kelompok kerja untuk menangani masalah-masalah khusus baik yang bersifat sementara
maupun yang berjangka panjang apabila di dalam struktur resmi (formal) belum
terwadahi atau tidak teratasi, termasuk pelibatan sumber daya manusia dari luar sekolah
(masyarakat, instansi lain). Contoh masalah atau program khusus diantaranya adalah
kelompok kerja yang menghadapi ujian nasional, lomba bidang studi, ataupun program
sekolah yang dianggap berdampak luas seperti gelar prestasi, "open house", dan
perhelatan-perhelatan penting lainnya baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra-
kurikuler. Untuk setiap kelompok kerja atau panitia dapat ditunjuk penanggungjawab
kegiatan dan anggota yang berbeda.
Karena fungsi Kepala Sekolah sebagai manajer harus terlibat dan melibatkan
orang lain, maka fungsi pemimpinan (leading) menjadi penting. Pentingnya fungsi
pemimpinan ini bahkan membuat sebagian pakar berpendapat bahwa pemimpinan atau
kepemimpinan (leadership) terpisah dari fungsi manajemen. Covey dalam "Three Roles
of the Leader in the New Paradigm" - the leader of the future (Nesselbein dkk.ed., 1996)
mengatakan bahwa "leadership" (kepemimpinan) memfokuskan pada melakukan sesuatu
yang benar (doing the right things), sedangkan manajer lebih memfokuskan pada
melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right). Pemimpin menerapakan nilai-
nilai yang mendasari suatu aktivitas, sedangkan manajer mengejar efisiensi.
Dalam bahasan tentang ciri-ciri sekolah efektif, salah satunya adalah
"kepemimpinan yang kuat" (strong leadership), yaitu kepemimpinan yang mampu
mengarahkan, menggerakkan, mempengaruhi dan memotivasi staf yang dipimpinnya,
sehingga para pengikutnya dengan sadar dan suka rela, bahkan dengan senang hati
bersedia baik secara individual maupun secara kelompok (team) melakukan tugas-tugas
organisasi tanpa harus dipaksa atau ditakut-takuti. Kekuatan tersebut dimiliki oleh
seorang pemimpin, bukan semata-mata karena ia diberi kewenangan untuk mengambil
keputusan, mengawasi bawahan, serta kewenangan untuk memberikan penghargaan dan
sanksi, tetapi karena ia memiliki karakter terpuji (integritas) dan kompetensi dan
menerapkan keduanya sehingga menjadi model (panutan). Karakter (integritas),
menunjukkan siapa anda sebagai pribadi (individu). Seorang dianggap memiliki integritas
karena ia mengintegrasikan (memadukan) kedalam dirinya nilai-nilai (values) dasar atau
prinsip seperti keadilan, persamaan, kejujuran, kepercayaan (amanah), dan nilai spiritual.
Di dalam pelaksanaan program sekolah, Kepala Sekolah sebagai pemimpin
mempunyai dua peran penting. Pertama, peran yang berorientasi pada manusia atau
"people oriented" (kepentingan anggota organisasi secara keseluruhan) yang berkaitan
dengan peningkatan kepuasan kerja, motivasi, semangat, solidaritas, rasa aman, dan

6. 11
peningkatan profesionalisme (pemberdayaan) dan sebagainya, bertujuan untuk menjamin
stabilitas organisasi (satuan kerja, dalam hal ini sekolah). Kedua, peran kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas atau "task oriented" (upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan melalui berbagai metode, teknik dan alat serta sarana pendukung), dengan
tujuan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan untuk mejamin adanya "progres"
atau kemajuan yang lebih baik dari organisasi. Antara stabilitas dan progres harus selalu
dijaga keseimbangannya untuk mencapai peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Stabilitas tanpa progres, akan membuat organisasi mandeg dan tidak mampu bersaing.
Sebaliknya progres tanpa stabilitas akan menimbulkan ketidak-puasan berbagai pihak
dan berakibat sewaktu-waktu dapat timbul masalah hubungan kerja, dan kelangsungan
progres itu sendiri menjadi tidak terjamin. Sementara itu di dalam mengukur kemajuan
(progres) sejauh menyangkut kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya, maka
standar kompetensi yang ada digunakan sebagai titik acuan (bench-mark) pencapaian
prestasi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa peran Kepala Sekolah sebagai
pengelola/manajer satuan pendidikan adalah peran pengelolaan organisasi dan sumber
daya yang ada guna mencapai tujuan organisasi dan mencakup peran sebagai
perencana, yang meliputi penyusunan rencana dan penetapan strategi pelaksanaan serta
mengefektifkan perencanaan; peran pengorganisasian, yang meliputi pembidangan
tugas dan pembagian tanggungjawab serta pengelolaan personil dan sumber daya
pendidikan; peran sebagai pemimpin, yang meliputi pengambilan keputusan dan
penjalin komunikasi; dan peran pengendalian dan evaluasi, yang meliputi pemantauan,
pengendalian kegiatan operasional dan evaluasi proses serta hasil kegiatan operasional.
Proses di dalam melaksanakan peran tersebut, sejauh mungkin melibatkan staf, orang tua
(Komite Sekolah) dan dalam kasus tertentu siswa (terutama pada jenjang pendidikan
menengah) sesuai dengan elemen pokok MBS yang telah di bahas sebelumnya.

b. Peran Guru dan Staf Sekolah


Peran guru (staf pengajar) sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peran kepala
sekolah, hanya lingkupnya yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih kecil (mikro) yaitu
mengelola proses pembelajaran sesuai kelompok belajar atau bidang studi yang
dipegangnya, setiap guru memahami visi dan misi sekolah, merencanakan proses
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, menerapkan kepemimpinan yang
demokratis dan memberdayakan siswa dengan mengambil keputusan sesuai kewenangan
yang ia miliki dan menjalin hubungan (komunikasi) yang baik dengan guru lain, dengan
siswa, dengan kepala sekolah dan orang tua. Guru juga memonitor kemajuan siswa, serta
melakukan evaluasi perkembangan setiap anak sebagai masukan bagi perbaikan
pelaksanaan proses pembelajaran secara terus-menerus. Guru juga memberi penghargaan
bagi siswa yang menunjukkan kemajuan dalam belajar (berprestasi) serta memberikan
semangat/dorongan (motivasi) serta membantu siswa yang prestasinya kurang/belum
memuaskan.
Salah satu ciri sekolah efektif, seperti telah dibicarakan sebelumnya, adalah
penggunaan hasil evaluasi (baik formatif, maupun sumatif) untuk perbaikan proses
pembelajaran siswa. Di sinilah peran penting guru di dalam peningkatan mutu secara
berkelanjutan.

6. 12
Peran guru sebagai pemimpin sering tidak terbatas pada tugas formal pemegang
mata pelajaran atau penanggungjawab kelas. Seringkali ia diberi tugas penanggungjawab
program tertentu, misalnya "Sukses Ujian Nasional", tim pembinaan "Karya Ilmiah
Siswa", "open-house" sekolah, koordinator "guru bidang studi" dan seterusnya.
Kesemua itu merupakan pembinaan kepemimpinan, dan acuan kepemimpinan yang telah
di bicarakan sebelumya (kepemimpinan berdasarkan prinsip) perlu dia terapkan.
Berkaitan dengan peran guru sebagai manajer (pengelola) proses pembelajaran
sesuai bidang tugasnya, ia adalah profesional mandiri yang bekerja didalam sebuah team
(satuan organisasi yang disebut sekolah), sebagai profesional ia harus mampu bekerja
mandiri dan mengambil keputusan sendiri dalam lingkup tugas yang diberikan
kepadanya. Untuk itu ia perlu memiliki kepercayaan diri (percaya diri) yang kuat.
Sementara itu kepercayaan diri baru dapat dimiliki kalau ia memiliki kompetensi sesuai
tuntutan profesi, sedangkan kompetensi yang diperlukan oleh profesi terus meningkat dan
berubah sesuai tuntutan masyarakat dan lingkungan. Hal ini menyadarkan semua guru,
bahwa mereka perlu terus-menerus belajar untuk dapat mempertahankan kompetensi
dirinya sebagai profesional. Kesadaran akan perlunya belajar terus bagi guru, pada
gilirannya akan berdampak pada peningkatan mutu secara berkelanjutan bagi sekolah.
Sebagai profesional, guru memiliki kewenangan untuk merumuskan kompetensi
siswa dalam bidang studi yang dikelola oleh guru yang bersangkutan (sesuai standar
nasional yang ditetapkan), merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran serta
mengevaluasi proses pembelajaran dan hasil belajar siswa, dengan pendekatan, metoda
dan teknik yang mereka pilih dan mereka kuasai. Namun, sejalan dengan semangat SBM
dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) disarankan agar guru menerapkan pendekatan
pembelajaran kontekstual atau "Contextual-Learning" (CTL), untuk meningkatkan proses
belajar yang lebih bermakna, sehingga tercapai kompetensi yang sebenarnya (nyata).
Pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
konteks (hubungan) antara materi dan kegiatan dengan pengetahuan dan pengalaman
yang telah dimiliki siswa, praktek dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungan serta
aplikasi dengan bidang-bidang lain, dan penilaiannya dilakukan secara otentik terhadap
apa-apa yang secara nyata dapat dilakukan atau direspon oleh siswa sehingga
kompetensi siswa dapat teruji dengan baik. Proses pembelajaran seperti ini akan lebih
bermakna bagi siswa karena lebih dihayati oleh mereka sehingga tidak mudah hilang
(seperti proses penghafalan yang tanpa makna dan abstrak).
Peran guru sebagai profesional yang bekerja dalam team (team-work sekolah),
bukan hanya menuntut kemampuan (keterampilan sosial) setiap guru untuk bekerja
dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, tetapi juga menuntut tanggungjawab
apa kontribusi (sumbangan) setiap guru dalam upaya bersama meningkatkan mutu
pendidikan secara berkelanjutan. Kesadaran dan kemauan untuk bekerja sama, dan
berupaya memberikan kontribusi sebaik mungkin untuk merealisasikan misi sekolah
menjadi kunci keberhasilan (peningkatan mutu), mengingat sukses yang dicapai oleh
sekolah adalah suksesnya pekerjaan team, suksesnya usaha bersama, suksesnya
sinergi, suksesnya saling membantu dan suksesnya kontribusi semua pihak yang terlibat
(sukses kolektif), bukan suksesnya perseorangan.
Peran lain yang dimiliki guru dalam organisasi sekolah adalah peran pemberi
saran atau masukan sebagai perofesional, dia harus berani menyampaikan saran atau
pendapat untuk perbaikan upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk saran dalam

6. 13
rangka pengelolaan sekolah secara efektif dan efisien. Hanya harus diingat, pengambil
keputusan tertinggi pada lingkup sekolah adalah kepala sekolah. Guru juga merupakan
pengambil keputusan, hanya lingkupnya pada bidang tugas yang dipercayakan
kepadanya. Secara singkat peran guru sebagai kontributor upaya kolektif peningkatan
mutu memerlukan integritas pribadi (yaitu orang yang mengintegrasikan ke dalam dirinya
nilai-nilai/prinsip) dan kompetensi (faham tentang apa yang harus dilakukan sebagai
pendidik profesional), dan kombinasi keduanya di dalam praktek akan membuat ia
sebagai teladan (idola) bagi anak didiknya.
Di samping guru (termasuk guru BP), terdapat staf pendukung/penunjang di
dalam pengelolaan sekolah, seperti pustakawan, penanggungjawab bengkel, berbagai lab,
serta staf tata usaha sekolah dan pemelihara/penjaga sekolah. Peran seluruh staf sekolah
tidak peduli apa jabatannya adalah penting, karena masing-masing adalah pengambil
keputusan dalam pelaksanaan tugas masing-masing dan memberikan kontribusi untuk
keberhasilan organisasi (sekolah).
Menyadari hal tersebut, maka jajaran manajemen sekolah bukan hanya harus
bersikap dan memiliki persepsi bahwa setiap anggota (staf) dalam organisasi adalah
punya peran penting, tetapi lebih dari itu harus selalu diupayakan agar visi dan misi
sekolah tersosialisai dengan baik dan difahami oleh seluruh anggota, sehingga visi, misi
dan nilai-nilai yang dikembangkan menjadi visi, misi dan nilai setiap anggota.

c. Peran Orang Tua Siswa dan Masyarakat


Peran orang tua siswa (rumah) dan masyarakat (lingkungan) sudah lama dikenal
sebagai pusat-pusat pendidikan yang penting di dalam mengembangkan anak (menjadi
pribadi mandiri dengan segala keterampilan hidupnya) bersama-sama dengan sekolah
sebagai institusi formal yang secara terencana, terstruktur, dan teratur melaksanakan
fungsi pendidikan. Hal ini mudah difahami mengingat keberadaan anak di sekolah setiap
hari hanya berkisar antara 10 - 15 % saja (TK/RA: 2 1/2 jam per-hari sekolah; SD/M
kelas I, II 27 jam per-minggu @ 35 menit; Kelas III - VI: 31 jam per-minggu @ 40
menit; SMP/MTs: 35 jam per-minggu @ 45 menit; SMU: 38 jam per-minggu @ 45
menit), ditambah hari-hari libur yang hampir sepenuhnya digunakan di luar sekolah.
Di dalam memandang kesiapan (anak) untuk bersekolah, secara formal pada
umumnya orang meganggap bahwa pendidikan pada tingkat usia dini (kelompok bermain
dan taman kanak-kanak) merupakan lembaga yang mengembangkan kesiapan untuk
bersekolah (school-rediness). Hal ini tidak keliru, akan tetapi mengingat waktu
(kesempatan) yang dimiliki lembaga pendidikan formal yang terbatas, maka keluarga
sesungguhnya mempunyai peluang lebih besar untuk selalu membina kesiapan belajar
bagi anak. Kondisi keluarga yang memiliki komitmen tinggi untuk membangun dan
menciptakan suasana yang mendukung proses pendidikan dan pembelajaran anak, sangat
menguntungkan bagi kesiapan anak untuk melakukan tugas-tugas pembelajaran. Tidak
mengherankan kalau keluarga yang menghargai nilai belajar (ilmu), berupaya mengecek
kemajuan anaknya, mengatur acara televisi yang sesuai, mengintensifkan komunikasi
saat makan malam bersama anak, serta gemar membelikan buku-buku yang bermanfaat,
akan mempunyai peluang lebih besar dalam pengembangan kemajuan anak dan sangat
berpengaruh pada prestasi anak di sekolah.
Sementara itu masyarakat sebagai wadah interaksi sosial bagi individu dan juga
kelompok, dengan aneka ragam kepentingan, perannya bagi pendidikan semakin tidak

6. 14
jelas dan kurang terarah, bahkan sebagian cenderung merugikan, apalagi bagi masyarakat
yang tatanan sosialnya belum mantap (sedang mencari bentuk). Hal ini berakibat sulitnya
menangkap aspirasi dan keinginan masyarakat bagi pendidikan anak-anak mereka
terutama yang menjangkau masa depan. Di luar institusi keagamaan (masjid, gereja, pura
dan lain-lain) institusi sosial yang ada kurang efektif mendukung program sekolah.
Pramuka dan Karang Taruna sebenarnya dapat berperan saling mendukung dengan
sekolah. Namun keduannya, terutama di kota-kota besar kurang menarik minat anak-
anak, karena aktivitasnya yang mungkin kurang kreatif dan terkesan terlalu diatur oleh
pemerintah (dari atas). Padahal, justru di kota-kota besar inilah masalah-masalah
pendidikan sering merupakan refleksi dari masalah yang ada di masyarakat.
Bagaimanapun, pentingnya peran keluarga dan masyarakat di dalam proses
pendidikan sangat diakui dan pengakuan tersebut terus berkembang dari waktu ke waktu
dan mewarnai hubungan antara sekolah, keluarga dan masyarakat.
Pada tahap diberlakukannya MBS (lihat UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003,
pasal 56 dan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002) hubungan antara keluarga, sekolah dan
masyarakat dituntut untuk lebih adil, seimbang dan bersifat kemitraan. Mereka secara
bersama-sama memikirkan dan mengkritisi proses dan hasil pendidikan sebagai upaya
bersama pengembangan anak didik. Sesuai UU Sisdiknas tersebut, bentuk hubungan
keluarga, masyarakat dan sekolah diwujudkan dalam wadah atau lembaga yang
dinamakan "Komite Sekolah".
Komite sekolah, merupakan lembaga mandiri dengan peran secara umum
mendukung peningkatan mutu pelayaan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan (lihat pasal 56, ayat (3) UU Sisdiknas 2003).
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, mempertegas peran Komite Sekolah, dalam 4
hal: yaitu sebagai lembaga pemberi nasehat/saran pertimbangan, sebagai pemberi
dukungan (support), sebagai lembaga pengawasan, dan sebagai lembaga mediasi (yang
mengusahakan hubungan yang baik antara sekolah dan berbagai institusi).
Nampak jelas bahwa peran orang tua dan masyarakat (kolektif) secara umum
adalah memberikan dukungan dalam berbagai hal. Hanya kalau sebelumnya dukungan
titik beratnya pada masalah pendanaan, sekarang dukungan tersebut meliputi aspek yang
lebih luas termasuk pemikiran-pemikiran dan harapan masyarakat terhadap proses dan
hasil pendidikan.

d. Peran Siswa/Murid
Siswa atau murid merupakan subjek utama dan konsumen utama (prime-
beneficiary) dari segala upaya yang dilaksanakan oleh penyelenggara satuan pendidikan
bersama manajemen yang terlibat di dalamnya. Dalam posisinya yang menjadi subjek
tujuan pendidikan itu, maka keinginan dan harapan mereka, motivasi mereka, serta
komitmen keterlibatan mereka menjadi penting. Salah satu cara untuk mengakomodasi
kepentingan mereka adalah dengan mendengarkan suara mereka. Oleh karena itu siswa,
terutama pada jenjang menengah dapat dan seyogyanya dilibatkan dalam pengambilan
keputusan yang akan berakibat pada keterlibatan mereka dalam pelaksanaan. Keterlibatan
mereka mungkin hanya dalam hal-hal tertentu, wakil mereka diikut sertakan baik sebagai
pendengar atau sebagai pemberi masukan untuk program pengayaan, program
ektrakurikuler, program kesiswaan, atau program pelaksanaan tata-tertib dan tata krama

6. 15
hidup di sekolah. Peran mereka sebagai mediator dan komunikator antar sesama siswa
dengan kebijakan sekolah atau madrasah akan memperkuat sosialisasi dan komitmen
mereka untuk melaksanakan program-program sekolah. Peran siswa dalam hal tertentu
dapat di perluas termasuk peran para alumni sekolah yang bersangkutan.
Adalah peran kepala sekolah untuk mensinergikan peran berbagai pihak di dalam
pelaksanaan program sekolah untuk mencapai hasil yang efektif. Pemahaman akan peran
berbagai pihak tersebut sangat penting agar makna MBS yang menekankan pengambilan
keputusan pada level sekolah secara kolektif dan partisipatif tidak di salah artikan.

5. Evaluasi
Evaluasi sebagai salah satu tahapan dalam MBS merupakan kegiatan yang
penting untuk mengetahui kemajuan atau hasil yang dicapai sekolah dalam melaksanakan
fungsinya sesuai rencana yang telah dibuat oleh masing-masing sekolah. Evaluasi pada
tahap ini adalah evaluasi menyeluruh, menyangkut pengelolaan semua bidang dalam
satuan pendidikan, yaitu bidang teknis edukatif (pelaksanaan kurikulum/proses
pembelajaran dengan segala aspeknya), bidang ketenagaan, bidang keuangan, bidang
sarana prasarana, dan administrasi ketatalaksanaan sekolah. Sungguhpun demikian,
bidang teknis edukatif harus menjadi sorotan utama dengan fokus pada pencapaian hasil
(prestasi belajar siswa).
Evaluasi menyeluruh yang dilakukan oleh manajemen dapat dilakukan dengan
mengumpulkan hasil-hasil evaluasi khusus seperti hasil UAN, hasil ulangan umum,
berbagai hasil lomba, dan kinerja siswa lain-lainnya yang dapat terekam atau teramati
secara jelas. Sementara target/sasaran mutu tahunan yang ditetapkan dalam rencana
tahunan sekolah dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan sekolah, pengelolaan bidang-
bidang lainnya yang merupakan pendukung bidang teknis edukatif dievaluasi sebagai
bagian dari evaluasi peroses pengelolaan pendidikan dengan segala inputnya, untuk
kepentingan menjawab pertanyaan "mengapa" prestasi yang dicapai oleh siswa seperti itu
(dalam artian positif maupun negatif).
Evaluasi prestasi siswa secara menyeluruh dimaksud adalah evaluasi terhadap
semua program pengembangan siswa baik yang bersifat kurikuler maupun
ekstrakurikuler, semua ranah kemampuan (kognitif, afektif dan psikomotorik), baik untuk
bidang-bidang yang sifatnya akademik maupun non akademik.
Temuan-temuan dan rumusan hasil evaluasi sekolah secara menyeluruh,
digunakan untuk:
1. Pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang dianggap berhasil, baik
sebagai individu atau kelompok (team), sehingga memberi motivasi kepada
semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan.
2. Sebagai masukan bagi tindakan koreksi dan perbaikan atau penyempurnaan bagi
program kerja tahun berikutnya (baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan),
serta penyempurnaan kebijakan pengelolaan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
3. Menilai sendiri status sekolah yang dikelola, apakah mengalami kemajuan atau
kemunduran.
4. Sebagai bahan pertanggungjawaban kepada semua "stake-holder", terutama orang
tua siswa dan komite sekolah.

6. 16
Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen, menjadi tanggungjawab kepala
sekolah. Dalam pelaksanaannya, kepala sekolah dapat menunjuk "tim kecil" untuk
mengumpulkan berbagai bahan yang diperlukan dan menyusunnya untuk di bahas
bersama dengan seluruh guru dan staf terkait dan finalisasinya perlu dibahas dalam forum
yang menyertakan komite sekolah. Karena pemanfaatan hasil evaluasi ini seperti
disebutkan di atas, evaluasi ini juga dapat merupakan evaluasi diri, yang pelaksanaannya
memerlukan kejujuraan dan kesungguhan, sehingga tindak lanjut dari evaluasi
memberikan sumbangan pada upaya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

6. Pelaporan
Pelaporan diartikan sebagai pemberian atau penyampaian informasi tertulis dan
resmi kepada berbagai pihak yang berkepentingan (stake-holders), mengenai aktivitas
manajemen satuan pendidikan dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu
berdasarkan rencana dan aturan yang telah ditetapkan sebagai bentuk pertanggung
jawaban atas tugas dan fungsi yang diemban oleh satuan pendidikan tersebut.
Kegiatan pelaporan sebenarnya merupakan kelanjutan kegiatan evaluasi dalam
bentuk mengkomunikasikan hasil evaluasi secara resmi kepada berbagai pihak sebagai
pertanggungjawaban mengenai kegiatan yang telah dikerjakan oleh sekolah beserta hasil-
hasilnya. Perlu dicatat bahwa sesuai keperluan dan urgensinya, tidak semua hasil
evaluasi masuk ke dalam laporan (pelaporan). Ada hasil evaluasi tertentu yang
pemanfaatannya bersifat internal, ada yang untuk kepentingan eksternal (pihak luar),
bahkan masing-masing stake-holder mungkin memerlukan laporan yang berbeda
fokusnya. Di samping itu, sebagai dokumen tertulis yang resmi, yang menyangkut
pertanggung jawaban serta reputasi lembaga pendidikan, sunguhpun isinya harus
berdasarkan data dan informasi yang benar laporan memiliki tujuan tertentu sesuai
dengan peran institusi yang dikirimi atau pembacanya.
Di luar institusi yang merupakan stake-holders, seperti komite sekolah, dan
birokrasi (baca: atasan sekolah), laporan juga diperlukan sebagai informasi umum yang
tersedia di sekolah bagi siapa saja yang memerlukan sebagai kemudahan akses informasi
bagi masyarakat luas, sehingga sekolah yang bersangkutan memperoleh dukungan dari
berbagi pihak.
Pelaporan hasil kerja sekolah merupakan kegiatan manajemen yang penting,
tetapi sering disepelekan, padahal laporan yang memuaskan "stake-holders" merupakan
bagian dari akuntabilitas, yang pada gilirannya dapat mendukung kemajuan sekolah
secara berkelanjutan.
Dalam suatu siklus yang dinamis langkah-langkah peningkatan mutu secara
berkelanjutan melalui MBS dapat di gambarkan secara singkat dengan bagan sebagai
berikut:

6. 17
Langkah-langkah MBS

Self Assessment

Visi, Misi, Tujuan

Perencanaan Sekolah

Pelaksanaan

Evaluasi Menyeluruh
dan Pelaporan

LATIHAN 6.1
Untuk mendalami pemahaman mahasiswa tentang beberapa hal yang telah
dijelaskan pada uraian di depan, kerjakan latihan-latihan berikut:
1. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan sekolah untuk melakukan evaluasi
diri sehingga memperoleh „potret‟ sekolah yang benar-benar objektif?
2. Adakah rangkaian antara visi, misi, tujuan dan perencanaan sekolah?
Bagaiamanakah sekolah dapat membuat rumusan visi, misi dan tujuan serta
penjabarannya dalam perenacanaan sekolah?
Petunjuk Jawaban Latihan
Evaluasi diri (self assessment) bukan sekedar menilai sarana dan prasarana
pendidikan atau kondisi fisik sekolah. Evaluasi diri di samping menyangkut sarana dan
dan prasarana sekolah, juga sangat komprehensif, mencakup seluruh substansi
pengelolaan sekolah seperti kurikulum, sumber daya manusia (guru, karyawan dan
peserta didik), hubungan sekolah dengan masyarakat. Di samping itu, evaluasi diri juga
mencakup proses manajemennya, seperti perencanaa, pelaksanaan, pengawasan dan
akuntabilitasnya. Evaluasi diri akan efektif apabila disertai kesadaran, keterbukaan,
kejujuran untuk introspeksi.
Visi, misi, tujuan dan perencanaan kegiatan atau program sekolah harus berkaitan.
Apabila dicari kaitannya, visi, misi, tujuan dan kegiatan mempunyai benang merah
(threat) yang tidak saling bertentangan. Visi dapat dicapai dengan beberapa misi.

6. 18
Demikian juga, satu misi dapat dijabarkan dalam beberapa tujuan dan diujudkan dalam
berbagai kegiatan. Oleh karena itu, meskipun dua sekolah mungkin mempunyai visi
yang sama, tidak menutup kemungkinan mereka mewujudkannya dalam kegiatan yang
berbeda.

RANGKUMAN
Manajemen Berbasis Sekolah bukan hanya merupakan wacana yang berkembang
di Indonesia dalam pembaharuan manajemen pendidikan. MBS mempunyai langkah-
langkah konkrit untuk mewujudkan keinginan peningkatan mutu pendidikan. Adapun
langkah-langkah yang diajukan dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah di
Indonesiaadalah: 1) evaluasi diri sekolah dalam penyelenggaraan sekolah. Suatu langkah
yang menuntut keterbukaan, kesadaran dan kejujuran pengelola sekolah untuk membuka
„jatidirinya‟. Langkah ini diikuti dengan 2) perumusan visi, misi dan tujuan sekolah, 3)
perencanaan, 4) pelaksanaan, 5) evaluasi dan 6) pelaporan. Rangkaian kegiatan ini
merupakan siklus yang dapat ditingkatkan atau diperbaiki dalam mencapai hasil yang
paling optimal.

6. 19
TES FORMATIF 6.1
Petunjuk: Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan memberikan tanda centang
() atau silang (X) pada alternatif jawaban yang telah disediakan.
1. Evaluasi diri yang objektif hendaknya:
a. Dilakukan oleh unsur ekternal sekolah
b. Dilandasi oleh kesadaran untuk membuka jatidiri
c. Adanya perimbangan antara yang positif dengan negatif
d. Dilakukan oleh kepala sekolah dan komite sekolah
2. Perumusan visi sekolah dapat dilakukan sesuai dengan pilihan berikut …
a. Visi sekolah tidak bertentangan dengan misi sekolah
b. Misi sekolah hendaknya tidak bertentangan dengan visi sekolah
c. Visi sekolah dapat dirumuskan setelah sekolah mempunyai misi dan tujuan yang
jelas
d. Visi sekolah hendaknya dirumuskan sesuai dengan aspirasi komite sekolah
3. Self assessment sedikit berbeda dengan school review karena …
a. Self assessment lebih luas dibandingkan dengan school review
b. Self assessment lebih mempunyai nuansa afektif dibandingkan dengan school
review
c. School review lebih objektif dibandingkan dengan self assessment
d. School review lebih menitik beratkan pada penilaian fisik sekolah.
4. „Meningkatkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan secara berkelanjutan
untuk mendukung program keunggulan mutu‟ adalah contoh rumusan …
a. Visi sekolah
b. Misi sekolah
c. Tujuan sekolah
d. Salah satu program kegiatan sekolah
5. „Menjadi salah satu finalis lomba paduan suara tingkat provinsi‟ adalah contoh
rumusan …
a. Visi sekolah
b. Misi sekolah
c. Tujuan sekolah
d. Salah satu program kegiatan sekolah
6. Apabila sekolah telah mempunyai visi, misi dan tujuan, maka langkah berikutnya
untuk menuju visi, misi dan tujuan itu adalah …
a. Menjabarkan visi, misi dan tujuan ke dalam kegiatan nyata
b. Menjelaskan rumusan tujuan menjadi rangkaian kegiatan
c. Mengkoordinasikan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan
d. Membuat perencanaan kegiatan yang matang untuk mencapai tujuan

6. 20
7. Kepala sekolah sedang memimpin rapat guru untuk membahas jadwal ujian sekolah
yang akan diselenggarakan pada akhir semester kedua. Dalam langkah-langkah
MBS, kegiatan yang dilakukan kepala sekolah tersebut termasuk dalam langkah …
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Pengawasan
d. Evaluasi
8. Kepala sekolah mengajak ketua komite sekolah membicarakan persiapan membangun
musholla sekolah. Dalam langkah-langkah MBS, kegiatan yang dilakukan kepala
sekolah tersebut termasuk dalam langkah …
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Pengawasan
d. Evaluasi
9. Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat sama pengertiannya dengan …
a. Kepala sekolah dapat menjadi panutan karena karakter dan kompetensi yang
dimilikinya
b. Keputusan kepala sekolah tidak dapat diganggu gugat karena telah diputuskan
secara musyawarah
c. Kepala sekolah mempunyai daya tahan kerja yang luar biasa dibandingkan
dengan staf lainnya
d. Kepala sekolah mampu mempengaruhi staf lainnya sehingga tidak alasan bagi staf
untuk menolak keinginan kepala sekolah
10. Dalam model Manajemen Berbasis Sekolah, peran kepala sekolah dalam peng-
ambilan keputusan dibandingkan dengan komite sekolah menjadi …
a. Kepala sekolah menjadi lebih kuat (powerful)
b. Peranan kepala sekolah di bawah komite sekolah
c. Komite sekola memperoleh peran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala
sekolah
d. Peranan kepala sekolah dibagi (share) bersama komite sekolah

Cocokkan jawaban Andan dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 6.1 di bagian
akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan Belajar
6.1.

Rumus:
Jumlah Jawaban yang Benar
Tingkat Penguasaan = X 100 %
10
Arti Tingkat Penguasaan:
90 – 100 % = Baik Sekali
80 – 89 % = Baik
70 – 79 % = Cukup
< 70 % = Kurang

6. 21
Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan pada Kegiatan Belajar 2. Bagus! Tetapi kalau kurang dari 80%, Anda harus
mengulang Kegiatan Belajar 1 terutama pada bagian yang belum Anda kuasai.

6. 22
Kegiatan Belajar 2

Pelaksanaan Rintisan
Manajemen Berbasis Sekolah
di Indonesia

Telah disinggung sebelumnya bahwa kalau berpedoman pada UU Nomor 20


tahun 2003 tentang Sisdiknas, MBS seolah-olah masih sangat baru, bahkan peraturan
pemerintah yang mengatur pelaksanaan pasal-pasal yang terkait pun belum ada. Akan
tetapi perintisan program itu sudah dilakukan oleh pemerintah, bahkan sejak tahun
1998/1999.
Dari Propenas Bidang Pendidikan yang merupakan jabaran dari GBHN 1999-
2004, terdapat beberapa konsep yang bernuansa MBS seperti: „terselenggaranya
manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat‟;
„terwujudnya manajemen berbasis sekolah/masyarakat (school/community based
management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di
seluruh SD dan MI serta SLTP dan MTs‟. Juga ada rumusan program kegiatan pokok:
„mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis
sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan
memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat‟. Rumusan-rumusan senada
juga terdapat pada program dan sasaran untuk SMU dan SMK.

1. Program MBS pada Sekolah Dasar


Sesuai kebijakan dan program yang tercantum dalam Propenas tahun 2000-2004,
program MBS pada SD bersifat program rintisan dengan menekankan pada tiga
komponen, yaitu Manajemen berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM),
serta Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Ketiganya
untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Program ini dimulai pada tahun 1999, dan telah dilaksanakan di 124 SD rintisan
di empat propinsi, yaitu: Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Banyumas, dan
Wonosobo), Sulawesi Selatan (Kabupaten Bontang), dan Nusa Tenggara Timur (Kota
Kupang). Kemudian tahun 2001, program MBS juga dikembangkan di Jawa Timur
(Kabupaten Probolinggo).
Beberapa hal yang merupakan elemen pokok penyelenggaraan program MBS di
sekolah dasar adalah:
 Adanya "block-grant" atau dana hibah yang diberikan kepada SD rintisan yang
penggunaannya dikelola sendiri oleh sekolah bekerjasama dengan masyarakat (orang
tua siswa dan masyarakat). Besarnya "block-grant" masing-masing 5 juta rupiah.

6. 23
 Sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam proses
ini.
 Sekolah bertanggungjawab atas perawatan, kebersihan dan pemanfaatan fasilitas
sekolah, serta pengadaan dan peralatan yang diperlukan dengan dana hibah yang
dimiliki dan partisipasi masyarakat.
 Penggalangan Peran Serta Masyarakat secara lebih luas lingkupnya, bukan hanya
dukungan finansial, tetapi juga dukungan pendidikan di rumah (keluarga) sejalan
dengan program sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
 Keterbukaan pengelolaan sekolah diwujudkan dalam rangka akuntabilitas dan
meningkatkan komitmen sekolah dan masyarakat secara bersama untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
 Proses pembelajaran dengan prinsip-prinsip: aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan,
dengan dukungan MBS, agar meningkatkan motivasi kehadiran anak untuk datang ke
sekolah, dan semangat belajar yang lebih baik.
Program rintisan MBS sekolah dasar tersebut dilakukan dengan kerjasama dan
bantuan dari Unesco dan Unicef. Pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu
pendanaan untuk memantapkan dan menyebarkan program di tujuh kabupaten/kota
rintisan serta untuk mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia
Timur, termasuk dua propinsi baru yaitu Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Unicef
juga membantu diseminasi ke sebelas kabupaten lainnya dengan menggunakan dana
sendiri dan bantuan dari "the British Women's Association" dan Bank Niaga.
Dalam catatan Umaedi (2004) pada tahun 2002, program MBS untuk sekolah
dasar mencakup: Jawa Tengah (Banyumas, Wonosobo, Magelang, Banjarnegara,
Rembang, Brebes, dan Surakarta), Jawa Barat (Sukabumi dan Cirebon), Jawa Timur
(Mojokerto, Probolinggo, Tulungagung dan Lamongan), NTB (Lombok Tengah),
Sulawesi Selatan (Bantaeng, Mamuju, Bone, dan Polmas), NTT (Kupang, Alor, dan
Sumba Timur), Maluku (Buru, Maluku T.B.), dan Papua (Manokwari dan Jaya Wijaya).
Untuk mendukung ini beberapa pemerintah daerah juga mendukung melalui pendanaan
yang bersifat block-grant,misalnya propinsi Jawa Tengah pada tahun 2002
mengalokasikan Rp 2,25 miliar bagi 26 Kabupaten/Kota dalam rangka program MBS.
Kabupaten Bantaeng Rp 500 juta yang di bagikan Rp 3 juta per SD, Kabupeten
Mojokerto Rp 200 juta, Kabupaten Probolinggo Rp 50 juta untuk menunjang pelaksanaan
program. Sampai pada saat ini program MBS untuk SD sudah menjangkau 41
Kabupaten/Kota dengan 1.125 SD/MI.
Sementara itu untuk lebih memantapkan pelaksanaan MBS Direktorat Taman
Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, bekerjasama dengan Pusat Penelitian Balitbang
Depdiknas juga menerbitkan panduan yang diberi judul: Manajemen Berbasis Sekolah
untuk Sekolah Dasar (2001). Dengan berlakunya UU Nomor 20 tahun 2003, panduan
tersebut selayaknya disempurnakan dan dilengkapi sehingga pesan-pesan yang berkaitan
dengan kebijakan penerapan MBS dan implikasinya terwadahi secara menyeluruh.
Pada satuan pendidikan Taman Kanak-Kanak, meskipun sosialisasi dan program
MBS kurang gencar dilakukan, pada umumnya pengelolaan satuan pendidikan tersebut
justru sudah lebih bernuansa MBS. Hal ini terjadi karena pertama, kebanyakan TK atau
RA (Raudhatul Athfal) dikelola oleh swasta/berstatus lembaga pendidikan swasta yang
terbiasa mandiri dalam banyak hal. Kedua, pada masa masih sentralisasipun pemerintah

6. 24
bersikap lebih longgar terhadap satuan pendidikan tersebut. Baik dalam hal teknis
edukatif maupun dalam pengelolaan sumber dayanya. Kondisi seperti ini menyebabkan
para pengelola TK/RA tidak terlalu kaget menghadapi perubahan pendekatan manajemen
yang dianjurkan pemerintah, demikian pula terhadap perubahan kurikulum (yang biasa
disebut KBK).

2. Program MBS pada SMP (Sekolah Menengah Pertama)


Penerapan MBS untuk SMP dilakukan melalui program "Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah" atau disingkat MPMBS. Konseptualisasi MBS
yang dianggap kontekstual dengan situasi Indonesia yang pada saat itu (1998) masih
dalam era sentralisasi, sementara ada dorongan kuat dari berbagai pihak yang
menginginkan adanya desentralisasi termasuk di bidang pendidikan, membuat perlunya
digulirkan konsep MPMBS yang lebih netral terhadap masalah pembagian kewenangan
antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Alasan lain mengapa tidak digunakan nama MBS adalah untuk menekankan/
menyadarkan berbagai pihak bahwa yang ingin dicapai adalah peningkatan mutu, bukan
sekedar memindahkan kewenangan yang semula ada di pusat kepada berbagai tataran
birokrasi di bawahnya, termasuk kepada sekolah, meskipun diketahui bahwa semua
pendekatan manajemen adalah untuk mencapai efektivitas (mutu) dan efisiensi. Jadi,
penamaan MPMBS sebagai sesuatu yang khas penerapan MBS dalam konteks Indonesia.
Di negara lain pun sebenarnya MBS diberi nama yang berbeda-beda, ada yang menyebut
"school-based-decision-making", "school-based budgeting", "future schools" dan lain-
lain. Jadi "school-based management" atau manajemen berbasis sekolah (MBS)
sebenarnya lebih merupakan nama "generik", bukan nama khusus yang lebih kontekstual.
Program MPMBS untuk SMP, dan saat itu termasuk SMU (keduanya masih
dalam satu direktorat) dirancang bangun oleh suatu team, yang terdiri dari tenaga-tenaga
Indonesia sendiri, baik dari Direktorat maupun perguruan tinggi, tanpa intervensi dari
ahli-ahli asing, meskipun pada saat itu program World Bank (WB), Asian-Development-
Bank (ADB), dan lembaga-lembaga Internasional dengan berbagai tenaga konsultannya
cukup marak di dunia pendidikan.
Program rintisan yang sepenuhnya didanai oleh rupiah murni ini, dimulai dengan
penunjukan sekolah yang memenuhi kriteria oleh Kandep/Kanin Kabupaten/Kota,
kemudian kepala sekolah yang sekolahnya terpilih beserta seorang guru senior dan wakil
orang tua diundang untuk menghadiri "training workshop" empat hari. Materi training
secara garis besarnya adalah menyusun perencanaan sekolah yang berwawasan mutu,
melaksanakan program, kerjasama Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua dalam
pengembangan sekolah untuk meningkatkan mutu evaluasi pelaksanaan, serta simulasi
pengelolaan sekolah. Kepala Sekolah, Guru, dan wakil orang tua siswa diajak dalam
suatu workshop bersama dengan maksud untuk meningkatkan komitmen bersama,
penyatuan wawasan, dan agar dalam pelaksanaan setelah kembali dari workshop mereka
dapat saling mengingatkan kalau program tersebut mengalami hambatan. Di samping itu,
sekembali dari workshop, mereka harus melakukan workshop yang lebih realistis di
sekolah masing-masing. Sekiranya hanya kepala sekolah yang diundang mengikuti
pelatihan dan workshop, maka ada resiko misalnya Kepala Sekolah tidak berbuat apa-
apa, maka tidak ada yang tahu (mengingatkan). Workshop juga dilakukan bagi Kandep
dan Kanin (waktu itu, sebelum desentralisasi) Depdiknas, dan Kordinator Pengawas

6. 25
Sekolah di Kabupaten/Kota dengan maksud untuk menyamakan persepsi untuk memilih
sekolah rintisan, cara menyusun proposal, serta cara melakukan monitoring dan evaluasi.
Setiap SLTP yang ditunjuk sebagai sekolah rintisan diberikan bantuan dana yang
disebut Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana bantuan tersebut
dimaksudkan sebagai "dana pancingan" agar sekolah mampu mencari terobosan untuk
meningkatkan mutu pendidikan, sekaligus sebagai pancingan agar sekolah lebih mampu
menggali partisipasi masyarakat. Partisipasi dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada
dana, tetapi juga keahlian, fasilitas, pemikiran, aspirasi, dan sebagainya.
Penggunaan dana BOMM pada prinsipnya sama dengan dana pemerintah lainnya.
Hal yang membedakan adalah bahwa penggunaan atau pemanfaatan dana BOMM
ditentukan sendiri oleh sekolah sesuai dengan anggaran dan program yang direncanakan
seperti tercantum pada proposal. Dana BOMM tidak harus habis di akhir tahun anggaran
atau tahun ajaran. Sebagai contoh dana BOMM tahun anggaran 1999/2000 tidak harus
habis pada tanggal 31 Maret 2000 atau pada akhir tahun ajaran 1999/2000. Sementara itu
jumlah SLTP yang terpilih menjadi sekolah rintisan dari tahun ke tahun juga terus
bertambah. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 6.1.

6. 26
Tabel 6.1. Rekapitulasi SLTP Rintisan Program MPMBS
Angkatan 1999 - 2001

No Propinsi 1999 2000 2001 Total


(Kumulatif)

1 DKI Jakarta 5 3 8 16
2 Jawa Barat 20 10 49 79
3 Jawa Tengah 27 14 75 116
4 DI Jogjakarta 3 3 9 15
5 Jawa Timur 30 15 73 118
6 Banten 6 2 12 20

7 DI Aceh 6 3 0 9
8 Sumatera Utara 10 6 43 59
9 Sumatera Barat 9 6 30 45
10 Riau 5 3 18 26
11 Jambi 3 3 12 18
12 Sumatera Selatan 6 4 28 38
13 Lampung 6 3 15 24
14 Bengkulu 3 3 6 12
15 Bangka-Belitung 0 2 4 6

16 Kalimantan Barat 6 3 15 24
17 Kalimantan Tengah 3 3 8 14

18 Kalimantan Selatan 11 12 19 42
19 Kalimantan Timur 14 12 15 41

20 Sulawesi Utara 13 8 9 30
21 Sulawesi Tengah 6 8 11 25
22 Sulawesi Selatan 14 6 55 75
23 Sulawesi Tenggara 9 9 12 30
24 Gorontalo 3 4 4 11

25 Maluku 0 1 0 1
26 Bali 6 3 18 27
27 Nusa Tenggara Barat 6 3 12 21
28 Nusa Tenggara Timur 6 3 22 31
29 Irian Jaya 3 3 17 23

Total 239 * 158 599 996


Sumber : Direktorat SLTP
* ada 9 SLTP yang tidak dilanjutkan sebagi sekolah rintisan pada tahun berikutnya.

6. 27
Implikasi lain yang muncul dari kemandirian yang diberikan melalui program
MPMBS, sekolah dapat bertanggungjawab mengenai mutu pendidikan masing-masing
kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Dengan
demikian sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan
mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan. Di sisi lain, sekolah juga
dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan peserta didik, masyarakat,
dan pemerintah daerah setempat.
Untuk lebih memantapkan pelaksanaan program MPMBS pada sekolah rintisan
dan bahan sosialisasi (pengenalan) bagi sekolah-sekolah lainnya Direktorat Sekolah
Lanjutan Pertama (sekarang: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama) sejak tahun 2001
telah menerbitkan seri buku-buku panduan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah yang terdiri dari:
 Buku 1, Konsep Dasar
 Buku 2, Rencana Dan Program Pelaksanaan
 Buku 3, Panduan Monitoring Dan Evaluasi
 Buku 4, Panduan Tata Krama Dan Tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah SLTP
 Buku 5, Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual
Buku-buku tersebut juga digunakan dalam penataran-penataran pengelola
madrasah di lingkungan Departemen Agama. Sementara itu, seri MPMBS tersebut akan
terus berkembang sejalan dengan tuntutan elemen-elemen pokok MBS sesuai perubahan
yang dikehendaki Sisdiknas yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Pada tahun ajaran 2003/2004 jumlah sekolah sasaran program MPMBS mencapai
tidak kurang dari 10.000 SLTP dengan berbagai ragam kinerjanya. Atas dasar
pemantapan program MBMBS, Direktorat Pendidikan Lanjuran Pertama melangkah lagi
dengan rancangan untuk memunculkan sekolah dengan standard nasional, dan standard
internasional, mengikuti arahan Sisdiknas sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003.

3. Program MBS Pada SMU (Sekolah Menengah Umum)


Pelaksanaan program peningkatan mutu dengan pendekatan MBS tingkat sekolah
menengah umum mulai dilakukan pada tahun 1998/1999 melalui proyek rintisan di
delapan SMU Negeri. Rintisan ini bertujuan untuk menemukan model MBS yang paling
cocok dengan kondisi Indonesia, sekaligus sebagai wahana sosialisasi. Dengan cara itu
diharapkan masyarakat, khususnya kalangan kependidikan akan siap menerima pola baru
dalam pembinaan sekolah, dan di lain pihak dapat ditemukan model manajemen berbasis
sekolah yang cocok dengan kondisi Indonesia.
SMU Negeri yang menjadi sekolah rintisan dipilih dengan kriteria berada dalam
kategori menengah dan sedang berkembang secara baik. Kategori menengah dipilih
dengan alasan dapat lebih mudah direplikasikan di tempat lain. Kriteria memiliki potensi
yang dapat berkembang karena MBS hanya dapat dilakukan jika sekolah telah memiliki
potensi untuk berkembang. Lebih dari itu, jumlah sekolah yang memenuhi syarat
mungkin lebih besar dibandingkan alokasi rintisan yang ada, sehingga perlu dilakukan
seleksi untuk mendapatkan sekolah yang paling sesuai dengan kriteria tersebut di atas.
Delapan SMU Negeri tersebut dinamakan sekolah model dan selama satu tahun
kegiatan pokok yang dilakukan adalah mencermati apa saja upaya sekolah dalam
meningkatkan mutu dan mengembangkan diri. Pada saat yang sama dilakukan upaya

6. 28
untuk mendorog dan membantu sekolah tersebut dalam menemukan cara peningkatan
mutu, berdasarkan potensi yang dimiliki atau ada di lingkungan sekitar, serta sesuai
dengan kebutuhan siswa.
Untuk mendukung MBS pada SMU, setiap sekolah rintisan memperoleh dana
bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) seperti halnya SMP, dengan jumlah yang
sedikit lebih besar, yaitu semula Rp 40 juta per sekolah sementara pada SMP hanya Rp
30 juta. Pada tahun 2003, sekolah-sekolah penerima BOMM baik negeri maupun swasta
sesuai yang diprogramkan sebanyak 1.990 satuan, suatu jumlah yang berkembang sangat
pesat dari sekitar 150 sekolah pada tahun 1999/2000. Pendanaan untuk program-program
SMU dalam bentuk "block-grant" langsung kepada sekolah, ternyata berkembang lebih
pesat, bukan hanya model BOMM, tetapi terdapat model-model "block-grant" lain untuk
menangani program-program khusus yang berbeda.
Dalam tahun 2003 saja, untuk program perluasan dan pemerataan pendidikan,
terdapat Bantuan Imbal Swadaya (BIS) sebanyak 4.201 paket, masing-masing antara Rp
13 juta s.d. Rp 80 juta per-paket, dan Subsidi Pendirian Unit Sekolah Baru (USB)
sebanyak 159 paket, masing-masing paket dengan besaran dana antara Rp 350 juta s.d.
Rp 1.475 juta.
Dalam tahun yang sama untuk program peningkatan mutu dan relevansi di
alokasikan sebagai berikut:
 Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) sebanyak 1.990 paket (sekolah)
dengan besaran dana antara Rp 40 juta s.d. Rp 85 juta per-paket.
 Bantuan Program Layanan Pendidikan Berbasis Luas melalui Pembekalan Kecakapan
Hidup (Broad-Based Education-Life Skill/BBE-LS) sebanyak 585 paket dengan
besaran dana Rp 75 juta per-paket.
 Bantuan Pelaksanaan Kurikulum dan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi
(KSPBK) sebanyak 112 paket dengan besaran dana Rp 65 juta per-paket.
 Bantuan Pengembangan Teknologi Informasi (TI) sebanyak 75 paket dengan besaran
dana Rp 25 juta per-paket.
Di dalam Pedoman Pelaksanaan "Pemberian Block Grant Pendidikan Menengah
Umum" Tahun Anggaran 2003 dinyatakan bahwa tujuan umum pemberian Block Grant
ke sekolah adalah:
a. Mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh
pendidikan di sekolah.
b. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran
yang bermutu.
c. Mendorong sekolah untuk melaksanakan "school-based management" (SBM) dalam
rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di
sekolah.
d. Mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Untuk mempertegas komitmen Direktorat dalam pelaksanaan MBS melalui
program ini, dalam pedoman pelaksanaan disebutkan kriteria umum sekolah penerima
"block grant" sebagai berikut:
a. SMU negeri atau swasta.
b. Sanggup melaksanakan program block grant secara transparan, jujur, demokratis, dan
akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip MPMBS

6. 29
c. Memiliki kepala sekolah definitif yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan Kepala
Sekolah.
d. Memiliki komite sekolah yang dibuktikan dengan SK Pengangkatan Komite Sekolah.
Kesanggupan untuk menjaga konsistensi penerapan MBS juga dirumuskan di
dalam mekanisme seleksi, terutama yang berkaitan dengan penetapan program kerja
sekolah calon penerima block grant yang dianjurkan agar diputuskan dalam suatu forum
(dibuktikan dengan berita acara penentuan sekolah) yang dihadiri oleh unsur Dinas
Pendidikan, Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah.
Pemberian kewenangan kepada sekolah untuk menyusun program kerjanya
sendiri, pelibatan orang tua dan masyarakat melalui komite sekolah, pemberian "block
grant" langsung kepada sekolah, serta akuntabilitas hasilnya, semuanya merupakan
elemen penting dari penerapan MBS yang dirancang oleh pemerintah sebagai kebijakan
rintisan sebelum model yang lebih mantap sesuai UU Sisdiknas dapat dilaksanakan
sepenuhnya.

4. Program MBS pada SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)


Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa program MBS tidak selalu menggunakan
nama generik seperti itu, akan tetapi yang penting dicermati adalah esensi-esensinya
secara konseptual sejalan atau tidak dengan elemen-elemen MBS. Fleksibilitas, inisiatif,
dan kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk merespon tuntutan atau keinginan
pasar (pengguna jasa lulusan SMK) sudah lama dianjurkan bahkan merupakan pokok-
pokok kebijakan yang penting sejalan dengan elemen-elemen dimaksud.
Perubahan nama-nama jenis sekolah kejuruan dari STM, SMEA, SMKK, dan
lain-lain menjadi hanya satu nama yaitu SMK, dimaksudkan antara lain untuk
memberikan fleksibilitas "buka-tutup" program studi/jurusan sesuai tuntutan pasar
setempat. Demikian pula adanya Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) dan
Majelis Sekolah (MS), yang telah dicanangkan sejak tahun 1994, yang fungsinya agak
mirip dengan Komite Sekolah saat ini, membuat SMK tidak terlalu kaget dengan
perubahan pengelolaan yang berbasis sekolah dan masyarakat.
Penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang digulirkan sejak tahun
1994/1995 tidak akan berjalan lancar, tanpa inisiatif dan sikap proaktif dari sekolah
kejuruan yang bersangkutan. Demikian pula pengembangan unit produksi yang
diperkenalkan sejak tahun 1980, tidak akan berhasil kalau produk-produk baik barang
maupun jasa yang ditawarkan mutunya tidak sesuai tuntutan atau harapan masyarakat.
Berkenaan dengan pengelolaan pendidikan yang terdesentralisasi dan
pemberdayaan sekolah menuju kemandirian manajemen, Indra Djati Sidi, Ph.D yang juga
Dirjen Pendidikan Dasar Menengah mengemukakan:
"Agar pendidikan kejuruan lebih responsif dan antisipatif terhadap
perubahan dunia kerja, maka diusulkan struktur baru yang lebih devolutif,
yang memberi wewenang kepada kabupaten/kota dan sekolah untuk
menjalankan program-programnya tanpa terlalu banyak pengendalian dari
pusat. Pusat hanya mengurus yang bersifat strategis, tidak yang operasional.
Kebijakan ini bersesuaian dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah,
sehingga sekolah akan lebih berdaya di masa mendatang". (Indra Djati Sidi,
Ph.D, dalam Menuju Masyarakat Belajar, 2001).

6. 30
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebijakan pendidikan kejuruan di masa
mendatang ditekankan pada pemberdayaan SMK, sehingga Kepala SMK akan lebih
mampu mengambil keputusan secara profesional, yang berarti membantu terwujudnya
swadaya pengelolaan yang lebih besar.
Rencana pengembangan beberapa SMK untuk menjadi pusat berbagai kursus
jangka pendek, di samping tugas utamanya, mempertegas perlunya MBS bagi sekolah
kejuruan menuju kemandirian, fleksibilitas, dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan
masyarakat lokal, meskipun dari sisi kualitas produk dan lulusannya masing-masing
SMK harus mengejar standar kompetensi nasional bahkan regional/global untuk bidang-
bidang tertentu.
Ambisi pemerintah untuk mengembangkan pendidikan menegah kejuruan sebagai
institusi yang menghasilkan tenaga yang produktif, kompetitif, dan memenuhi tuntutan
pasar baik lokal, nasional, maupun global, membuat penyusun kebijakan dan program
untuk SMK harus bergerak di antara titik-titik kepentingan: inisiatif (prakarsa) lokal,
kebutuhan industri, standar (kompetensi) nasional dan global, tanpa melupakan
kemandirian (kewirausahaan), dan flexibilitas merespon perubahan. Di antara berbagai
program pendidikan menengah kejuruan yang begitu banyak (+ 80 program), ada satu
catatan penting yang menjadi ciri keseluruhan program, yaitu pemberdayaan
(memperkuat kemandirian).
Hampir seluruh program dilakukan dengan pendanaan subsidi (hibah/grants),
baik dengan syarat imbal swadaya tertentu maupun tidak. Subsidi tidak diberikan tanpa
adanya proposal yang memadai (dapat diterima). Komite Sekolah sebagai alat partisipasi
stake-holders dan sekaligus kontrol dilibatkan di dalam proses eksekusi (pelaksanaan
program), terutama pada titik-titik strategis. Dengan demikian ada elemen sekolah
menentukan diri dan pilihan-pilihan (melalui proposal), ada kepercayaan yang diberikan
kepada sekolah bersama komite sekolah untuk mengelola dana sesuai yang direncanakan
sendiri (pendelegasian wewenang), dan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan
sebagai bentuk akuntabilitas. MBS sebagai titik relatif (besar kecilnya) kewenangan
untuk mengambil keputusan yang diberikan kepada sekolah akan bergerak naik turun
sesuai tingkat kemampuan sekolah bersama Komitenya untuk bekerja lebih profesional
(mandiri), dan kepercayaan “stake-holders” dalam arti yang lebih luas.

5. Rintisan MBS Melalui Program Lintas Jenjang dan Jenis Pendidikan


Di samping program rintisan MBS yang dirancang khusus pada jenjang dan
bentuk satuan pendidikan tertentu seperti program untuk Sekolah Dasar, program untuk
SMP, program SMA dan SMK, ada beberapa program yang sifatnya lintas bentuk satuan,
jenjang dan jenis pendidikan yang ditangani oleh beberapa proyek tertentu seperti Proyek
Jaring Pengaman Sosial Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DBO), Decentralized
Basic Education Project (DBEP), dan Proyek Pendidikan Kecakapan Hidup (life-Skill
Education).
a. Proyek Jaring Pengaman Sosial Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional
Program ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998, yang
berdampak melemahkan kemampuan bangsa di hampir semua aspek kehidupan. Untuk
mengurangi dampak krisis pada sektor pendidikan, utamanya terhadap layanan
pendidikan dan kelangsungan belajar bagi anak Indonesia di sekolah bagi keluarga yang

6. 31
kurang mampu, pemerintah membuat program jaring pengaman sosial bidang pendidikan
dalam bentuk beasiswa dan dana operasional pendidikan.
Program ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu: pertama, mempertahankan agar
anak-anak Indonesia dapat tetap berada di sekolah dan atau melanjutkan sekolah; kedua,
mempertahankan kualitas pendidikan dasar sembilan tahun dalam hubungannya dengan
penuntasan program wajib belajar sembilan tahun.
Sebagai ilustrasi, program 1999/2000 adalah sebagai berikut:
 Beasiswa
Sasaran : - SD, MI, dan SDLB: 1.800.000 siswa (6 %)
- SLTP, MTs, dan SLTPLB: 1.650.000 siswa (17 %)
- SMU, SMK, MA, dan SMLB: 500.000 siswa (10 %)
 DBO
Sasaran : - SD, MI, dan SDLB: 104.339 sekolah (60 %)
- SLTP, MTs, dan SLTPLB: 18.236 sekolah (60 %)
- SMU, SMK, MA, dan SMLB: 9.400 sekolah (60 %)
b. Desentralized Basic Education Project (DBEP)
Proyek ini, secara spesifik dirancang untuk mendukung desentralisasi pendidikan
sesuai kebijakan pemerintahan yang secara keseluruhan mengalami perubahan dari
pendekatan sentralisasi ke arah desentralisasi. Persiapan proyek ini yang cukup lama
yaitu dari tahun 1997 (dari segi anggaran persiapan dan pemikiran sudah mulai dari tahun
1996), dan setelah berbagai proses uji persiapan, akhirnya baru efektif mulai April 2002.
Sasaran proyek semula tiga provinsi yaitu DKI-Jakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat
(NTB). Namun demikian, DKI-Jakarta mengundurkan diri, karena beberapa alasan.
Pendanaan DBEP, berasal dari APBN, APBD, dan pinjaman ADB. Pendanaan ini
untuk membiayai tiga komponen proyek, yaitu pengembangan sekolah (School
Development), pengembangan pendidikan dasar pada tingkat pemerintahan Kabupaten/
Kota (Distric Basic Education Development), dan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
yang independen.
Secara ideal program ini bertujuan untuk: pertama, menyukseskan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun (SD, MI, SLTP/MTs, baik negeri maupun swasta); kedua,
pemerataan mutu pendidikan dasar dengan pendekatan MBS; dan ketiga, otonomi daerah
dalam hal perencanaan dan pendanaan pendidikan. Kalau dirinci lebih lanjut tujuan
tersebut akan meliputi: peningkatan angka partisipasi, peningkatan tamatan, dan
pengurangan angka mengulang, penerapan MBS pada SD/MI, SLTP/MTs baik negeri
maupun swasta, dan mendukung/memperkuat desentralisasi pengelolaan pada tingkat
pemerintah Kabupaten/Kota, serta pada sekolah dan masyarakat.
Kegiatan untuk masing-masing komponen program adalah sebagai-berikut:
 Program pengembangan sekolah (SDP). Program ini meliputi: latihan kemampuan
melaksanakan MBS, menyusun rencana pengembangan sekolah yang melibatkan
masyarakat dan pejabat setempat. Rencana pengembangan sekolah dan
implementasinya dibiayai dengan dana yang disebut "school development fund",
suatu "block grant" yang digunakan untuk mengembangkan sekolah dengan
mengikutsertakan masyarakat. Latihan kemampuan pengelolaan sekolah tidak
didanai dari SDF. Di samping itu, pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
bersama masyarakat turut membiayai pengembangan sekolah.

6. 32
 Pengembangan Kemampuan Pengelolaan Pendidikan Dasar pada tingkat
Kabupaten/Kota. Program tingkat kabupaten/kota ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan pengelolaan pendidikan dasar pada tingkat kabupaten/kota, baik dalam
pelatihan tenaga kependidikan, perencanaan personil dan keuangan pendidikan,
rekrutmen guru sekolah, termasuk pemonitoran program-program dalam lingkup
Kabupaten/Kota yang bersangkutan, termasuk pelibatan Dewan Pendidikan dan
stake-holder tingkat Kabupaten/Kota lainnya.

c. Program Pendidikan Kecakapan Hidup (Broad-Based Education, Life-Skills/BBE-


LS)
Bertitik tolak dari berbagai masalah sosial, ekonomi, budaya, bahkan keamanan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, terutama masalah pengangguran setelah
menamatkan studi, pertikaian, dan krisis moral, Depdiknas mengambil kebijakan
perlunya penekanan pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup (PBKH), dengan
basis sumber inspirasi dan tuntutan kecakapan hidup yang dibutuhkan masyarakat yang
sangat beragam dan luas. Oleh karena itu, program ini disebut pendidikan berbasis luas
(broad-based education).
1). Tujuan
Pendidikan yang Berorientasi Kecakapan Hidup (PBKH) bertujuan :
(1) Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk
memecahkan problema yang dihadapi;
(2) Merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam
menghadapi kehidupannya di masa datang;
(3) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas,
dan;
(4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan
memberi peluang pemanfaatan sember daya yang ada di masyarakat, sesuai
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
(Depdiknas: Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup, 2003, h.14)
2) Pelaksanaan PBKH
Sebagai program baru yang diluncurkan pada tahun 2002, PBKH mencakup
semua jenis dan jenjang pendidikan. Program ini, dari segi konsep mencoba melakukan
revitalisasi dan rekonstruksi orientasi pendidikan kita dengan taksonomi baru terfokus
atau bertitik tolak pada kecakapan hidup. Konsepnya sangat bagus, namun untuk
melaksanakannya perlu sinkronisasi dengan berbagai panduan yang disusun atas nama
kurikulum baru; karena konsep PBKH akan berpengaruh terhadap pendekatan dalam
pembelajaran maupun pemilihan materi (bahan ajar).
Dari pengamatan yang lebih optimis, sebenarnya kalau KBK (2004) dilaksanakan
dengan benar dan sungguh-sungguh, konsep kecakapan hidup seperti dimaksud PBKH
akan tercapai, baik dalam proses maupun hasil pembelajarannya. Para pakar pendidikan
untuk setiap mata pelajaran pada umumnya juga sependapat dengan konsep Life Skill. Di
SLTP sudah dicobakan penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
(Contextual-learning/CTL). Yang masih kurang memperoleh perhatian dari pihak sekolah
barangkali aspek kecakapan hidup yang spesifik vokasional (baik vokasional dasar
maupun khusus). Sudah pernah dicoba untuk mengembangkan program kecakapan hidup

6. 33
untuk vokasional bagi SLTP swasta, dengan bantuan dari Belanda (sekitar tahun 1997
s.d. 1999), hasilnya cukup menarik minat sekolah maupun siswa. Tetapi, ketika akan
dilaksanakan secara meluas bagi sekolah-sekolah negeri terkendala dengan persoalan
biaya, sedangkan yang belum bersekolah pun jumlahnya masih besar (+ 30 %). Jadi,
pilihannya lebih pada menuntaskan wajib belajar dengan memperluas daya tampung.
Memperhatikan kenyataan seperti di atas, dengan pertimbangan urgensi (praktis),
dana hibah (grant) LS bagi SLTP diberikan kepada SLTP-Terbuka, karena mereka betul-
betul memerlukan PBKH (LS) yang sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Program ini
oleh sekolah ditangani bersama dengan Komite Sekolah, bahkan Komite Sekolah ikut di
undang dalam workshop yang diadakan. Hal ini tentu sejalan dengan tujuan program
(yang tidak eksplisit), yaitu pengentasan kemiskinan karena dana LS awalnya berasal dari
"kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak" untuk masyarakat miskin.
SLTP-Terbuka siswanya terbuka dari keluarga kurang mampu.

6. Hasil Studi, Monotoring dan Evaluasi Implementasi MBS


Salah satu faktor penting yang terkait dengan pelaksanaan rintisan MBS adalah
dilakukannya studi, monitoring dan evaluasi terhadap kinerja sekolah. Studi atau
pengkajian biasanya dilakukan oleh pihak ekternal dan independen tidak berkait dengan
unit yang mengembangkan program. Monitoring ditekankan pada pemantauan proses
pelaksanaan MBS dan sedapat mungkin tim atau petugas monitoring memberikan saran
untuk mengatasi masalah yang terjadi. Sedangkan evaluasi bertujuan untuk mengetahui
apakah MBS mencapai sasaran yang diharapkan. Penekanan kegiatan evaluasi adalah
pada output. Monitoring dan evaluasi biasanya dilaksanakan oleh unit terkait dengan
pengembangan program.
Diantara studi tentang MBS adalah yang dilakukan oleh Indonesia Corruption
Watch (Irawan, 2004) di DKI Jakarta. Diantara temuan studi ICW yang cukup
mengagetkan, tetapi harus dipandang sebagai suatu sisi untuk meningkatkan
kewaspadaan dan tidak dapat digeneralisasikan terhadap implementasi MBS adalah: 1)
implementasi MBS masih top-down, 2) kebijakan MBS masih belum dipahami baik oleh
guru maupun masyarakat, 3) biaya sekolah semakin mahal, 4) APBS tidak partisipatif, 4)
korupsi di sekolah semakin merajarela.
Di samping menjadi lembaga yang bertanggung jawab terhadap implementasi
MBS, pemerintah juga melakukan upaya studi atau monitoring. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk mengetahui kinerja sekolah yang menjadi rintisan program MBS, pada
bulan Maret-Mei 2001 Direktorat SLTP bekerjasama dengan Universitas Negeri
Semarang (Unnes) melakukan monitoring terhadap SLTP yang telah menjadi peserta
program MPMBS sejak tahun 1999. Monitoring tersebut mencakup dua kategori, yaitu;
(a) kemampuan manajemen dan (b) kemampuan ekonomi. Kesimpulan dan aktivitas
monitoring tersebut divisualisasikan dalam Gambar 6.1.

6. 34
Gambar 6.1. Pemetaan Kemampuan Manajemen dan
Ekonomi SLTP Rintisan Program MPMBS

Kwadran III Kwadran IV

* kemampuan manajemen bagus * kemampuan manajemen bagus


* kemampuan ekonomi jelek * kemampuan ekonomi bagus

jumlah = 56,28 % jumlah = 30,34 %

Kwadran I Kwadran II

* kemampuan ekonomi jelek * kemampuan ekonomi bagus


* kemampuan manajemen jelek * kemampuan manajemen jelek

jumlah = 8,23 % jumlah = 4,76 %

Sumber: Direktorat SLTP dan Unnes, Hasil Monitoring Program Manajemen


Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) tahun 2001 (Jakarta: Direktorat
SLTP dan Unnes, 2001), hh. 8-92

Berdasarkan empat kuadran dari gambar di atas, tim monitoring merekomen-


dasikan agar bantuan BOMM terhadap sekolah yang berada dalam kuadran III dan IV
dapat diteruskan.
Di samping studi di atas, Puslitjak Balitbang Depdiknas (Hadiyanto, 2004) juga
melakukan studi implementasi MBS untuk SMP. Diantara temuan studi itu menunjukkan
bahwa: 1) Baik sekolah-sekolah penerima maupun bukan penerima blokc-grant dalam
rangka MBS (BOMM) pada umumnya telah membuat program perencanaan dan
pengembangan sekolah. Ada indikasi bahwa sekolah penerima block-grant lebih banyak
melibatkan stakeholder dalam pembuatan rencana pengembagan sekolah tersebut. 2)
Sistem pemberian block-grant dalam rangka implementasi MBS dapat lebih
mengintensifkan sekolah untuk dalam pengalokasian anggaran sekolah, revisi, evaluasi
maupun akuntabilitasnya. 3) Meskipun pada awalnya sekolah penerima block-grant tidak
menunjukkan pencapaian target NEM dan angka melanjutkan, target itu dapat dicapai
pada tahun 2002/2003, setelah sekolah itu melaksanakan MBS lebih dari 3 tahun. 4)
Sekolah-sekolah penerima block-grant mampu memotivasi masyarakat untuk lebih
terlibat dalam penyelenggaraan sekolah. Namun demikian, mereka masih cukup pesimis
terhadap sustainabilitas penyelenggaraan sekolah apabila sumber dana dari pemerintah
diberhentikan.
Atas dasar temuan-temuan studi dan monitoring di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ada indikasi implementasi MBS membawa manfaat terhadap peningkatan
manajemen dan mutu sekolah dan partisipasi stake-holder. Namun demikian, karena
masih terdapat sumber daya yang belum mendukung, maka implementasi MBS itu harus
diiringi dengan sikap hati-hati dan peningkatan akuntabilitasnya.

6. 35
LATIHAN 6.2
Untuk mendalami pemahaman mahasiswa tentang beberapa hal yang telah
dijelaskan pada uraian di depan, kerjakan latihan-latihan berikut:
Hasil studi yang dilakukan Direktorat SLTP Depdiknas bekerjasama dengan
Universitas Negeri Semarang (Unnes) menunjukkan bahwa 4.76% sekolah berada pada
kuadran II (kemampuan ekonomi masyarakat bagus, kemampuan manajemen sekolah
jelek). Namun demikian, studi tersebut merekomendasikan bahwa sekolah-sekolah yang
berada pada kuadran III dan IV yang dilanjutkan memperoleh block-grant. Usaha apa
yang dapat dilakukan untuk menolong sekolah-sekolah yang dikategorikan masuk pada
kuadran II?
Petunjuk Jawaban Latihan
Kuadran II menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat untuk
mendukung MBS bagus dan kemampuan manajemen sekolah jelek. Implementasi MBS
pada sekolah-sekolah di kuadran ini dapat ditingkatkan dengan perbaikan manajemen
sekolah. Oleh karena itu, kemampuan ekonomi masyarakat harus dipandang sebagai
potensi untuk mendukung implementasi MBS. Lebih susah memperbaiki kemampuan
ekonomi masyarakat dibandingkan dengan memperbaiki manajemen; ekonomi
masyarakat adalah unsur eksternal sekolah, sementara manajemen sekolah lebih banyak
melibatkan unsur internal sekolah. Hasil dari perbaikan ini dalam rangka sustainabilitas
program dimungkinkan lebih baik dibandingkan dengan kuadran III. MBS pada sekolah-
sekolah yang berada di kuadran III saat studi berlangsung masih berjalan dengan baik
mungkin karena adanya block-grant dari pemerintah. Apabila suatu saat block-grant
diberhentikan, maka sustainabilitas MBS masih menjadi pertanyaan.

RANGKUMAN
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia sudah mulai dirintis sejak tahun 1999
ke berbagai jenjang sekolah (SD, SMP, SMA dan SMK) dan berbagai kabupaten dan
propinsi di seluruh Indonesia meskipun secara formal baru muncul pada Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbagai dukungan dari
berbagai lembaga internasional muncul untuk percepatan implementasi MBS tersebut
seperti dari Unesco, Unicef, pemerintah New Zeland, the British Women's Association.
Sedangkan jenis program dalam rangka mendukung rintisan MBS seperti itu
seperti Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM), Bantuan Program Layanan
Pendidikan Berbasis Luas melalui Pembekalan Kecakapan Hidup (Broad-Based
Education-Life Skill/BBE-LS), Bantuan Pelaksanaan Kurikulum dan Sistem Penilaian
Berbasis Kompetensi (KSPBK), Bantuan Pengembangan Teknologi Informasi (TI).
Rintisan MBS juga dilaksanakan melalui program lintas jenjang dan jenis pendidikan
seperti: Proyek Jaring Pengaman Sosial Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DBO),
Decentralized Basic Education Project (DBEP), dan Proyek Pendidikan Kecakapan
Hidup (life-Skill Education).
Hasil studi dan monitoring terhadap program rintisan MBS dengan berbagai
block-grant itu menunjukkan bahwa masyarakat dapat menerima dan antusias dengan

6. 36
MBS, namun demikian, implementasinya masih harus dilaksanakan dengan hati-hati dan
peningkatan akuntabilitasnya.

TES FORMATIF 6.2


Petunjuk: Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan memberikan tanda centang
() atau silang (X) pada alternatif jawaban yang telah disediakan.
1. Mana diantara pernyataan berikut yang paling tepat?
a. MBS di Indonesia lahir bersamaan dengan UU Sisdiknas tahun 2003
b. MBS di Indonesia mulai diimplementasikan bersamaan dengan Propenas Bidang
Pendidikan
c. MBS di Indonesia lahir karena adanya proyek MPMBS tahun 1999
d. Perintisan MBS di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1999
2. Diantara alasan kuat bagi sekolah untuk mengimplementasikan model Manajemen
Berbasis Sekolah idealnya adalah karena …
a. Keinginan kepala sekolah dan dewan guru
b. Keinginan kepala sekolah dan dewan guru dan komite sekolah
c. Tuntutan sekolah dan stake-holder
d. Keinginan pemerintah pusat dan sekolah
3. Dana hibah (block-grant) melalui pemerintah pusat bagi sekolah yang mengimple-
mentasikan MBS hendaknya …
a. Dana yang terus menerus diberikan kepada sekolah
b. Sebagai dana pancingan yang suatu saat dapat diberhentikan
c. Diubah menjadi dana rutin
d. Diserahkan kepada komite sekolah agar dikelola bersama kepala sekolah
4. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) .…
a. Dapat terwujud secara optimal dengan dukungan Manajemen Berbasis Sekolah
b. Merupakan bagian dari model Manajemen Berbasis Sekolah
c. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan Manajemen Berbasis Sekolah
d. Dua konsep yang saling bertentangan
5. Dalam kaitannya dengan negara-negara lain dan lembaga internasional, Manajemen
Berbasis Sekolah adalah …
a. Merupakan produk negara lain yang ditransfer ke Indonesia
b. MBS di Indonesia dibantu percepatannya dengan bantuan dari negara lain dan
lembaga internasional
c. Tidak ada kaitannya sama sekali
d. MBS di Indonesia tidak mungkin terlasana seperti yang sekarang ini tanpa adanya
bantuan dari negara lain dan lembaga internasional
6. Implementasi konsep Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia saat sekarang ini
(2004) …
a. Telah dilaksanakan di seluruh sekolah negeri dan swasta di Indonesia
b. Dilaksanakan di sebagian sekolah swasta dan sekolah perintisan (negeri)
c. Hanya dilaksanakan di sebagian sekolah perintisan (negeri) saja
d. Masih hanya merupakan wacana dan belum dilaksanakan

6. 37
7. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dibandingkan dengan
konsep Manajeme Berbasis Sekolah (MBS) adalah …
a. MPMBS lebih luas dibandingkan dengan MBS
b. MPMBS merupakan ciri khas MBS di Indonesia
c. MPMBS lebih menekankan pada efektivitas pencapaian mutu pendidikan di
Indonesia dibandingkan dengan MBS
d. MPMBS merupakan proyek Depdiknas yang lebih menekankan pada penjaminan
mutu pendidikan pada semua aspeknya
8. Penyaluran block-grant MBS (BOMM) langsung dari pemerintah pusat kepada
rekening kepala sekolah diharapkan agar …
a. Pengelolaan penyaluran dana dari pemerintah pusat ke sekolah lebih efektif dan
efisien
b. Kepala sekolah memperoleh kebebasan dalam mengalokasikan anggaran
c. Kontrol dari pemerintah pusat lebih mudah dilakukan
d. Penggunaan dana di sekolah menjadi lebih efektif dan efisien
9. Hasil studi yang dilakukan Direktorat SLTP Depdiknas bekerjasama dengan
Universitas Negeri Semarang (Unnes) merekomendasikan bahwa sekolah-sekolah
yang berada pada kuadran III dan IV dilanjutkan block-grant-nya. Alasan yang
mendasari hal itu, menurut Anda adalah …
a. MBS di kuadran III dan IV dapat terlaksana tanpa block-grant
b. MBS di kuadran III dan IV dimungkinkan tidak ada in-efisiensi
c. MBS di kuadran I dan II tidak didukung oleh kemampuan masyarakat
d. MBS di kuadran I dan II sebenarnya efektif dan efisien
10. Dari hasil studi dan monitoring serta evaluasi yang dilakukan oleh berbagai fihak,
maka MBS di Indonesia …
a. Sama sekali tidak berhasil karena merupakan bentuk KKN baru
b. Dapat disimpulkan sepenuhnya berhasil karena dapat memperbaiki mutu
pendidikan
c. Dapat dikatakan berhasil apabila didukung oleh block-grant
d. Dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia, namun demikian masih
harus ditingkatkan akuntabilitasnya.

Cocokkan jawaban Andan dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 6.1 di bagian
akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus di
bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan Belajar
6.1.

Rumus:
Jumlah Jawaban yang Benar
Tingkat Penguasaan = X 100 %
10

Arti Tingkat Penguasaan:


90 – 100 % = Baik Sekali
80 – 89 % = Baik

6. 38
70 – 79 % = Cukup
< 70 % = Kurang

Kalau Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat mengakhiri
mempelajari modul ini. Hebat! Tetapi kalau kurang dari 80%, Anda harus mengulang
Kegiatan Belajar 1 terutama pada bagian yang belum Anda kuasai.

6. 39
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 6.1

No. Jawaban No. Jawaban


1. B 6. D
2. C 7. B
3. B 8. B
4. B 9. A
5. C 10. D

Tes Formatif 6.2

No. Jawaban No. Jawaban


1. D 6. B
2. C 7. C
3. B 8. A
4. A 9. B
5. B 10. D

6. 40
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2001. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah
Dasar. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Konsep Dasar; Buku 1, Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Perencanaan Program Pelaksanaan; Buku 2, Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Panduan Monitoring dan Evaluasi; Buku 3, Jakarta: Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Pedoman Tatakrama dan Tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Bagi
SLTP; Buku 4, Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah: Pembelajaran dan pengajaran Kontekstual; Buku 5, Jakarta: Depdiknas.
Direktorat SLTP Depdiknas dan Unnes, Hasil Monitoring Program Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) tahun 2001. Jakarta: Direktorat
SLTP.
Hadiyanto, dkk. 2004. Studi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMP.
Jakarta: Puslitjak Balitbang Depdiknas.
Irawan, Ade, dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah, Studi Kebijakan Manajemen Berbasis
Sekolah di DKI Jakarta. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta: Depdiknas, 2002.
Nesselbein dkk.ed., 1996
Pedoman Pelaksanaan "Pemberian Block Grant Pendidikan Menengah Umum" Tahun
Anggaran 2003
Sallis, Edward, 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page.
Sidi, I.J., 2001. Menuju Masyarakat Belajar
Umaedi, 2004. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah. Mengelola Pendidikan
dalam Era Masyarakat Berubah. Jakarta: Pusat Kajian Manajemen Mutu
Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

6. 41

Anda mungkin juga menyukai