Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Edisi pertama
2018
Penyunting:
Adhi Teguh Perma Iskandar
Kartika Darma Handayani
Rocky Wilar
Setyadewi Lusyati
Tetty Yuniati
Toto Wisnu Hendrarto
Tunjung Wibowo
TIM PENYUSUN
KONTRIBUTOR
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta
3. Dr. Agus Harianto, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. Dr. Andhika Tiurmaida Hutapea, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Cengkareng
6. Dr. Aris Primadi, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
7. Dr. Arum Gunarsih, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Tangerang Selatan
8. Dr. Desiana Nurhayati, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Bunda Margonda Depok
9. Dr. Dina Angelika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
10. Dr. Distyayu Sukarja, SpA
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
11. Dr. Ellen R Sianipar, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta
12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang
ii
14. Dr. Indrayady, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang
15. DR. Dr. Johanes Edy Siswanto, SpA (K)
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
16. Dr. Johnwan Usman, SpA
RS. Hermina Kemayoran Jakarta
17. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
18. Dr. Lily Rundjan,SpA(K)
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
19. Dr. Lucia Nauli Simbolon, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
20. Dr. Mahendra Tri Arif Sampurna, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
21. DR. Dr. Martono Tri Utomo, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
22. DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
23. DR. Dr. Risa Etika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
24. Dr. Rizalya Dewi, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSIA Budhi Mulia Pekanbaru
25. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
26. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
iii
27. Dr. Setya Wandita, M.Kes, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
28. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
29. Dr. Thomas Harry Adoe, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Kota Bekasi
30. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
31. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
32. Dr. Vinny Yoana, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
33. Dr. Yanti Susianti, SpA(K)
FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
PENYUNTING
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya
3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
IDAI, UKK Neonatologi
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
DIBANTU OLEH:
Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020:
• dr. Chindy Arya Sari
• dr. Reza Latumahina
• dr. Dilla Aprilia
• dr. Ferry Liwang
• dr. M. Reza Syahli
v
KATA SAMBUTAN
Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
berkat rahmat dan karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang Ilmu Kesehatan Anak.
Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi Neonatologi
IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal.
Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI
berusaha melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
anak Indonesia. Berbagai bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan
SDG, yaitu mengurangi kematian bayi hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan
kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per 1.000 kelahiran hidup
pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud adalah
dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular.
Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric
Association (APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan,
penyakit tidak menular, tuberkulosis dan kehamilan pada remaja. Seribu hari
pertama kehidupan merupakan periode yang penting sebagai fondasi untuk
mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Mengingat
angka kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian
bayi (59,4%), acuan mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan
sangat diperlukan. Adanya pelayanan kesehatan yang terstandardisasi dapat
membantu untuk menurunkan angka kematian neonatal.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir
rendah berkurang dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018.
Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu faktor yang memegang peran penting
dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya akibat prematuritas, infeksi,
asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang dalam Buku
Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan
kesehatan di bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan
fasilitas, alat dan obat-obatan serta panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan
disusun oleh para ahli dibidangnya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor
yang turut serta membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku
ini dapat menjadi panduan dalam praktik klinis dokter guna menurunkan angka
vi
kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa meningkatkan kesehatan generasi
penerus bangsa.
Jakarta, Februari 2019
Ketua Umum PP IDAI
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izin-
Nya, Buku Panduan Pelayanan Neonatal Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini
merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif
neonatal di Indonesia menuju standarisasi pelayanan neonatus
berkualitas. Tidak mudah mencapai standarisasi pelayanan
neonatal di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari
jumlah dokter spesialis anak dan konsultan neonatologi,
kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat
antar satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, di berbagai
wilayah di Indonesia.
viii
yang disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit
pelayanan neonatus.
Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus
adalah tercapainya kualitas pelayanan neonatal di Indonesia
menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat
membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada
angka 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025. Upaya tersebut
harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui
program Rangkaian Aksi Nasional (RAN) Neonatal yang terdiri dari
upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas,
intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari
tatakelola klinis ibu hamil dan bersalin sampai pada penanganan
neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua, keluarga
dan masyarakat.
Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan
sudah seharusnya secara periodik direvisi sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
Neonatologi minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini
bermanfaat terutama untuk para dokter spesialis anak yang
bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola
manajemen di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam
menentukan tatakelola program dalam sistem layanan neonatus di
Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk
seluruh keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas
meluangkan waktunya menyusun buku panduan ini.
Jakarta, November 2018
ix
DAFTAR SINGKATAN
x
CPAP Continuous Positive Airway Pressure
CP Clinical Pathway
CRP C-Reactive Protein
CRT Capillary Refill Time
CSS Cairan Serebrospinal
CT-Scan Computed Tomography Scan
DIC Disseminated Intravascular Coagulation
DM Diabetes Melitus
DMG Diabetes Melitus Gestasional
DPJP Dokter Penanggung Jawab Pasien
DPM Dewan pertimbangan Medis
D10W Dektrosa 10%
D12,5W Dektrosa 12,5%
D15W Dektrosa 15%
EBM Evidence Based Medicine
ECMO Extracorporeal Membrane Oxygenationn
EEG Electroencephalography
EKG Elektrokardiografi
ET Expiration time
ETT Endotracheal Tube
FFP Fresh Frozen Plasma
FFS Fee For Services
FiO2 Fraksi Oksigen
FIRS Fetal Inflammatory Response Syndrome
FJ Frekuensi Jantung
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
G6PD Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase
GD Glukosa Darah
GDS Glukosa Darah Sewaktu
GIR Glucose Infusion Rate
GIT Gastrointestinal Tract
GLUT-1 Glucose Transporter-1
HDN Hemorrhagic Disease of the Newborn
HIE Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik Iskemik)
xi
HIV Human Immunodeficiency Virus
HMF Human Milk Fortifier
HSV Herpes Simplex Virus
HTA Health Technology Assessment
IFN Interferon
IGD Instalasi Gawat Darurat
IK Interval Kepercayaan
ILCOR The International Liaison Committee on Resuscitation
IMD Inisiasi Menyusu Dini
INA-DRG Indonesia Diagnosis Related Group
INA-CBG Indonesia Case Based Group
IT Inspiration time
ITP Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
IUGR Intrauterine Growth Retardation
IVH Intraventricular Hemorrhage (perdarahan intraventrikular)
IVIg Intavenous Immunoglobulin
IWL Insensible Water Loss
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KLB Kejadian Luar Biasa
KMC Kangaroo Mother Care
KMK Kecil Masa Kehamilan
KPD Ketuban Pecah Dini
KSD Kernicterus Spectrum Disorder
LBP Lipopolysacharide-Binding Protein
LFT Liver Function Test
LJ Laju Jantung
MAP Mean Arterial Pressure
MAS Meconium Aspiration Syndrome
MDGs Millenium Development Goals
MODS Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRI Magnetic Resonance Imaging
NAP Natriuretic Atrial Peptide
NAIT Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia
NCC National Casemix Center
NCPAP Nasal Continuous Positive Airway Pressure
xii
NEC Necrotizing Enterocolitis
NETS Newborn Amergency Transport Service
NGT Naso Gastric Tube
NICE National Institute for Health and Care Excellence
NICHD The Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development
NICU Neonatal Intensive Care Unit
NIPPV Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation
NIRS Near Infrared Spectroscopy
NNH Number Needed to Harm
NNT Number Needed to Treat to Benefit
NO Nitric Oxide
NRP Neonatal Resuscitation Program
nRBC nucleated Red Blood Cell
NRM Non-rebreathing mask
OGT Oro Gastric Tube
PaO2 Tekanan Parsial Oksigen arteri
PCT Procalcitonin
PCV Polisitemia Vera
PDA Patent Ductus Arteriosus
PDVK Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K
PEEP Positive End Expiratory Pressure
PES Pediatric Endocrine Society
PIP Peak Inspiratory Pressure
PJB Penyakit Jantung Bawaan
PJT Pertumbuhan Janin Terhambat
PMK Peraturan Menteri Kesehatan
PMK Perawatan Model Kanguru
PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPHN Persistent Pulmonary Hipertension of the Newborn
PPK Panduan Praktik Klinis
PT Prothrombin Time
PRC Packed Red Cell
PVL Periventricular Leukomalacia (leukomalasia periventrikular)
RAN Rangkaian Aksi Nasional
xiii
RDS Respiratory Distress Syndrome
RO Rasio Odds
ROP Retinopathy of Prematurity
RR Respiratory Rate
SAA Serum Amiloid-A
SDGs Sustainable Developmental Goals
SDKI Survei Demografi Kesehatan Indonesia
SEP Surat Eligibilitas Peserta
SHC Selective Head Cooling
SIGN Scottish Intercollegiate Guidelines Network
SIMV Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation
SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga
SLE Systemic Lupus Erythematosus
SpO2 Saturasi Oksigen
SSP Susunan Syaraf Pusat
STABLE Sugar, Temperature, Airway, Blood Pressure, Lab work, and Emotional
support
STOP-ROP Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy of
Prematurity
TAR Trombocytopenia Absent Radius
TcB Transcutaneus Bilirubin
TEF Tracheaoesophageal fistula
TGA Transposition of Great Arteries
TIOP Toward Improving the Outcome of Pregnancy
TKMKB Tim Kendali Mutu Kendali Biaya
TMI Transient Myocardial Ischaemia
TMR Transient Tricuspid Regurgitation
TNF Tumor Necrosis Factor
TOF Tetralogy of Fallot
TORCH Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus Herpes Simplex Virus and other
disease
TSB Total Serum Bilirubin
TTN Transient Tachypnea of the Newborn
UDCA Ursodeoxycholic acid
USAID US Agency for International Development
xiv
USG Ultrasonography
WBC Whole Body Cooling
WHO World Health Organization
VATER Vertebral defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula with Esophageal
atresia, Radial/Renal anomaly
Vedika Verifikasi di Kantor
VILI Ventilator Induced Lung Injury
VKDB Vitamin K Deficiency Bleeding
VSD Ventricular Septal Defect
VTP Ventilasi dengan Tekanan Positif
xv
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN...................................................................................................................................... ii
KATA SAMBUTAN ................................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ viii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL.................................................................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................. xix
RINGKASAN EKSEKUTIF.................................................................................................................... xx
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS ................................................................ 1
1.1 Pendahuluan ................................................................................................................................... 1
1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus ....................................................................................... 3
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya ................................................ 6
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas
kesehatan sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit) ........................................................ 6
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit) ..12
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit) ......22
1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam
medik pasien; manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan ..31
BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI ...........................................34
2.1 Rujukan berjenjang .....................................................................................................................34
2.2 Sistem pembiayaan JKN ...........................................................................................................35
2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya ..............................................................39
2.4 Manfaat rekam medis ................................................................................................................44
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN ......................................................47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus ..................................................48
2. PNPK Asfiksia Neonatorum ....................................................................................................... 193
3. PNPK Hiperbilirubinemia .......................................................................................................... 356
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS.............................................................................................. 473
4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit .............................................................. 473
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling .............................................................................. 478
4.3 Penilaian fisik ............................................................................................................................ 483
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus ................................................................................. 496
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus ................................................... 506
4.6 Trauma lahir .............................................................................................................................. 514
4.7 Resusitasi neonatus ................................................................................................................... 519
xvi
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus ................................................................................................ 529
4.9 Transportasi neonatus.............................................................................................................. 537
4.10 Asfiksia perinatal dan HIE ................................................................................................... 546
4.11 Kejang pada neonatus ......................................................................................................... 552
4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN)................................................................................ 559
4.13 Respiratory distress syndrome (RDS) ................................................................................... 562
4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS) ................................................................................ 565
4.15 Pneumonia pada neonatus .................................................................................................. 569
4.16 Air leak syndrome................................................................................................................... 572
4.17 Apnea of prematurity............................................................................................................. 575
4.18 Terapi oksigen........................................................................................................................ 578
4.19 CPAP ........................................................................................................................................ 583
4.20 Ventilasi invasif ...................................................................................................................... 595
4.21 Bayi kurang bulan dan PJT ................................................................................................. 604
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit ........................................................................................ 615
4.23 Kangaroo Mother Care (KMC) ............................................................................................ 618
4.24 Termoregulasi neonatus ........................................................................................................ 628
4.25 Hipoglikemia pada neonatus .............................................................................................. 635
4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus .................................................................................... 641
4.27 Anemia pada neonatus ........................................................................................................ 646
4.28 Polisitemia neonatorum ....................................................................................................... 651
4.29 Trombositopenia pada neonatus ........................................................................................ 654
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus ....................................... 657
4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus ...................................... 660
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus ....................................................... 663
4.33 Sepsis Neonatorum................................................................................................................ 668
4.34 Syok pada neonatus ............................................................................................................. 673
4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus .................................................. 676
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan ................................................................................ 680
4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus .......................................................................... 692
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus ............................................................... 699
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 706
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 706
4.2 Saran .......................................................................................................................................... 706
DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................................................... 707
Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi................................................. 717
xvii
DAFTAR TABEL
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
RINGKASAN EKSEKUTIF
xx
dua tahun sekali menurut basis bukti terbaru dan kapasitas yang
dimiliki oleh masing-masing fasilitas kesehatan.
Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era
JKN ini yang masih merujuk pada sistem kodifikasi ICD 9-CM
untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian
buku panduan ini diharapkan dapat secara paripurna memberikan
pedoman dalam pelaksananan pelayanan di bidang neonatal.
xxi
BAB I
1.1 Pendahuluan
Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini
dengan semakin berkembangnya kemampuan rumah sakit di
seluruh Indonesia dalam melaksanakan tugasnya. Unit kerja
koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan
baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset
tenaga mediknya, fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan
serta panduan prosedur pelayanannya.
Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem
pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat
primer di puskesmas (pelayanan neonatus tingkat satu atau
dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit
tipe D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008
tentang pedoman pelayanan maternal perinatal pada rumah sakit
kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan neonatus
subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri
kesehatan tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak
sesuai dengan perkembangan pengetahuan saat ini. Dan untuk
melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan ini yang
nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap
tahun. Adapun program Kementerian Kesehatan RI dalam
pelayanan neonatal pada prinsipnya mengacu pada Rangkaian
Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang memiliki tiga
kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas,
intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola
1
klinis kehamilan, persalinan dan neonatus sakit) serta
pemberdayaan partisipasi keluarga.
Kepentingan standarisasi adalah upaya mencapai cakupan
pelayanan neonatal berkualitas, menetapkan acuan dalam
melaksanakan tugas pelayanan khususnya di bidang neonatus
sebagai bagian dari intervensi klinis dalam tatakelola neonatus
sakit. Tetapi karena adanya disparitas yang sangat luas di negara
kita, maka pada saat ini belum dapat dilakukan standarisasi secara
baku. Oleh sebab itu, pada saat ini baru dapat ditetapkan panduan
minimal yang harus dilaksanakan dalam pelayanan di bidang
neonatus. Panduan minimal meliputi kompetensi aset tenaga
medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta panduan
prosedur klinis yang harus dilakukan, sesuai dengan:
• PMK No 604/MENKES/SK/VII/2008 tentang pedoman
pelayanan maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas
C dan kelas D
• PMK No 1051/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman
penyelenggaraan PONEK 24 jam di rumah sakit
• PMK No 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan
program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga
• PMK No 43 tahun 2016 tentang standar pelayanan minimal
bidang kesehatan.
Hasil dari panduan ini menuju kesamaan konsep dalam
melaksanakan pelayanan neonatus. Kesamaan konsep akan
mendukung konsep rujukan regionalisasi (sesuai PMK No
HK.02.02/MENKES/391/2014 tentang pedoman penetapan rumah
sakit rujukan regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi
Indonesia yang sangat unik secara geografis. Selain itu juga
mendukung program Kementerian Kesehatan RI dalam
mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000
2
kelahiran di tahun 2025.
3
Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 19931
Layanan Neonatus Dasar Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca
(tingkat I), Perawatan resusitasi
neonatus bugar Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses
rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik.
Modifikasi di Indonesia:
• Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan
neonatus normal.
• Identifikasi tanda bahaya pada neonatus
• Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus non-
bugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya.
• Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat I, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000
gram dan usia kehamilan 36 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif.
Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIB, spesialistik luas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIA, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800
gram dan usia kehamilan 35 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif
dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk
stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada
neonatus.
4
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major terbatas
(tindakan bedah spesialistik) pada neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIA, ditambah:
• Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir
dan usia kehamilan.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak
terbatas (ventilator konvensional, high frequency
ventilator, high frequency oscillator).
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak
terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada
neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIB, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.
Modifikasi di Indonesia:
Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan
Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIC, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau
dengan ECMO.
5
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan
primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan sekunder/ ruang rawat
gabung rumah sakit)
1.3.1.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti
profesi medis, bidan dan perawat.
A. Dokter
6
wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal
peri-neonatal.
▪ Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat
kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya
terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan kesehatan
vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.
▪ Standarisasi panduan prosedur klinis secara regional
maupun nasional.
7
▪ Penyusunan dan revisi/ updating panduan asuhan
keperawatan prosedur klinik di unitnya.
2. Mebel
2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung.
2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan
2.3 Rak sepatu
2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung
2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik.
Tidak dianjurkan pengering handuk
8
Gambar 1. Area cuci tangan
9
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi
baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan
topinya, kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi (high
flowmeter)
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik
- Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan
- Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.4 Obat-obatan:
- Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.5 Alat pelindung diri:
10
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung
3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.7 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah
11
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan
sekunder/ rumah sakit)
1.3.2.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti
profesi medis, bidan dan perawat.
12
1.3.2.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obat-
obatan
13
Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi
baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya.
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik
- Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan
- Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.3 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
14
3.4.4 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.5 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung
3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.7 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila
terjadi kegawatan pada neonatus
15
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1
Lemari instrumen
Tersedia dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan
neonatal esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi
diletakkan dan disimpat di ruang transisi.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar
kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, non-
organik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan
detik)
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1
Alat periksa:
- Stetoskop bayi atau anak
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2
Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m 2
- Inkubator transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
Cairan pencuci tangan
16
Gambar 3. Ruang Transisi
17
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan
detik)
1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus
1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II.
Satu unit layanan neonatus tingkat II, terdiri dari:
2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.
Minimal satu alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR, 10FR/12FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal satu sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal satu sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur
udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap
ruangan.
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat
tidur bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan obat-
obatan
4.1 Gaun
18
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.10 Terapi oksigen :
• Nasal kanul high flow
• Nasa kanul low flow
19
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II
pada tunjangan ventilasi non-invasif.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
20
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)
21
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
22
Bidan dan perawat
• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan,
ketrampilan dan sikap profesional asuhan keperawatan di
bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
Membantu dokter spesiais dalam tata kelola klinis, manajemen
progran di unit layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.
23
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja
alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi invasif
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
3.5 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
24
3.5.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR
dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.5.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik
- Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan
- Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.5.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi
3.5.4 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.5.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.6 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastik
- Sepatu pelindung
3.7 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.8 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.9 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah
25
Gambar 6. Trolley emergency
26
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi
kegawatan pada neonatus
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1 Lemari instrumen
Tersedia dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal
esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk
pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, non-
organik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1 Alat periksa:
- Stetoskop
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2 Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m 2
- Inkubator transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
3.4 Cairan pencuci tangan
27
o Ruang peracikan obat/ ruang obat
o Ruang tindakan
o Ruang perah ASI/ Area laktasi
o Area konsultasi
o Ruang administrasi
o Ruang pencucian inkubator
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus
1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II dan III.
Satu unit layanan neonatus tingkat III, terdiri dari:
2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.
Minimal dua alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal dua sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal dua sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur
udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
- High Frequency Ventilatior
- High Frequency Oscillator
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
28
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap
ruangan.
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat
tidur bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan obat-
obatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.10 Head box / t-piece reuscitator
4.11 Penutup mata untuk terapi sinar
4.12 Popok sekali pakai (Pampers)
4.13 Penutup sepatu sekali pakai
4.14 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4.15 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
4.16 Cairan infus
- Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10%
- Ringer Lactate
4.17 Cairan nutrisi parenteral
- Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.18 Antibiotik
- Ampisilin
- Gentamisin
4.19 Obat respirasi
- Aminofilin
4.20 Kardiotonik
- Dopamin
- Dobutamin
- Epinefrin
4.21 Lemari es
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel
29
6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, non-
organik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
30
Gambar 7. Area pencucian inkubator
31
3.1.1 Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai DPJP
yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan fungsi
untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem rujukan
Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang dokter
spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal
spesialistik)
o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan
pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat
dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter
spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus
yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat dari
pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang
setingkat)
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat dengan
adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian kewenangan kepada
dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat
dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter
spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter,
perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari
pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi.
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat dengan
adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian kewenangan kepada
dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan setempat
dan jajaran lintas sektoral terkait.
3.1.2 Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari
DPJP /shift *
32
3.1.3 Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II:
Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift
Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III:
Satu perawat/ 2 inkubator/ shift
3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan
neonatus tingkat I, II dan III
3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk perawat
3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat
3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat
3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat
3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi
3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik
4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat
kedokteran dan obat-obatan
33
BAB II
34
2. Bencana (Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
dan atau Pemerintah Daerah)
3. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;untuk kasus yang
sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya
dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan.
4. Pertimbangan geografis
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.
35
kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh
pemerintah.
2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang
selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan
Kesehatan.
3) Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas
Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas
Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
4) Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
5) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
meliputi klinik utama atau yang setara, rumah sakit umum
dan rumah sakit khusus.
6) Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah
upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat
spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan
tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap
di ruang perawatan khusus.
7) Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan
kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah
kematian, keparahan, dan/atau kecacatan sesuai dengan
36
kemampuan fasilitas kesehatan.
8) Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan
komprehensif yang meliputi pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kesehatan darurat
medis, pelayanan penunjang dan atau pelayanan
kefarmasian.
9) Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk
observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi,
dan/atau pelayanan kesehatan lainnya dengan menempati
tempat tidur.
10) Sumber daya adalah segala dukungan berupa material,
tenaga, pengetahuan, teknologi dan/atau dukungan lainnya
yang digunakan untuk menghasilkan manfaat dalam
pelayanan kesehatan.
11) Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018
tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila didaftarkan
kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah
dilahirkan.
37
dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut
wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan
membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin
kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
Dengan sistem pembiayaan prospectife payment ini,
manajemen Rumah sakit (RS) harus melakukan efisiensi pada sisi
input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain yang
surplus. Rumah Sakit membayar jasa dokter yang layak dan sesuai
dengan kaidah. Namun demikian, efisiensi yang diterapkan dalam
pelayanan Rumah sakit harus tetap mempertahankan mutu dan
wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran sebagaimana
disebutkan dalam Undang–Undang Praktik Kedokteran No. 29
Tahun 2004 .
Standar pelayanan kedokteran di rumah sakit atau disebut
Panduan Praktik Klinik (PPK) disusun mengacu pada Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) atau pustaka mutakhir dan
dengan menyesuaikan kondisi setempat. Panduan Praktik Klinik
dibuat oleh staf medis setiap departemen atau divisi dibawah
koordinasi komite medis dan baru dapat dilaksanakan setelah
diresmikan oleh direksi. Dalam PPK terdapat hal-hal yang
memerlukan rincian langkah demi langkah. Sesuai dengan
karakteristik permasalahan serta kebutuhan pelayanan maka
disusun pula clinical pathway (CP) untuk mendukung kesuksesan
pelayanan kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1438/PER/MENKES/IX/2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran yang menyebutkan bahwa setiap rumah sakit membuat
Standar Prosedur Operasional dalam bentuk PPK, maka RS
38
memiliki kewajiban dalam menyusun CP demi menunjang
pelayanan kesehatan yang efisien dan berkualitas. Clinical Pathway
adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang
merangkum pelayanan yang dilakukan pada pasien mulai masuk
sampai keluar RS berdasarkan standar pelayanan medis, standar
asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga kesehatan
lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur. Tujuan
CP antara lain : memfasilitasi penerapan clinical guide dan audit
klinik dalam praktek, memperbaiki komunikasi dan perencanaan
multidisiplin, mencapai atau melampaui standar mutu yang ada,
mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam praktek klinik,
memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan
kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.
39
diagnosis atau mengkoding yang akan menentukan besaran
pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan.
Menurut Petunjuk Teknis dari Pedoman Pelaksanaan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Panduan Praktis
Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan, klaim
diajukan kepada kantor cabang/kantor operasional
kabupaten/kota BPJS kesehatan secara kolektif setiap bulan
dengan kelengkapan administrasi umum antara lain sebagai
berikut:
1. Rekapitulasi pelayanan
2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari:
• Surat eligibilitas peserta (SEP)
• Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung
jawab pasien (DPJP)
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila
diperlukan), misal:
• Laporan operasi
• Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat)
pemberian obat khusus
• Perincian tagihan rumah sakit
• Berkas pendukung lain yang diperlukan
40
dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi,
sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah
dilengkapi namun masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi
perbedaan pendapat atau persepsi antara verifikator internal RS
dan eksternal (BPJSK), dan masuk dalam “Dispute Claim”.
Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan
dilakukan diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya
(TKMKB), Dewan pertimbangan Medis (DPM), Dewan Pertimbangan
Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi oleh BPJS
Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat.
Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring
bertambah banyaknya jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan
variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan percepatan proses
verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di
Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan
klaim dari Fasilitas Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah
untuk mengurangi kegiatan yang dioperasikan secara manual.
Beberapa hal tentang Vedika adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan
2. Dilakukan oleh verifikator BPJS Kesehatan dan Verifikator
Internal Rumah Sakit
3. Verifikasi Administrasi dilakukan pada seluruh klaim
4. Verifikasi pelayanan hanya sampling klaim
5. Klaim yang masuk, langsung secara menyeluruh setiap bulanan
hal ini akan meminimalisir adanya klaim susulan
6. Rumah Sakit juga berperan aktif dalam melakukan verifikasi
dengan verifikator internal rumah sakit
7. Rumah Sakit juga melakukan audit klaim (post review claim)
8. Rumah Sakit membuat Surat tanggung jawab mutlak dalam
pengajuan klaim oleh FKTL
41
9. Lama waktu verifikasi sampai pembayaran sama (15 hari) di
setiap daerah
10. Konfirmasi klaim dilakukan baik ke Rumah Sakit dan ke
Peserta
42
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik
sesuai National Casemix Center (NCC)
43
Hal hal yang dapat menjadi kendala proses klaim BPJS
1. Penulisan diagnosis pada form casemix tidak sesuai dengan
resume medis.
2. Kesalahan penempatan penulisan diagnosis utama dengan
diagnosis sekunder
3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada
laporan operasi / tindakan medis lainnya dan hasil penunjang
diagnosis .
4. Resume medis tidak lengkap, misalnya :
• Diagnosis dan prosedur tidak terisi
• Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP) tidak ada.
5. Ketidaklengkapan berkas klaim
6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim
antara petugas BPJS dengan petugas RS (Diagnosis penyakit
dan tindakan, kelengkapan berkas klaim, dan lain lain).
44
kualitas pelayanan, untuk melindungi tenaga medis dan untuk
pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.
3. Pendidikan dan penelitian.
Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan
kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan
medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan
pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan
kedokteran gigi.
4. Pembiayaan.
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk
menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada
sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti
pembiayaan kepada pasien.
5. Statistik kesehatan.
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik
kesehatan, khususnya untuk mempelajari perkembangan
kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita
pada penyakit- penyakit tertentu
6. Pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik.
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga
bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan
etik.
Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah
sakit, dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014
diterapkan metode pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka
ketepatan koding diagnosis dan prosedur sangat berpengaruh
terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama
merawat pasien sesuai dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-
CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medis
45
pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix.
Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM.
Perekam medis harus selalu berkoordinasi dengan dokter bila
menemukan ketidakjelasan dalam penulisan diagnosis.
Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian
finansial berdampak pada perhitungan biaya rumah sakit.
Kodefikasi diagnosis dan tindakan/ prosedur di bidang Neonatologi
dapat dilihat pada Lampiran 1.
46
BAB III
PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus
BAB I
PENDAHULUAN
48
epidemiologis bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami
kematian 20 kali lebih besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7
Berat lahir rendah dapat terjadi akibat kelahiran prematur (kurang
dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan janin yang terhambat,
atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh terhadap
tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.8-10
Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir
rendah tergambar dari satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk
tiap BBLR, biaya perawatan selama satu tahun pertama termasuk
perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR yang lahir
prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen
akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika
Serikat pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh
pembiayaan kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12
dengan laporan biaya medis, pendidikan, dan kehilangan
produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar.13 Italia mendapatkan
data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah
€20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat
59,7 hari (SD 21,6 hari).14
1.2. Permasalahan
Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan,
terutama dari aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya
tersebut masih belum berhasil menurunkan angka kejadian BBLR
secara bermakna, bahkan di negara maju sekalipun.15 Demikian
pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen
tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16
49
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu
hamil dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil
dengan KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
Anemia pada ibu hamil dihubungkan dengan meningkatnya
kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit infeksi.
Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan
dan berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun
setelahnya.17
Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah
penyebab nomor 3 kematian masa perinatal di rumah sakit pada
tahun 2005.18 Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan (2007)
menyebutkan kematian bayi baru lahir usia 0-6 hari paling banyak
disebabkan oleh gangguan pernapasan/asfiksia (37%),
prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19
Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi
gangguan pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir
merupakan faktor penting dalam menurunkan mortalitas bayi baru
lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR sangat menentukan
prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga dalam
morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al20 (2010)
menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi
dengan berat lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih
tinggi jika lahir bukan di rumah sakit dengan fasilitas perawatan
neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut juga meningkat, hal
ini berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan
intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan
dengan kelainan perkembangan saraf.21
Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh
Ribeiro et al.22 (2011) terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan
usia gestasi <38 minggu, dan menyimpulkan bahwa berat lahir
50
rendah bersama prematuritas merupakan risiko gangguan
berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al.23
(2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28
minggu dan berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1%
kasus serta gangguan pendengaran sedang dan berat pada 1,9%
kasus. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan oksigen
jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling penting untuk
terjadinya gangguan pendengaran.
Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan
surfaktan dan steroid maternal, serta kemajuan teknologi
perawatan neonatal dalam 50 tahun terakhir.24 Di negara maju
bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran usia gestasi
23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup
yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru
kronik,26,27 kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan
perilaku,30 palsi serebral, serta defisit neurosensorik termasuk
kebutaan31 dan ketulian26 ternyata tetap besar.
Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala
sisa berat pada jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup
pasien maupun keluarganya.32 Bayi berisiko seperti BBLR harus
ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai dengan kebutuhan
medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang optimal.
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III
berdasarkan tingkat kemampuan fasilitas tersebut dalam
menangani bayi baru lahir.33
Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan
stabilisasi dan merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu
yang secara fisiologis stabil, serta stabilisasi usia gestasi <35
minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai dapat dirujuk ke
51
fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal
spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32
minggu dan berat lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang
imatur (apne of prematurity, tidak mampu mempertahankan suhu
tubuh, dan tidak mampu menerima diet per oral (PO), sakit sedang
dengan masalah yang diperkirakan akan membaik dalam waktu
singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik,
serta dalam pemulihan pasca-perawatan intensif. Level III
(pelayanan neonatal subspesialistik) adalah NICU dengan
kelengkapan petugas dan peralatan yang mampu menyediakan
continuous life support dan perawatan yang komprehensif untuk
bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit
kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik)
mampu menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus
kelainan kongenital kompleks atau kelainan didapat. Di level IV
kasus-kasus bedah subspesialis dapat segara ditangani dengan
adanya tenaga konsultan pediatrics anesthesiologist dan konsultan
bedah anak on site.35
Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
baik dilakukan pada ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang
lahir bermasalah segera memperoleh penanganan yang memadai di
NICU. Faktanya mayoritas kelahiran bayi bermasalah termasuk
BBLR terjadi di pelayanan kesehatan tanpa fasilitas yang
memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya
memerlukan perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas
kesehatan pada masa intrapartum akhir, sehingga tindakan
merujuk ibu pada saat itu justru akan berisiko.38 Riskesdas 2013
mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di Indonesia,
36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan.17
52
Mortalitas BBLR akan berhasil diturunkan jika ada
koordinasi yang baik antara pelayanan kesehatan berbasis
komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur yang bermasalah
dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan
mekanisme merujuk yang memadai dari pelayanan tingkat
komunitas sampai dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang
komprehensif antar pelayanan kesehatan mutlak diperlukan untuk
mengurangi kematian neonatus.39-46
Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR
terdiri atas kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR
rendah,41-46 tidak bernapas spontan di ruang bersalin,43 intubasi di
ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi dada atau adrenalin di
ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47 respiratory distress
syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal continuous
positive airway pressure (NCPAP).42 Sedangkan faktor yang
berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di
fasilitas kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan
bahwa upaya resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi
luaran BBLR.
Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di
ruang rawat gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami
ancaman gagal napas, gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan
kongenital berat, maka tata laksana berikutnya adalah merujuk ke
ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah sakit lain dengan
fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38
Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan
NICU (meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami
rujukan), kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan
BBLSR yang tidak dirawat di NICU.50 Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit yang
53
mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi
hingga 51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level
perawatan neonatal yang lebih rendah atau BBLSR yang mengalami
rujukan.20 Dengan demikian perawatan di NICU adalah penting
untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus BBLSR yang
bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga
kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam
kondisi yang sudah stabil.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi
langkah-langkah yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan
primer hingga tersier dalam menangani kelahiran BBLR, dalam
lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme merujuk. Dengan
penerapan rekomendasi ini, BBLR diharapkan mendapat
penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan
morbiditas neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga
BBLR yang hidup akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan umum
Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR.
1.3.2.Tujuan khusus
a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan
pada bukti ilmiah (scientific evidence), untuk membantu
dokter, bidan, dan perawat tentang tata laksana BBLR
dalam fase resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk.
b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan
primer sampai dengan tersier serta penentu kebijakan
untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan
54
Praktik Klinis (PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini.
1.4. Sasaran
1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses
kelahiran BBLR, termasuk dokter, bidan, dan perawat.
Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer sampai dengan tersier.
2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi
pendidikan, serta kelompok profesi terkait.
55
BAB II
METODOLOGI
56
of Evidencei yang dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga
peringkat bukti adalah sebagai berikut:
IA metaanalisis, telaah sistematik
IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik
IC all or none
II uji klinis tidak terandomisasi
III studi observasional (kohort, kasus kontrol)
IV konsensus dan pendapat ahli
57
BAB III
Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR)
<2500 g.8,10 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat
lahir <1500 g dan bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR)
adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah usia gestasi dan
makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis dan
inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres
pada masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan
berat lahir berbeda-beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana
resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme merujuk pada tiap kelompok
tersebut juga berbeda.
3.1. RESUSITASI
Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk
mulai bernapas saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang
lebih ekstensif.51 Panduan baru untuk resusitasi bayi baru lahir
disusun oleh The International Liaison Committee on Resuscitation
(ILCOR), American Heart Association (AHA), American Academy of
Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2017 dan
menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir adalah
ventilasi yang efektif.18,52,53 Rekomendasi utama resusitasi
neonatus menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai
berikut (Gambar 1) yaitu:ii
• Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan
yang baik. Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal,
persiapan tim penolong dan persiapan tempat beserta alat-alat
resusitasi.54-56
58
• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan
menentukan perlu tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini
berupa penilaian tonus otot dan usaha nafas. Jika terdapat tonus
otot atau usaha napas yang buruk maka bayi harus segera
mendapat resusitasi.18
• Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri
dari meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan
jalan napas jika terdapat sumbatan, mengeringakan dan
merangsang taktil dan memosisikan bayi dalam posisi
menghidu.18,57
• Tindakan resusitasi selanjutnya setelah langkah awal ditentukan
oleh penilaian simultan dua tanda vital, yaitu frekuensi denyut
jantung dan pernapasan. Oksimetri digunakan untuk menilai
oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat
diandalkan.57
• Apabila bayi tidak bernapas (apnea) ataupun bernapas sangat
lemah (gasping) maka ventilasi tekanan positif yang efektif harus
segera dilakukan sesegera mungkin.57
• Resusitasi bayi cukup bulan lebih baik dilakukan dengan udara
kamar (FiO2 21%) oksigen konsentrasi rendah (FiO2 30%) untuk
neonatus dengan usia kehamilan kurang dari 35 minggu.58,59
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan
udara (blended oxygen), dan pengaturan konsentrasi oksigen
berdasarkan panduan oksimetri.18
• Bukti yang ada tidak menganjurkan dilakukannya pengisapan
trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur
mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan tidak
bugar/depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).60
• Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66
59
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup
bulan atau mendekati cukup bulan dengan perkembangan
kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik sedang atau
berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.58
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi
detak jantung selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam
keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.67-71
• Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3
menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak
terdapat cukup bukti untuk merekomendasikan lama waktu
penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.51,54
60
Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI.18
61
Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan
bahwa kita dapat melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir,
yaitu memutuskan seorang bayi memerlukan resusitasi atau
berdasarkan dua karakteristik berikut:
1) Menangis atau bernapas?
2) Tonus otot baik?
62
oksigenisasi pada 30 detik berikut, dan apabila tidak berhasil
dilanjutkan dengan 60 detik berikut dengan tambahan tindakan
kompresi dada. Empat langkah tersebut dilakukan secara simultan.
Keputusan petugas resusitasi untuk melanjutkan dari satu langkah
ke langkah berikutnya adalah berdasarkan evaluasi laju denyut
jantung, usaha napas pernapasan dan tonus otot.18 Petugas
resusitasi maju ke langkah berikutnya jika langkah sebelumnya
sudah dikerjakan dengan baik. Berikut adalah penjelasan untuk
tiap-tiap langkah tersebut di atas:
1. Langkah awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan
meletakkan bayi di bawah penghangat atau radiant warmer,
memosisikan bayi pada posisi menghidu (posisi setengah
ekstensi) untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan
napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi stimulasi
napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi
bayi (BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah
kehilangan panas tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54
Membersihkan jalan napas atas dilakukan sebagai berikut:
• Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada
orofaring segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin,
tetapi hanya dilakukan pada bayi yang mengalami obstruksi
napas dan yang memerlukan VTP.75,76
• Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi,
bukti yang ada tidak menganjurkan pengisapan trakea
secara rutin.60
2. Ventilasi tekanan positif
Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP bila bayi
mengalami apne atau gasping, atau laju denyut jantung <100
63
per menit. Ventilasi tekanan positif (VTP) yang dilakukan harus
efektif sehingga mampu mengembalikan usaha napas hampir
semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia. Ventilasi
tekanan positif yang efektif ditandai dengan pengembangan
dada, peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi
pada monitor saturasi (SpO2).18,57
Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15
detik pasca VTP dimulai oleh asisten sirkulasi.
Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi
tidak efektif dan mulai melakukan langkah koreksi.
Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah
sebagai berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi
sempurna dan tidak bocor, reposisi kepala menjadi posisi
menghidu, membersihkan saluran napas dari lendir yang
menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka, menaikkan
tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih
dari 40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau
intubasi orotrakeal sebagai jalan akhir.54
Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan
laju denyut jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan
intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring dan
tingkatkan pemberian oksigen menjadi 100%.57
3. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60
denyut per menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif
selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi berbanding
ventilasi efektif adalah 3:1, yang berarti setiap 3 kali kompresi
dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP
efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik
64
untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada
dan VTP efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda.
Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara
processus xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan
kedua mamae. Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter
antero-posterior dinding dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi
dada yang umum digunakan yaitu teknik 2 ibu jari dan teknik 2
jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada mengembang saat
VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada.54,61-66
Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi
dada (60 menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten
sirkulasi menilai laju denyut jantung. Langkah resusitasi
selanjutnya akan ditentukan oleh laju denyut jantung dan usaha
napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas
Laju denyut Usaha napas Tindakan resusitasi lanjutan
jantung
< 60x/menit Apnea Pemberian Adrenalin dilanjutkan
dengan kompresi dada dan VTP
efektif
>60x/menit Apnea Hentikan kompresi dada ,
lanjutkan VTP efektif
>100 x /menit Bernafas Hentikan VTP efektif,
spontan pertimbangan pemberian CPAP
PEEP 7 cmH2O sampai bayi
bernapas adekuat
4. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir.
Namun jika frekuensi denyut jantung tetap <60 per menit
65
walaupun telah diberikan ventilasi efektif dengan oksigen 100%
dan kompresi dada secara sinkron selama 60 detik, maka
terindikasi pemberian obat Adrenalin atau Epinefrin.
Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah
1/10.000 (0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77
Terdapat 2 jalur pemberian adrenalin/epinefrin yaitu
intratrakeal dan intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin
melalui jalur intratrakeal bukan merupakan pilihan karena
beberapa penelitian menemukan tingkat keamanan dan efikasi
tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena, tetapi
pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu
tersedianya akses intravena.54,57,78
Dosis adrenalin/epinefrin intratrakeal yang
direkomendasikan adalah 0,05-0,1 mg/kgBB setara dengan 0,5-
1 mL/KgBB larutan adrenalin/epinefin. Diberikan tanpa
dilakukan flusing dengan larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan
dengan VTP. Sementara dosis intravena yang direkomendasikan
adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB larutan 0,1 mg/mL larutan
adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000).Q2016, Eu 2015 Dosis
intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan
flushing NaCl 0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat
diulang 2-3 menit kemudian apabila frekuensi nadi masih
kurang dari 60 kali/menit.77
Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui
atau diduga terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut
jantung bayi tidak menunjukkan respons adekuat terhadap
upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau darah dapat diberikan
dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai kebutuhan.57
Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal
sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardio-
66
pulmoner dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat
dihentikan jika tidak ada denyut jantung. Setelah resusitasi yang
adekuat, resusitasi dapat dihentikan jika tidak ada denyut
jantung (asistol) selama 10 menit.58
Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan
menit ke-5, dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan
skor Apgar menit ke-10 (Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1,
atau 2 dengan skor total minimal 0 dan maksimal 10, tapi tidak
memengaruhi tindakan resusitasi.79
67
menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah dimulainya
itu.
Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang
kesintasannya tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya
dapat diterima.82 Tindakan resusitasi tidak terindikasi pada kasus
dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang
hampir pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang
sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu).
Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan
kesintasan borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka
keputusan untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan
orangtua.83,84
68
sebelumnya) menyatakan akan menerima risiko morbiditas yang
dapat timbul.85 Belum ada bukti yang cukup untuk memutuskan
akan menghentikan atau melanjutkan resusitasi pada bayi baru
lahir yang tetap bradikardia setelah 10 menit dengan resusitasi
adekuat.86,87
69
Gambar 3 Balon resusitasi yang dapat memberikan TPAE dan TPI terukur
70
Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O2,
sumber O2 bertekanan (FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%)
untuk pemberian O2 dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.
71
balon yang 2. Tidak dapat digunakan
berlebihan dengan baik untuk
memberikan oksigen
aliran bebas melalui
sungkup
3. Tidak dapat digunakan
untuk memberikan
CPAP dan baru dapat
memberikan TPAE bila
ditambahkan katup
TPAE
T-piece 1. Tekanan konsisten 5. Membutuhkan aliran
resuscitator 2. Pengatur TPI dan gas bertekanan
TPAE dapat 6. Pengaturan tekanan
diandalkan dilakukan sebelum
3. Dapat mengalirkan digunakan
oksigen 100% 7. Mengubah tekanan
4. Operator tidak inflasi selama resusitasi
lelah karena akan lebih sulit
memompa 8. Risiko waktu inspirasi
memanjang
72
Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi
dengan balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas
73
1. Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan
(fraksi oksigen 21%), fraksi oksigen 100%, atau
lainnyaiii,iv,v,vi,vii
74
Mengawali resusitasi bayi prematur dengan oksigen
konsentrasi tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of
Evidence 1A, Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan
kecenderungan untuk tidak memaparkan bayi baru lahir prematur
dengan oksigen tambahan tanpa data yang menunjukkan bukti
adanya manfaat atau untuk luaran yang penting.
75
Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung menggunakan
pulse oximeter hasilnya terpercaya jika dilakukan mulai 30
detik pasca lahir saat dimulainya tindakan ventilasi tekanan
positif.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
a b c
Gambar 7.
a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan.
b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping.
c. Pengatur FiO2 blender xxx .97
76
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30
mmHg dan menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah
kelahiran, nilai ini akan meningkat dalam beberapa menit menjadi
50-80 mmHg (SpO2 >90%), tergantung pada fungsi paru, sirkulasi
pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan. Kadar oksigen
pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan
secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98
Mekanisme pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru
terbentuk pada usia gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang
sangat prematur rentan terhadap hiperoksia.99
Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi
asfiksia pada bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan,
beberapa studi prospektif membandingkan efek penggunaan
oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama resusitasi, namun
studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka
panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan
parameter penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103
Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru
lahir, penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%)
menurunkan risiko mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP
dimulai dengan oksigen ruangan (FiO2 21%), kemudian
ditingkatkan/dititrasi sesuai dengan kebutuhan neonatus.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan
dengan berat lahir >1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan
menurunkan mortalitas dibandingkan dengan resusitasi
menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio odds (RO) 0,51:
interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02).104-106 Namun
sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan
fraksi oksigen untuk resusitasi bayi usia gestasi 32-37
minggu.58viii,ix,x,xi
77
Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai
dengan udara ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan
hipoksemia atau hiperoksemia, dibandingkan dengan FiO2 30%
atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR usia gestasi <32
minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi dengan
udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam
3 menit pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada
bayi kurang bulan usia gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai
dengan oksigen 30% akan menurunkan stress oksidatif, inflamasi,
kebutuhan oksigen, dan risiko BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola
dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi dapat dimulai
dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang
bermakna.
78
65% sampai 70%, 3 menit: 70% sampai 75%, 4 menit: 75% sampai
80%, 5 menit: 80% sampai 85%, 10 menit: 85% sampai 95%.18
Pengaturan FiO2 berikutnya disesuaikan ketika saturasi telah
mencapai >90%. Untuk mencegah toksisitas oksigen terjadi, maka
terapi oksigen diberikan dengan target mempertahankan PaO2 <100
mmHg dan SpO2 88-92%.18
Namun pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dapat
dilakukan dengan:48
• Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan
dengan konektor Y
79
• T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor
Gambar 11 Mixsafe®
Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut
dapat dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini.
80
murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan
menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit
dengan kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian
seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18
81
yang lebih besar dapat diberikan sehingga menghasilkan ventilasi
yang efektif. Pada bayi kurang bulan yang apne pasca-lahir,
bantuan ventilasi inisial dengan TPAE perlu diberikan jika fasilitas
tersedia.110
82
bukti tersebut, bayi prematur yang bernapas spontan dengan sesak
napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP dini.21,112,113
83
Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,
bantuan pernapasan diberikan CPAP dengan PEEP 7 cmH2O.
Jika bayi masih retraksi, tekanan CPAP dapat ditingkatkan
menjadi maksimal 8 cmH2O.
Pertimbangkan pemberian surfaktan jika masih didapati sesak
napas walaupun sudah mendapat CPAP 8 cmH2O.
Pemberian surfaktan dapat diberikan dengan metode INSURE
(intubate-surfactant-extubate) atau metode MIST (minimally
invasive surfactant therapy).
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
3. Terapi Surfaktan
84
surfaktan melalui endotracheal tube yang diikuti dengan proses
ekstubasi segera dan pemberian CPAP. Ikatan Dokter Anak
Indonesia sejak tahun 2014 merekomendasikan pemberian
surfactant rescue melalui metode INSURE.114
85
menggunakan kateter vaskular yang lebih kaku dan tipis. Ujung
kateter dapat diposisikan dalam trakea di bawah pita suara dengan
laringoskopi indirek tanpa forceps sementara bayi tetap dalam
CPAP119, disebut sebagai MIST (minimally invasive surfactant
treatment).
Kedua metode tersebut bertujuan untuk mempertahankan
napas spontan pada CPAP, sementara surfaktan diberikan secara
bertahap beberapa menit dengan menggunakan syringe sehingga
bayi terhindar dari ventilasi tekanan positif. Kedua metode ini telah
dibandingkan dengan pemberian surfaktan metode INSURE. Studi-
studi ini melaporkan berkurangnya penggunaan ventilasi mekanik
dan kejadian BPD pada bayi yang menggunakan metode LISA atau
MIST. Uji klinis tanpa randomisasi dengan subjek bayi amat sangat
prematur (usia gestasi 23–27 minggu) menunjukkan tidak ada
peningkatan signifikan terhadap kesintasan (survival) tanpa BPD
pada subjek yang diberikan surfaktan dengan metode lisa LISA,
meskipun bayi-bayi tersebut lebih sedikit membutuhkan ventilator
mekanik.120
Studi ini juga menunjukkan kejadian pneumothoraks dan
perdarahan intraventrikuler yang lebih rendah. Namun demikian,
hampir 75% subyek yang mendapat intervensi (LISA) akhirnya
membutuhkan ventilasi mekanik dengan kejadian desaturasi yang
lebih berat.121 Meskipun perbandingan dengan INSURE secara
langsung melaporkan hasil tersebut dalam satu studi.122 Meta
analisis menunjukkan tidak ada perbedaan luaran yang signifikan
antara kedua metode ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling
tidak invasif adalah dengan cara nebulisasi, namun hingga saat ini
belum mencapai tahap rekomendasi untuk penggunaan klinis
secara rutin.124
86
b. Sediaan Surfaktan
(1.2 ml/kg)
87
sapi). Belum dapat dipastikan apakah hal ini disebabkan oleh
karena perbedaan dosis pemberian atau perbedaan jenis sediaan
surfaktan.127
88
Bayi yang mengalami RDS dan gagal membaik pasca pemberian
CPAP (tekanan 8 cm H2O dan Fio2 >40%) dapat diberikan
surfaktan alami.
Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin (<2 jam) dan
tidak direkomendasikan pemberian surfaktan bila usia bayi >12
jam.
Surfaktan boleh diberikan di kamar bersalin/NICU dengan
syarat terdapat monitor kardiorespirasi dan alat-alat bantuan
penyelamat hidup.
Metode pemberian surfaktan dapat berupa INSURE atau
LISA/MIST.
Pemberian surfaktan dosis ulangan dapat diberikan apabila ada
bukti perburukan RDS, seperti kebutuhan oksigen persisten
yang membutuhkan ventilasi mekanik.
89
ukuran yang relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah
digunakan serta dapat berfungsi seperti CPAP, membuat alat ini
direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI sebagai alat ventilasi di
tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece resuscitator
memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan
dengan balon mengembang sendiri.132-137
Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan
memiliki kendala terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya.
Balon mengembang sendiri merupakan alat ventilasi yang lebih
sering digunakan di kamar bersalin atau kamar operasi, namun alat
ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang besar.73 T-piece
resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat bayi
dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang
relatif stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133-
135,137-140
90
dilanjutkan dengan CPAP. Penggunaan T-piece resuscitator
menurunkan risiko kegagalan CPAP sebesar 90% (RR 0,1;IK95%
0,02-0,5;P=0,003).137
a b
Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong
91
5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe)
Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru
lahir yang disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency
for International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD),
dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh
WHO (Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas
yang terbatas. Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan
pentingnya keterampilan tenaga kesehatan yang membantu
kelahiran dalam menilai kondisi klinis, mempertahankan suhu
tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan ventilasi
bantuan bayi jika diperlukan.141
Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies
Breathe dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat
mekonium saat bayi lahir, segera bersihkan jalan napas dan
keringkan bayi. Kemudian petugas mengevaluasi kondisi bayi
menangis atau tidak.79
a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat,
periksa pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas
badan ibu.
b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri
stimulasi. Periksa ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan
baik, jaga agar bayi tetap hangat dan potong tali pusat. Bila bayi
belum bernapas dengan baik, potong tali pusat dan berikan
bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi dapat
dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih
belum bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan
ventilasi, lalu periksa detak jantung. Apabila detak jantung
lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat bayi di perawatan lanjutan
(advanced care).
92
Gambar 13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141
93
3.2. STABILISASI PASCA-RESUSITASI
Pencatatan perkembangan keadaan bayi maupun tindakan medis
adalah penting. Dokumentasi ditulis dalam satu format formulir
pemantauan yang mudah diisi, jelas, dan singkat.135 Pasca-
resusitasi di kamar bersalin, bayi yang bermasalah harus
distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih
memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi
harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat
dicapai dengan menerapkan program STABLE.38
94
a. SUGAR
Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia.
Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara
parenteral. Koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas
terganggu ketika bayi bernapas cepat, sehingga pemberian secara
enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik) dihindari karena
risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan
infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang
lambat karena adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat
kadar oksigen darah yang rendah atau tekanan darah yang rendah
selama ataupun pasca-lahir, aliran darah ke usus halus berkurang,
sehingga meningkatkan risiko iskemia.38
Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan
mendapat asupan nutrisi enteral. Bayi dengan paska resusitasi
akibat hipoksia yang dialaminya memiliki risiko cedera hipoksik
iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera
diberikan setelah resusitasi selesai, untuk menghindari
hipoglikemia.136,142 Tempat pemasangan akses IV yang paling baik
adalah umbilikal dan ekstremitas. Akses vena umbilikal masih
dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga dua minggu
pada kasus khusus.38
95
simpatomimetik, penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan
anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Janin memperoleh
glukosa dan asam amino transplasenta. Setelah pemotongan tali
pusat dilakukan, maka secara fisiologis enzim mengaktivasi
konversi glikogen menjadi glukosa untuk selanjutnya
didistribusikan melalui aliran darah. Ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap kemampuan bayi
mempertahankan kadar glukosa darah yang normal setelah
kelahiran, yaitu simpanan glikogen yang tidak adekuat,
hiperinsulinemia, dan utilisasi glukosa yang meningkat.38,142
Baku emas kadar glukosa adalah glukosa darah vena, namun
pemeriksaan tersebut memerlukan sejumlah sampel darah dan
lebih sulit sehingga membutuhkan waktu yang lama. Maka
pemeriksaan yang lazim dikerjakan adalah skrining gula darah
melalui darah kapiler. Alat skrining yang dianjurkan adalah alat
dengan tingkat kesalahan 15% dari nilai glukosa darah vena.38
Hasil skrining yang menunjukkan hasil LOW dapat saja tidak
akurat dan menyebabkan over ataupun undertreatment. Jika hasil
skrining LOW, petugas sebaiknya mengonfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa darah vena, sementara itu terapi hipoglikemia
tetap dikerjakan.38
Gejala klinis hipoglikemia seringnya asimtomatis. Gejala
hipoglikemia adalah tidak spesifik jitteriness, rewel/gelisah,
hipotonia, letargi, tangis yang high-pitch atau tangis lemah,
hipotermia, gangguan menghisap, takipne, sianosis, apne, dan
kejang).38 Sehingga panapisan gula darah dilakukan pada semua
bayi dengan memiliki risiko hipoglikemia. Penting bagi praktisi
untuk mengenali risiko hipoglikemia pada bayi baru lahir.
World Health Organization merekomendasikan terapi
hipoglikemia dimulai jika kadar gula darah neonatus <47 mg/dl (2,6
96
mmol/L). Pada bayi berisiko hipoglikemi, pemeriksaan kadar gula
darah dilakukan segera setelah lahir dan selanjutnya dilakukan
secara berkala.
Kadar glukosa terendah yang bisa diterima berdasar
algoritma AAP adalah 25 mg/dL sesudah pemberian minum
pertamakali, rentang yang ditatalaksana lebih lanjut adalah kadar
glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan atau masa
transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35
mg/dL, tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL.143
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru
lahir karena bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4
jam kadar gula darah harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula
darah harus ≥45 mg/dl, dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus
≥50 mg/dL. Karena adanya proses hipoglikemia fisiologis pada bayi
baru lahir, maka setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir,
pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan pada 2-4 jam
setelah pemeriksaan kadar gula pertama.144,145
Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir
pada bayi late preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan,
bayi lahir dari ibu diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut,
bila bayi pasca lahir simtomatik dan kadar gula < 40mg/dL
diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia termasuk iritabilitas,
tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis melengking,
kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas
minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai
minum peroral dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit
sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil <
25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam sesudahnya
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL
diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau
97
infus dengan kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari).
Kadar glukosa plasma yang diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar
gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau infus glukosa seperti
tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24 jam
lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan
glukosa pada tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35
mg/dL maka diberikan minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam.
Bila kadar gula < 35 mg/dL maka diberikan infus glukosa, bila
kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus glukosa
sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143
98
Tatalaksana hipoglikemi
99
Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10%
(D10W) dengan target glucose infusion rate (GIR) 4 – 6
mg/kgBB/menit. Pemberian cairan D10W 80 mL/kgBB/hari
menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat syok dan
normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60
mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit),
D12,5W (GIR 5,2 mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2
mg/kgBB/menit). Akses vena sentral diperlukan untuk pemberian
cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang diberi
zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan
persamaan berikut:38,146
100
mL/kgBB/hari atau naikkan konsentrasi dekstrosa bila
peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada
bayi.38,148
Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit
sampai kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut.
Sesudahnya frekuensi pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga
kesehatan, berdasarkan penilaian perkembangan klinis.38 Kotak 1
menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian
glukosa pada BBLR sakit.
101
c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah
yang rendah
6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan
faktor risiko hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan
pemeriksaan gula darah yang perlu dilakukan setelah
kadar gula darah stabil.
7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena
perifer adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi
glukosa yang lebih tinggi diperlukan atau jika zat
tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa 12,5%
(misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total),
maka sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral.
8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak
lebih dari 25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR
15-30. Apabila bayi tetap mengalami hipoglikemia, harus
diberikan obat seperti glukagon, diazoksid,
glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli
neonatologi atau endokrinologi anak.149
9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan
tidak mengalami penurunan pada ulangan berikutnya
setelah bayi stabil ini dapat terjadi akibat intoleransi
glukosa atau sebagai respons stres. Kadar gula darah
>250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan pemberian
insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau
endokrinologi jika tidak membaik.
102
b. TEMPERATURE
Hal-hal yang menyebabkan bayi kehilangan panas, cara
menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta metode
rewarming bayi hipotermia
Hipotermia adalah kondisi yang dapat dicegah dan dapat
memengaruhi morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama
bayi kurang bulan. Bayi baru lahir yang berisiko tinggi mengalami
hipotermia adalah bayi yang kurang bulan dan BBLR terutama
BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama yang
mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi,
kardiak, neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan
terutama dengan defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif
dan hipotonia akibat obat sedatif, analgesik, paralitik, atau
anestetik (Kotak 2).38
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila.
Hipotermia diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan
(36-36,4˚C), sedang (32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana
suhu bertujuan mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan
suhu dilakukan tiap 15-30 menit sampai suhu berada pada kisaran
normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap jam sampai bayi
dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada
kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan.38
Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga
suhu badan bayi dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh
secara konduksi dan konveksi. Suhu ruang bersalin maupun ruang
perawatan bayi harus diatur pada suhu ≥26˚C.72,150 Suhu ruang
bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu BBLR (usia gestasi <28
minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke NICU.151
103
Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu
sekurang-kurangnya 26˚C.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
104
• Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan
ke dalam microwave ataupun meletakkannya di atas
lampu radiant warmer, gunakan selimut hangat.
• Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan
tutupi bayi dengan kain atau selimut tipis.
• Hindarkan kontak dengan alat-alat yang berisiko
menimbulkan luka bakar maupun hipertermia: botol air
panas, sarung tangan panas, dan selimut yang
dihangatkan dengan microwave.
2) Kehilangan panas secara konveksi
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152
• Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai
kaki.
• Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar
bersalin ke ruang perawatan dengan inkubator tertutup
dan telah dihangatkan sebelumnya. Jika hal ini tidak
mungkin, maka bayi dibungkus dengan plastik (tanpa
menghalangi jalan napas) sebelum dirujuk melalui
jalan/lorong penghubung yang dingin.
• Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan
bayi di dalamnya.
• Gunakan oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan.
• Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi
oleh petugas yang sedang bekerja.
3) Kehilangan panas secara evaporasi
• Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan
selimut atau handuk yang telah dihangatkan dan segera
singkirkan semua kain yang basah.
• Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.
105
• Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik
polietilen dari leher sampai kaki.
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153
• Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di
sekelilingnya.
• Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.
• Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan
kulit bayi, misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih
dahulu, tetapi jangan over-heated yang dapat
menimbulkan luka bakar.
4) Kehilangan panas secara radiasi
• Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.
• Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.
• Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau
dinding yang dingin.
• Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan
permukaan yang lebih hangat di dekat bayi.
106
Tata laksana suhu BBLR
107
rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat digunakan.
Inkubator memungkinkan tenaga kesehatan untuk dapat
mengontrol proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan
radiant warmer. Saat proses rewarming, pemantauan ketat meliputi
suhu aksilar denyut dan irama jantung (waspadai aritmia), tekanan
darah (waspadai hipotensi akibat vasodilatasi yang tiba-tiba),
frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat kesadaran,
status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat
dilakukan menggunakan:
1) Inkubator
Kelebihan menggunakan inkubator adalah kemudahan
dalam mengontrol kecepatan rewarming (Gambar 14).
Inkubator diatur dalam mode air temperature yang diatur 1-
1,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara
perlahan sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap
melakukan pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat
suhu bayi telah mencapai set point inkubator dan tidak ada
tanda perburukan klinis pada bayi, suhu inkubator dapat
dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila sampai suhu bayi
mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang dapat
terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia,
hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan
perburukan status asidosis.38 Inkubator unggul dalam
mengurangi risiko insensible water loss (IWL) maupun
kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab itu inkubator
cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator
dapat menyulitkan ketika tenaga kesehatan hendak
melakukan prosedur/tindakan medis.136
108
2) Radiant warmer
Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus
diatur dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar
15). Bayi dibaringkan telentang dan servo-temperature probe
diposisikan di atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau
ketat hal-hal yang disebutkan di atas beserta tanda-tanda
perburukan klinis. Kecepatan rewarming tidak dapat diatur
pada radiant warmer, maka rewarming menggunakan radiant
warmer memiliki risiko vasodilatasi jika output panas terlalu
tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya hipotensi, tenaga
kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan dan
obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan
inkubator dalam kemudahan tenaga kesehatan untuk
memantau serta melakukan prosedur/tindakan pada bayi.
Kekurangan radiant warmer yaitu meningkatkan IWL dan
tidak melindungi bayi dari kehilangan panas secara konveksi
dan evaporasi. Adanya risiko peningkatan IWL ini
menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan
cairan perlu dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136
109
menutupi bayi justru akan mencegah panas sampai ke bayi.
Pencatatan temperatur bayi harus dilakukan selama bayi
berada dalam radiant warmer maupun inkubator.154
110
Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk
mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas
terbatas.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
111
Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru
112
Selain menggunakan inkubator, radiant warmer, dan PMK,
teknik lain untuk mengatasi hipotermia adalah menggunakan cling
wrap. Cling wrap adalah polythene film yang umumnya digunakan
sehari-hari untuk membungkus makanan (Gambar 17a dan
17b).156
a
b
Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah
hipotermia.157
113
Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia
gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi setting
suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan penggunaan
plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
114
dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume udara diatur
sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu 37˚C.
115
b) Sedang
Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan
menunjukkan tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat,
dengan AGD yang abnormal.
c) Berat
Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas,
dengan AGD yang abnormal.
Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan
sistem penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan
pada segala kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165
Karakteristik 0 1 2
Frekuensi <60 kali per 60-80 kali per >80 kali per menit
napas menit menit atau apne
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Hilang dengan Menetap walaupun
terapi oksigen diberi terapi
oksigen
Masuknya Udara Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak ada Terdengar dengan Terdengar tanpa
stetoskop stetoskop
116
tanpa peningkatan PaCO2 (<35 mmHg) kemungkinan tidak berasal
dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung bawaan (PJB),
asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai
peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti
RDS, pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi
mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru,
hernia diafragmatika, atau pneumotoraks.38
2) Terapi oksigen
Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami
RDS ringan hingga sedang membutuhkan oksigen dalam
penanganannya. Terapi oksigen adalah salah satu terapi yang
sering digunakan dalam penanganan neonatus yang bermasalah,
untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot pernapasan,
dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam
jangka panjang dapat menimbulkan toksisitas sehingga
pemakaiannya harus diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat
terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis nekrotikans, PVL, dan dapat
juga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.167,168
Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak
direkomendasikan lagi. Sehubungan konsekuensi intoksikasi
oksigen pada neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan
dititrasi, dan dimulai dari konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi
prematur dengan usia gestasi < 35 minggu.
Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang
digunakan sebaiknya udara yang telah dihangatkan dan
dilembabkan untuk mengurangi cold stress dan IWL. Observasi
klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna,
frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang
hipoksia dapat terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan
117
tiap jam hingga kondisi bayi stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai
dengan kebutuhan.74
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi
oksigen pada bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen
(dihindari dari hipoksia atau hiperoksia) adalah dengan
mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara >90%-95%.169
Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut
mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya <
45mmHg. Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan
PaO2 dari 80 mmHg -300mmHg.
118
Gambar 18 Terapi oksigen melalui sungkup kepala
119
Gambar 20 Peralatan CPAP Gambar 21 Ventilator
Pemberian oksigen melalui nasal kanula aliran tinggi dapat
dipertimbangkan bila tidak ada fasilitas pemberian cpap, namun
dengan beberapa hal yang harus diperhatikan seperti: aliran > 2L
per menit, besar maksimum aliran tergantung jenis alat yang
dipakai, harus disertai humidifikasi dan dihangatkan. Dari meta
analisis yang dilakukan pada tahun 2016 didapatkan bahwa
pemberian oksigen nasal kanula aliran tinggi dan cpap mempunyai
efektifitas yang sama dan aman sebagai penanganan bantuan
pernafasan fase akut, meski masih memerlukan studi lebih lanjut.
(Level of Evidence II)
120
(2) Ventilator
Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang
pernah mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi
oksigen dengan CPAP tidak adekuat (kebutuhan FiO2 >40%,
asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25), PaO2<50 mmHg, dan kulit
pucat atau sianosis disertai agitasi), adanya gangguan
neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan
gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi
mekonium, gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary
hypertension of the newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok),
dan pasca-operasi karena gangguan fungsi ventilasi.171
Neonatus yang menggunakan ventilator harus diawasi secara
ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar 21).
121
Tabel 8 Konversi FiO2 STOP ROP.174
122
Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen173,174
123
38 21 21 23 24 28 32 51
40 21 21 23 25 29 33 53
42 21 21 23 25 29 33 54
43 21 21 23 25 29 33 55
50 21 22 23 26 31 36 61
57 21 22 23 26 32 38 66
60 21 22 23 26 32 38 68
63 21 22 24 27 33 39 71
67 21 22 24 27 34 40 74
71 21 22 24 27 34 42 77
75 21 22 24 28 35 43 80
80 21 22 24 28 36 44 84
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
83 21 22 24 28 37 45 87
86 21 22 24 29 37 46 89
100 21 22 25 30 40 50 100
FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100
124
blender, oxygen analyzer, dan sumber udara tekan antara lain
dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube (Gambar 21).
Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan
dengan pipa penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan
dengan sungkup kepala dan sungkup wajah. Beberapa venturi
mencampur oksigen murni dengan udara kamar untuk
memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa
adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk
memasukkan udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik
udara kamar sehingga terjadi percampuran kedua gas (Tabel 7).
Gambar 22 Venturi
125
Tabel 10 Terapi oksigen dengan venturi
126
Tabel 11 Perhitungan terapi oksigen dengan Y-tube
127
mengalami inflamasi, memiliki pertahanan yang kurang terhadap
stres oksidatif, serta mempunyai kadar besi bebas di jaringan yang
memicu pembentukan radikal hidroksil.176 Terapi dengan
antioksidan selama ini belum memberikan hasil yang baik, oleh
karena itu saat ini intervensi yang rasional untuk mengurangi risiko
stres oksidatif adalah dengan mengontrol suplementasi oksigen dan
mencegah inflamasi.177 Faktor lain yang dapat memicu stres
oksidatif di antaranya transfusi dan nutrisi parenteral.178,179
Telaah sistematik oleh Ballot et al40 (2010) terhadap 5 studi
menunjukkan bahwa terapi oksigen yang terbatas (restricted) secara
bermakna menurunkan angka kejadian dan derajat ROP, tanpa
terjadi peningkatan mortalitas. Satu studi prospektif, multisenter,
tersamar ganda menunjukkan bahwa kelompok BBLR yang
memiliki kadar oksigen darah yang rendah dan tinggi tidak berbeda
bermakna dalam kejadian ROP, mortalitas, maupun pertumbuhan
dan perkembangan. Tetapi subyek yang memiliki kadar oksigen
darah tinggi mengalami peningkatan kejadian penyakit paru kronik
dan penggunaan oksigen di rumah. Dengan demikian pemberian
terapi oksigen yang liberal dan tidak dipantau akan menghasilkan
luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen restricted
sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai
untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik
bagi BBLR.176
Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian
ROP pada bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan
oksigen rendah dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR
0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR dan BBLASR,
telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi
yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70-
≤95%) dengan tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse
128
oximeter, terhadap kejadian ROP dan BPD. Telaah tersebut
menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP derajat berat terjadi
pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan dengan
oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan
95% (IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada
penggunaan oksigen rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen
tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-0,97). Hanya 2 studi yang
mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini memperoleh
data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah
dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45).
129
menyimpulkan bahwa penghentian terapi oksigen secara bertahap
dibandingkan dengan secara tiba-tiba, menurunkan kejadian
vascular retrolental fibroplasia (misalnya ROP derajat berat) (RR
0,22; IK95% 0,07-0,68).182
d. BLOOD PRESSURE
Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan
oksigen yang tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah
keadaan yang kompleks dengan disfungsi sirkulasi yang
mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak adekuat
untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera
mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan
organ multipel dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga
tata laksana syok harus dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi
dalam tiga tipe yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38
1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh rendahnya volume
sirkulasi darah. Penyebab syok hipovolemik terdiri atas:
a) Kehilangan darah akut selama periode kelahiran
(1) Perdarahan fetal-maternal
(2) Plasenta previa
(3) Luka pada tali pusat
(4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion)
(5) Laserasi organ (hati atau pankreas)
b) Perdarahan pasca-lahir
• Otak
130
• Paru
• Kelenjar adrenal
• Kulit kepala (perdarahan subgaleal)
c) Penyebab bukan perdarahan
• Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi
• Dehidrasi
d) Hipotensi fungsional
• Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung)
• Pneumopericardium (mengganggu curah jantung)
Beberapa penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi
sebelum kelahiran atau selama periode kelahiran. Bayi dengan
syok hipovolemik menunjukkan tanda-tanda curah jantung
yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu pengisian kapiler
memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi kehilangan
darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat,
dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah
jantung yang lemah).38
2) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung
berfungsi dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan:
Error! Bookmark not defined.
• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir
• Hipoksia dan/atau metabolik asidosis
• Infeksi bakteri atau virus
• Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan
ventilasi)
• Hipoglikemia berat
• Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat
• Aritmia
131
• Kelainan jantung bawaan, terutama bayi dengan
hipoksemia berat atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi
sistemik
132
Nadi
a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba
b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan
koarktasio aorta atau kelainan arkus aorta)
Perfusi perifer
a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah
jantung yang kurang)
b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi
yang sakit dianggap tidak normal)
c) Mottled sign
d) Kulit yang dingin
Warna
a) Sianosis
b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat
rendah sebagai akibat sekunder perdarahan)
c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi
d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik,
atau keduanya
Denyut jantung
a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda
perfusi yang buruk
(1) Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis menyebabkan
penurunan sistem konduksi
(2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat
adalah tanda awal akan terjadi henti jantung dan paru
(3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya
b) Takikardia (>180 denyut per menit yang terjadi
berkepanjangan saat istirahat)
(1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang
kurang dan/atau gagal jantung kongestif
133
(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per
menit, tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit
tergantung tingkat aktivitas bayi
(3) Apabila denyut jantung >220 denyut per menit,
pertimbangkan takikardia supraventrikular
Jantung
a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks
(berhubungan dengan disfungsi miokardium dan
perkembangan gagal jantung kongestif)
b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi
pada Röntgen toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung
atau pre-load yang lemah)
c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur,
kelainan jantung bawaan struktural dapat terjadi)
Tekanan darah
a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda
akhir dari dekompensasi jantung.
b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik).
Tekanan nadi normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg
dan pada bayi kurang bulan 15-25 mmHg. Tekanan nadi yang
sempit dapat mengindikasikan vasokonstriksi perifer, gagal
jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan nadi yang lebar
dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti yang
terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau
malformasi arteriovena besar.
134
pernapasan, pCO2 dapat meningkat dan kombinasi asidosis
respiratorik dan metabolik dapat terjadi.
a) pH <7,3 tidak normal
b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan
dengan perfusi yang buruk, takikardia, dan/atau
hipotensi
c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan
d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat
2) Glukosa
Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap
stress. Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai
pola stabilitas gula darah tercapai.
3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiper-
kalemia)
Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap.
4) Pemeriksaan lain dan observasi:
a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan
mengeliminasi kelainan jantung bawaan struktural
sebagai penyebab
b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria)
c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan
hitung jenis dan kultur darah)
135
akan naik untuk meningkatkan curah jantung dan mengakibatkan
takikardia. Selain elektrolit, mineral, atau ketidakseimbangan
energi, terdapat beberapa faktor yang menurunkan curah
jantung:38
12) Penurunan volume kembalinya darah vena ke jantung
(preload) sehingga jantung memompa volume yang lebih
sedikit pada setiap kontraksi
13) Peningkatan resistansi vaskuler sistemik (afterload)
yang membuat jantung harus bekerja lebih keras dalam
memompa darah ke seluruh tubuh
14) Penurunan kontraktilitas miokardium
136
sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan
tergantung sebab yang mendasari syok.
137
b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi
cairan dengan normal saline sambil menunggu transfusi
sel darah merah atau whole blood. Dosis pemberian cairan
adalah 10 mL/kgBB/kali IV, kateter vena umbilikus, atau
intraosseous selama 30 menit-2 jam. Waktu pemberian
bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit tergantung dari
beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang tidak
memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum
pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif
dapat diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel
darah merah yang kurang dari satu minggu, negatif CMV,
dan leuko-reduced.
138
ketat selama pemberian. Dopamin/dobutamin harus
diberikan dengan syringe pump (Gambar 22) melalui kateter
vena umbilikalis.38 Satu meta-analisis melaporkan bahwa
penggunaan sodium bikarbonat 4,2% belum terbukti
menurunkan mortalitas dan morbiditas pada resusitasi
pasca-lahir.184
139
mL/kgBB/kali selama 30-60 menit IV untuk mengobati
asidosis metabolik berat (pH arteri <7,15 dan pada bayi
dengan ventilasi adekuat). Pemberian sodium bikarbonat
yang sangat hipertonik jika diberikan terlalu cepat dapat
mengakibatkan perdarahan intraventrikular. Dopamin
hidroklorida dapat juga digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas kardiak dengan dosis 5-20 mcg/kgBB/menit
melalui pompa IV (tidak boleh diberikan melalui arteri atau
ETT).
Beberapa peraturan dalam infus dopamin:
a) Dalam sebagian besar kasus, bolus volume (ekspansi
volume) diberikan sebelum memutuskan pemberian
dopamin.
b) Dosis awal pemberian dopamin disesuaikan dengan status
klinis bayi dan penyebab hipotensi. Dopamin dimulai dari
5 mcg/kgBB/menit dan dapat dinaikkan (atau
diturunkan) sebesar 2,5 mcg/kgBB/menit. Pada banyak
NICU, dopamin dicampur untuk menghasilkan solusi
dengan konsentrasi yang lebih besar dan kecepatan
kenaikan atau penurunan terbatas pada 1
mcg/kgBB/menit pada setiap perubahan kecepatan.
c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2
menit selama 15 menit lalu setiap 2-5 menit tergantung
respons pengobatan. Apabila bayi tidak merespons dengan
dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka peningkatan dosis lebih
lanjut tidak dianjurkan.
d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk
meningkatkan keamanan, gunakan teknologi "smart
pump" bila memungkinkan.
140
e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila
posisi kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks
dan ujungnya terletak tepat di atas hati pada vena kava
inferior/right atrial junction. Apabila tidak terdapat akses
vena sentral, infus dopamin melalui IV perifer. Pantau
daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi dan ganti bila
perlu.
f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri
termasuk kateter arteri umbilikus.
g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan
darah dapat mendadak naik dan denyut jantung turun
dengan drastis.
Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian
ekspansi volume pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Meta-
analisis oleh Osborn et al185 (2009) menyimpulkan albumin tidak
terbukti lebih baik dibandingkan normal saline dalam
meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir
kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan
belum ada bukti memadai yang mendukung manfaat cairan sodium
bikarbonat dalam resusitasi di kamar bersalin untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir.184 Kotak 3 menunjukkan
tata laksana komponen “blood pressure” pada bayi baru lahir yang
sakit.
141
Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar
bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas dan
morbiditas bayi baru lahir.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang
sakit.38
142
pada BBLR. Walaupun demikian, epinefrin menimbulkan efek
samping yang bersifat sementara seperti peningkatan laktat plasma
dalam 36 jam pertama, menurunkan bikarbonat dan ekses basa
dalam 6 jam pertama, serta hiperglikemia dalam 24 jam pertama.186
143
1) Blood count: darah lengkap termasuk hitung jenis leukosit
2) Blood culture: kultur darah
3) Blood SUGAR: kadar gula darah
4) Blood gas: AGD untuk mendeteksi distres napas
Keputusan tata laksana sepsis pada bayi baru lahir tidak hanya
tergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi juga pada
riwayat klinis dan gejala. Kotak 4 menunjukkan kunci pemeriksaan
laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakit
f. EMOTIONAL SUPPORT
Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan
cara memberi dukungan emosional kepada keluarga
Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif
merupakan suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat
memberikan dukungan emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan
dirujuk, setelah dirujuk, sampai dengan tiba di NICU. Sejak awal
dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi. Tenaga kesehatan
144
memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi dengan
nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat
dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi.
Keberadaan kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B
ookmark not defined.
Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi
penjelasan mengenai keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat
bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan dapat melibatkan peran
orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan bayi. Error! B
ookmark not defined.
145
pemotongan tali pusat akan mencegah iskemia yang dapat
menyebabkan kerusakan otak.189
Aladangady et al190 (2006) menyatakan penundaan
pemotongan tali pusat menurunkan kejadian IVH dan sepsis awitan
lambat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Mercer
et alError! Bookmark not defined. (2010) melaporkan bahwa pada B
BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali pusat selama 30-45
detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor protektif
terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini
terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali
pusat, mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik)
yang lebih banyak dibandingkan dengan pemotongan tali pusat
segera (<10 detik), sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen pada
beberapa hari pertama lebih baik. Pada bayi cukup bulan yang tidak
membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan tali pusat
menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit
atau sampai umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191
Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi,
penundaan pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga
menit menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada tahap
stabilisasi dan angka kejadian IVH yang lebih rendah, dibandingkan
tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan pada bayi
kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang
cukup mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum
ada studi yang mampu membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau
posisi bayi sebelum pemotongan tali pusat dengan kebutuhan
oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194
146
Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan
pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit,
menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
147
intraventrikular, dan kejadian penyakit paru kronik pada kelompok
ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi tidak berbeda
bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup
spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada
saluran gastrointestinal, studi-studi tersebut ternyata juga
menemukan efek samping terhadap fungsi ginjal dalam
pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu ibuprofen profilaksis
belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka panjang
(saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196
148
pemberian vitamin K1 1 mg IM maupun PO dilaporkan mengurangi
perdarahan klinis pada hari 1-7. 197
149
dibutuhkan dalam sistem transport neonatus terdiri dari alat
transport, alat kedokteran atau kesehatan untuk menjaga kondisi
stabil neonatus dan melaksanakan resusitasi dalam keadaan gawat
darurat. Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus
selain panduan klinik juga panduan komunikasi dan dokumentasi
yang berhubungan dengan keadaan klinik pasien.
Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus meliputi:
1. Indikasi perlunya dilakukan transport neonatus
2. Adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melaksanakan
prosedur transport neonatus
3. Keadaan stabil neonatus sebelum, selama dan sesudah proses
transport.
4. Kelengkapan alat kedokteran dalam menjaga stabil dan
melaksanakan resusitasi selama proses dan transport.
5. Kejelasan komunikasi keadaan klinis neonatus sebelum, selama
dan sesudah proses transport, baik kepada orang tua/ keluarga
pasien, rumah sakit rujukan, dan petugas pelaksana transport
neonatus.
6. Kelengkapan dokumentasi.
7. Kelayakan alat transport neonatus.
150
3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat
dinilai dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*)
4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas
5. Bayi berat lahir sangat rendah
6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah,
mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah
7. Kejang
8. Perdarahan
9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik
10. Bayi dari ibu DM
11. Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran
gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana
12. Gagal jantung atau aritmia
13. Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus
151
3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT
a. Penilaian adekuat (Assessment)
Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam
keadaan stabil, dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas
layanan neonatus sekunder atau tersier.203,208
b. Terkendali (Control)
Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari
kompetensi tenaga medik yang akan melaksanakan prosedur
transportasi sampai pada kelengkapan alat kedokteran dan
kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor dapat
diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby rather than
take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada tenaga
kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan
termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan
memperbaiki kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga
kesehatan yang menyertai transpor BBLR adalah seorang perawat
perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini belum ada standar
nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya standar
maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini.210
152
Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama
merujuk yaitu:211
1) Inkubator transpor (Gambar 28)
2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah,
konsentrasi oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2
transkutan dapat digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213)
3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan
sungkup neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan
0/0, 0/1, dan 2, serta pulse oxymeter
4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan
pipa endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta
sarung tangan
5) Peralatan infus IV
6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12
7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%,
natrium bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua
steril
8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat
9) Analisis gas darah portable
10) Analisis gula darah portabel
11) Gas medis (O2, NO)
153
Gambar 25 Inkubator transpor
c. Komunikasi (Communication)xix
154
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang
tua dan kelurga neonatus yang akan menjalani proses transportasi
ke fasilitas kesehatan rujukan. Implementasi hasil KIE dengan
orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam informed consent.
Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus dan tim
rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan
di tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun
dokter di rumah sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi
mencakup riwayat kelahiran bayi, faktor antenatal lain yang dapat
berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi. Tim perujuk terlebih
dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk memastikan
ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor.202,215
155
Indikasi intubasi pada bayi yang hendak dirujuk lebih
sederhana dibandingkan dengan indikasi intubasi bayi di
NICU, hal ini bertujuan mengurangi kemungkinan perlunya
intervensi yang mendadak selama proses transportasi. Jika
kita menilai ada kemungkinan bantuan pernapasan mekanis
akan diperlukan dalam masa transpor, maka intubasi dan
memulai dukungan respiratorik yang stabil dan adekuat sudah
harus dilakukan sebelum transport.214 Pada usia gestasi >30
minggu, jika tanda vital (denyut nadi, tekanan darah, frekuensi
napas, dan temperatur) stabil pada terapi oksigen <50% dan
PaCO2 normal maka bayi boleh dirujuk tanpa intubasi. Jika
bayi tidak stabil (membutuhkan oksigen >50%, mengalami
peningkatan PaCO2, apne rekuren, dan usia gestasi <30
minggu) maka intubasi dengan dukungan respiratorik
diperlukan, setidaknya selama perjalanan.
Jika bayi sudah diintubasi, pipa endotrakeal harus senantiasa
berada pada posisi yang benar dan aman, untuk mencegah
terekstubasi. Dukungan respiratorik yang adekuat harus
diberikan.
d) Apakah bayi memerlukan surfaktan?
Surfaktan harus diberikan jika ada indikasi dan tersedia.
2) Circulation (C) 146 ,159,202
a) Apakah perfusi adekuat?
b) Apakah akses arterial sudah terpasang dengan benar dan
aman?
c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi
yang memerlukan pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah
yang akurat secara berulang-ulang. Jika pemasangan jalur
arteri tidak akan memengaruhi tata laksana sebelum dan
156
selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda
pasca-transpor.
d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman?
e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat
inotropik?
f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak
awal, sesuai dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada
posisi yang benar dan aman.
157
Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik,
dan mengenakan selimut pembungkus217
158
c) Kadar glukosa
5) Pastikan bayi hangat
Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,5-
37,5°C. Bayi dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam
inkubator, atau diterapkan metode kanguru (pada fasilitas
terbatas).
6) Pastikan bayi bernapas adekuat
a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit
b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping
hidung, retraksi, merintih, dan sianosis (dapat dinilai
berdasarkan sistem penilaian Down (Tabel 2)
Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi:
a) Nilai monitor saturasi berfungsi dengan baik.
b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi
tengkurap).
c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan.
d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila
saturasi melebihi target.
e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi.
7) Pastikan sirkulasi baik
a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit
b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220
c) Akral hangat
159
3) Catatan medik keadaan sebelum dan selama proses
transportasi.
4) Termasuk informed consent.
160
adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam cuaca
apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga
dapat memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di
Indonesia ambulans dapat menjadi pilihan utama kendaraan
transpor karena ambulans merupakan kendaraan medis utama
yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia sudah
banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR
diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut
difiksasi selama perjalanan. Satu ambulans dapat menampung
sampai dua buah inkubator.
161
Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR
yang harus ada di perawatan neonatal level I
Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR
yang harus ada di perawatan neonatal level II
162
Inkubator transpor digital227 40.000.000
Alat analisis gula darah228 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter lengkap229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)223
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000
dan 00
T-piece resuscitator230 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000
163
Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR
yang harus ada di perawatan neonatal level III
164
Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR
yang harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III
165
d
Gambar 27 Peralatan resusitasi
166
2) Jakarta - Kuala Lumpur: US$ 27.000 atau ± Rp
229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00
(kurs Rp 8.500,00)
167
BAB IV
168
Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan
untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.
(hlm 19)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
169
Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi,
dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan
adalah 20-25 cmH2O.
(hlm 20)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
170
surfaktan selektif lambat dengan ventilasi mekanis kontinu dan
ekstubasi ketika dukungan ventilasi mekanis telah minimal,
menurunkan kejadian BPD dan pemakaian ventilasi mekanis
selama perawatan.
(hlm 23)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
171
4.2 TAHAP STABILISASI
172
Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water
loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
(hlm 34)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi setting
suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan penggunaan
plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.
(hlm 36)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
173
Penggunaan aliran oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian
hipotermia pada BBLR.
(hlm 37)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
174
Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir,
albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan
normal saline.
(hlm 57)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
175
Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat
dalam jangka panjang, sehingga penggunaannya belum
direkomendasikan.
(hlm 61)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
176
Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan
dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport dilaksanakan.
(hlm 89)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
177
klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah sampai
di tempat rujukan.
(hlm 96)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
178
DAFTAR RUJUKAN
1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed
July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.)
2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900.
3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and
attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6.
4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The
World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at
http://world.bymap.org/InfantMortality.html.)
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2017.
6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at
https://www.un.org/millenniumgoals/.)
7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight:
Country, regional and global estimates. New York2004.
8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely
preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with comparison
children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32.
9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place
extremely low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental
outcomes. Pediatrics 2007;120:e1512-19.
10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in
very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-analysis.
JAMA 2009;302:2235-42.
11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for
gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002.
12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight. Future
Child 1995:35-56.
13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO
Press; 2012.
14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care
and social consequences of very low birth weight infants without premature-related
morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12.
15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The
Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7.
16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005.
17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013.
18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2017.
19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.
179
20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for
very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA 2010;304:992-
1000.
21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network
ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely low birth
weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology 2010;97:329-
38.
22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P.
Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children: Cross-
lagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59.
23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and
neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme
prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07.
24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal
mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the USA. J
Korean Med Sci 2011;26:467-73.
25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006.
Pediatrics 2008;121:788-801.
26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood:
retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905.
27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of
chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2001;85:F33-5.
28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in
extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103.
29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight
infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50.
30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J.
Meta-analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight
children. Pediatrics 2009;124:717-28.
31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe
retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year period.
Pediatrics 2004;113:1653-7.
32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment:
predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18 months.
Infant Ment Health J 2008;29:570-87.
33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7.
34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002.
35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics
2012;130:587.
36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal
intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3.
37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer
patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.
180
38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants,
Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006.
39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal
intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana. J
Perinatol 2008;28:561-5.
40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight
neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30.
41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low
Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50.
42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov
T. Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the
delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23.
43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight
neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556.
44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early
deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J Pediatr
(Rio J) 2008;84:300-7.
45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight
infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai 2007;90:1323.
46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E, Kuwanda ML, Cooper
PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to birth weight and gestational age
in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9.
47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in
Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55.
48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes
in perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The
Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7.
49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight
infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2003;88:F23-8.
50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in
low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics
2002;109:745-51.
51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment
Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41.
52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr
2007;96:333-7.
53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation
in the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4.
54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60.
55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that
predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.
181
56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics;
2011.
57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19.
58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010
International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-38.
59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in
healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21.
60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal
and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their
shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602.
61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated
Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen,
Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-Ventilation
Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89.
62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation
induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation
strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163.
63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a
newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of ventilations.
Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011.
64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of
cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation
2010;81:1571-6.
65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of
spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in newborn
pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2011:fetalneonatal200386.
66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different
compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest
compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma Resus
2012;20:73.
67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in
surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and
hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5.
68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant outcome
with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2014:fetalneonatal-2014-
306687.
69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the
NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10 minutes
following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26.
70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without
signs of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.
182
71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic
hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal and
Neonatal Ed 2010;95:F423-8.
72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the
LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw 2009;28:211-
19.
73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-low-
gestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98.
74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's
handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007.
75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal
suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean section:
a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14.
76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a
pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-8.
77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal
Surveillance. State of Queensland2010.
78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation
2010. Resuscitation 2010;81:1389-99.
79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity
and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95.
80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation:
refining the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41.
81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental
disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19.
82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm
infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16.
83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group.
The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of
viability. Pediatrics 2000;106:659-71.
84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature
babies in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9
compared with 2000-5. BMJ 2008;336:1221-3.
85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected
apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5.
86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using
apgar scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics
2009;124:1619-26.
87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation
in the neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80.
88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006.
89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.)
90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration
oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.
183
91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation
of preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488-
e96.
92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral
vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6.
93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for
resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130.
94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different
inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3.
95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less
oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49.
96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation
of preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9.
97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg
Regional Health Authority; 2015.
98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the
extremely low birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91.
99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for
hypoxia-inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88.
100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in
asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6.
101. Bajaj N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal
resuscitation: a controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11.
102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J. Resuscitation with
room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in moderately asphyxiated term
neonates. Pediatrics 2001;107:642-7.
103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation values in
extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen
concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81.
104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants with 21%
or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis. Neonatology
2008;94:176-82.
105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63.
106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn infants with
100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet 2004;364:1329-33.
107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease. Acta
Paediatrica 2002;91:23-5.
108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe? Pediatrics
2005;115:173-4.
109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room stabilization/resuscitation in
very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less than 100% is feasible. J Perinatol
2009;29:548-52.
110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management of
extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics
1999;103:961-7.
184
111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive airway
pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a
feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7.
112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal CPAP or
intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8.
113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal Research
Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J Med
2010;2010:1970-9.
114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on the
management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology 2017;111:107-
25.
115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on the
management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013 update.
Neonatology 2013;103:353-68.
116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants at birth.
Pediatrics 2014;133:171-4.
117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration with brief
ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for preterm infants
with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007.
118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by
surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label,
randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34.
119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant therapy
in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal and Neonatal
Ed 2013;98:F122-6.
120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is
associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm infants.
Acta Paediatr 2015;104:241-6.
121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs conventional
therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA Pediatr
2015;169:723-30.
122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant administration
via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled trial. Pediatrics
2013;131:e502-9.
123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in preterm
infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8.
124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing poractant alfa
versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and preservation of surface
activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56.
125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein free
synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2015;8.
126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the
development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.
185
127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived surfactants
for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm infants. status
and date: New, published in 2015.
128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal respiratory
distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4.
129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive airway
pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences. Neonatology
2013;104:8-14.
130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the
prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009.
131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation
(INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev
2012;88:S3-4.
132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and mask
ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305.
133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term and
preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24.
134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A
randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal
cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr 2005;94:197-
200.
135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern
Ontario 2003.
136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:361-
6.
137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator sebagai
pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar bersalin
dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas [PhD
thesis]. 2011; .
138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease. Acta
Paediatr 2002;91:23-5.
139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on length of
stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics 2002;109:423-8.
140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S. Percentiles of oxygen
saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J Pediatr 2008;167:687-
8.
141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at
www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.)
142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar score
in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9.
143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine;
Elsevier; 2017. p. 36-41.
144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.
186
145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. .
Geneva: World Health Organization; 2003.
146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants.
Pediatrics 2011;127:575-9.
147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal
hypoglycemia. Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3.
148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia.
J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208.
150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9.
151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the
delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8.
152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential
practice. . Geneva: World Health Organization; 2003.
153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body
temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003.
154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology
Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008.
155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011.
156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.)
157. Newborn services clinical guideline at
http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.)
158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Database
Syst Rev 2003.
159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and
wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J Paediatr
Child Health 2008;44:325-31.
160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on science
with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric basic and
advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7.
161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air
during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics
2010;125:e1427-32.
162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for
temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-birthweight
babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial. Ann Trop Paediatr
2005;25:111-18.
163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF
Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics, Division of
Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care, 2005. (Accessed Sept
22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)
187
164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn.
Med J Armed Forces India 2007;63:269.
165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at
http://puffnicu.tripod.com/rd.html.)
166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the
neonatal period. Eur Respir J 2007.
167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the neonatal
period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010: Elsevier. p.
230-5.
168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited
facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP: how
to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010; Surabaya.
169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a meta-
analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology
2014;105:55-63.
170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at
http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.)
171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery device
for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16.
172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I:
Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310.
173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets and
outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7.
174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed
Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.)
175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal
oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight
infants. Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413.
176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective.
Neonatology 2005;88:228-36.
177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J
Perinat Med 2010;38:571-7.
178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid
peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8.
179. Lavoie PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory
response in preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total
parenteral nutrition. Pediatr Res 2010;68:248-51.
180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen saturation
and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics 2010;125:e1483-92.
181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen saturation for extremely low
birth weight infants: a systematic review and meta-analysis. Neonatology 2011;100:1-8.
182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen in
preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001.
183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of
infants at birth. Cochrane Libr 2006.
188
184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2.
185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus dopamine
in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91.
186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine versus
epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic
effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22.
187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung
disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5.
188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and long-
term cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47.
189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month
developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized
controlled trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6.
190. Aladangady N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood
volume in a controlled trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics
2006;117:93-8.
191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of term
infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008.
192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis of a
brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology 2008;93:138-
44.
193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord clamping
in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4.
194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before
clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010.
195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in
preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011.
196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian profilaksis vitamin
K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006 selected
recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2006:1-19.
197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency bleeding in
neonates. Cochrane Libr 2000.
198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol
Can 2005;27:956-58.
199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M. Perinatal
mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal transport and
inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18.
200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine versus
postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum Dev
2001;63:1-7.
201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric inter-
facility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility
transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
189
202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous positive airway
pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2003;10:374-5.
203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am
2004;51:581-98.
204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital
transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9.
205. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer
service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2007;92:185-9.
206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J 2016;60:451-7.
208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004;89:F215-9.
209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82.
210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need
of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2005;90:F523-6.
213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3.
214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory
distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics 2004;113:e560-
3.
215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ
2004;309:904-6.
216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al.
Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus conference.
Pediatrics 2013;132:359-66.
217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to
make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg 2010:133-
4.
218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics.
Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6.
219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal
transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9.
220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal
values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6.
221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011, at
http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)
190
222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.)
223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at
htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-and-
neonate.htm.)
224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at
http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.)
225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr
2009;46:267.
226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkes-
online.com/daftar-harga/.)
227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan,
laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.)
228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan
laboratorium efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.)
229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.)
230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://azzamedika.wordpress.com/.)
231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan
dewasa) "Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at
http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dan-
dewasa-galileo.htm.)
232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-endotracheal-
tube-murah-dan-diskon.html.)
233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23,
2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.)
234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed
Aug 23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.)
235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23,
2011, at http://www.balichemist.com/farmakologi_html.)
236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik. (Accessed
Aug 23, 2011, at http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.)
237. Puskesmas Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.)
238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011,
at http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-air-
murni.htm.)
239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at
http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.)
240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alat-
kesehatan.net/?paged=7.)
191
241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, at
http://ambulans118.org/?page_id=178.)
242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)
192
2. PNPK Asfiksia Neonatorum
BAB I
PENDAHULUAN
193
belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan hidup.5,6
Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh
kembang dan kualitas hidup yang buruk di kemudian hari.
1.2 Permasalahan
Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia
neonatorum sering ditemukan di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Kendala tersebut meliputi definisi asfiksia yang belum
seragam sehingga menimbulkan kerancuan dalam penegakan
diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang
terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan
resusitasi yang kurang memadai di sebagian besar sarana
pelayanan kesehatan. Sebagai upaya mengatasi berbagai kendala
tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan
dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) Asfiksia Neonatorum.
194
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka
kejadian dan kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia
neonatorum
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran
bayi, meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat
diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder,
dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi
pendidikan, serta kelompok profesi terkait.
195
BAB II
METODOLOGI
196
IIa. Uji klinis tanpa randomisasi.
197
BAB III
a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12
b. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megap-
megap dan pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha
napas pada menit pertama setelah kelahiran.13
c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG)
dan American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas
darah yang menyebabkan hipoksemia progresif dan
hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15
198
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan
asidosis.16
199
partus lama (RR = 1,31; 95% IK = 1,00-1,73), dan ketuban pecah
dini (RR = 1,83; 95% IK = 1,22-1,76). Risiko asfiksia neonatorum
juga ditemukan secara signifikan pada kehamilan multipel (RR =
5,73; 95% IK = 3,38–9,72) dan kelahiran bayi dari wanita primipara
(RR = 1,74; 95% IK = 1,33-2,28). Selain itu, risiko kematian akibat
asfiksia neonatorum cenderung lebih tinggi daripada bayi prematur.
Risiko ini meningkat 1,61 kali lipat pada usia kehamilan 34 - 37
minggu dan 14,33 kali lipat pada usia kehamilan <34
minggu.13page3
200
Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum
Faktor risiko
Faktor ibu
Antepartum • Sosioekonomi rendah13
• Primipara15,13
• Kehamilan ganda21
• Infeksi saat kehamilan21
• Hipertensi dalam kehamilan20
• Anemia13
• Diabetes melitus22
• Perdarahan antepartum15,21
• Riwayat kematian bayi sebelumnya13
201
rongga toraks dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan
traktus gastrointestinal.25-28 Perubahan dan redistribusi aliran
darah tersebut disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular
pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan resistensi
vaskular perifer.26 Keadaan ini ditunjang hasil pemeriksaan
ultrasonografi Doppler yang menunjukkan kaitan erat antara
peningkatan endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan penurunan
kecepatan aliran darah dan peningkatan resistensi arteri ginjal dan
mesenterika superior.29-30 Hipoksia yang tidak mengalami
perbaikan akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada organ
vital.
202
Primary energy failure
Secondary energy failure
203
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan
sebagian fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase
primer cukup berat, kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah
6 – 48 jam (fase sekunder). Fase sekunder ditandai dengan
penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan pelepasan
radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria.
Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi
sitokin proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan.
Keseluruhan proses ini memicu terjadinya apoptosis sel (secondary
energy failure).32,34,36,37
204
Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ
tubuh; 62% gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan
sistemik tanpa gangguan neurologik dan sekitar 20% kasus tidak
memperlihatkan kelainan.32 Gangguan fungsi susunan saraf pusat
akibat asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi
beberapa organ lain (multiple organ failure).8 Gangguan sistemik
secara berurutan dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem
hepatik, respirasi, ginjal, kardiovaskular.32 Kelainan susunan saraf
pusat tanpa disertai gangguan fungsi organ lain umumnya tidak
disebabkan oleh asfiksia perinatal.41 Berikut ini penjelasan
mengenai komplikasi asfiksia pada masing-masing organ.
205
tekanan arterial paling besar. Keadaan ini menimbulkan pengaruh
yang signifikan pada pleksus koroid yang cenderung tipis dan rapuh
dengan sedikit struktur penunjang. Peningkatan tekanan vena juga
terjadi pada bagian yang sama dengan akibat stasis aliran darah,
kongesti pembuluh darah, serta risiko ruptur dan perdarahan.
Kondisi tersebut dikenal sebagai cedera reperfusi (reperfusion
injury).39
206
transient mitral regurgitation (TMR), transient tricuspid regurgitation
(TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).44,47
207
minggu pertama setelah kelahiran.32
208
perkembangan otak dan 12,2% bayi tanpa gangguan perkembangan
otak.44
209
2. tidak bernapas atau megap-megap, dan
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot.
Kriteria ini disadari memiliki spesifisitas dan nilai prediktif
kematian serta kerusakan neurologis yang cenderung
berlebihan (8 kali over diagnosis) bila dibandingkankan
dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, WHO juga
memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat pelayanan
kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP
berikut ini.58
1. Bukti asidemia metabolik atau Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12
campuran (pH < 7,0) dari darah mmol/L dalam 60 menit pertama
tali pusat
Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview; 2007. (dengan modifikasi)
210
c. National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD)
Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah
sebagai berikut.61
1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L pada
pemeriksaan darah tali pusat dalam satu jam setelah
kelahiran, atau
2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi /
bradikardia berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur
tali pusat, solusio plasenta, ruptur uteri, trauma /
perdarahan fetomaternal, atau cardiorespiratory arrest)
dan salah satu dari :
• nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
>10 menit
bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa 10
- 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas
darah tidak tersedia.
d. India
India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama,
kini menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia
mengacu ke ACOG / AAP, berupa : 42,62
1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama
kehidupan,
2. nilai Apgar ≤6 pada menit ke-5,
3. kebutuhan bantuan ventilasi tekanan positif (VTP) lebih
dari 10 menit,
4. tanda gawat janin.
211
Di Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus
bervariasi dari fasilitas terbatas di daerah terpencil dan fasilitas
ideal di kota-kota besar. Penetapan konsensus definisi asfiksia
harus dilakukan agar diagnosis dapat ditegakkan sesegera mungkin
agar mencegah keterlambatan tata laksana di Indonesia. Kriteria
yang dipakai untuk membantu penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum di Indonesia yang disusun dari berbagai kepustakaan
terlampir pada Tabel 3.
1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran Bukti riwayat episode hipoksik perinatal
(pH <7.0) pada pemeriksaan analisis gas (misal episode gawat janin)
darah tali pusat
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit
pertama
2. Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar <5 pada menit ke-10,
atau
• Bayi masih memerlukan bantuan
ventilasi selama >10 menit
212
3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, Manifestasi neurologis, seperti kejang,
hipotonia atau koma (ensefalopati neonatus); hipotonia atau koma (ensefalopati
neonatus)
4. Disfungsi multiorgan, seperti gangguan Disfungsi multiorgan, seperti gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, gastrointestinal,
respirasi, atau renal. hematologi, respirasi, atau renal
213
Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan,
antara lain :66-67
214
Pembagian tugas tim resusitasi adalah sebagai berikut :
• Penolong pertama,
yaitu pemimpin resusitasi, memposisikan diri di sisi atas
kepala bayi (posisi A). Pemimpin diharapkan memiliki
pengetahuan dan kemampuan resusitasi yang paling
lengkap, dapat mengkoordinir tugas anggota tim, serta
mempunyai tanggung jawab utama terkait jalan napas
(airway) dan pernapasan (breathing). Penolong pertama
bertugas menangkap dan meletakkan bayi di penghangat
bayi, menyeka muka bayi, memasangkan topi, mengeringkan
bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan
intervensi pada ventilasi (memperhatikan pengembangan
dada bayi, melakukan VTP, memasang continuous positive
airway pressure (CPAP), dan intubasi bila diperlukan).
• Penolong kedua,
yaitu asisten sirkulasi (circulation). Asisten sirkulasi
mengambil posisi di sisi kiri bayi (posisi B) dan bertanggung
jawab memantau sirkulasi bayi. Penolong bertugas
membantu mengeringkan bayi, mengganti kain bayi yang
basah, mendengarkan LJ bayi sebelum pulse oxymetri mulai
terbaca, mengatur peak inspiratory pressure / tekanan
puncak inspirasi (PIP) dan fraksi oksigen (FiO2), melakukan
kompresi dada, dan memasang kateter umbilikal. Selain itu,
penolong kedua menentukan baik-buruknya sirkulasi bayi
dengan menilai denyut arteri radialis, akral, dan capillary
refill time bayi.
• Penolong ketiga,
yaitu asisten obat dan peralatan (medication and equipment).
Asisten peralatan dan obat berdiri di sisi kanan bayi (posisi
215
C), bertugas menyiapkan suhu ruangan 24 - 26oC, memasang
pulse oxymetri, memasang probe suhu dan mengatur agar
suhu bayi mencapai suhu 36,5 - 37oC, menyalakan tombol
pencatat waktu, memasang monitor saturasi, menyiapkan
peralatan dan obat-obatan, memasang infus perifer bila
diperlukan serta menyiapkan inkubator transpor yang telah
dihangatkan.
216
3.6.2 Persiapan ruang resusitasi
217
b.
a b
Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b.
kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.
218
endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara
praktis, bayi dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg,
(28 - 34 minggu) dan ≥2 kg (>34 minggu) dapat diintubasi
dengan menggunakan ETT secara berturut-turut nomor 2,5;
3; dan 3,5. 71,77 Studi menunjukkan LMA dapat digunakan
bila pemberian VTP dengan BMS gagal dan penolong gagal
melakukan pemasangan ETT.78 Penggunaan LMA dapat
digunakan pada bayi dengan berat lahir >2 kg atau usia
gestasi >34 minggu.77
a b c
219
a b c
a b
220
f. Obat-obatan resusitasi, seperti : epinefrin (1:10.000),
nalokson hidroklorida (1 mg/mL atau 0,4 mg/mL), dan cairan
pengganti volume/volume expander (NaCl 0,9% dan ringer
laktat).
g. Pulse oxymetri
221
3.6.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang
berkesinambungan, diawali dengan melakukan evaluasi,
mengambil keputusan, dan melakukan tindakan resusitasi.74
Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan bantuan
untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi
lebih lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas
secara spontan dan adekuat saat lahir dengan menilai komponen
klinis bayi. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing
komponen penilaian.
222
tidak perlu dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi
tidak memperlihatkan respons perbaikan terhadap stimulasi
ringan maka langkah selanjutnya dalam resusitasi harus
dilakukan.7
• Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit.
Penilaian LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
meraba denyut nadi perifer atau sentral, meraba denyut
pembuluh darah umbilikus, mendengarkan LJ dengan
stetoskop atau dengan menggunakan pulse oxymetri.
Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk
menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi
oleh cardiac output dan perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat
lemah dan perfusi jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak
dapat berfungsi dengan baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ
lebih baik dilakukan dengan monitor EKG.71 Bila LJ menetap
<100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan menurun
sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan
asidosis.
• Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri.
Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat
dibandingkan berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse
oxymetri sangat direkomendasikan jika terdapat antisipasi
resusitasi, VTP diperlukan lebih dari beberapa kali pompa,
sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi mendapat
suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar
oksigen yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan
bayi. Sensor pulse oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi
preduktal (pergelangan atau telapak tangan kanan) untuk
mencegah pengaruh shunting selama periode transisi
sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya dapat
223
dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu
diingat bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya
pada curah jantung (cardiac output) dan perfusi kulit yang
buruk.79 Saturasi normal saat lahir bervariasi tergantung
pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia gestasi makin
lama bayi mencapai target saturasi normal.80,81 Berikut ini
merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66
1 menit 60-65
2 menit 65-70
3 menit 70-75
4 menit 75-80
5 menit 80-85
10 menit 85-95
224
Tabel 5. Evaluasi nilai Apgar
0 1 2
225
Bayi lahir
Asfiksia
Dilakukan Resusitasi
Usia 10 menit
Risiko EHI
Thompson score
Memenuhi EHI
Grading : EHI Sedang /EHI Berat
Passive Cooling
226
Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi
tubuh bayi sampai sebatas leher dapat digunakan untuk
mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan berat lahir
sangat rendah di bawah 1500 g.
227
Setelah melakukan langkah awal, penolong melakukan
evaluasi kembali dengan menilai usaha napas, LJ, dan tonus otot
bayi. Tindakan khusus, seperti pengisapan mekonium, hanya dapat
dilakukan selama 30 detik, dengan syarat LJ tidak kurang dari 100
kali/menit. Periode untuk melengkapi langkah awal dalam 60 detik
pertama setelah lahir ini disebut ”menit emas”.23,73 Berikut hasil
evaluasi:
228
Sumber: Texbook of neonatal resuscitation. Initial steps of newborn
care, 2016.71
229
Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya
0 1 2
Interpretasi Nilai
230
b. Pemberian ventilasi (breathing)
air
O2 21%
O2 reservoir
231
dan 90-100% bila dilengkapi reservoir.89 BMS dapat memberikan
PEEP bila dikombinasikan dengan katup PEEP, namun PEEP yang
dihasilkan kadang tidak konsisten. Hal ini menyebabkan
pemberian PEEP melalui kombinasi BMS dengan katup PEEP sulit
dipertahankan dalam waktu lama. 69,73,90
232
konsisten, tidak seperti BMS dan BTMS. Sebagai contoh pada saat
bayi apne ketika penolong harus memberikan VTP dengan
kecepatan 40-60 kali/menit. Pemberian ventilasi menggunakan
BMS dan terutama BTMS akan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mengembangkan balon kembali, sehingga penolong
yang kurang terlatih sering kali memberikan ventilasi yang tidak
konsisten akibat kesulitan memperoleh rate optimal saat pemberian
VTP.90,91
Secara umum, PEEP dan PIP dapat diberikan secara
bersamaan melalui BMS (yang dikombinasikan dengan katup
PEEP), BTMS, atau T-piece resucitator. Dalam praktiknya,
penggunaan BTMS kurang direkomendasikan untuk memberikan
VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-piece
resucitator.69
233
Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece
resuscitator
BMS BTMS T-piece resuscitator
(Jackson Rees)
Kelebihan • Cukup murah dan • Cukup murah • Memberikan PEEP dan CPAP
umumnya tersedia dan umumnya dengan PEEP yang terukur
di fasilitas terbatas tersedia di • Dapat juga digunakan untuk
• dapat memberikan fasilitas pemberian ventilasi tekanan
VTP dan PEEP bila terbatas positif (VTP) secara terukur
dikombinasikan • Dapat
dengan katup memberikan
PEEP PEEP, CPAP,
• Dilengkapi dengan dan VTP secara
pressure relief terukur, bila
valve untuk dilengkapi
mencegah dengan
pemberian manometer
tekanan khusus
berlebihan
234
Ventilasi dinilai efektif bila terlihat pengembangan dada dan
abdomen bagian atas pada setiap pemberian ventilasi, diikuti
peningkatan LJ >100 kali per menit dan perbaikan oksigenasi
jaringan.66 Bila dada tidak mengembang saat pemberian ventilasi,
harus diperhatikan apakah tekanan yang cukup telah diberikan.
Hal lain yang harus dievaluasi adalah urutan SR IBTA, yang
meliputi :23
235
pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen
harus bertahap (tidak boleh mendadak) sehingga penolong
sebaiknya mengoptimalkan ventilasi terlebih dahulu sebelum
menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali pada
keadaan tertentu.
236
a b c
Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®
237
menit oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen
dinaikkan menjadi 31%, penolong dapat menggunakan kombinasi
udara tekan 7 L per menit dengan oksigen murni 1 L per menit,
demikian seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.
238
Dalam melakukan VTP, penolong hendaknya melakukan
penilaian awal (first assessment) dan penilaian kedua (second
assessment) untuk mengevaluasi keefektifan VTP sebagai berikut
(Gambar 15,16).71
• Lanjutkan VTP
Dada • Lakukan penilaian kedua
mengembang (second assessment) 15
LJ tidak naik
Dada tidak • Koreksi ventilasi (SR
mengembang IBTA) sampai dada
mengembang
• Lanjutkan VTP ini
• Lakukan penilaian
kedua (second
239
c. Kompresi dada (circulation)
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang
lebih baik pada bayi baru lahir.
240
Bila bayi bradikardia (LJ <60x/menit) setelah 90 detik resusitasi
menggunakan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen
dapat ditingkatkan hingga 100% sampai LJ bayi normal
241
• Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau
intraoseus dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03
mg/kgBB). Pemberian melalui jalur endotrakea kurang
efektif, namun dapat dilakukan bila jalur intravena /
intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur
trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB
(0,05-0,1 mg/kgBB).71
• Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat,
lilitan tali pusat, perdarahan tali pusat, atau bayi
memperlihatkan tanda klinis syok dan tidak memberikan
respons adekuat terhadap resusitasi.71 Cairan yang dapat
digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid
isotonis, sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus
selama 5-10 menit. Pemberian cairan pengganti volume yang
terlalu cepat dapat menyebabkan perdarahan intrakranial,
terutama pada bayi prematur.23 Tata laksana hipotensi pada
bayi baru lahir dengan menggunakan kristaloid isotonis
(normal saline) mempunyai efektivitas yang sama dengan
pemberian albumin dan tidak ditemukan perbedaan
bermakna dalam meningkatkan dan mempertahankan
tekanan arterial rerata (mean arterial pressure / MAP) selama
30 menit pertama pascaresusitasi cairan.95
• Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi
neonatus.76,79
• Nalokson, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB secara
intravena atau intramuskular dengan dosis 0,1 mg/kgBB.
Jalur pemberian melalui endotrakea tidak
direkomendasikan.96-97 Pemberian nalokson tidak dianjurkan
242
sebagai terapi awal pada bayi baru lahir yang mengalami
depresi napas di kamar bersalin.73 Sebelum nalokson
diberikan, penolong harus mengoptimalkan bantuan ventilasi
terlebih dahulu.73,97 Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
nalokson dapat dipertimbangkan bila bayi dari ibu dengan
riwayat penggunaan opiat tetap mengalami apne walaupun
telah diberikan ventilasi adekuat.
243
Sodium bikarbonat tidak diberikan secara rutin pada resusitasi
bayi baru lahir.
244
4.1.7 Penolakan (witholding) dan penghentian resusitasi
245
Gambar 18. Alur resusitasi neonatus
246
3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan
Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah
berhasil dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang
resusitasi ke ruang perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara
ketat dan dilakukan intervensi sesuai indikasi.21,100 Akronim
STABLE (sugar and safe care, temperature, airway, blood pressure,
laboratorium working, dan emotional support) dapat digunakan
sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi atau periode
sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun
rumah sakit rujukan.101
3.7.2 Temperature
Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild
hypothermia) dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas
bayi akibat asfiksia secara signifikan (lihat subbab mengenai terapi
hipotermia).42 Terapi hipotermia secara pasif dapat dimulai sejak di
247
kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang diperkirakan
mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan
melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif
dan LJ tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada
usia 10 menit dengan memerhatikan kecurigaan asfiksia
berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar saat usia 5 menit dan
kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit. Pada
pelaksanaan terapi hipotermia pasif dengan suhu ruangan
menggunakan pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap
kemungkinan overcooling yang akan memperberat efek samping
terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari pinggiran anus) atau
esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit setelah
kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator
transpor yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu
tubuh rektal antara 33,5 - 34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia
perinatal, hipertermia harus dihindari selama resusitasi dan
perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan dapat
memicu terjadinya kejang.104
248
GD <47 mg/dL
GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36-<47 mg/dL**
maksimal 12,5%, umbilikal 25%
GD >47 mg/dL
Ulang GD tiap 2-4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut-turut normal
3.7.3 Airway
Perawatan pascaresusitasi ini meliputi penilaian ulang mengenai
gangguan jalan napas, mengenali tanda gawat maupun gagal
napas, deteksi dan tata laksana bila terjadi pneumotoraks,
interpretasi analisis gas darah, pengaturan bantuan napas,
menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar.101 Intervensi
dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada
evaluasi.
249
neonatus.101
3.7.7 Lain-lain
Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan
manifestasi neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pasca-
hipoksik umumnya bersifat parsial kompleks atau mioklonik dan
terjadi secara intermiten.105 Bayi yang lebih matur dapat mengalami
kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan EEG (atau
pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside
secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman
84)106 Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian
simtomatik akut seperti EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh
250
gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
dan hiponatremia), infeksi, stroke perinatal, perdarahan
intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak
diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan
investigasi riwayat secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi
atau faktor risiko neonatus mengalami kejang.110,111
Kejang epileptik
Klonik fokal • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
• Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi
tubuh
• Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi
tubuh
• Tidak dapat dikurangi dengan peregangan
Spasme • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
Kejang non-epileptik
Tonik umum • Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher
• Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan
rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
251
Gerakan okular • Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan
rangsang
Gerakan oral- • Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah
bukal-lingual • Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan
rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
Mioklonik • Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau
batang tubuh
• Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat
• Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter
• Dapat dibangkitkan dengan rangsang
252
Tabel 10. Jitteriness vs kejang
Manifestasi klinik Jitteriness Kejang
Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116
253
diagnosis kejang pada bayi dengan ensefalopati.114
Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi)
Tipe kejang Karakteristik klinik Terapi anti-kejang
254
Tujuan akhir tata laksana anti-kejang adalah menghindari
timbulnya kejang berulang baik secara klinis maupun
elektrografis.107 Idealnya setelah diberikan terapi anti-kejang
sebaiknya diamati responsnya dengan menggunakan EEG/aEEG.
Hal ini penting karena beberapa neonatus dengan perbaikan gejala
klinis, masih dapat menunjukkan gambaran kejang pada
EEG/aEEG. Oleh karena itu pemeriksaan EEG/aEEG kontinu
merupakan modalitas yang baik untuk mengkonfirmasi respons
dari terapi anti-kejang.108
255
pemeriksaan neurologi dan perkembangan saat usia 1 bulan, jika
pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat dihentikan, jika
abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan
yang bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika
EEG abnormal lakukan evaluasi ulang saat usia 3 bulan. Volpe
menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang dihentikan
sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan
sampai usia 3-6 bulan.116
256
fenobarbital masih merupakan satu-satunya obat anti-kejang lini
pertama yang digunakan. Obat anti-kejang lini kedua yang paling
banyak digunakan adalah midazolam pada 11 institusi, disusul oleh
fenitoin dan klonazepam. Sedangkan untuk lini ketiga, lidokain
digunakan hampir pada seluruh institusi diikuti dengan pilihan
lainnya seperti midazolam, diazepam, dan fenitoin. Pilihan obat
anti-kejang lini kedua dan ketiga yang digunakan di negara Amerika
sedikit berbeda dikarenakan telah banyak penelitian-penelitian
mengenai obat anti-kejang lain yang digunakan sebagai alternatif
terapi pilihan seperti levetiracetam, fosfenitoin, lorazepam, dan
sebagainya.117
257
teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122 mengemukakan bahwa kadar
terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu 16,9 µg/mL.
Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena
akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1
µg/mL.123 Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital
dalam plasma akan mengalami penurunan setelah 24 jam
pemberian dosis inisial, sehingga dosis rumatan harus segera
diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi tersebut,
pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat
mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian,
pemeriksaan kadar fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan
mengingat pada 1 minggu pertama kehidupan akan terjadi
penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini kemudian diikuti
dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap sehingga
diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital.124
Pada fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia
fenobarbital intravena, melainkan sediaan intramuskular (ampul,
100 mg/2 mL), maka fenobarbital intramuskular diberikan dengan
dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15% lebih tinggi dari dosis
intravena).116,120,122 Bila kejang masih belum teratasi, dosis ini
dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit.120
258
ketersediaannya.107,118,121,125
259
melainkan memberikan efek neuroprotektif. Levetirasetam mulai
dipakai oleh banyak institusi selain berkaitan dengan efek anti-
kejang yang baik, dikarenakan terdapat bentuk sediaan
intravena.116,118,129-132 Namun demikian, hingga saat ini di Indonesia
hanya tersedia levetirasetam sediaan oral berupa tablet salut
sedangkan sirup belum tersedia. Pemberian pada neonatus relatif
sulit mengingat sediaan tablet tidak dapat digerus. Studi mengenai
penggunaan levetirasetam oral pada kejang refrakter neonatal yang
belum teratasi setelah pemberian fenitoin / fenobarbital
menunjukkan bahwa pemberian levetirasetam oral efektif
mengatasi kejang tanpa menimbulkan efek samping.118,131,132 Dosis
inisial yang direkomendasikan adalah 10-20 mg/kgBB per oral
atau intravena, dengan dosis rumatan 40-60 mg/kg/hari terbagi
dalam 2 dosis.118,133-135
260
kontinu 7 mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan
setengah dosis tiap 12 jam selama 24 jam.
Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang
menjalani terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih
rendah (6 mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun
pada kondisi hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian
lidokain dapat ditambahkan dengan midazolam. Pemberian
keduanya secara bersamaan sebagai terapi kombinasi akan
memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih
baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai
obat anti-kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin
dan derivatnya (difantoin) memerlukan pemantauan terhadap
tekanan darah, laju nadi, dan EKG mengingat efek samping obat
berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia) walaupun sangat
jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia, beberapa
studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus
lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139
Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan
penyakit jantung bawaan dan penggunaan fenitoin
sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di Indonesia lidokain intravena
hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu (Xylocard tersedia di
RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk
pemberian subkutan / intramuskular.
Midazolam intravena dipertimbangkan sebagai obat anti-
kejang lini ketiga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini
merupakan pilihan pada kasus kejang refrakter yang tidak berhasil
dengan pemberian obat anti-kejang lini pertama dan kedua.141 Efek
samping yang dikhawatirkan pada pemberian midazolam yaitu
depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek samping
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan
261
benzodiazepin lainnya seperti diazepam dan lorazepam.116,123 Dosis
inisial yang diberikan adalah 0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan
dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika masih terdapat
kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan
0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18
µg/kgBB/menit.116,126
262
tidak ada bayi yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun
terdapat stupor dan memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147
263
mengatasi kejang sementara waktu hingga bayi dapat dirujuk ke
Sumber:
b a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo;
b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku
pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan
dasar; 2010
264
dipikirkan adanya kelainan metabolik bawaan seperti pyridoxine
dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat diberikan dengan
dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit), kemudian
dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum
pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi
dalam tiga dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran
adalah 50 mg/ml (1 ml) dan 100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin
secara intravena tidak perlu diencerkan, tetapi diperlukan
pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia dan
apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat
dilihat dalam Tabel 10.
265
Tabel 12. Farmakodinamik, mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksi obat Anti-kejang
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
• Awitan: ≤ 20 menit
Farmakodinamik • Spektrum • Bentuk fosfenitoin • Awitan • Absorbsi cepat dan • Awitan intravena 1-
• Waktu paruh: 3 jam
luas150 lebih disukai Intravena/drip: 1- hampir diserap 5 menit, maksimum
F (subkutan) dan 4-8
• Rentang untuk loading 3 menit sempurna dengan dalam 5-7 menit
jam untuk (intravena
terapeutik cepat, efek konsentrasi puncak • Durasi 20-30
Rektal: 2-10 menit jangka panjang)139
lebar150 samping dan plasma 1 jam setelah menit154
• Awitan reaksi lokal lebih • Durasi 15-30 penggunaan oral. • Waktu paruh 4-12
intravena 5 ringan.152 menit
116,133,134
jam dan 5,5-12 jam
menit, • Hanya • Waktu paruh 50- • Konsentrasi puncak pada neonatus yang
mencapai meningkatkan 10- 95 jam151 plasma dalam 5-15 sangat sakit151
maksimum 15% kontrol kejang menit setelah
dalam 30 setelah kegagalan pemberian intravena.
menit151 fenobarbital 116,133,134
• Durasi 4-10 mengontrol • Waktu paruh pada
jam151 kejang.152,153 neonatus 18 jam.
Waktu paruh • Awitan intravena 116,133,134
45-500 jam151 30-60 menit152
• Durasi 24 jam153
• Waktu paruh 10-
15 jam152
Mekanisme kerja Inhibisi • Menghalangi • Meningkatkan • Berikatan dengan • Menghalangi Menekan semua
neurotransmiter channel Na+ fungsi reseptor protein vesikel konduksi saraf level SSP, termasuk
dengan sehingga GABA.128 sinapsis SV2A dengan menurunkan sistem limbik dan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
memperpanjang mencegah • Menekan SSP, sehingga mengurangi permebilitas sel formasi retikularis,
waktu terbukanya rangsang neuron termasuk sistem pelepasan membran terhadap dengan berikatan
channel GABA- berulang150 limbik dan formasi vesikel.116,133,134 Na+ sehingga pada situs
Na+ 150 • Perubahan retikularis dengan • Meningkatkan mengurangi lama benzodiazepin pada
konduksi Na+, K+, berikatan pada ekspresi gamma waktu depolarisasi, kompleks reseptor
Ca2+, membran situs glutamate transporter meningkatkan GABA dan
potensial, dan benzodiazepin (GLTs), excitatory eksitabilitas dan memodulasi
konsentrasi asam pada kompleks amino acid mencegah aksi GABA.151
amino, GABA dan transporter 1/ potensial.
norepinefrin, memodulasi glutamate-aspartate • Menghalangi channel
asetilkolin, serta GABA.151 transporter Na+ pada sel
gamma- (EAAT1/GLAST), dan jantung139
aminobutyric acid EAAT2/GLT1 yang • Menyebabkan efluks
(GABA)150 mempunyai peran dari kalium yang
penting untuk mengakibatkan
neuroproteksi.116,133, aritmia.139
134
Keuntungan - Berat dan usia • Efektivitas hampir • Obat mudah • Risiko terjadi efek • Pada bayi cukup • Efektif pada status
gestasi tidak sama dengan didapatkan107 samping rendah bulan, Lidokain epileptikum141
terlalu Fenobarbital118,121 • Terdapat sediaan menunjukkan • Efek samping sedasi
mempengaruhi intravena respon terapi kejang dan depresi respirasi
kadar obat • Tidak ada reaksi yang lebih baik lebih rendah
dalam darah116 antar obat116,133,134 sebagai lini kedua dibandingkan
- Dapat diberikan dan ketiga dengan Lorazepam
dengan sediaan dibandingkan dan Diazepam.116,123
IM116 dengan
Midazolam109,116
267
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
Kerugian dan efek • Depresi napas, • Pemberian secara • Menganggu ikatan • Efekasi dan • Therapeutic window • Henti jantung151
samping apne101 intravena cepat albumin- keamanan pada sempit109,116 • Depresi napas, apne,
• Tromboflebitis10 menyebabkan bilirubin127 pada neonatus • Aritmia109,116 desaturasi,
1 hipotensi, aritmia, • Peningkatan enzim belum banyak • Bradikardia109,116 laringobronkospasm
• Hipotensi101,151 bradikardia, hati151 diketahui, namun • Hipotensi109,116 e 121
• Ruam kulit151 kolaps • Butuh titrasi penggunaan dosis • Menyebabkan • Nyeri dan reaksi
• Hepatitis, kardiovaskular, obat127 40-50 kejang bila lokal pada tempat
kolestatis101,151 dan distres • Depresi sistem mikrogram/kgBB digunakan dalam penyuntikan, namun
• Gangguan napas.101,151 saraf pusat (SSP) tidak menimbulkan dosis tinggi109,116 lebih ringan
kognitif150,151 • Muntah, iritasi dan sistem efek samping yang • Kejang dibandingkan
lambung.101 pernapasan bermakna.116,133,134 berulang109,116 diazepam.151
• Trombositopenia, (apne)101,151 • Belum ada sediaan • Kontraindikasi pada
leukopenia, dan • Hipotensi101,151 intravena di penyakit jantung
granulositosis.101 • Hipo/hipertermia10 Indonesia bawaan109,116
• Makrositosis dan 1
• Tidak boleh
anemia • Nyeri dan flebitis diberikan setelah
megaloblastik.101 pada tempat fenitoin/fosfenitoin
• Nekrosis dan penyuntikan101,151 karena dapat
inflamasi jaringan menyebabkan
bila terjadi kardiodepresif109,116
ekstravasasi pada
tempat
penyuntikan101,151
• Hepatitis151
• Ruam kulit101,151
• Hipoinsulinemia,
hiperglikemia,
glikosuria101
• Akselerasi
apoptosis neuron
268
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
pada bayi
prematur101,151
Interaksi obat • Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian Lidokain • Midazolam akan
diazepam yang bersamaan dengan diazepam yang bersamaan setelah Fenitoin meningkatkan kadar
disusul dengan infus dopamin disusul dengan makanan tidak disarankan fenitoin116
fenobarbital dapat fenobarbital menurunkan karena akan
intravena dapat menyebabkan intravena dapat konsentrasi puncak memperbesar efek
memperberat hipotensi berat, memperberat efek plasma sampai 20% kardiodepresif
efek depresi bradikardia, dan depresi SSP dan dan menunda kerja (aritmia,
SSP dan sistem henti jantung sistem obat sampai 1,5 jam; bradikardia),139
pernapasan, sehingga bila pernapasan, apne, tetapi tidak
apne, dan harus diberikan dan mengurangi
hipoventilasi.101 secara bersamaan, hipoventilasi.101 bioavailabilitas.
• Pemberian perlu perhatian • Meningkatkan 116,133,134
fenobarbital khusus dan kadar plasma
tidak boleh pemantauan digoksin.101
dicampur tejanan darah.101
dengan • Asam folat,
sebagian besar piridoksin,
antibiotik, rifampisin, dan
morfin, kloralhidrat dapat
norepinefrin, menyebabkan
dan natrium penurunan serum
fenitoin.101 fenitoin sehingga
menurunkan
efektivitasnya.101
• Menurunkan
kadar dan
269
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
efektivitas teofilin,
digoksin, dan
furosemid.101
• Meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid101
• Jangan
memberikan dosis
parasetamol
terlalu tinggi bila
diberikan
bersamaan dengan
fenitoin.101
*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinu dapat dipertimbangkan
sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.
- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti-kejang lini kedua setelah
pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama
- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain
intravena (Lignokain)
270
Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan
pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus
Obat FENOBARBITAL
Sediaan Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan)
IV/IM : 200 mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih
kejang diberikan 10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50
mg/kgBB dalam 24 jam)108,116,121
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL
untuk mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20
menit
- Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 10-
20 mg/kgBB (3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3
mL)
Rumatan :
- Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18
mg/hari atau 6-9 mg setiap 12 jam)
- Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,3-
0,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit
setiap 12 jam
271
IM :
- 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg
x 30 mg → 90 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg
- Berikan secara IM
Obat FENITOIN
Sediaan Oral : 30 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1
mg/kg/menit, cenderung tidak larut jika dicampur dengan
larutan dekstrosa/ aquabides)116
272
- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total
cairan 10 mL)
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL
untuk mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60
menit
Rumatan :
- Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg
diberikan setiap 12 jam IV/PO)
- Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4
mL untuk mendapatkan dosis 12 mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap
12 jam
Obat LEVETIRACETAM
Sediaan Oral : 250 mg, 500 mg
IV : saat ini belum tersedia di Indonesia
Dosis Inisial : 30-50 mg/kgBB intravena (total maksimal pemberian
80-100 mg/kgBB)116,133,134
atau 10-20 mg/KgBB per oral
Contoh soal -
Obat LIDOKAIN
Sediaan IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100
mg/mL)
Dosis Inisial : 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit
273
setiap 12 jam selama 24 jam berikutnya109,116,138,139
Kompatibilitas NaCl 0,9%, deskrosa 5%
Persiapan IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154
IV kontinu : pengenceran 10 mg/mL
Administrasi dan kecepatan Inisial : dalam 10 menit154
pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump
dimulai dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan
setengah dosis setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75
mg/kgBB/jam) selama 24 jam154
274
Obat MIDAZOLAM
Sediaan IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL)
Dosis Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB
1mL/jam = 1 µg/kg/menit
Inisial IV :
- Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg
- Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit
- Jika masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi
1mL/jam = 1 µg/kg/menit
275
µg/kg/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis
maksimal 18 µg/kgBB/menit
Obat DIAZEPAM
Sediaan IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL)
Dosis Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital
IV/IM, fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian
terutama dengan infus kontinu
276
- Kecepatan jalannya infus melalui syringe pump dibagi
untuk 6 jam. Sehingga bila hasil akhir pencampuran 9,4
mL / 6 = kecepatan 1,6 mL/jam, atau 12,6 mL / 6 =
kecepatan 2,1 mL/jam
- Pantau ketat status pernafasan bayi selama
pemberian infus diazepam
Obat PIRIDOKSIN
Sediaan Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL
Dosis Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158
IV :
- Dosis inisial = 50-100 mg IV
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis
150-300 mg
- Berikan secara bolus IV selama 5 menit
- Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)
277
Administrasi dan kecepatan IV : diberikan perlahan selama 20 menit
pemberian obat
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg (3 x 0,2 mmol = 0,6 mmol)
Sediaan : MgSO4 40% (1,6 mmol/mL)
Kebutuhan MgSO4 40% sebanyak 0,37 mmol ~ 0,4 ml
Administrasi dan kecepatan Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam
pemberian obat 30-60 menit dengan pemantauan fungsi kardiovaskular
(EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia
278
Sediaan : Ca glukonas 10% (100 mg/mL)
Pemberian rumatan IV :
- Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL
- Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam
cairan parenteral harian dalam 24 jam
279
Bayi dengan klinis kejang atau risiko tinggi kejang: *Cari dan atasi penyebab lain kejang:
• Segera konfirmasi dengan EEG/aEEG dan mulai pemantauan • Hipoglikemia (lihat hal.48)
EEG/aEEG secara kontinu jika memungkinkan • Hipokalsemia: Kalsium glukonas 10%
• Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang dapat dikoreksi dengan dosis 0,5 ml/kgBB IV
segera (Glukosa darah dan elektrolit*) • Hipomagnesemia: Magnesium sulfat
• Mulai pemberian antibiotik jika ada demam atau risiko tinggi 40% dengan dosis 0,2 mmol/kgBB IV
infeksi SSP
• Segera lakukan pungsi lumbal setelah kejang telah terkontrol
• Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC)
EEG/aEEG untuk
Jika terdapat satu tanda kejang pada EEG/aEEG dan tidak ada memantau respons klinis
L
penyebab yang dapat dikoreksi segera, berikan: terhadap pemberian
terapi anti-kejang
FENOBARBITAL (dipantau tiap 15-20
I Dosis inisial: 20 mg/kgBB IV selama 10-15 menit, dan mulai rumatan menit)
24 jam setelah dosis inisial: 4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO
N
I
Cek kadar ** Pertimbangkan keuntungan dan kerugian dari
FENOBARBITAL Mulai pemantauan ketiga pilihan obat anti-kejang:
dalam darah dalam 1- EEG/aEEG kontinu jika
2 jam setelah belum dilakukan • Efektivitas mengontrol kejang
S pemberian dosis inisial • Toksisitas / efek samping segera dari obat
• Minimalisasi risiko sedasi/ gangguan respirasi
A • Antisipasi kecepatan respons obat
Jika masih kejang:
• Interaksi obat
Ulangi FENOBARBITAL selang minimal 15 menit
T • Kebutuhan pemantauan kadar obat dalam darah
dosis 10-20mg/kgBB IV
• Kemampuan untuk melanjutkan obat sebagai
(dosis maksimal 50mg/kgBB IV dalam 24 jam)
U terapi rumatan
• Pembatasan penggunaan berbagai macam jenis
obat anti-kejang (memberikan obat inisial yang
juga dapat digunakan sebagai rumatan)
L FENITOIN
280
Lanjutan dari halaman sebelumnya
*** Pyridoxine dependency harus dipertimbangkan ketika kejang tidak respons terhadap pemberian obat
anti-kejang lini kedua. Pemberian Piridoksin harus disertai pengawasan ketat terhadap adanya
apne, kejang berulang, dan fungsi kardiovaskular
Gambar 22. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas lengkap
281
Bayi klinis kejang: Definisi fasilitas terbatas:
• Lakukan pemeriksaan penyebab kejang yang ü Tidak tersedia pilihan obat yang lengkap
dapat segera dikoreksi (gula darah/elektrolit) ü Kesulitan memasang akses intravena
• Mulai pemberian antibiotik jika ada kecurigaan ü Fasilitas untuk melakukan intubasi tidak tersedia
infeksi SSP ü Tenaga medis tidak kompeten melakukan intubasi
• Pastikan ventilasi dan perfusi adekuat (ABC)
PEMBERIAN MIDAZOLAM &
DIAZEPAM TERUTAMA BILA
DILANJUTKAN DENGAN
Jika tidak ada penyebab yang dapat dikoreksi secepatnya, PEMBERIAN FENOBARBITAL
harus segera memberikan obat antikejang akut DAPAT MENYEBABKAN DEPRESI
SSP & KARDIORESPIRASI!!!
Masih kejang?
L
RUJUK
I FENITOIN bila kejang masih
N belum teratasi
I Masih kejang?
D
U MIDAZOLAM
A
BILA MASIH KEJANG, RUJUK SECEPATNYA
à Bila tidak memungkinkan untuk dirujuk, optimalisasi dosis midzolam
à Dosis dapat dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit tiap 2 menit hingga dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit
Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas
282
3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia
3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan
suhu inti tubuh hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan
tujuan mencegah kerusakan neuron otak akibat asfiksia
perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi hipotermia antara
lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat,
produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan
antioksidan endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan
kejadian edema serebral dan apoptosis neuron pada bayi dengan
EHI.160 Pada dasarnya terapi hipotermia ini mencegah dan
memperlambat kaskade kerusakan otak yang sedang berjalan,
namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami
kerusakan ireversibel.34-35,161
283
serta kejang, sedangkan suhu lebih rendah dari suhu target
meningkatkan risiko efek samping misalnya koagulopati,
bradikardia, atau hipotensi.162
284
Pada fasilitas ideal, SHC dilakukan dengan menggunakan Cool
Cap®, sedangkan WBC menggunakan matras pendingin
(Blanketrol®, pilihan di Indonesia). Sedangkan WBC di fasilitas
terbatas dapat dilakukan dengan misalnya sarung tangan yang diisi
dengan air dingin atau gel pack.61,167
Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas ideal
Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb
oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_
285
Terapi WBC memberikan efek pendingin yang lebih homogen
ke seluruh struktur otak, termasuk bagian perifer dan sentral
otak.61 Di fasilitas ideal, metode ini menggunakan matras
pendingin. Bayi dalam keadaan telanjang, di bawah radiant warmer
yang telah dimatikan. Matras pendingin / Blanketrol® yang berisi
cairan pendingin berbasis kontrol termostat digunakan sebagai alas
tidur bayi, sedang probe temperatur rektal terpasang dan
tersambung dengan indikator suhu rektal pada mesin. Suhu cairan
pendingin dimulai dari 10 - 20oC saat fase inisiasi dan disesuaikan
secara manual untuk mempertahankan suhu rektal antara 33 -
34oC. Suhu cairan ini diperkirakan mencapai 25 - 30oC pada akhir
fase maintenance.61
286
cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral
(thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode
WBC mencapai efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak,
sehingga memungkinkan derajat hipotermi lebih dalam dan
mencapai struktur otak internal. Beberapa penelitian
memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC
dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait
metode penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode
cooling ini secara umum menghasilkan penurunan aliran darah
otak dan ambilan oksigen yang sama serta tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda inflamasi,
mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan.169,170
287
3.8.3 Indikasi dan kontraindikasi melakukan terapi hipotermia
Terapi hipotermia dilakukan pada bayi dengan indikasi sebagai
berikut:
288
Kontraindikasi terapi hipotermia meliputi :51,171, 172
289
kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum
memutuskan untuk tidak melakukan terapi hipotermia.
a. Pemeriksaan neurologis
290
Tabel 14. Sarnat staging
EHI derajat sedang EHI derajat berat
(ekstensi menyeluruh)
Refleks primitif Reflek hisap,gag& Moro melemah Refleks hisap, gag& Moro menghilang
291
memungkinkan. Sarnat staging maupun nilai Thompson sebaiknya
dievaluasi ulang saat jam ke-6 setelah lahir pada bayi dengan EHI
ringan yang belum diberikan terapi hipotermia karena derajat EHI
dapat mengalami perburukan pada jam-jam pertama kehidupan.
Pemeriksaan neurologis pada neonatus merupakan kemampuan
klinis yang terbentuk melalui pajanan dan pengalaman, sehingga
sebaiknya dilakukan oleh spesialis neurologi atau setidaknya orang
yang terlatih dan terbiasa mengevaluasi status neurologi pada bayi.
0 1 2 3
Nilai total
292
Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik
seperti grafik 1.
Skor Thompson
15
Skor Thompson
10
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke- )
293
electroencephalography (aEEG) merupakan alat pemeriksaan
seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam
aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat
menganalisis hasilnya secara bedside.187 Perekaman dapat
berlangsung terus menerus selama dibutuhkan dan pemasangan
elektroda lebih mudah daripada EEG konvensional.183,185
294
prediksi.188 Penelitian lain mengemukakan bahwa gelombang aEEG
abnormal persisten lebih dari 24 jam pada bayi EHI dengan
normotermia dan 48 jam dengan hipotermia berkaitan dengan
luaran yang buruk.189
A B
Sumber: The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic
hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic
encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
295
Gambar 28. Klasifikasi trace berdasarkan pengenalan pola gelombang dan voltase
untuk penilaian aEEG pada usia 3-6 jam.119
Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on amplitude
integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126: 131-139
c. Pemeriksaan lainnya
296
kehidupan dapat memprediksi EHI sedang-atau-berat lebih
akurat dibandingkan pH dan defisit basa (sensitivitas 94%,
spesifisitas 67%).192 Pada fasilitas lengkap dapat dilakukan
pemeriksaan AGD dilengkapi pemeriksaan laktat bedside
untuk mempercepat diagnosis dan keputusan terapi
hipotermia.
297
saat pemeriksaan dilakukan. Akibat kondisi hipoksik-iskemik
ringan hingga sedang, kelainan terutama ditemukan pada
korteks parasagittal dan substansia alba subkortikal yang
terletak diatas zona vaskular (zona watershed). Cedera yang
lebih berat terutama mempengaruhi substansia nigra-
putamen posterior dan thalamus ventrolateral (basal ganglia-
thalamus pattern / BGT), hipokampus, dan batang otak
bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan
berlanjut secara kronis menjadi ensefalopati multikistik.
Kelainan berat lain yang dapat ditemukan adalah hilangnya
intensitas signal kapsula internal posterior (PLIC).192,194,195
298
kelainan lebih jelas antara 2-4 hari dan berakhir dalam 7-14
hari.195
299
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan
pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI
sedang-berat.
300
Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia
301
Bayi asfiksia (terkonfirmasi)
lahir di luar RS
ya
Bayi telah ditransfer dalam tidak Nilai usia bayi (dari lahir
suhu dingin/normal? sampai tiba di RS rujukan)
ya
<6 jam >6 jam
• Catat kapan terapi
hipotermi dimulai
• Lanjutkan terapi hipotermia
sampai 72 jam Mulai terapi hipotermia Tidak memenuhi kriteria
terapi hipotermia
• Radiant warmer
• Pengatur suhu
• Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*
• Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*
• Blanketrol® *
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
302
Pada fasilitas terbatas, sebagian peralatan tersebut tidak
tersedia sehingga perlu disesuaikan sebagai berikut:
• Radiant warmer
• Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32oC)
• Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan
dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack
tidak tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung
tangan berisi air dingin
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat
digunakan, yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem
manual suhu diatur oleh tenaga kesehatan berdasarkan hasil
pembacaan di monitor, sedangkan sistem servo secara otomatis
akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan bila suhu
tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran
suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual
menyebabkan fluktuasi suhu yang lebih besar sehingga sistem
servo lebih cenderung dipilih.162 Selama proses pendinginan, probe
suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus. Pengukuran suhu
aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu yang
besar serta tidak mewakili suhu inti.205,206 Pada pusat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti
dengan termometer yang mampu mengukur suhu hingga 32oC,
sedangkan blanketrol® digantikan dengan sarung tangan yang diisi
air dingin atau gel pack.
303
3.8.5 Prosedur terapi hipotermia – fasilitas lengkap
Berikut ini merupakan prosedur terapi hipotermia dengan
menggunakan matras penghangat (Blanketrol®).171,172
a. Memulai cooling
304
Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di
bawah ini, dan dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172
Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 - 7
(masuk perawatan)
AGD
Laktat
DPL
PT, APTT
GDS
SGOT,SGPT
Ur, Cr
Elektrolit
EKG
Echo
EEG
USG kepala
MRI kepala
305
7. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu
rektal lebih dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target
suhu 33-34oC (active cooling)
8. Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan /
atau midazolam (bila menggunakan ventilator) atau
parasetamol (dapat diberikan per rektal, walaupun terpasang
probe rektal).
9. Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi:
• Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)
• Pemanjangan interval QT
• Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau
penghentian cooling
• Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik
• Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)
• Leukopenia (<5000/uL)
• Trombositopenia (<150.000/uL)
• Koagulopati
• Hipoglikemia
• Hipokalemia
• Peningkatan laktat (>2 mmol/L)
• Penurunan fungsi ginjal
• Sepsis
10. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada
hari-1 (usia 24 jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat
dipasang untuk melihat baseline gelombang otak dan
memantau timbulnya kejang.
11. Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34oC selama 72 jam,
yang dilanjutkan dengan prosedur rewarming.
306
b. Memulai rewarming
307
pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan
dengan diuresis serta insensible water loss, serta pemantauan
natrium serum. Seluruh rangkaian terapi hipotermia harus diawasi
dengan ketat dan didokumentasikan dalam catatan medis harian
pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan menambahkan
catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya
dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam
dimulainya cooling, rewarming, dan saat rewarming selesai.
308
Gambar 32. Penggunaan
botol berisi air dingin
Botol diisi air dingin bersuhu
25oC dan diletakkan di
samping bayi
309
Gambar 33. Whole body cooling dengan cool pack
Sumber: https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patient-
care/perinatal-reproductive/neonatal-ehandbook/procedures/initiation-
hypothermia-scn
310
3. Pantau suhu rektal menggunakan termometer yang mampu
mengukur suhu hingga 32oC (Gambar 35) dan pertahankan
target suhu antara 33 - 34oC selama 72 jam. Jika suhu rektal
lebih rendah dari 33,5oC, jauhkan gel pack dari tubuh bayi,
nyalakan radiant warmer and atur tingkat kehangatan secara
manual untuk mencapai target suhu. Setelah suhu rektal
mencapai 34oC, matikan radiant warmer dan letakkan
kembali gel pack pada tubuh bayi sesuai kebutuhan.
311
Terapi hipotermia menggunakan gel/cool pack terbukti
menurunkan risiko kematian dan gangguan perkembangan bayi
dengan EHI pada usia 6 bulan kehidupan.
3.8.8 Follow up
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI
berat mengalami komplikasi disabilitas berat, dengan 10-20%
komplikasi disabilitas sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi
EHI sedang memiliki kemungkinan 30-50% untuk menderita
komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20% sisanya akan
mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi
asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan
dan intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat
dilakukan sejak bayi berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan
spesialis neurologi anak sangat dianjurkan untuk pemantauan
neurodevelopmental jangka panjang.
312
BAB IV
313
Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat
pernapasan pada bayi.
314
dapat ditingkatkan hingga 100% sampai denyut jantung bayi
normal
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih
baik pada bayi baru lahir.
315
Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian obat-
obat resusitasi.
316
Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam setelah
terjadinya cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama 72 jam
meningkatkan kesintasan bayi tanpa disabilitas perkembangan
saraf (neurodevelopment) yang berat.
Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia
3-5 jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal
aEEG pada usia 6 jam atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam
setelah kelahiran. Penilaian Thompson dini bermanfaat untuk
penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi hipotermia
317
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu.
Bila kejang belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga
dosis maksimal terpenuhi.
318
BAB V
SIMPULAN
319
DAFTAR RUJUKAN
1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why?.
The Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Maternal and perinatal health profile. Diunduh dari
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/epidemio logy/profiles/
maternal/idn.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2012.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
4. World Health Organization. Cause of child mortality. 2000-2012. Diunduh dari
.http://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_causes_region_text
/en/ pada tanggal 18 September 2014.
5. World Health Organization. World health statistic 2013. Diunduh dari
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WHS2013_f
ull.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.
6. Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id. pada tanggal
15 Mei 2009.
7. Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room. NeoReview.
2012;13:e336-42.
8. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in infants with
post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.
9. van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term cognitive and
behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal
asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-54.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal asphyxia. Dalam:
Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ. Neonatology: Management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6. United states:
McGraw-Hill education; 2013.
11. World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical guide-
revision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh dari
http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_
citation/index.html.
12. World Health Organization. Guidelines on basic newborn resuscitation. Diunduh
dari: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241
503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.
13. Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal mortality due to
birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective, community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381-90.
320
14. American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord blood gas
and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348. Obstet Gynecol.
2006;108:1319-22.
15. American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam: Gilstrap LC, Oh W, penyunting.
Guidelines for perinatal care. Elk Grove Village (IL): American Academy of
Pediatrics; 2002: h.196-7.
16. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis kesehatan anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.
17. Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity in full term
newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary (revisi tanggal 10 Oktober
2007). The WHO reproductive health library; Geneva: World Health
Organization.
18. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia; 2011.
19. Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk. Perinatal asphyxia
patophysiology in pig and human: a review. Anim Reprod Sci. 2005;90:1-30.
20. McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.
21. Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia neonatorum di
Kabupaten Purworejo. Diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/14393
/1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal 26 september 2014.
22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby general
Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG Med J.
2000;43:110-20.
23. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Gleason CA dan
Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. United
Stated of America: Elsevier Inc; 2012. h.331.
24. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N Am.
2004;51:619-37.
25. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol.
1989;16:595-611.
26. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal
asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
27. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood flow and
oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J Dev Physiol.
1987;9:337-46.
28. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood flow velocities in
the anterior cerebral artery and basilar artery in asphyxiated infants. J
Ultrasound Med. 2008;27:955-60.
321
29. Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does endothelin-1 reduce
superior mesentric blood flow velocity in preterm neonates? Arch Dis Child Fetal
Neonatal. 1999;80:F123-7.
30. Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY, penyunting. The
cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan & Claypool Life Sciences; 2009.
31. Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate measurement as a
diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia in newborn infants with
gestational age >34 gestational weeks. Akush Ginekol. 2013;52:36-43.
32. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects. Dalam: Fletcher J,
penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008.h.325-586.
33. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic hypothermia
for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from here. Front
Neurol. 2015;6:198.
34. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term newborn.
JPNIM. 2014;3:e030269.
35. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia:
Saunders/Elsevier. 2012
36. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic
encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka E,
penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi pertama. Amerika
serikat:Intech; 2014. h.123-192.
37. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective strategies after
neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol Sci. 2015;16:22368-
22401.
38. Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature brain. J Exp
Biol. 2004;207:3149-54.
39. Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in preterm infants.
Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting. Preterm birth: causes, consequences,
and prevention. Washington: National Academies Pres (US); 2007.
40. Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu VWH, Wood
EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill Livingstone;1987. h.148-69.
41. Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due to birth
asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.
42. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation management of
asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.
43. Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal network.
2000;19:13-8.
44. McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam: Arulkumaran S,
Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia. London: Sangam; 2000.
322
45. Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams Wilkins; 2008.
46. Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the asphyxiated
newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.
47. Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr. 2000;67:529-
32.
48. Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED, Harmon P,
dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology. Philadelphia: Lippincott
Williams & wilkins; 2004.
49. Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in asphyxiated
neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.
50. Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis? ISRN
gastroenterology. 2012;2012:1-9.
51. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Queensland
maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-ischaemic enchephalopathy.
Queensland: State of Queensland (Queensland Health); 2016.
52. Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with perinatal distress
in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-8.
53. Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting retinopathy in
China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.
54. Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic disc
morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.
55. Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC, penyunting.
Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg: Springer
Science+Business Media; 2010.
56. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology of perinatal
asphyxia: can we predict and improve individual outcomes? EPMA Journal.
2011;2:211-30.
57. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of asphyxia. Pediatr
Clin N Am. 2004;51:737-45.
58. Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and protocol
overview. Diunduh dari: http://www.curoservice.com/health_
professionals/news/pdf/10-09-2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal
15 Desember 2014.
59. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial management and
current cooling guidelines. Neoreview. 2016;17:e463-70.
60. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal mortality due to
birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381.
323
61. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body hypotermic for
neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N Engl J Med. 2005;353:1574-
84.
62. Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S, Manjunath MN.
Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in tertiary care centre. Curr
Pediatr Res. 2015;19:9
63. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of perinatal
asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control study. Arch Iran Med.
2010;13:275-80.
64. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated red blood
cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome. Int J Clin Pediatr.
2014;3:79-85.
65. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN. Umbilical cord
nucleated red blood cell counts: normal values and the effect of labor. J
Perinatol. 2006;26:89-92.
66. Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. Diunduh dari
www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.
67. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Neonatal
resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.
68. Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam: Karotkin EH,
Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5.
Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.
69. UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK neonatologi IDAI;
2014.
70. The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam: The Royal
Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal
Women’s Hospital; 2008. h. 26.
71. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation. Edisi ke-7.
Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and American Heart
Association. 2016.
72. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal resuscitation. 2010
International consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation.
2010;122:S516-38.
73. Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400
74. Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation: Neonatal
resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.
324
75. Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in
the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.
76. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation
2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation. 2010;81:1389–
99
77. Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam Physician.
2011;83:911-8.
78. Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask ventilation or
endotracheal intubation for neonatal resuscitation. Cochrane Neonatal Review.
2005.
79. UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010 Resuscitation
Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls. pdf. pada tanggal 15
Oktober 2013.
80. Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation in healthy
infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.
81. Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference range for oxygen
saturation for infants after birth. Pediatrics. 2010;125:e1340-7.
82. American College of Obstetricians and Gynecologist; American Academy of
Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion No. 333. Obstet Gynecol.
2006;107:1209-12.
83. American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn, American
Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe on Obstetric Practice.
The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.
84. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating the evidence
and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.
85. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during neonatal
resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.
86. Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment of neonatal
lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin (penyunting). Assisted ventilation
of the neonate. Edisi ke-5. Missouri: Elseiver Saunder; 2011.
87. Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus CPAP with variable
flow in newborn with respiratory distress: a randomized control trial. Journal de
Pediatria. 2011;87:499-504.
88. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score as clinical
assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory support in neonatal
respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci. 2013;5:176-83
89. Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using a neonatal
self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow. Pediatrics.
2013;131:e144-9.
325
90. Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal resuscitation
devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.
91. Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual ventilation
devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004;
89:F490-3.
92. Davis PG, Tan A, O’Donnel CPH, Schulze A. Resuscitation of newborn infants with
100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 2004;
364:1329-33.
93. Boyle DW, Engle WA. Resuscitation. Dalam: Hertz DE, penyunting. Care of the
newborn. Handbook for primary care. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005.hal 6-22.
94. Braga MS, Dominguez TE, Pollock AN, dkk. Estimation of optimal CPR
compression depth in children by using computer tomography. Pediatrics.
2009;124:e69-74.
95. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline versus 5%
albumin for the treatment of neonatal hypotension. J Perinatol. 2003; 23:437-
76.
96. McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn infants:
systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.
97. The International Liaison Commitee on Resuscitation. The International Liaison
Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with treatment
recommendations for pediatric and neonatal patients: Neonatal resuscitation.
Pediatrics. 2006;117;e978-88.
98. Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada tanggal 18
Oktober 2014.
99. World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in health care,
2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?ua=
1 pada tanggal 24 September 2014
100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin Pediatr Surg.
2013;22:179–184.
101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation stabilization
care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006. Diunduh
dari
http://www.stableprogram.org/docs/stable_learner_manual_preview.pdfpad
a tanggal 24 september 2014
102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at risk for low
blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9.
103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated infant.
Perinatology. 2010;3:20-9.
326
104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile seizures are
precipitated by a hyperthermia-induced respiratory alkalosis. Nat Med.
2006;12:817-23.
105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari
http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain- injury/
pada tanggal 19 Mei 2015.
106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic
clinics. 2001;19:427-63.
107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190.
108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical Neurophysiology
Society's Guideline on Continuous Electroencephalography Monitoring in
Neonates. J Clin Neurophysiol 2011; 28:611.
109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in aEEG-confirmed
neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-term and preterm infants.
Epilepsia. 2015;57:233-242.
110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for administration of
IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta: RSUPN Cipto Mangunkusumo;
2005.
111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of acute
symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy syndromes. Arch Dis
Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232.
112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal Neonatal 1998;
78:F70-5.
113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures in Hypoxic
Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial. Pediatrics 2015;
136:e1302.
114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of neonatal seizure
management strategies provides guidance on anti-epileptic treatment. 2014.
115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health Organization. 2011
116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.
117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the neonatal
period: a European perspective. Acta Paediatrica. 2010;99(4):497-501.
118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal
Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364.
119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns. Neurology 1983;
33:173.
327
120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi. Jakarta: Kementrian
kesehatan, 2010.
121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with phenytoin
for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999; 341:485–489.
[PubMed: 10441604]
122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for control of neonatal
seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449.
123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol Rev.
2004;5:e262-e268.
124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in newborns with
neonatal seizures. A study of plasma levels after intravenous administration.
Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62.
125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young children
treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child. 1969;44:604 611.
126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant treatment of
neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488. [PubMed: 14872039]
127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature and
cerebral blood flow during selective head versus whole-body cooling. Pediatrics.
2001; 108;1103.
128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of benzodiazepines
on GABA receptors. British Journal of Pharmachology. 2006;148(7).
129. Kilicdag H, Daglıoglu K, Erdogan S, dkk. The effect of levetiracetam on neuronal
apoptosis in neonatal rat model of hypoxic ischemic brain injury. Early Hum Dev
2013; 89:355.
130. Komur M, Okuyaz C, Celik Y, dkk. Neuroprotective effect of levetiracetam on
hypoxic ischemic brain injury in neonatal rats. Childs Nerv Syst 2014; 30:1001.
131. Khan O, Chang E, Cipriani C, dkk. Use of intravenous levetiracetam for
management of acute seizures in neonates. Pediatr Neurol 2011; 44:265.
132. Loiacono G, Masci M, Zaccara G, Verrotti A. The treatment of neonatal seizures:
focus on Levetiracetam
133. Sharpe CM, Capparelli EV, Mower A, dkk. A seven-day study of the
pharmacokinetics of intravenous levetiracetam in neonates: marked changes in
pharmacokinetics occur during the first week of life. Pediatr Res 2012; 72:43.
134. Merhar SL, Schibler KR, Sherwin CM, dkk. Pharmacokinetics
135. Mruk Allison L, L Karen, Garlitz, RL Noelle R. Levetiracetam in Neonatal Seizure:
A Review. J Pediatr Pharmacol Ther 2015;20:76–89.
136. Vento M, de Vries LS, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the neonatal
period: a European perspective. Acta Paediatr. 2010;99:497-501.
328
137. Van Rooij LG, Hellstrom-Westas L, de Vries LS. Treatment of neonatal seizures.
Semin Fetal Neonatal Med. 2013;18:209-215
138. Malingré MM, Van Rooij LG, Rademaker CM, dkk. Development of an optimal
lidocaine infusion strategy for neonatal seizures. Eur J Pediatr 2006; 165:598.
139. Lundqvist M, Ågren J, Hellström-Westas L, Flink R, Wickström R. Efficacy and
safety of lidocaine for treatment of neonatal seizures. Acta Paediatrica.
2013;102(9):863-867.
140. van Rooij LG, Toet MC, Rademaker KM, dkk. Cardiac arrhythmias in neonates
receiving lidocaine as anticonvulsive treatment. Eur J Pediatr 2004; 163:637.
141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E, dkk. Midazolam
in neonatal seizures with no response to phenobarbital. Neurology 2005;
64:876.
142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of diazepam
and N-desmethyldiazepam in newborn infants after intravenous, intramuscular,
rectal and oral administration. Acta Paediatr Scand. 1978;67:699-704.
143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of phenytoin,
phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535.
144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the treatment of
prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-784.
145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of prolonged seizure
activity in neonates and infants. Dev Med Child Neurol. 1971;13:630-634.
146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the displacement of
bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141.
147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous, intravenous
infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149.
148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics. 1998;
101(1):1-11.
149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism. Epileptic
Disord 2005; 7: 67-81.
150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe SJ, Aranda JV,
penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology: Therapeutic principles in
practice. Edisi ketiga. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal dosage handbook:
A comprehensive resource for all clinicians treating pediatric and neonatal
patients. Edisi ke-18.
152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15 April
2015.
329
153. Murphy SA. Emergency management of seizures. Diunduh dari
https://www.umassmed.edu/.
154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23
155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13th Ed. Royal
Women’s Hospital Melbourne.
156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal dosage handbook.
Hudson (OH): Lexi Comp; 2010.
157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins Sans
Frontières; 2017.
158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy Departement
1998;1.
159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic ischaemic
ensephalopathy. 2010.
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada tanggal
14 Agustus 2014
160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia.
Pediatrics,2004;114:361-6)
161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with hypoxic
ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583
162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic hypothermia
during transport and in hospital for perinatal asphyxial encephalopathy. Semin
Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy. Curr Treat
Options Neurol. 2012; 14.
164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic hypothermia in
asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy: A single-center
experience from its first application in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30.
165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register. Implementation
and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal asphyxial encephalopathy
in the UK--analysis of national data. PLoS One. 2012; 7: e38504.
166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons learned during
implementation of therapeutic hypothermia for neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy in a regional transport program in Ontario. Paediatr Child
Health. 2011; 16: 153-156.
167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling with mild
systemic hypothermia after neonatal encephalopathy: multicentre randomized
trial. Lancet. 2005; 365:663-70.
330
168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of cooling methods
used in therapeutic hypothermia for perinatal asphyxia. Pediatrics.
2010;126:e124-30.
169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA, Akbayir S. The
effects of selective head cooling versus whole-body cooling on some neural and
inflammatory biomarkers: a randomized controlled pilot study. Italian Journal of
Pediatrics. 2015; 41:79
170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature and
cerebral blood flow during selective head versus whole-body cooling. Pediatrics.
2001; 108;1103.
171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35 weeks
with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) clinical
guideline,2010. Diunduh dari http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal
14 Agustus 2014.
172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for therapeutic
hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic ischaemic
encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service: Clinician’s
handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling for newborns
with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311.
174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling for
neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy-are we there
yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling for
newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.: CD003311.
176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic
encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A systematic
review. Early Human Development. 2018;120:80-87.
177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic Hypothermia
Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability Among Newborns With
Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA. 2017;318(16):1550.
178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic cerebral injury in
South India assessed by perinatal magnetic resonance biomarkers and early
childhood neurodevelopmental outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874.
179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn assessment
and long-term adverse outcome: a systematic review. Am J Obstet Gynecol
1999;180:1024-9).
180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y. Early clinical signs
in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy predict an abnormal
331
amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics
2013;13:52.
181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants treated with
hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE supplement 2015;57:8-
16
182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic encephalopathy
score in predicting neurodevelopmental outcomes among infants with birth
asphyxia at the Muhimbili National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical
Pediatr. 2008; 55: 8-14.
183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated
electroencephalography in neonates. PediatricNeurology. 2009;41:315-326.
184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term neonatal
background classification by conventional and amplitude-integrated EEG. J Clin
Neurophysiol. 2011;28:1-9.
185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode challanges in
amplitude-integrated EEG: research application of a novel noninvasive measure
of brain function in preterm infants. Biol Res Nurs. 2011.
186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on amplitude
integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126: 131-
139
187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH. Prognostic
tests in term neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy: a systematic
review. Pediatrics 2013;131:88-98
188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-integrated
electroencephalography coupled with an early neurological examination
enhances prediction of term infants at risk for persistent encephalopathy.
Pediatrics 2003;111:351-7
189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude-integrated electroencephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics
2010;126:e131-9
190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate and acid-
base status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
1997;76:F15-20.
191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor of early
childhood neurodevelopmental outcome of neonates with severe hypoxemia
requiring extra corporeal membrane oxygenation. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 1996;74:F47-50.
192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of short-term
outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol 2004;24:16-20
193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a predictor of
outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol 2002;26:37-42.
332
194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A, Sreenivasan
VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal hypoxic-ischemic brain
injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-27
195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge MM, Counsell S.
Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic encephalopathy. J Early Human
Development 2010;86:351-60
196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and myocardial oxygen
sufficiency and circulatory parameters, Science 1977;198: 1264-1267.
197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared
spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing intensive
care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51.
198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral autoregulation. Clin
Auton Res 2009; 19: 197–211.
199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth Asphyxia: Their
Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339.
200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in Neonates
with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of Amplitude-Integrated
Electroencephalography and Cerebral Oxygen Saturation Measured by Near-
Infrared Spectroscopy. Neonatology. 2017;112:193-202.
201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-flow velocity
in respiratory distress syndrome. Relation to the development of intraventricular
hemorrhage. N Engl J Med 1983;309:204–209.
202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in intraventricular
hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral blood-flow velocity in preterm
infants with respiratory distress syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357.
203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy clinically useful
in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2015;100:F558-F561.
204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate the status of
the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86.
205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care unit: challenges
and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17
206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia during neonatal
transport. Infant. 2013;7:79-82
207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for term
neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-limited settings: a
randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012; 58: 382-8.
208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized controlled trial of
therapeutic hypotermia with serial cranial ultrasound and 18-22 month follow-
up for neonatal encephalopathy in a low resource hospital setting in Uganda:
study protocol. Trials. 2011; 12:138.
333
209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic
encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari
http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.
334
LAMPIRAN 1
Jumlah Keterangan
Bulb suction 1
Aspirator mekonium 1
Tabung oksigen dan flowmeter 1 Akan lebih baik bila tersedia tabung
cadangan
Tabung udara bertekanan dengan
1
indikator tekanan
335
T-piece resuscitator 1
Katup PEEP 1
Pulse oxymetri 1
Monitor EKG 1
Stilet 1
Gunting 1
336
Set infus 1
Syringe pump 1
Set umbilikal steril 1 set Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas
alat, 2 klem duk, 1 pinset lurus, 1 pinset
sirurgis, 1 piset bengkok, 1 klem
bengkok, 1 benang silk ukuran 3.0
cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1
mangkok berisi Betadine
Lain-lain
Glukometer 1
Gluko-stick minimal 1
337
LAMPIRAN 2. CONTOH KASUS
1. Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi
apne dan hipotoni.
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit,
hipotoni.
338
Berikan PIP dan PEEP, umumnya
dimulai dari 30/5. PIP dapat
ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110
kali/menit, tonus otot baik.
*setelah
pemberian VTP Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP VTP dihentikan dan berikan CPAP
dini menggunakan t-piece dini menggunakan Jackson Rees
resuscitator dengan PEEP 7 cmH2O dengan PEEP 7 cmH2O
dan konsentrasi oksigen tetap 21%.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada
retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik.
saat usia 5
menit Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.
339
Emotional support : edukasi keluarga
2. Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol
dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni.
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.
340
ruangan) yang dikombinasikan
dengan katup PEEP.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi mulai bernapas, LJ 100 kali/menit,
dan tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.
*setelah
pemberian VTP
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP VTP dihentikan dan berikan CPAP
dini menggunakan t-piece dini menggunakan Jackson Rees
resuscitator dengan PEEP 7 cmH2O dengan PEEP 7 cmH2O konsentrasi
dan konsentrasi oksigen tetap 30%. oksigen tetap 30%.
341
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus
otot kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk
saat usia 5 diintubasi.
menit
3. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak
dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan
terlihat sangat pucat
342
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali
343
• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan secara bertahap
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100
kali/menit, hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai
*setelah pemberian kemerahan.
VTP efektif selama
30 detik
344
Airway : VTP manual, FiO2 80%
4. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena plasenta
previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan terlihat sangat
pucat
345
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang
taktil pada bayi
346
* Evaluasi : dada tidak mengembang
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54
kali/menit, hipotoni, saturasi 55%
*setelah pemberian
VTP efektif selama
30 detik
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50
kali/menit, LJ 90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian 75%, pucat.
VTP dan kompresi
dada terkoordinasi
selama 60 detik
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer
umumnya lebih sulit dilakukan.
→dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan
kualitas cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.
347
Apakah bayi Ya, berdasarkan informasi kasus ini:
dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 1/3/8
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP
manual) > 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ,
bersalin) perdarahan fetal-maternal karena plasenta previa totalis)
• perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti
terjadinya asfiksia
• usia gestasi > 35 minggu
• berat lahir >1800-2000 g
Setting: ruang Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14
348
• pH tali pusat 6,75; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir
• usia <6 jam
• konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi
pada pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi.
• mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit
atau rujuk sesegera mungkin dalam keadaan dingin
5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas
indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat jarang,
ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne, hipotoni, kulit
pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.
349
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik
pertama ini)
350
• Penolong melakukan intubasi. • Penolong dapat melakukan
Bila intubasi sulit dilakukan, intubasi atau memasang LMA
penolong dapat menggunakan (bila tersedia), kemudian
LMA. VTP dilanjutkan bag to melanjutkan VTP bag to tube.
tube.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ
55 kali/menit, hipotoni, saturasi 60%
*setelah pemberian
VTP efektif selama
30 detik
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak
ada usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian 65%, pucat
VTP dan kompresi
dada terkoordinasi
selama 60 detik
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer
sulit dilakukan.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak
ada usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang,
saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ
100 kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai
kemerahan, kaki tangan kebiruan
351
Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
pascaresusitasi
GDS 42 g/dL → dilakukan tata laksana
Setting: ruang Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17
• pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila
mampu laksana)
• usia <6 jam
• bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia
• konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan
kesehatan level 3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan
kontraindikasi terapi hipotermia.
352
LAMPIRAN 3. LAPORAN KASUS
Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif
memanjang (>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100
gram. Faktor risiko ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan,
dan tersangka infeksi saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis,
LJ 80 kali/menit, tidak ada tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan
pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi diberikan VTP menggunakan t-piece
resuscitator. Usia 30 menit, bayi kejang selama 15 detik. Bayi
didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa kehamilan
(SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD).
Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11
pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia
dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.
353
Tidak ditemukan efek samping saat rewarming. Pemeriksaan USG
kepala, menunjukkan perdarahan intraventrikular grade I, namun
tidak dilakukan MRI. Bayi dipulangkan dari ruang perawatan dengan
klinis baik. Pemantauan perkembangan hanya dilakukan sampai usia
6 bulan karena loss to follow up. Bayi mengalami keterlambatan
motorik kasar (belum dapat tengkurap) saat pemeriksaan terakhir di
usia 6 bulan.
354
Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)
terapi <24 24-48 48-72
hipotermi
Suhu 36 34 34 34
LJ 100 100 80 80
Aritmia -
MAP (mmHg) 46 54-63 52-72 54-72
Inotropik - - - -
Hb; Hct 17; 51,9 21,4; 63.2 163; 48,6
(g/dl; %)
Leukosit (/µL) 10.800 10.400 7.700
Trombosit 152.000 130.000 137.000
(/µL)
Faktor PT: 23,10 (K:22)
pembekuan aPTT: 41,30 (K:43,5)
Glukosa serum 111 67 71
Kalium
(mmol/L)
BUN/Cr
Sepsis Tidak Sepsis ec Pseudomonas
355
3. PNPK Hiperbilirubinemia
BAB I
PENDAHULUAN
356
rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah
sakit).
Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia
ensefalopati atau kernikterus merupakan morbiditas pada
neonatus yang dapat dicegah. Keadaan ini sudah tidak ditemukan
lagi di negara maju,4, 7 karena adanya panduan hiperbilirubinemia
yang berlaku secara nasional.
1.2 Permasalahan
Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di negara
berkembang termasuk Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu
bervariasinya panduan tatalaksana hiperbilirubinemia di
Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan8, WHO9,
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia
(IDAI) memiliki dua panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku
Ajar Neonatologi,10 dan dalam Pedoman pelayanan medis jilid II.11
Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak konsistennya
pelaksanaan panduan tersebut.12 Salah satunya adalah persepsi
pribadi dalam melakukan tatalaksana hiperbilirubinemia
tersebut.13 Sebagai upaya mengatasi berbagai kendala tersebut,
disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan
kesehatan nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) hiperbilirubinemia.
357
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka
kejadian dan komplikasi bayi di Indonesia akibat
hiperbilirubinemia
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan
neonatus, meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini
dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer,
sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi
pendidikan, serta kelompok profesi terkait.
358
BAB II
METODOLOGI
359
terkontrol
360
BAB III
3.1.2 Hiperbilirubinemia
361
membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat.11
362
toksisitas bilirubin.14 Pada kondisi kronik ensefalopati bilirubin,
bayi yang selamat dapat mengalami kondisi yang parah dari
athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran, displasia dental-
enamel, upward gaze paralysis, dan pada situasi yang lebih jarang,
disabilitas intelektual atau lainnya. Sebagian besar bayi yang
mengalami kernikterus menunjukkan beberapa atau seluruh tanda
yang disebutkan di atas pada fase akut bilirubin ensefalopati.18, 20,
22 Namun begitu, kadang ada bayi yang mengalami peningkatan
kadar bilirubin yang sangat tinggi dan kemudian tanda kernikterus
hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis
ensefalopati bilirubin akut.23 (lihat Lampiran 6)
363
1. Inkompatibilitas ABO dan Rhesus
2. Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lain-
lain)
3. Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit < 5)
4. Asidosis (pH tali pusat < 7,0)
5. Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi
6. Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL)
Faktor risiko mayor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko tinggi
• Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
• Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin
direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya
(defisiensi G6PD)
• Umur kehamilan 35-36 minggu
• Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
• Sefalhematoma atau memar yang bermakna
• ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan
kehilangan berat badan yang berlebihan
• Ras Asia Timur
Faktor risiko minor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau
bilirubin transkutaneus terletak pada zona risiko sedang
• Usia kehamilan 37-38 minggu
• Sebelum pulang, bayi tampak kuning
• Riwayat anak sebelumnya kuning
• Bayi makrosomia dari ibu DM
• Umur ibu ≥ 25 tahun
• Jenis kelamin bayi laki-laki
364
Faktor yang • Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
mengurangi risiko terletak pada daerah risiko rendah
• Umur kehamilan ≥ 41 minggu
• Bayi mendapat susu formula penuh
• Kulit hitam
• Bayi dipulangkan setelah 72 jam kelahiran
365
Gambar 1. Metabolisme bilirubin24
366
heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas.24, 25
367
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah
yang umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia,
hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah
bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas
oleh bilirubin.24
368
sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik,
perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh
sel hati, dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal
ataupun tidak normal.26
369
Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan
kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya
pada keadaan hemolisis kronik yang berat dimana pigmen yang
tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.26
370
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang
tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain
itu, lumen usus halus pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin
konjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin (suatu produk
yang tidak dapat diabsorbsi).24
3.5.1 Anamnesis11
Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan
untuk mencari faktor risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga
dapat diklasifikasikan apakah bayi yang lahir ini termasuk dalam
kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:
371
1. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis,
defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
2. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan
kemungkinan galaktosemia, defisiensi alfa-1-antiripsin,
tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
3. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan
pada kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau
breast-milk jaundice
4. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan
infeksi virus atau toksoplasma
5. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi
menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida)
atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi
G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
6. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial.
7. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia direk berkepanjangan
8. Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding
jaundice dan breastmilk jaundice.
• Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan
oleh kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari
ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan
(bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak
372
coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan
metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan
ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat
kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu
disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis. Breastfeeding
jaundice seringkali terjadi pada bayi-bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan
manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami
beberapa tanda sebagai akibat kekurangan cairan, seperti
demam, penurunan berat badan >10%, dan berkurangnya
produksi kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga
berkurang pada kasus ini.
• Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
air susu ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan
berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin
turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice,
bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL
pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan
turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan
kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi
umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi tampak
sehat dengan menunjukkan kemampuan minum yang
baik, aktif, lincah, produksi ASI cukup. Yang diiringi
dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati
normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk
jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan
berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui,
373
tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine
diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA)
oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-
alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
• Tanda-tanda prematuritas
• Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan
polisitemia
• Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa
kehamilan
374
• Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom,
subgaleal hematom
• Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan
darah ekstravaskular
• Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau
eritroblastosis
• Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik,
infeksi kongenital, penyakit hati
• Omfalitis
• Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
• Tanda hipotiroid
• Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)
375
cara melakukan penilaian ini dimulai dengan pemeriksaan secara
visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal
yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.
Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya progresivitas ikterus dan menetapkan protokol
terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda
vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh
seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB
dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan
rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di
Gambar 2).
Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama
kehidupan. Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam
indikasi fototerapi atau transfusi tukar. Aplikasi bilinorm dapat
376
diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB dan/atau
TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat
TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam
untuk melihat progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal.
Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika kadar
TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB.27
377
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur
bayi dalam jam (Gambar 3).
Penyebab ikterus
Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari
kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi
atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan
analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan
untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan
ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan
378
bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan
bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH,
dan screening inborn error metabolism (paper test). Apabila kadar
bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan
evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.
379
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD, dan
berespon terhadap fototerapi albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan kultur
urine. Evaluasi sepsis jika ada indikasi
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap
risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua
perawatan harus menerapkan protokol untuk menilai risiko ini.
Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur
72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus
diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang
380
belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk kontrol
menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
Tindak lanjut
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional
yang berkualitas beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk
381
menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu dan tempat
untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk
hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya. Penilaian
yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain
3.5.3.2 Fototerapi
382
intensitas lampu fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan,
luas permukaan paparan, serta kondisi klinis pasien sendiri.29
a. Konsep fototerapi
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi
molekul bilirubin menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi
yang kurang lipofilik dan tidak membutuhkan konjugasi hati untuk
bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di ekskresikan dalam
empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya
dengan panjang gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan
total bilirubin dengan beberapa mekanisme berikut ini:31
383
- Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi
bilirubin tidak berwarna, komponen polar diekskresikan
terutama dalam urin.
384
Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur
dosis fototerapi, sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan
penelitian tentang efikasi dari fototerapi dan data pabrik untuk
intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang berbeda.
Pengukuran intensitas dengan alat yang berbeda dapat
mengakibatkan perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah
lampu dengan spektrum emisi yang terfokus akan memberikan
perbedaan yang signifikan antara satu radiometer dengan
radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter
dari pabrikan satu dengan lainnya berbeda. Lampu dengan
spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk) memiliki variasi yang lebih
sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat sistem
fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang
spesifik untuk digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika
sistem mereka digunakan (salah satu contoh lampu fototerapi yang
1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada Gambar 8).
385
Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik
yang sama (Bililux Dräger)
386
optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur
berjumlah 3 (Gambar 9).27
387
meter untuk mengetahui kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki
(Gambar10).33
90
80
70
Irradiance (µW/cm2/nm)
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Hospital
Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia
388
Bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia karena
penyebab non-hemolisis dipaparkan pada special blue lamp (Phillips
TL 52/20W) dengan intensitas yang berbeda. Spektrum radiasi
diukur sebagai rerata hasil dari pemeriksaan di kepala, badan, dan
lutut.34
Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi
bilirubin serum34
389
90 y = -0.9124x + 55.571
R² = 0.2039
80 𝜌 < 0.05
70
Irradiance µW/cm2/nm
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Distance (cm)
Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik33
Fototerapi intensif
390
Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat
tinggi pada pita 430-490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau
lebih) yang dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh
bayi.
• Sumber cahaya
Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi
tergantung dari tipe sumber cahaya dan filter yang
digunakan. Unit fototerapi yang biasanya digunakan lampu
daylight, cool white, blue, atau special blue fluorescent tube.
Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen pada
konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai
bagian dari alat pemanas bercahaya. Baru-baru ini
diperkenalkan sistem yang menggunakan galium nitride LED
dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic memancarkan
cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang
memiliki fiber optic.
391
TL52/20W (phillips, Eindhoven, The Netherlands). Penting
untuk diketahui bahwa special blue tube memberikan radiasi
yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi
label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan
yang paling efektif karena mampu menyediakan cahaya yang
sebagian besar dalam spektrum warna biru-hijau.
392
direkomendasikan produsen tanpa menimbulkan risiko
terbakar. Ketika lampu halogen digunakan, rekomendasi dari
produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter
cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih.
• Luas permukaan
Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan
fototerapi diatas dan dibawah bayi.38, 39 Salah satu sistem
yang tersedia secara komersial adalah Billisphere. Unit ini
menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan dibawah
bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik
dibawah bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu
kerugian dari bantalan fiber optik adalah bahwa alat ini
hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil sehingga
2-3 bantalan mungkin diperlukan.40 Ketika kadar bilirubin
sangat tinggi dan harus diturunkan secepatnya, sangat
penting untuk memaparkan sebanyak mungkin permukaan
tubuh bayi ke fototerapi.
393
pada bayi besar. Untuk bayi yang kecil, berisiko terjadi
hipotermia. Untuk bayi yang kecil dan masih perlu berada
dalam inkubator, dapat diberikan fototerapi overhead yang
dikombinasi dengan underneath/fiber optic (Gambar 13).
394
Gambar 13 a. Jenis alat fototerapi bilisphere (sirkuler)
395
intensif dilakukan, penurunan sebanyak 10 mg/dL (171μmol/L)
dapat terjadi dalam beberapa jam44, dan penurunan setidaknya 0,5-
1 mg/dL tiap jam dapat diharapkan terjadi pada 4-8 jam pertama.45
Rata-rata, bayi dengan usia gestasi lebih dari 35 minggu yang
masuk kembali untuk fototerapi, fototerapi intensif dapat
menghasilkan penurunan hingga 30-40% dari kadar bilirubin awal
dalam 24 jam setelah inisiasi fototerapi.46 Penurunan yang paling
signifikan terjadi pada 4-6 jam pertama. Dengan sistem fototerapi
standar, penurunan 6-20% dari kadar bilirubin awal dapat
diharapkan untuk terjadi pada 24 jam pertama.47, 48
Hidrasi
Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat
memengaruhi konsentrasi bilirubin serum. Beberapa bayi yang
396
dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga mengalami
dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan
tambahan untuk mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi
ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga cairan terbaik untuk
digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan
menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat
membantu menurunkan kadar bilirubin serum. Hasil foto-
degradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu.52 Oleh
karena itu, hidrasi yang cukup dapat membantu meningkatkan
efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi, pemberian rutin
cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa)
pada bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima
fototerapi tidak diperlukan.
Penghentian fototerapi
Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi.
Kadar TSB untuk menghentikan fototerapi tergantung pada usia
dimana fototerapi dimulai dan penyebab hiperbilirubinemia.46
Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran
mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau
lebih), fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum
turun dibawah 13-14 mg/dL (239 μmol/L). Pemulangan dari rumah
sakit tidak perlu ditunda untuk mengobservasi bayi yang kembali
rebound.46, 53, 54 Jika fototerapi digunakan untuk bayi dengan
penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum
bayi berusia 3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu
24 jam setelah kepulangan direkomendasikan.46 Untuk bayi yang
masuk kembali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian
dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran
397
TSB ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan
merupakan pilihan klinis.46
398
Gambar 14. Filtered sunlight 55
• Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial
dan secara umum tidak direkomendasikan. Mengingat efek
samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi pada bayi baru
lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat
perubahan bermakna, hal ini membuat penggunaan
fototerapi nampak jauh lebih mudah. Penggunaan
fenobarbital profilaksis untuk mengurangi pemakaian
fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi
G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik.10, 56
399
Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14
Faktor Mekanisme/ Implementasi dan Aplikasi klinis
alasan
relevansi klinis
Spektrum lampu Spektrum biru-hijau Special blue Special blue
yang dipancarkan merupakan yang fluorescent tube atau fluorescent tube atau
paling efektif. Pada sumber cahaya lain sumber lampu LED
panjang yang memiliki dengan luaran
gelombang luaran terbanyak spektrum biru-hijau
tersebut, sinar dalam spektrum untuk PT intensif
menembus kulit biru-hijau dan yang
dengan baik dan paling efektif dalam
diabsorbsi secara menurunkan TSB
maksimal oleh
bilirubin
Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue
(radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube
panjang (μW/cm per nm).
2 digunakan, bawa
gelombang Standar unit PT tabung sedekat
tertentu) yang memancarkan 8-10 mungkin kepada
dipancarkan ke μW/cm2 per nm (fig bayi untuk
permukaan tubuh 6). PT intensif meningkatkan
bayi membutuhkan >30 radiasi (gambar 6).
μW/cm2 per nm Catatan: Tidak
dapat dilakukan
dengan lampu
halogen karena
bahaya terbakar.
Special blue tube 10-
15 cm diatas bayi
akan menghasilkan
radiasi setidaknya
sebesar 35 μW/cm2
per nm
Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh Untuk PT intensif, Letakkan lampu
(rerata spektrum yang terpapar → ↑ paparkan diatas dan bantalan
radiasi yang laju penurunan TSB permukaan tubuh serat optik atau
melewati bayi semaksimal special blue
permukaan tubuh) mungkin pada PT fluorescent tube
dibawah bayi.
Untuk paparan
maksimum, lapisi sisi
samping keranjang
bayi, kasur hangat,
atau inkubator
400
dengan aluminium
foil
Penyebab ikterus PT menjadi kurang Ketika hemolisis
efektif ketika terjadi, mulai PT
ikterus disebabkan pada kadar TSB
oleh hemolisis atau yang rendah.
jika kolestasis Gunakan PT intensif.
terjadi. Kegagalan dari PT
menunjukkan bahwa
(↑ bilirubin direk) hemolisis
merupakan
penyebab ikterus.
Jika ↑ bilirubin
direk, awasi
terjadinya bronze
baby syndrome
atau lepuhan
Kadar TSB pada Semakin tinggi TSB, Gunakan PT intensif
saat permulaan PT semakin cepat untuk kadar TSB
penurunan TSB yang lebih tinggi.
dengan PT Antisipasi penurunan
kadar TSB secara
cepat ketika TSB >
20 mg/dL (342
μmol/L)
401
Tabel 6. Komplikasi Fototerapi 16
402
Dipengaruhi oleh
lingkungan (aliran udara,
kelembaban, suhu),
karakteristik unit fototerapi,
perubahan suhu, perubahan
suhu kulit dan suhu inti bayi,
denyut jantung, laju
respirasi, laju metabolik,
asupan kalorai, bentuk
tempat tidur (meningkat
dengan penggunaan
radiant warmer dan
inkubator)
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan Berkaitan dengan
frekuensi buang air besar peningkatan aliran empedu
yang dapat menstimulasi
aktivitas saluran cerna
Feses cair, berwarna hijau Meningkatkan kehilangan
kecoklatan cairan melalui feses
Penurunan waktu transit Meningkatkan kehilangan
usus cairan melalui feses dan
risiko dehidrasi
Penurunan absorpsi, retensi Perubahan mendadak
nitrogen, air, dan elektrolit pada cairan dan elektrolit
Perubahan aktivitas Intoleransi sementara
laktosa, riboflavin laktosa dengan penurunan
laktase pada silia epitel
dan peningkatan frekuensi
BAB dan konsistensi air
pada feses
Perubahan aktivitas Letargis, gelisah Dapat memengaruhi
hubungan orangtua-bayi
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan Menyebabkan perubahan
asupan cairan dan kalori
403
Penurunan pada awalnya Disebabkan oleh
namun terkejar dalam pemberian asupan
waktu 2-4 minggu makanan yang buruk dan
peningkatan kehilangan
melalui saluran cerna
Efek okuler Tidak ada penelitian pada Menurunnya input sensoris
manuisa, namun perlu dan stimulasi sensoris.
perhatian antara efek Penutup mata
cahaya dibandingkan meningkatkan risiko infeksi,
dengan efek penutup mata aberasi kornea,
peningkatan tekanan
intrakranial (jika terlalu
kencang)
Perubahan kulit Tanning Disebabkan oleh induksi
sintesis melanin atau
disperse oleh sinar
ultraviolet
Rashes Disebabkan oleh cedera
pada sel mast kulit dengan
pelepasan histamin, eritema
dari sinar ultraviolet
Burns Disebabkan oleh
pemaparan yang
berlebihan dari emisi
gelombang pendek sinar
fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi
fototerapi dan ikterus
kolestasis, menghasilkan
pigmen cokelat (bilifuscin)
yang mewarnai kulit, dapat
pulih dalam hitungan bulan
Perubahan endokrin Perubahan kadar Belum diketahui secara
gonadotropin serum pasti
(peningkatan LH dan FSH)
404
Perubahan hematologi Peningkatan turnover Merupakan masalah bagi
trombosit bayi dengan trombosit
yang rendah dan yang
dalam keadaan sepsis
Cedera pada sel darah Menyebabkan hemolisis,
merah dalam sirkulasi meningkatkan kebutuhan
degnan penurunan kalium energi
dan peningkatan aktivitas
ATP
Perhatian terhadap Isolasi Efek diatasi oleh
perilaku psikologis perawatan yang baik
Perubahan status organisasi Dapat diatasi dengan
dan manajemen perilaku interaksi orangtua-bayi.
Dapat memengaruhi ritme
kardiak
405
3.5.3.3 Transfusi tukar
a. Definisi
b. Indikasi
• Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang
signifikan pada bayi baru lahir karena sebab apapun, ketika
fototerapi intensif gagal, atau ada risiko terjadinya
kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin
direkomendasikan jika terdapat tanda awal gejala
ensefalopati bilirubin akut.14 Gambar 5 menunjukkan batas
kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang
direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar.
• Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN)
untuk koreksi anemia berat dan hiperbilirubinemia 57
406
Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan kristaloid
atau koloid mengurangi PCV dan hiperviskositas pada bayi
dengan polisitemia, namun ternyata tidak ada bukti
mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur tersebut
62
• Toksin metabolik
- Hiperammonemia 64
- Asidemia organik 65
- Keracunan timbal 66
c. Kontraindikasi
• Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi
sama efektifnya dengan transfusi tukar namun dengan risiko
yang lebih rendah 73
407
d. Perlengkapan
• Neonatal Intesinve Care Unit (NICU)
- Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis
dan manual
- Monitor untuk evaluasi suhu
- Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi
- Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen
• Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi
• Pengikat bayi
• Tabung orogastrik
• Peralatan suction
• Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer
• Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian
pencegahan)
• Alat steril untuk transfusi tukar
Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik
Alat yang belum dirakit:
4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika
jumlah darah yang digunakan lebih sedkit)
5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan
6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan)
7. Sambungan tabung infus
• Produk darah yang sesuai
• Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan
setelah transfusi tukar
e. Pencegahan
• Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar
408
• Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel
untuk melakukan pemantauan dan sebagai bala bantuan
ketika terjadi kegawatdaruratan
• Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis.
Gunakan darah yang paling baru, disarankan <5-7 hari
• Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika
pasien mengalami hiperkalemia atau gangguan ginjal
• Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah
transfusi tukar dilakukan
• Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat
mengakibatkan pengulangan transfusi tukar jika efikasinya
menurun akibat terburu-buru. Hentikan atau pelankan
prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.
• Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya
dan lolos uji kontrol kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk
memahami cara pengoperasian dan prosedur keamanan
untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan
darah lebih dari 38oC
• Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi
kesulitan untuk mengambil darah. Posisikan ulang saluran
atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang
tersambung
• Ketika prosedur terputus, biarkan darah dengan
antikoagulasi tetap didalam saluran atau bersihkan saluran
dengan saline yang mengandung heparin
• Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin
jika hendak memasukkan kalsium
409
f. Persiapan untuk transfusi tukar
1. Produk darah dan volumenya
• Komunikasikan dengan bank darah atau ahli kedokteran
transfusi untuk menentukan produk darah yang paling
sesuai untuk transfusi
- Plasma-reduced whole blood atau PRC yang digabungkan
kembali dengan plasma darah, dengan PCV diatur menjadi
0.5-0.6, sesuai untuk transfusi tukar dengan tujuan koreksi
anemia dan hiperbilirubinemia 57, 75-77
410
- Jika kelahiran bayi dengan HDN berat diantisipasi, darah O
Rh- yang sudah dilakukan cross-matched dengan ibu dapat
dipersiapkan sebelum bayi lahir
- Darah donor yang dipersiapkan setelah bayi lahir tidak boleh
memiliki antigen yang dapat mengakibatkan penyakit
hemolitik, dan harus dilakukan cross-matched dengan bayi
tersebut
- Pada HDN karena inkompatibilitas ABO, golongan darah yang
diberikan harus O dengan Rh negatif atau Rh kompatibel
dengan ibu dan bayi. Darah harus dibersihkan dari plasma
atau memiliki titer antibodi anti-A atau anti-B yang rendah.
Golongan darah O dengan plasma AB dapat lebih efektif,
namun hal tersebut mengakibatkan adanya 2 paparan donor
yang berbeda pada 1 kali transfusi tukar 80
411
2x volume darah bayi = 2 x 80-120mL/kg
• Volume tunggal transfusi tukar: ± 85% dari volume darah bayi
(Gambar 15)
• Transfusi tukar parsial untuk perbaikan anemia berat:
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 (𝐻𝑏 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =
𝐻𝑏 𝑃𝑅𝐵𝐶 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖
Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang ditukar
3. Persiapan bayi
• Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat
diatur dan dikontrol. Transfusi tukar untuk bayi preterm yang
412
kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan area steril dapat
dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses
• Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri
biasanya tidak dibutuhkan. Bayi yang sadar bisa diberikan
dot ketika prosedur berlangsung
• Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu,
frekuensi napas, frekuensi nadi, dan oksigenasi)
• Kosongkan perut bayi
- Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika
memungkinkan
- Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam
keadaan terbuka
• Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:
- Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya
- Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral
berkepanjangan menyebabkan terjadinya hipoglikemia
- Jalur intravena tambahan mungkin diperlukan untuk
pemberian obat-obatan gawat darurat
• Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar:
beri transfusi PRC pada kondisi hipovolemia berat dan
anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen ketika terjadi
dekompensasi pernafasan.
413
5. Pemeriksaan laboratorium darah bayi sebelum dilakukan
transfusi tukar berdasarkan kondisi klinis
Studi diagnostik sebelum transfusi. Perlu diingat bahwa tes
serologis pada bayi, seperti untuk evaluasi hemolisis, titer
antibodi antivirus, skrining metabolik, atau tes genetik harus
dilakukan sebelum transfusi tukar dilakukan
• Hb, Hct, PCT
• Elektrolit, kalsium, BGA
• Glukosa
• Bilirubin
• Profil koagulasi
6. Persiapan darah
• Lakukan identifikasi terhadap produk darah
• Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong
darah
• Alirkan darah melalui penghangat darah
g. Komplikasi
• Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada
bayi sehat, namun pada bayi sakit sebesar 12%. Ada
keraguan terhadap efek samping dari transfusi tukar pada
bayi yang sudah dalam kondisi kritis 82-84
414
- Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67%
pada bayi < 32 minggu usia kehamilan)
- Asidosis metabolik
- Spasme vaskular
• Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang
berhubungan dengan transfusi darah dan akses vaskular.
Komplikasi yang berpotensi terjadi antara lain:
- Metabolik: hipokalsemia, hipo atau hiperglikemia,
hiperkalemia
- Kardiorespirasi: apne, bradikardi, hipotensi, hipertensi
- Hematologi: trombositopenia, dilusi koagulopati, neutropenia,
DIC
- Terkait kateter vaskular: spasme vaskular, thrombosis,
embolisasi
- Gastrointestinal: feeding intolerance, iskemia, NEC
- Infeksi: omfalitis, septikemia
415
Gambar 16. Katup 4-arah.
A. Male adapter; B. Female adapter; C. Penggabungan pada tabung darah; D. Posisi off
(180o dari adapter menuju container pembussangan), untuk pemberian injeksi melalui karet
penahan. Katup digunakan searah jarum jam ketika sudah dirakit dengan benar
416
Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal
417
BAB IV
REKOMENDASI
418
a. Pemeriksaan golongan darah
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi,
bidan, atau perawat untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D)
pada setiap wanita hamil.
419
Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf
perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk
pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama
kehidupan. Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam
indikasi fototerapi atau transfusi tukar. Aplikasi bilinorm dapat
diunduh di Apps store atau Playstore.
420
Gambar 2. TcB meter (JM 105 Dräger)
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan
421
usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar
bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam)28
Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi
untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari
peningkatan bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error metabolism
(paper test).
422
Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat,
dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD, dan
berespon terhadap fototerapi albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan kultur
urine. Evaluasi sepsis jika ada indikasi
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
423
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap
risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua
perawatan harus menerapkan protokol untuk menilai risiko ini.
Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur
72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus
diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang
belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk kontrol
menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
424
• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada
bagian yang diperiksa ke arah samping kanan dan kiri dengan
menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi, dada, perut,
kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari
pada pencahayaan yang cukup dan natural menggunakan
sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki
dikategorikan sebagai ikterus yang berat dan harus segera
menemui petugas kesehatan (Lampiran 8).15
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain
Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C
425
Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut
dilakukan dalam kurun waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi
dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat progresivitas ikterus
dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 4-
6 hari setelah kelahiran.
4.8 Terapi
4.8.1 Fototerapi
Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi
pada bayi. Faktor risiko ini bertambah apabila menggunakan lampu
426
tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko berkurang jika
menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden
memberikan perubahan intensitas yang tidak menentu.
Penggunaan korden disarankan dengan menggunakan warna yang
terang atau menggunakan material reflektor. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan
sesudah modifikasi upaya peningkatan intensitas untuk melihat
apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria intensif
fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity
meter (contoh intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis
ketika diberikan fototerapi dan transfusi tukar, lakukan
pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan bayi.
427
dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,
segera rujuk ke NICU level 3.
428
4.8.3 Pemberian immunoglobulin intravena
429
Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada
setiap bayi hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis disertai
manifestasi ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, arching,
retrocollis, opistotonus, demam, menangis, menangis melengking)
meskipun kadar bilirubin total serum masih di bawah batas
transfusi tukar.
Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali
ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14
Terapi
Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada
gambar 4 dan 5
Pemeriksaan laboratorium
Kadar TSB dan bilirubin direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs’)
430
Serum albumin
Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah
merah
Hitung jenis retikulosit
G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal
geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk
Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis
Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis, lakukan
pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat protein, glukosa,
jumlah sel, dan hasil kultur.
Fototerapi
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam.
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <
20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam.
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angka
untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5).
Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya
rebound
Transfusi tukar
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar
(gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.
431
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.14
Keterangan :
432
kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori.
Bayi dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek
potensial negatif dari kondisi yang tercatat pada ikatan albumin
bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak terhadap
bilirubin.
433
dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower
risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok
bayi risiko sedang (infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan
kelompok standart risk (>38 minggu). Sedangkan kelompok risiko
tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu dengan faktor risiko) (infants at
high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi (high risk).
Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35
minggu.14
Keterangan :
• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.
• Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
• Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang
hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.
434
Perlu diingat bahwa kadar yang disarankan
merepresentasikan konsensus dari sebagian besar komite namun
berdasarkan bukti yang terbatas, dan kadar yang ditunjukkan
adalah perkiraan. (lihat Referensi 3 untuk risiko dan komplikasi
dari transfusi tukar). Pada saat dirawat inap lahir, transfusi tukar
direkomendasikan jika kadar TSB meningkat hingga tingkatan ini
meskipun dilakukan fototerapi intensif. Untuk bayi yang masuk
kembali, jika kadar TSB di atas tingkatan transfusi tukar,
pemeriksaan ulangan TSB tiap 2-3 jam dan pertimbangkan
transfusi tukar jika kadar TSB tetap diatas kadar yang
diindikasikan setelah fototerapi intensif selama 6 jam.
435
BAB V
SIMPULAN
436
fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta
kondisi klinis pasien sendiri.
▪ Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan
darah donor dengan cara mengeluarkan dan mengganti
sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu yang
singkat.
437
Lampiran
A. Teknik pelaksanaan
1. Transfusi tukar dengan teknik push pull
• Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
• Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar.
Gunakan masker, penutup kepala pakaian steril, dan sarung
tangan
• Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
• Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16
dan 17). Arah pegangan mengarah menunjukkan port mana
yang terbuka. Katup yang tersedia memiliki fungsi sebagai
berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b)
membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d)
memasukkan ke dalam pasien. Selalu putar pegangan searah
jarum jam untuk mengikuti alur yang sesuai, dan selalu jaga
sambungan dalam keadaan rapat
- Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
- Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong
buangan akan dipasang
- Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada
penghangat darah
- Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat
diberikan melalui karet penahan (180o dari kantong buangan)
• Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk
memasang semua koneksi ke kantong darah dan kantong
buangan
438
• Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan
udara yang ada di spuit dengan cara memutar 270o searah
jarum jam dan keluarkan ke kantong buangan
• Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
• Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau
masukkan kateter ke vena umbilikalis menggunakan teknik
aseptik
- Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP
menggunakan transduser pada bayi yang tidak stabil
- Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan
menggunakan bantuan radiograf
- Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut
masih dapat digunakan secara berhati-hati pada saat ada
kegawatan
- Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda
vital dan data-data lainnya
- Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan
monitoring terhadap status kardiorespirasi, periksa saturasi
dengan menggunakan pulse oximetry secara terus menerus.
Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum
tindakan transfusi tukar
- Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan
diagnostik
- Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah
sekitar 5mL/kg dalam 1 siklus (2-4 menit)
- Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang
rendah, lakukan transfusi tukar dengan didahului pemberian
transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi dengan
hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan
439
transfusi tukar dengan didahului pengeluaran sebagian
volume darah
- Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi.
Harapkan untuk terjadi peningkatan tekanan onkotik plasma
jika CVP rendah pada permulaan
- Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan
memasukkan darah kedalam bayi dilakukan secara perlahan,
membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap proses untuk
mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada
tekanan arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan
perubahan tekanan intracranial. Pengeluaran darah yang
cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya tekanan
negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang
pada akhirnya berkontribusi terhadap tingginya kejadian
komplikasi iskemia usus
- Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15
menit untuk mecegah sedimentasi sel darah merah
- Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium
pada kondisi:
Hipokalsemia yang terdokumentasi
Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan
interval QTc; agitasi dan takikardi (gejala ini tidak terbukti
berhubungan dengan kadar kalsium).
Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi
normokalsemia jarang dibutuhkan atau tidak
menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek pemberian
hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan
membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat
menyebabkan clotting pada jalur pemberian, sehingga
pemberian melalui vena perifer lebih disarankan. Jika
440
kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan
saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang
diberikan adalah Ca gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB.
Masukkan secara perlahan, dengan observasi yang ketat
terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran
dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan.
- Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume
transfusi tukar yang diharapkan tercapai
- Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih
cukup untuk dimasukkan lagi setelah pengeluaran darah
yang terakhir jika positive intravascular balance diharapkan
untuk tercapai
- Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil
sebagian darah bayi untuk pemeriksaan laboratorium,
termasuk re-cross-matching
- Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U
heparin/mL melalui kateter vena umbilikalis jika akan
dilakukan transfusi tukar lanjutan
- Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120
menit
- Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien
441
Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam
selama 24 jam jika transfusi tukar telah dilakukan
menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi tanda
tanda feeding intolerance
• Monitoring kadar glukosa serum setiap 2-4 jam selama 24
jam
• Lakukan pemeriksaan BGA sebanyak yang diindikasikan
• Ukur kadar kalsium terionisasi dan PCT pada bayi sakit
sesaat setelah transfusi tukar dilakukan dan saat
diindikasikan
• Ulangi pemeriksaan Hb, HCT, dan bilirubin 4 jam setelah
transfusi tukar, dan ketika ada indikasi secara klinis.
Transfusi tukar volume ganda mengganti 85% dari volume
darah bayi, namun hanya mengeliminasi sekitar 50% dari
bilirubin intravaskular. Keseimbangan antara bilirubin intra
dan ekstravaskular, dan penghancuran RBC oleh antibodi
maternal masih berlanjut, sehingga mengakibatkan rebound
kadar bilirubin setelah transfusi tukar berlangsung, dan
mungkin diperlukan untuk dilakukan transfusi tukar
ulangan pada HDN yang berat.
442
Lampiran 2. Bilirubin Induced Neurological Dysfunction-
Modified (BIND-M) Scoring System
Tingkat
Tanda klinis Skor Tanggal/Wakt
keparahan
u
Tingkat kesadaran
Normal 0 None
Tampak mengantuk
1 Mild
Malas menyusu
Lemas
gelisah
Semi-koma
Apnea
3 Severe
Kejang
Koma
Tonus Otot
Normal 0 None
Hipotonia sedang
Hipertonia sedang
Opisthotonus
3 Severe
Tangan dan kaki menyilang tanpa
adanya spasme di tangan dan kaki
dan tanpa disertai trismus
Pola tangis
Normal 0 None
443
High pitched cry 1 Mild
Sunset Phenomenon
3 Severe
Upward Gaze Paralysis
Total Skor
Tanda Tangan Dokter yang memeriksa: Saya percaya bahwa bayi ini
memiliki tanda/gejala bilirubin
ensefalopati akut selain
berdasarkan skor BIND-M.
444
Lampiran 3. Normogram ambang batas untuk bayi prematur
12
10
FT standard risk
8
FT high risk
6
ET standard
4
ET high risk
2
0
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)
445
B. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir 1000-
1249 gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway
tersebut, maka berikut adalah normogram bilirubin untuk berat
lahir 1000-1249 gram sebagaimana berikut ini yang dapat dilihat
pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 20).
12
10 FT high Risk
8 FT standard Risk
ET High Risk
6
ET Standard Risk
4
2
0
Jam
Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 1000-
1249 gram
446
Bilirubin level mg/dL
16
14
12
FT high Risk
10
FT standard Risk
8
ET High Risk
6 ET Standard Risk
4
2
0
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499
gram
18
16
14
FT high Risk
12
10 FT standard Risk
8 ET High Risk
6 ET Standard Risk
4
2
0
Jam
447
E. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk usia
gestasi > 35 minggu atau berat lahir > 2000 gram
Normogram Indonesia untuk bayi > 35 minggu dan berat lahir
> 2000 gram mengadopsi dari AAP dengan adaptasi berupa
simplifikasi menjadi dua kategori dan menggunakan nilai 2-3
mg/dl lebih rendah dari AAP atas alasan tingginya prevalensi
faktor resiko hiperbilirubinemia berat dan adanya peralatan
fototerapi yang tidak adekuat (gambar 23).
Bilirubin level (mg/dl)
20
18
16
14 FT high Risk
12 FT standard Risk
10
8 ET High Risk
6 ET Standard Risk
4
2
0
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 Jam
448
Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M
449
3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan
kemingkinan untuk kerusakan otak yang ireversibel
pada kebanyakan bayi.
450
Cara pengisian Skor BIND-M
451
Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP
Kasus 1
Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg,
tetapi bayi tetap aktif dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7,
kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl (direk (D)/Indirek (I)
bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic
Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap
berada dibawah ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi
dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar TSB bayi setelah pulang
16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.
Kasus 2
452
pada menit kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan
rhesus yang sama, yaitu golongan darah O dengan rhesus positif.
Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30 tahun. Bayi
tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada
usia 73 jam dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1
mg/dl).
Kasus 3
453
TSB ≥ 16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi
tanpa gejala, usia gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas
ambang batas inetrvensi, kemudian bayi dilakukan fototerapi.
Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan
OAE normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari
kemudian dan hasilnya menunjukan kemudian bayi dipulangkan.
menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)
454
Lampiran 6. Penanganan kasus
Pada kasus hiperbilirubinemia neonatal, langkah-langkah yang
harus dilakukan menurut rekomendasi AAP adalah:
PADA KASUS 1:
• Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia
70 jam dengan kadar TSB menunjukan 12,9 mg/dl,
kemudian hasil tersebut diplotkan pada normogram
fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada
pada low intermediate risk zone.
• Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok
standard risk, karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak
inkompatibilitas ABO dan bayi tampak sehat.
• Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada
standard risk, tidak ada intervensi yang diperlukan
berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi dipulangkan.
• Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan
455
Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone
Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi
456
PADA KASUS 2:
457
Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan High Intermediate Risk Zone
Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk
458
PADA KASUS 3:
• Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini
dikelompokan pada risiko zona high-intermediate, tetapi
masih berada dibawah ambang batas fototerapi, kemudian
bayi dipulangkan.
• Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar
TSB menunjukan hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat
berdasarkan kriteria pada pedoman AAP yaitu bayi sehat usia
gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥ 16,5 mg/dl.
Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah
ambang batas fototerapi untuk low risk masih dapat
dibenarkan untuk dimulai fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl
dibawah ambang batas.
459
Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone
460
Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)
Interpretasi Skor
Definite Kernicterus 10-14
Probable Kernicterus 6-9
Possible Kernicterus 3-5
Bukan Kernicterus 0-2
461
Lampiran 8. Perubahan warna tinja
462
Lampiran 9. Checklist komunikasi, informasi dan edukasi
keluarga pasien hiperbilirubinemia
Informasi umum:
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia
Cara mendeteksi bayi kuning
Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi
Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan
mencari pelayanan medis
Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing
yang berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat
Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya
hanya sementara dan tidak berbahaya
Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan
Informasi terkait terapi:
Antisipasi lamanya terapi
Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap
bayi
Informed consent tindakan fototerapi:
Mengapa fototerapi dipertimbangkan?
Mengapa fototerapi dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia?
Kemungkinan efek samping fototerapi
Pentingnya untuk melindungi mata dan perawatan mata rutin
Meyakinkan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya
Kemungkinan hal-hal yang terjadi apabila fototerapi gagal
Kuning berulang dapat terjadi kembali
Potensi atau kemungkinan efek samping jangka panjang fototerapi
Informasi untuk transfusi tukar:
Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus
dirawat di ruang perawatan intensif
Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan
Informasi untuk pemberian IVIg
Alasan mengapa IVIg dipertimbangkan
Alasan mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia
Kemungkinan efek samping IVIg
463
PEMBERI CARA
PENJELASAN JAM KETERANGAN TTD
EDUKASI PENYAMPAIAN
Informasi :
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
hyperbilirubinemia.
Cara mendeteksi bayi kuning
Apa yang harus dilakukan
apabila curiga kuning pada bayi
Pentingnya mengenali tanda-
tanda kuning pada bayi pada 24
jam pertama dan mencari
pelayanan medis
Pentingnya mengecek popok
bayi untuk mengetahui ada atau
tidaknya kencing yang berwarna
gelap atau tinja yang berwarna
pucat
Kuning pada bayi sering terjadi
dan meyakinkan bahwa hal
tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
Meyakinkan pemberian ASI
dapat diteruskan
Informasi terapi :
Antisipasi lamanya terapi
Yakinkan untuk melanjutkan ASI,
mengganti popok dan sering sering
mendekap bayi
464
Informai untuk transfusi tukar :
Menjelaskan bahwa bila bayi
yang mendapatkan transfusi
tukar maka bayi harus dirawat di
ruang perawatan intensif
Alasan mengapa transfusi tukar
dipertimbangkan
465
Segera temukan dan
Lampiran 10. Bayi baru lahir tangani tanda
Alur tatalaksana bayi kuning bahaya
Bayi tidak terlihat kuning Timbul kuning pada umur ≥ 24 Timbul kuning pada hari pertama (<
jam sampai ≤ 14 hari dan tidak 24 jam) setelah lahir,
sampai telapak tangan/telapak ATAU
kaki
• Kuning ditemukan pada umur lebih
dari 14 hari,
Lakukan pemeriksaan Tcb dan ATAU
atau TSB (bila tersedia) dan plot
sesuai dengan normogram untuk
menentukan perlu/tidak terapi Lakukan pemeriksaan Tcb
fototerapi atau transfusi tukar dan TSB (bila tersedia) dan
plot sesuai dengan
normogram
Melakukan pemeriksaan
466
Segera temukan dan
Lampiran 11 Bayi baru lahir tangani tanda
Alur tatalaksana bayi kuning bahaya
Bayi tidak terlihat kuning Timbul kuning pada umur ≥ 24 Timbul kuning pada hari pertama (< 24
jam sampai ≤ 14 hari dan tidak jam) setelah lahir,
sampai telapak tangan/telapak ATAU
kaki
• Kuning ditemukan pada umur lebih dari
14 hari,
Tidak Perlu
perlu fototerapi
1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why?
Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium
Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable
Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from:
http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p.
4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available from:
https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008.
6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al.
Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future directions from the
2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology. 2016;110:172-80.
7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention, diagnosis
and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational age of 35 or more
weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde. 2009;153:A93.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial: Pedoman Teknis
Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
134 p.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO
Indonesia; 2009. 434 p.
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman
A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008. p. 147-69.
11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S,
Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
p. 114-22.
12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al.
Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners, and
pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076.
13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al.
Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with Hyperbilirubinemia
Guideline In Indonesia. 2018.
14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence: Guidance.
London2010.
16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A clinical
perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007.
17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of
neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics.
2002;140(4):396-403.
18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders;
2001.
468
19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental follow-
up of breastfed term and near-term infants with marked hyperbilirubinemia. Pediatrics.
2001;107(5):1075-80.
20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics.
1961;28:870-6.
21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya BO, et
al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M) algorithm is useful in
evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting. BMC pediatrics. 2015;15:28.
22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P, Koch FP. Longitudinal study of the
incidence of central nervous system damage following erythroblastosis fetalis. Pediatrics.
1954;14(4):346-50.
23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of
Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the Kernicterus
Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-209.
24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW, Ballard
RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B. Saunders; 1998. p.
995-1002.
25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors.
Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore: Lippincot
William & Wilkins; 1999. p. 765-819.
26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7 ed. St.
Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50.
27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants.
Groningen: University Medical Center Groningen; 2013.
28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-specific
serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-term
newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology
: official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7; discussion
S104-7.
30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England
journal of medicine. 2008;358(9):920-8.
31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and
late preterm infants. Uptodate. 2013:5063.
32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53.
33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current
Practice Phototherapy In Indonesia. 2018.
34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal
hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4.
35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in
peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria. 2008;84(2):141-6.
36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ, Stevenson DK, et al. A new blue
light-emitting phototherapy device: a prospective randomized controlled study. The Journal
of pediatrics. 2000;136(6):771-4.
37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal
jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81.
38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface
phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice.
Pediatrics. 1995;95(6):914-6.
39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology.
1991;18(3):423-39.
469
40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2
Pt 1):283-7.
41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in
phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European journal of
pediatrics. 1984;142(1):58-61.
42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil reflectors
on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-7.
43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara
Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah dengan
Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9.
44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the 21st
Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001.
45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2002.
46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early
neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41.
47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant.
Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6.
48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect
of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43.
49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours after
birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5.
50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum
bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-8.
51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and
hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112.
52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on
physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood.
1981;56(7):568-9.
53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns.
Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61.
54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs automatic
testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80.
55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al. A
Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates. The New
England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24.
56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies
for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design. 2009;15(25):2927-
38.
57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In: Lichtman
MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors. Williams' Hematology.
7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66.
58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at
Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition.
1997;39(3):305-8.
59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of publication
of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia" on treatment of
neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5.
60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark. Acta
paediatrica. 2000;89(10):1213-7.
470
61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of
severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of perinatology.
1999;16(4):193-6.
62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial
exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives of
disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6.
63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital leukemia:
successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of pediatric
hematology/oncology. 1999;21(2):152-7.
64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous hemodiafiltration
in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine transcarbamylase deficiency.
Renal failure. 2000;22(6):823-36.
65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin
therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development.
1997;19(7):502-5.
66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for
neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4.
67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in a
newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care. 1999;15(4):268-70.
68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a
premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of toxicology
Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44.
69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange transfusion
in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6.
70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal
failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic paraprotein:
successful resolution by exchange transfusion. American journal of kidney diseases : the
official journal of the National Kidney Foundation. 1999;34(6):1129-31.
71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T. Exchange
transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to antibiotics for neonatal
sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of tropical paediatrics. 2006;26(1):39-
42.
72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring
exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7.
73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants. Archives
of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63.
74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia
with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives of disease
in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9.
75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma
components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55.
76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7.
77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange transfusion
with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective study. European
journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3.
78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended
storage media for
exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn. Transfus Med.
2005;15(2):157-60.
79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange
transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics. 1994;153(2):98-
9.
471
80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood
versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease. Transfus
Med. 2005;15(4):313-8.
81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for
dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in childhood
Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10.
82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill
newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7.
83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and
mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21.
84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with
neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics. 2004;144(5):626-
31.
85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in
premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10.
86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood
exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of pediatrics.
1987;110(1):151-3.
87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of
pediatrics. 1982;100(5):811-4.
472
BAB IV
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
473
perlakuan tidak efisien dan berlebihan
pada neonatus
• Pemeriksaan klinis dan prosedur
tindakan harus dapat diselesaikan dalam
waktu ≤ 1 jam saat masuk perawatan.
• DPJP memberikan penjelasan pada
orangtua mengenai kondisi klinis
neonatus dalam kurun waktu 24 jam dan
dicatat dalam lembaran edukasi.
474
kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga
manusia (ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan
proporsi pasien dengan perawat 1
banding 3-5
475
• Tatalaksana pasien membutuhkan
proporsi pasien dengan perawat 1
banding 2.
476
penambahan berat badan dan
memenuhi kebutuhan nutrisi oral
perhari.
• Berat badan telah mencapai 1800 gram
atau lebih
• Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi
telah mendapat edukasi mengenai
praktik mengasuhan neonatus di rumah
• Semua obat yang diperlukan dapat
diberikan per oral
• Hasil laboratorium normal
• Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG
telah dilakukan (jika tidak ada
kontraindikasi)
• Rujukan kepada konselor ASI setempat
• Administrasi rumah sakit telah
diselesaikan
DAFTAR O’Reilly H. 2
RUJUKAN Pilgrim S. 3
Stark, AR. 4
Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. 5
Yusna D, Wisnumurti DA, Djauharie EA,
Siswanto JE, Kadi FA, Irawan G 6
477
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling
478
• Membangun hubungan interpersonal
dokter-klien
• Menyampaikan informasi pada klien
• Memberikan pilihan pelayanan yang
sesuai
• Memastikan kesinambungan pelayanan
• Pemahaman dan ingatan pasien akan
lebih baik melalui komunikasi yang baik
sehingga dapat meningkatkan kepuasan
dan kepatuhan klien.
KETERAMPILAN Komunikasi yang baik memerlukan
ANAMNESIS keterampilan bertanya dan mendengar.
Keterampilan ini mengembangkan rasa
percaya dan memungkinkan pasien
menjawab pertanyaan secara benar dan
memberikan seluruh informasi yang
dimilikinya. Keterampilan ini juga
membantu dokter untuk memahami
masalah pasien.
Keterampilan bertanya
• Lakukan tanya jawab di tempat yang
menjamin privasi.
• Bantulah klien untuk merasa nyaman
dengan membuat diri anda sendiri
menjadi rileks. Hindari berbagai gerakan
yang memperlihatkan rasa gugup.
• Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan
untuk memperlihatkan ketertarikan
anda terhadap apa yang dikatakan oleh
pasien.
• Pertahankan kontak mata.
• Gunakan nada bicara yang
memperlihatkan rasa tertarik, perhatian
dan keramahan.
• Ajukan berbagai pertanyaan yang
mendorong klien untuk berbicara
mengenai anaknya.
• Mulailah dengan pertanyaan terbuka
untuk memperoleh cerita dari sudut
pandang klien.
• Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk
memperoleh informasi spesifik.
• Tanyakan satu pertanyaan saja dalam
satu saat, lalu tunggu klien menjawab.
479
• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan
beberapa cara yang berbeda jika anda
menganggap klien tidak memahaminya.
• Hindari pertanyaan yang bersifat
mengarahkan.
• Gunakan suara atau gerakan yang
bersifat mendorong untuk membuat
klien mau berbicara.
Keterampilan mendengar
• Diam pada saat yang tepat, perlihatkan
rasa hormat anda dengan tidak menyela
pasien sehingga berhenti berbicara.
• Klarifikasi apapun yang anda tidak
pahami.
• Ulangi apa yang klien telah katakan
dengan kata-kata anda sendiri.
• Refleksikan apa yang baru saja
dikatakan klien.
• Rangkum apa yang telah anda dengar
dari klien pada akhir anamnesis
BERBAGI Setiap klien memerlukan informasi yang
INFORMASI akurat, memadai dan sesuai yang
DENGAN PASIEN diperlukan untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi mengenai
kesehatannya dan berpartisipasi dalam
menjaga kesehatannya.