Anda di halaman 1dari 21

Makalah

FIQIH

Tentang:
“Riba, Bank, dan Asuransi”
Disusun Oleh:
Kelompok VI (Enam)
1. Wirajati Prabowo (32)
2. Anggun Salsabila (3)
3. Mayang Cindy Ceynora (15)
4. Ani Afrianti (4)
Guru Pembimbing:
Nasirudin S.Ag
Pelajaran Fiqih
MAN 4 BANTUL Tahun 2019/2020
Jl. Lingkar Timur, Pranti, Banguntapan, Bantul. Telp. (0274) 452188 Website : www.man4bantul.sch.id
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “RIBA, BANK, dan ASURANSI”. Penyusunan makalah
ini untuk memenuhi salah satu tugas pelajaran fiqih. Kami berharap dapat
menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dalam bidang riba, bank, dan
asuransi. Serta pembaca dapat mengetahui tentang bagaimana dan apa sebenarnya
riba, bank, dan asuransi itu.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Karena


itu, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk
melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah
membantu selama proses penyusunan makalah ini.

Yogyakarta, 30 Januari 2019

Kelompok VI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………..I
1.1 Latar Belakang…………………………………….I
1.2 Rumusan Masalah………………………………....I
1.3 Tujuan Makalah……………………………….......I
BAB II PEMBAHASAN……………………………………...II
2.1 Pengertian Riba dan Hukum – Hukum Riba ……...II
2.2 Macam – Macam Riba….…………………………III
2.3 Hikmah Riba............................................................V
3.1 Pengertian Bank.......................................................VI
3.2 Dasar Hukum Bank..................................................VII
3.3 Jenis – Jenis Bank....................................................VIII
3.4 Operasional Bank Syariah.........................................X
4.1 Pengertian Asuransi...................................................XIII
4.2 Dasar Hukum Asuransi.............................................XIV
4.3 Tujuan Asuransi.........................................................XV
4.4 Jenis – Jenis Asuransi................................................XVI
BAB III PENUTUP...............................................................XVII
5.1 Kesimpulan.................................................................XVII
DAFTAR PUSAKA.....................................................................XVIII
ii
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-
hukumamaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun
fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur hubungan
antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara
Islam dengan negara lain.
Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, bank dan asuransi, dimana
ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, bank dan asuransi merupakan sesuatu
yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk di Indonesia.
Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat.
Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo.
Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut jelaslah salah,
karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktivitas dan
akibatnya. Riba memiliki macam-macam dan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya riba,
yang sudah tentu harus sangat diperhatikan dengan hukumnya.
Selain itu bank dan asuransi, kedua kegiatan ekonomi ini pun harus mendapat perhatian,
karena keabsahannya pun masih dipertanyakan oleh para ulama. Oleh karena itu, untuk
mengetahui lebih jelas mengenai pembahasan riba, bank dan asuransi, akan di bahas pada
pembahasan makalah kali ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diambil yaitu:
1. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan dari riba?
2. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan dari bank?
3. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan dari asuransi?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan pembahasan kali ini yaitu:
1. Untuk mengetahui hal hal yang terdapat dalam riba,
2. Untuk mengetahui hal-hal yang terdapat dalam bank, dan
3. Untuk mengetahui hal-hal yang terdapat dari asuransi.

I
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIBA
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahn (az ziyadah) atu kelebihan. Riba menurut
istilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak
diketahui sama sekali menurut syarak, atau dalam tukar-menukar itu diayaratkan menerima salah
satu dari dua barang apabila terlambat. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada prang yang
meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.
Riba dapat terjadi pada utang-utang,pinjaman, gadai, atau sewa-menyewa. Sebagai contoh,
Ridwan meminjam uang sebasar Rp. 20.000,- , pada hari Selasa disepakati dalam setiap satu hari
keterlambatan, Ridwan harus mengembalikan uang tersebut denagn tambahan 2%. Maka, hari
berikutnya Ridwan harus mengembalikan uangnya menjadi Rp. 20.4000,- . Kelebihan atau
tambahan ini disebut dengan riba.
Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak menurut ulama.
Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam
melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melibihi keumuman
atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin
berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak para ulama adalah sebagai
berikut:
a. Al-Qur’an

ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َر َم‬


}275{ . . . ‫الربَوا‬ ِ ‫ ِإنَ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ َل‬. . .
َّ ‫الربَوا َوأ َ َح َّل‬
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
}276{ ‫ار أَ ِث ٍيم‬
ٍ َّ‫َّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ِ َ‫صدَق‬
َّ ‫ت َو‬ َّ ‫الر َبوا َوي ُْر ِبى ال‬ َّ ‫َي ْم َح ُق‬
ِ ُ‫َّللا‬
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
}130{ َ‫َّللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬
َّ ‫ض َعفَةً واتَّقُوا‬
َ ‫ض َعفًا ُّم‬ ِ ‫َيأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ َءا َمنُوا الَت َأ ْ ُكلُوا‬
ْ ‫الر َبوا أ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130)
II
b. Sunah Rasulullah saw.
‫س َوا ُء {متفق‬ ِ ‫سلَّ َم ا َ ِك َل‬
َ ‫ ُه ْم‬: ‫الربَ َاو َم ْو ِكلَهُ َوكَاتِبَهُ َوشَا ِهدَ ْي ِه َوقَا َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ لَعَنَ َر‬: ‫َّللاُ َع ْنهَ قَا َل‬
َّ ‫س ْو ُل‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬ ِ ‫َع ْن َجابِ ٍر َر‬
َ ‫ض‬
}‫عليه‬
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba,
orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan,
orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama
saja’.” (H.R. Muslim)

ِ ‫َّللاُ اِالَّ ِب ْال َح‬


‫ق َواَ ْك ُل‬ َّ ‫ َوقَتْ ُل النَّ ْف ِس الَّتِ ْي َح َّر َم‬، ‫ َوالسِحْ ُر‬، ِ‫اَّلل‬
َّ ِ‫ الش ِْركَ ب‬: ‫َّللاُ َو َما ُهنَ َقا َل‬ َّ ‫س ْو َل‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫س ْب َع ْال ُمو ِبقَا‬
َ ‫ َي‬: ‫ قَالُ ْوا‬: ‫ت‬ َّ ‫ِإحْ تَنِب ُْوا ال‬
}‫ت {متفق عليه‬ ْ
ِ َ‫ت الغَافِال‬ ْ
ِ ‫ت ال ُمؤْ ِمنَا‬ ِ ‫صنَا‬ ْ
َ ْ‫ْف ال ُمح‬ُ ‫ف َوقَد‬ِ ْ‫الزح‬ ْ
َّ ‫ َوا َ ْك ُل َما َل اليَتِي ِْم‬، ‫الربَا‬
ِ
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya
Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim,
melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa
dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Ijmak para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah
salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt.. Praktik riba
lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan
menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan
kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa
kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
2.2 Macam-macan Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat mecam, yaitu:
a. ْ َ‫(ربَا الف‬
Riba Fadl)‫ص ِل‬ ِ
Riba fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang sam jenisnya, namun tidak
sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukatnya. Atau jual beli yang mengandung
unsur ribapada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada
kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebit
riba fadl.
Supaya tuka-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka arus ada tiga syarat yaitu:
a) Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
b) Tibangan atau takarannya harus sama.
c) Serah terima pada saat itu juga.
III
b. Riba Nasi’ah)‫(ربَا النَّ ِس ْي َءة‬
ِ
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis yang maupun tidak sejenis atau jual
beli yang pembayarnnya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan.
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari
yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang
ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakarda ditimbang yang sama
jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak
dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual saru kilogram dengan satu setengah kilogram
beras ayng dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan
inilah yang disebut riba nasi’ah.

ِ ‫ان ِب ْال َح َي َو‬


ً‫ان نَ ِس ْي َءة‬ ِ ‫سلَّ َم نَ َهى َع ْن َبيْعِ ْال َح َي َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫َّللاُ َع ْنهُ أَنَّالنَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ٍ ُ ‫س ُم َرةَب ِْن ُج ْند‬
ِ ‫ب َر‬ َ ‫َع ْن‬
“Dari Samurah bin Jundub sesungguhnya Nabi saw. telah melarang jual beli binatang dengan
binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (H.R. Lima ahli hadist)
c. ِ ‫(ربَا القَ ْر‬
Riba Qardi)‫ض‬ ِ
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang
yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp. 10.000,00. Kemudian
Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000,00.
Tambahan Rp. 1.000,00 inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba Yad)ِ‫(ر َبا ال َيد‬
ِ
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang
membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli
tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-
qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti
menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan
menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang,
sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran
diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
}‫الربَا فِى النَّ ِس ْيئَ ِة {رواه البحارى و مسلم‬
ِ ‫إِنَّ َما‬
“Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.” (H.R. Bukhari Muslim)

IV
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya
yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau
saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta
yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan
penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian
nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
2.3 Hikmah Pelarangan Riba
Diharamkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari
penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum
muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba
adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mancari bekal untuk akhirat.

V
4. Menjauhkan Praktik Riba
Karena riba adalah sesuatu yang diharamkan, maka menjauhkan diri dari praktik riba adalah
sesutu yang sangat mulia dan beroleh pahala. Agar kita dapat manjauhkan diri dari praktik riba
maka yang harus dilakukan adalah:
a. Membiasakan hidup sederhana, tidak boros.
b. Membiasakan diri menabung apabila ada kelebihan rezeki dari Allah swt.
c. Menghindarkan diri dari berfoya-foya selagi ada kelebihan.
d. Menghindari kebiasaan berhutang.
e. Mengadakan usaha bersama dibidang ekonomi, seperti koperasi di sekolah atau di
masyarakat.
f. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt. dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak
menyia-nyiakan nikmat tersebut.
g. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.

B. BANK
3.1 Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank
adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan
uangnya sendiri maupun orang lain. Bank memperedarkan uang untuk kepentingan umum, tidak
membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan dalam satu tangan. Bank merupakan
tempat penyimpanan yang terbaik dan aman, serta tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh
karena itu, bank menolong manusia dalam menghadapi esulitan keuangan pada umumnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai berikut:
a. Menyimpan dana masyarakat.
b. Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c. Memperdagangkan utang piutang.
d. Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e. Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f. Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
VI
Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta benda. Pendirian bank adalah
dengan beberapa tujuan, diantaranya yaitu:
a. Menolong manusia dalm banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kridit).
b. Meringankan hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar
pemindahan uang (money-transfer).
c. Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan
pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
d. Untuk kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasiolan
dalam seluruh bidang kehidupan.
3.2 Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih
memperdebatkan keabsahan sebuah bank.berikut inibabarapa pandangan mengenai hukum
perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum,
Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi
(Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin
dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sisitem bunga, kecuali dalam
keadaan darurat atau terpaksa.
Keharaman bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga bank dalam
pandangan para ulama ini adalah riba nasi’ah, sedangkan riba nasi’ah terlarang dalam hukum
Islam. Maka dari itu, hukum bank adalah haram.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan.
Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan
merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana
digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank
merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih
diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka
berdasarkan kadah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan.
Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank
swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank
pemerintah. VII
3.3 Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan
rakyat. Jika melihat dari kegiatan usahanya, maka perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
1) Usaha Bank Umum
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan atau menyalurkan kredit.
c. Menerbitkan surat pengakuan utang.
d. Membeli, menjual, menjamin, atau resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.
e. Memindahkan uang bank untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
f. Menempatkan dana pada peminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain,
baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel atau sarana
lainnya.
g. Menerima pembayaran atau tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
atau antarpihak ketiga.
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar kontrak kerja sama.
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga
yang tidak tercatat di bursa efek.
k. Membeli melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak
memenuhi kewajiban pada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.
l. Melakukan kegiatan piutang dan usaha kartu kredit.
m. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
n. Melakukan kegiatan lain yang lezim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan undang-undang yang berlaku.
VIII
Di samping legiatan tersebut, bank umum juga berfungsi dalam mengurusi beberapa hal berikut
ini, yaitu:
a) Melakukan kegiatan dalam hal valuta asing.
b) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan,
seperti asuransi, sewa guna usaha, perusahaan efek, lembaga kliring.
c) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan kredit.
d) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurusan dana pensiun.
2) Bank Usaha Perkreditan Rakyat
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992, bank usaha perkreditan rakyat meliputi:
a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka,
tabungan, dan atau bentuk yang lain yang dipersamakan dengan itu.
b) Memberikan kredit.
c) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi keuntungan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, atau tabungan pada pihak bank lain.
b. Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat
Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank
syariahdengan prinsip bagi hasil.
Islam mengajarkan ekonomi yang berkeadilan, Islam mengharamkan riba dan menganjurkan
sedekah. Kesadaran untuk larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan bank Islam
pada dasawarsa kedua abad ke-20, diantaranya melalui pendirian institusi sebagai berikut:
1. Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa
seorang cendekiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar.
2. Bubai Islamic Bnak (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab.
3. Islamic Developmen Bank (1975) di Saudi Arabia.
4. Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir.
5. Kuwait House Finance (1977) di Kuwait.
6. Jordan Islamic Bank (1978) di Yordania.
7. Al-Amanah Islamic Investment Bank (Filipina).
IX
Tentunya masih banyak lagi pertumbuhan dan perkembangan bank syariah yang tersebar di
seluruh dunia baik di negara-negara Islam maupun di negara Eropa.
Perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah adalah terletak pada sistem pengawasan
bank syariah yang dilakukan oleh Dewan Syariah. Maksudnya, pengelolaan dan produk syariah
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Bank Syariah sebelum diluncurkan ke
masyarakat luas. Perbedaan lainnya kalau bank konvensional dalam operasionalnya didasarkan
pada bunga, sehingga motif orang yang menanamkan uangnya di bank tersebut tidak lain adalah
mencari keuntungan dengan mengharap bunga, sedangkan pada bank syariah para nasabah tidak
demikian melainkan motifnya adalah bagi hasil artinya untung rugi ditanggung bersama antara
pihak bank dan juga nasabahnya. Dana yang dititipkan pada bank syariah semata-mata
disalurkan untuk kepentingan kemaslahatan umum yang memebutuhkanya, yang diatur dengan
perjanjian bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha tersebut akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan.
3.4 Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana
masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
a. Pergerakan Dana Masyarakat
Dalam hal penyerahan dana dari masyarakat, dilaksanakan berdasarkan dua prinsip, yaitu al-
wadi’ah dan udarabah.
1) Prinsip Al-Wadi’ah (prinsip simpan murni)
Prinsip al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjanjian yang bersifat
percaya-mempercayai atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata. Dalam kegiatan
perbankkan, pihak nasabah adalah pihak yang menitipkan uangnya pada pihak bank. Pihak bank
harus menjaga titipan tersebut dan mengembalikannya apabila si nasabah menghendakinya.
Dasar hukum al-wadi’ah adalah Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 58, Al-Baqarah ayat 283, dan
Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “Bayarkanlah
(kembalikanlah) petaruh (barang titipan) itu kepada orang yang memercayai engkau dan
janganlah sekali-kali engkau khianat meskipun terhadap orang yang khianat kepadamu.”
Suatu hal yang perlu mendapat perhatin dari pihak perbankkan, yakni menggunakan uang
nasabah untuk kepentingan bank, maka pihak bank perlu memberikan semacam intensif atau
hadiah yang tidak menjadi kesepakatan antara pihak nasabah dan pihak sebelumnya. Hal tersebut
perlu, demi membangun kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kesadaran menabung di
tengah masyarakat. Di samping itu, pihak bank perlu memberikan bonus-bonus yang dapat
memotivasi nasabah supaya menabung dan menitipkan uangnya di bank-bank Islam.

X
2) Prinsip Mudarabah
Mudarabah pada dasarnya merupakan subsistem dari musyarakah. Namun demikian para ahli
fiqih meletakkan mudarabah dalam posisi tersendiri dan memberikan dasar hukum yang khusus.
Ulama Islam menyebut akad ini dengan menggunakan berbagai nama, terkadang disebut juga
dengan istilah muqarabah, qirad, dan muamalah.
Prinsip mudarabah berdasarkan firman Allah Q.S. Muzammil ayat 20.
َّ ‫ض ِل‬
}20{ ...ِ‫َّللا‬ ِ ‫ َو َءاخ َُرونَ َيض ِْربُونَ فِى األ َ ْر‬...
ْ َ‫ض َي ْبت َ ُغونَ ِم ْن ف‬
“... dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagai karunia Allah...” (Q.S. Al-Muzammil: 20)
Sementara itu, ketentuan budarabah yang berdasarkan hadits Nabi saw., sebagaimana terdapat
dalam buku Hukum Ekonomi Islam, Sahrawadi K. Lubis, disebutkan bahwa Suhaib r.a. berkata
bahwa Rasulullah saw. bersabda,“Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan, yaitu menjual
dengan cara pembayaran kredit, muqaradah (mudarabah), mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual”. (H.R. Ibnu Majah)
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Sahrawadi k. Lubis bahwa sifat tabungan
mudarabah adalah:
a) Sebuah tabungan dari pihak ketiga di bank Islam,
b) Uang tabungan mudarabah dapat diambil setiap saat dan berulang kali dengan tidak ada batas
waktu,
c) Bank akan membagi keuntungan kepada nasabah sesuai dengan perjanjian sebelumnya dan
sama-sama telah sepakat dengan persetujuan itu,
d) Pembagian dilakukan dalam setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selam
periode tersebut,
e) Beroperasional lewat rekening berjangka waktu atau bersyarat.
b. Penyaluran Dana kepada Masyarakat
Dalam hal penyaluran dana ke masyarakat, bank Islam menggunakan prinsip-prinsip berikut:
1) Al-Mudarabah
Dalam kontrak mudarabah, seandainya terjadi kerugian atau kebangkrutan, maka kerugian
tersebut ditanggung secara bersama-sama antara bank dengan pihak penanam modal, pengusaha,
atau nasabah yang mengadakan akad perjanjian. Prinspnya, prinsip ekonomi Islam tidak semata-
mata mencari keuntungan, melainkan ada unsur kerja sama di saat badan usaha mengalami
kegagalan dalam usahanya. Dengan catatan, kegagalan itu bukan karena kebohongan atau
penipuan yang syarat dengan unsur korupsi.
XI
2) Musyarakah (prinsip bagi hasil)
Masyarakat adalah pemilik modal yang mengadakan perjanjian untuk menyerahkan modalnya
pada suatu proyek. Masing-masing pihak memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen
proyek tersebut.
3) Al-Murabahah
Al-Murabahah disebut dana talangan dalam pemenuhan produksi(inventory) dan dapat
diterapkan dalam semua jenis pembiayaan penuh. Maksudnya, pihak bank memberikan dana
untuk usaha tertentu dengan ketentuan yang dibuat bersama. Sistem ini hampir sama dengan
kredit modal kerja yang dikenal dalam bank konvensional. Oleh karena itu, prinsip ini
disebut short run financing.
4) Al-Bai’u Bitaman Ajil (konsep cicilan)
Sistem al-bai’u bitaman ajil adalah pembelian dengan cara pembayaran cicilan. Maksudnya,
pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan barang modal (investasi).
5) Al-Ijarah (prinsip sewa)
Prinsip al-ijarah dapat dilakukan pada semua jenis pembiayaan penuh. Pembiayaan penuh
merupakan talangan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan
sistem pembayaran sewa tanpa diakhiri dengan pemilikan. Dengan demikian, berarti al-ijarah
sama dengan leasing dan bank (leasor) memberikan kesempatan kepada
nasabah/penyewa(lesse) untuk memperoleh manfaat dari barang untuk jangka waktu tertentu,
dengan ketentuan nasabah/penyewa akan menbayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati
bersama. Apabila telah habis jangka waktunya, benda/barang yang dijadikan sebagai objek al-
ijarah tersebut menjadi milik bank.
6) Al-Bai’u Ta’jir (prinsip jual beli)
Prinsip al-bai’u ta’jir diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh yang merupakan talangan
dana untuk pengadaan, ditambah keuntukngan yang telah disepakati dengan sistem pembayaran
sewa yang diakhiri dengan pemilik. Prinsip al-bai’u ta’jir ini hampir sama dengan sewa beli.
Setelah habis pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, objek barang/benda
tersebut menjadi milik nasabah.
7) Qard Hasan
Prinsip qard hasan adalah rencana keuangan dalam bentuk pinjaman kebijakan yang tidak
dikenakan biaya dan tanpa bunga. Jenis pinjaman ini diberikan pada konsumen atau pengusaha
yang mengalami situasi yang sulit atau pengeluaran yang tidak direncanakan. Dengan kata lain,
prinsip ini adalah penyuntikan dan bagi pengusaha atau konsumen yang sedang jauh atau
bangkrut.
XII
Kehadiran bank syariah memiliki hikmah yang cukup besar, diantaranya:
1. Umat Islam yang berpendirian bahwa bunga bank konvensional adalah riba, maka bank
syariah menjadi alternatif untuk menyimpan uangnya, baik dengan cara deposito, bagi hasil
maupun lainnya.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktik riba (bunga) yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya
terhadap yang lemah ekonominya.
3. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-Islam yang
menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank sehingga umat Islam belum bisa
menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan
bisnisdan perekonomiannya.
4. Bank Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya belum mengelola zakat
secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk
proyek-proyek yang produktif dan hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
5. Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk hal-hal berikut:
a. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan
untuk kepentingan nasabah, misalnya: biaya telegram, telepon, atau telex dalam memindahkan
atau memberitahukan rekening nasabah, dan sebagainya.
b. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah
dan sebagai sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada
umumnya.
C. ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak
ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam
khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait
apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak.
4.1 Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali dasamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut
dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung
mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan
penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
XIII
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan
dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya
sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang
mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurator. Menurut perjanjian ini,
si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala
dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang
mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang
sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan,
dan kerusakan.
4.2 Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan
ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketetuan mengenai asuransi, aik di dalam
al-qur’an maupun hadits Nabi SAW., termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara
lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis).
Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum
asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya
dipandang haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan.
Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf al-
Qardawi.
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat
diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf
dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
c. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi
komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung
oleh ulama Abu Zahrah.
d. Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya
dipandang syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asa gotong royong (ta’awun)
dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk
mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
XIV
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro,
dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan),
bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji.
kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian
yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas
akan terjadi.
4.3 Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah meawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat
suatu bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan
seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-
sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan.
Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran ntuk perlindungan
bersama.
4.4 Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status
hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial
adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan
sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua
modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di
Indonesia.
Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
a. Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerinta.
b. Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai
anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun
udara.
c. Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang
dibuat untuk itu.
d. Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari
keuntungan.

XV
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-
hal sebagai berikut:
a. Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan
atas musbah yang akan datang.
b. Dana yang terkumpul menjadi amanah pengeloladana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai
dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c. Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d. Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari
premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki
nilai 70% dari premi.
e. Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh
peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f. Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila
terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g. Keuntngan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil
(mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada
peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h. Mempunyai misi akidah, sosia serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi
istiqadi.

XVI
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan. Hukum riba yaitu haram. Riba terbagi ke dalam tiga
macam yaitu riba fadhl, riba yadd, dan riba nasi’ah.
Bank berasal dari kata banko (bahasa Italia) yang berarti simbol penukaran uang di Italia.
Sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa, bank berasal dari bahasa Inggris atau Belanda yang
berarti kantor penyimpanan uang. Bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang
memperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain.
Bank Islam adalah suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk
disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga. Para
ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Terbagi menjadi tiga pandangan hukum
perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang dalam hukum Belanda
disebut verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantiekemudian timbul
istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung. terdapat empat pendapat
tentang hukum asuransi, yaitu mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti
sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kedua, membolehkan semua asuransi dalam praktiknya
dewasa ini. Ketiga, membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang
bersifat komersial semata. Keempat, menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak
ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya.

XVII
DAFTAR PUSAKA

Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1997), hlm. 29.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 219.
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 58.
[4] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 58-61.
[5] Syaikh Al-‘Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2013), hlm. 214.
[6] Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), hlm. 175.
[7] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 61-62.
[8] Abdul Aziz Muhammad, Op, Cit., hlm. 218.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op, Cit., hlm. 222-224.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm. 341.
[11] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 63-64.
[12] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 64-65.
[13] Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Op, Cit., hlm. 44.
[14] Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1985), hlm. 109.
[15]Ibid., hlm. 110.
[16]Bambang Prishardoyo, dkk, Pelajaran Ekonomi SMP Kelas 3, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 18-19.
[17] Masjfuk Zuhdi, Masail Eiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 143.
[18] Nejatullah Shiddiqi, Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: LPIM, 1986), hlm. 82-84.
[19] Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, (Jakarta: Tintamas, 1985), hlm. 161.
[20] Kementrian Agama Republik Indonesia, Fikih Buku Pegangan Siswa Kelas X, (Jakarta: Kementrian
Agama, 2014), hlm. 164.
[21] Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 205.
[22] Muhammad Syakir, Asuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), hlm. 27.
[23] Kementrian Agama Republik Indonesia, Op, Cit., hlm. 165.
[24] Ibid., hlm. 165.
[25] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 308-309.
[26] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 310.
[27] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 310—312.
[28] Muh. Nejatullah Shiddiqi, Asuransi dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 51-62.
http://syafaatuletika.blogspot.com/2012/06/riba-bank-dan-asuransi.html

XVIII

Anda mungkin juga menyukai