Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

Case Study Report: Studi Kasus Perkara


No. 558/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel dan Perkara
No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas


mata kuliah Praktik Acara Perdata Kelas C Paralel

Disusun oleh:
Yehezkiel Romartogi (1606909460)
Raindi Andreas (1606909763)
Kevin Sebastian (1606909681)
Davindra Fadhlurrahman (1606910001)
Erwin Sunthony Sagala (1606909284)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
MARET 2019

0
I. PENDAHULUAN dan KASUS POSISI
A. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel
Penulis melakukan observasi pada Rabu, 6 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan perkara No. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel mengenai perkara
gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan pihak- pihak sebagai berikut:
Penggugat : Mohammad Maskur
Kuasa Hukum Penggugat : - (tidak diberitahukan oleh Bagian Umum PN Jakarta
Selatan)
Tergugat :
1) Nyonya Hajah Lisma;
2) Abdilah Salam;
3) Solehudin Salam;
4) Zamzam Jamilah;
5) Dll. (tidak diberitahu oleh bagian Umum PN Jakarta Selatan).
Majelis Hakim :
1) Toto Ridarto S.H., M.H. (Hakim Ketua);
2) Asiyadi Sembiring S.H., M.H. (Hakim Anggota);
3) Aralndi Triyogo S.H., M.H. (Hakim Anggota).
Panitera Pengganti: Muhammad Anwar S.H., M.H.
Ruang Sidang No. 6
Bahwa hasil pengamatan pada persidangan yang penulis dapatkan perihal agenda
persidangan Pembuktian oleh Tergugat yang terjadi pada Rabu, 6 Maret 2019 adalah
sebagai berikut:
1) Majelis Hakim Tidak membuka sidang dalam hal mencabut skorsing dari sidang
sebelumnya tidak disertai dengan ketukan palu untuk mencabut skorsing sidang.
2) Penggugat menyatakan bahwa ingin menghadirkan alat bukti yakni keterangan saksi
dan Majelis Hakim menerima untuk bukti awal dihadirkan;
3) Majelis Hakim dalam hal memanggil saksi (tidak jelas dalam hal persona in standi
karena suara yang tidak jelas), disertai dengan tidak sopan (membentak)
4) Majelis Hakim dalam hal menanyakan keterangan saksi, dengan nada tidak sopan
(membentak)

1
5) Majelis Hakim setelah selesai dalam hal menanyakan keterangan saksi, telah
memberikan kesempatan kepada Kuasa Hukum para pihak untuk bertanya, akan
tetapi kedua Majelis Hakim Anggota tidur ketika pembuktian oleh para pihak
dilakukan, dan Hakim Ketua memainkan Handphone dalam hal acara sidang
tersebut.
Kemudian setelah melihat kasus posisi perihal agenda persidangan pada Rabu, 6 Maret
2019 dalam perkara No. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel, penulis akan
menjelaskan secara singkat terkait kasus posisi perkara perkara a quo tentang gugatan
Perbuatan Melawan Hukum antara Penggugat dan Para Tergugat a quo dalam hal
khususnya sengketa kepemilikan tanah dan bangunan oleh para ahli waris (tergugat) an.
Hj. Hussein Salam dengan pihak penggugat yang mengklaim ayah daripada Penggugat
telah membeli tanah tersebut daripada ayah para tergugat an Hj. Hussein Salam (Alm.)

KASUS POSISI PERKARA


1. Bahwa pada sekitaran tahun 1970-an atau setidak - tidaknya pada beberapa puluh tahun
lalu, bahwa terdapat setidak - tidaknya sebidang tanah seluas 230 M2 dan terdapat rumah
yang berada di atas tanah tersebut, yang beralamat di Jl. Keselamatan No. 20, RT/RW
011/183, Jakarta Selatan atau setidak - tidaknya berada dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang dimiliki atas nama Hj. Hussein Salam.
2. Bahwa pada sekitaran tahun tersebut, Hj. Hussein Salam selaku pemilik tanah dan
bangunan rumah tersebut ingin menjual properti tersebut, dengan mengabari saksi
Penggugat, dan meminta tolong untuk dicarikan pembeli atas properti tersebut.
3. Bahwa Saksi merupakan tetangga yang jarak rumahnya tidak jauh atau sekitaran berjarak
100 Meter dari properti tersebut dan merupakan teman sekaligus tetangga dari Hj.
Hussein Salam.
4. Bahwa Saksi menawarkan kepada ayah dari Penggugat terkait properti tersebut dan
mempertemukan Hj. Hussein Salam dan ayah dari Penggugat untuk melakukan transaksi
jual beli.
5. Bahwa atas jasa tersebut, saksi diberikan sebagian dari hasil penjualan properti tersebut
dan tidak mengetahui lebih lanjut terkait properti tersebut.

2
6. Bahwa setelah transaksi tersebut itu, dikarenakan tidak pernah digunakan oleh keluarga
daripada Penggugat, Maka Properti tersebut ditempati oleh Para Tergugat selaku ahli
waris daripada Hj. Hussein Salam yaitu Abdilah Salam, Solehudin Salam, dan ZamZam
Jamilah yang masih berpikir bahwa properti tersebut milik daripada Hj. Hussein Salam
dan merasa bahwa para tergugat berhak atas hak waris terkait objek perkara a quo.
7. Bahwa pada sekitaran awal tahun 2000-an, Hj. Hussein Salam telah meninggal dunia dan
sekitaran tahun 2018, Penggugat memiliki maksud untuk menggunakan properti tersebut.
8. Bahwa Penggugat baru mengetahui bahwa properti tersebut ditempati oleh orang lain
(Para Tergugat). Dan terjadi perdebatan (cekcok) antara Penggugat dan Para Tergugat.
9. Bahwa setelah itu, maka Penggugat karena melihat itikad tidak baik dari para Tergugat,
maka Penggugat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan nomor perkara a quo.
10. Bahwa dalam acara persidangan pembuktian, baru diketahui bahwa Saksi Penggugat
tidak mengetahui terkait adanya perjanjian jual beli secara tertulis, maupun tidak
mengetahui terkait surat - surat Hak Milik yang terdaftar dalam Notaris, akan tetapi Saksi
mengetahui bahwa memang telah benar terjadi transaksi jual beli dengan Saksi selaku
perantara transaksi jual beli tersebut.

B. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel


Penulis melakukan observasi pada Kamis, 28 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada perkara No. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel dengan agenda
pembacaan Putusan, mengenai perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dengan pihak-
pihak sebagai berikut:
Penggugat : Dr. Minggrainy Sumichan
Kuasa Hukum Penggugat : - (tidak diberitahukan oleh Bagian Umum PN Jakarta Selatan)
Tergugat :
1). PT. Otomas Multifinance (Tergugat 1)
2). KPKNL Jakarta (Tergugat 2)
Kuasa Hukum Tergugat :

3
1) Vega L. Octavia, S.E., S.H., M.H., dan dkk, dari kantor Advokat Okto Boboy dan Rekan
di MTH Square Lantai UG, Citywalk B, Jl. M.T. Haryono Kavling 10, Jakarta Timur
berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 7 Mei 2018
Majelis Hakim :
1) Achmad Guntur S.H. (Hakim Ketua);
2) Dedy Hermawan S.H., M.H. (Hakim Anggota);
3) Indirawati S.H., M.H. (Hakim Anggota).
Panitera Pengganti: Matius B. Situru S.H.
Mediator (gagal dalam mediasi) : Mery Taat Anggarasih, S.H., M.H. tertanggal 7 Juni 2018
Bahwa hasil daripada pengamatan kelompok kami pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019
pada persidangan a quo ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Bahwa persidangan dengan acara PUTUSAN AKHIR berjalan dengan baik dan tidak
ada cacat secara etika para pihak yang tertib dalam menjalankan peradilan.
2. Akan tetapi, terdapat hal - hal yang menurut kelompok kami tidak sesuai, yaitu dalam hal
setelah pembacaan putusan yang menolak keseluruhan Gugatan dan menyatakan gugatan
penggugat ditolak, akan tetapi sidang tidak ditutup dengan ketukan palu sebanyak 3 kali.

KASUS POSISI PERKARA


1. Bahwa telah terjadi perjanjian pembiayaan Multiguna antara penggugat dan tergugat
dengan No. Pk.D804/CF/11/17/1 tertanggal 15 September 2017, dengan total
kesepakatan pinjaman Rp. 495.000.000,00 (empat ratus sembilan puluh lima juta rupiah)
dengan angsuran Rp. 20.212.500,00 (dua puluh juta dua ratus dua belas ribu lima ratus
rupiah) yang dibayarkan selama 48 bulan dengan bunga 24% pertahun flat.
2. Bahwa yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak adalah mengenai kewajiban
pembayaran angsuran hutang yang tidak dapat dilakukan oleh Penggugat yakni sebesar
Rp 20.212.500 (dua puluh juta dua ratus dua belas ribu lima ratus rupiah) yang
dibayarkan selama 48 bulan dengan bunga 24% pertahun flat.
3. Bahwa dengan surat permohonan Penggugat kepada Tergugat dalam perkara gugatan
Perbuatan Melawan Hukum yang pada pokok intinya agar dilakukan restruksurisasi
untuk mengurangi besarnya angsuran menjadi Rp 12.375.000,00 (dua belas juta tiga ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan selama sisa jangka waktu pembayaran berdasarkan

4
suku bunga 5% pertahun dengan dalil bahwa: 1. Penggugat pada intinya meminta
pembatalan perjanjian a quo dan dikarenakan dalam gugatannya dirasa bahwa telah
melanggar Peraturan Undang - Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang - Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, serta 2. Penggugat tidak
mampu membayar angsuran sebagaimana yang telah tertera sesuai perjanjian a quo dan
meminta untuk dikurangi besaran angsurannya menjadi Rp. 12.375.000,00 (dua belas juta
tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan dengan selama sisa jangka waktu
pembayaran dengan suku bunga 5% pertahun dengan alasan bisnis yang dimiliki
penggugat telah menurun drastis dan sudah tidak memiliki simpanan untuk menghidupi
kehidupan keluarganya serta dalil tersebut menurut penggugat berdasarkan Undang -
Undang Perbankan.
4. Bahwa yang pada intinya, Majelis Hakim menolak seluruh gugatan Penggugat,
dikarenakan Penggugat tidak jelas dalam dalil gugatannya dan Majelis merasa, bahwa
dalil gugatan merupakan kedok penggugat untuk menghindar dari kewajibannya, dan
menurut 163 HIR seharusnya Penggugat menjalankan kewajibannya.

II. TEORI dan ANALISA HASIL PENGAMATAN


A. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel
1. TEORI dan ANALISA TERHADAP PERKARA TERKAIT TAHAP
PEMBUKTIAN

Pembuktian adalah salah satu tahapan beracara dalam Hukum Acara


Perdata dimana tahapan ini dilakukan setelah tahap jawab menjawab yakni tahap
Jawaban atas gugatan penggugat, replik, dan duplik. Pembuktian didefinisikan
sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang
beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan1.

1
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 50.

5
Tahap ini dianggap tahap terpenting guna membuktikan kebenaran
terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu atau adanya hak yang
dapat dijadikan dasar oleh Penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
serta pihak Tergugat dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil yang
diajukan Penggugat. Tahapan ini juga dapat menjadi dasar bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan dalam penyelesaian suatu perkara.
Mengenai tahap pembuktian, terdapat instrumen-instrumen hukum yang
mengaturnya yakni di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dari Pasal 1865 - Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine
Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah
Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 –
Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku
bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 282 – Pasal 314.
Pada tahap pembuktian ini dikenal asas affirmandi incumbit probatio
dimana siapa saja yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan dimana asas
ini diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg. Artinya, penggugatlah yang harus
membuktikan pertama kali berkenaan dengan gugatan Penggugat kepada
Tergugat.
Berkenaan dengan alur persidangan, tahap pembuktian yang di dalamnya
termasuk pemberian bukti awal baru dapat dilakukan setelah tahap jawab
menjawab yakni pemberian jawaban dari Tergugat, Replik, dan Duplik2.
Pembuktian didefinisikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu
persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta
hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar
kepastian untuk menjatuhkan keputusan. Dalam persidangan ini, pemberian bukti
awal itu sudah benar karena diberikan ketika persidangan masuk ke tahap

2
http://www.pn-depok.go.id/index.php/layanan-hukum/kepaniteraan-perdata/alur-persidangan-perdata-menu,
yang diakses dari pada 22 Maret 2019, pukul 19.00.

6
Pembuktian, tepatnya setelah selesainya tahap jawab menjawab yang dimulai dari
Jawaban atau Eksepsi, Replik, dan Duplik.
Berdasarkan Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan :

“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan


suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” 3

yang pada intinya menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan suatu
gugatan perdata, maka ia harus membuktikan pertama atas dalilnya tersebut yang
berarti beban pembuktian ada pada pendalil atau penggugat dalam suatu kasus
perdata. Yang menurut kelompok kami sudah sesuai dalam persidangan yang
kami observasi tersebut yang merupakan tahap acara persidangan pembuktian
saksi yang dibawakan pertama kali oleh penggugat yang memiliki beban
pembuktian, oleh karena beban pembuktian tersebut pada penggugat maka
penggugatlah yang harus membuktikan terlebih dahulu dalam acara pembuktian.

Dalam persidangan, pihak yang beracara selain hakim dan panitera tidak
mengucapkan hal-hal yang perlu diucapkan secara keras dan jelas sehingga kami
tim penulis sebagai pengamat tidak bisa mendengar dengan jelas apa saja hal-hal
yang diucapkan oleh pihak Tergugat dan Penggugat. Tidak hanya kami sebagai
pengamat yang tidak mendengar terlalu jelas apa saja yang diucapkan oleh pihak
yang beracara, hakim saja sering kali meminta para pihak yang beracara untuk
mengulangi hal-hal yang ingin mereka ucapkan ketika persidangan.
Dalam pembuktian yang kami saksikan juga, terdapat beberapa
pelanggaran kode etik dalam kekuasaan kehakiman karena pembuktian,
merupakan suatu acara dalam membuat terang suatu perkara dan hakim harus
benar - benar mengetahuinya agar dalam hal mengadilinya, hakim dapat
mengadili dengan sebenar - benarnya dan seobjektif - objektifnya, akan tetapi
dalam persidangan a quo, kedua Hakim Anggota tidur dan Hakim Ketua bermain
Handphone. Hal ini jelas menurut salah seorang dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Hasril Hertanto bahwa dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 48

3
Artikel 163, Herzien Inlandsch Reglement.

7
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa
baik dari para pihak yang diadili memiliki hak ingkar dan boleh untuk meminta
pergantian Hakim yang sedang mengadili perkara a quo. Dalam kode etik
kehakiman yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung
NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN
PEDOMAN PERILAKU HAKIM pasal 4 ayat (5) yang isinya:
“Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya,
baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara,
sehingga tercermin ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan
(impartiality);”4
Yang disini jelas bahwa Hakim tidak menunjukkan dunia kehakiman sebagai
penegak keadilan, karena bagaimanapun juga dalam acara pembuktian yang
dimana seharusnya Hakim mengetahuinya untuk membuat terang suatu kasus,
malahan Hakim bersikap acuh tak acuh untuk menegakkan keadilan, hal ini lah
yang kelompok kami rasakan bahwa ternyata bagaimana jika suatu keadilan mau
ditegakkan secara nyata dan terang sedangkan penegak keadilannya saja tidak
memperlihatkan sikap untuk menunjukkan hal tersebut.

2. TEORI dan ANALISA TERHADAP PERKARA TERKAIT PENCABUTAN


SKORSING SIDANG
Bahwa dalam fakta - fakta persidangan sebagaimana yang penulis dapatkan dari
hasil observasi secara langsung pada persidangan a quo tertanggal 6 Maret 2019,
ditemukan terdapat beberapa kesalahan - kesalahan yang menurut penulis telah
dijabarkan di bagian Kasus Posisi dan Pendahuluan. Bahwa dalam hal poin nomor 1
terkait Majelis Hakim yang tidak mencabut skorsing dengan tidak membuka
persidangan a quo dan tidak melakukan ketukan palu sebagai tanda pencabutan
skorsing tersebut, telah melanggar SOP (Standar Operasional Prosedur) Lembaga
Peradilan Indonesia yang dikutip oleh Penulis berdasarkan SOP prosedur persidangan

4
Mahkamah Agung RI, KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, 2007,
Pasal 4 ayat (5).

8
yang terdapat pada Pengadilan Negeri Nganjuk yang pada intinya menjelaskan bahwa
dalam hal poin 17 dan 18 terkait apabila diperlukan untuk hakim mempertimbangkan
dalam hal putusan sela, maka hakim dapat menskorsing sidang dan meninggalkan
ruang sidang untuk pembahasan putusan sela tersebut, dan juga apabila hakim sudah
selesai dan siap pembacaan putusan sela maka skorsing tersebut dicabut5.
Penskorsingan atau penundaan dan pencabutan skorsing daripada persidangan tersebut
dalam hasil riset oleh pada hukum online, yang ditandai dengan ketukan palu sebanyak
1 kali. Pun juga daripada hasil wawancara penulis terhadap salah satu Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada waktu observasi SOP terkait ketukan palu
sekali yang menandakan bahwa penundaan (skorsing) persidangan yang diakibatkan
tidak siapnya dari para pihak ataupun Majelis Hakim dalam hal mengikuti acara
persidangan, pun juga dalam hal mengatur untuk mengesahkan bukti - bukti yang
terdapat pada persidangan, serta dalam hal menjatuhkan putusan juga diakhiri dengan
ketukan palu sebanyak 1 kali6.
Hal ini semata - mata bukan hanya sebagai suatu formalitas belaka dalam
persidangan, karena berdasarkan keterangan Prof. Jimly Asshiddiqie dalam suatu acara
pembacaan sumpah oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar, hal pengetukan palu menjadi
penting karena ketukan palu tersebut merupakan suatu hal penanda legitimasi dalam
proses persidangan, seperti halnya dalam proses persidangan yang ditunda dan
diskorsing maka ketukan palu tersebut menandakan bahwa persidangan a quo ditunda
dalam pemeriksaannya sampai pada waktu yang ditentukan dan penundaan tersebut
memiliki legitimasi di mata hukum bahwa sidang tersebut berhenti sementara,
sehingga ketika sidang selanjutnya dimulai yang dimana berdasarkan pengesahan
(legitimasi) ketukan palu sebelumnya bahwa sidang diberhentikan sementara maka
untuk membuka sidang kembali atau melanjutkan proses persidangan yang masih
berjalan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka skorsing yang memiliki

5
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Nganjuk, “Tahap-tahap dan tata cara sidang perkara pidana di
Pengadilan Negeri”, yang diakses dari http://www.pn-nganjuk.go.id/index.php/kepaniteraan/kepaniteraan-
pidana/proses-persidangan pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 19.00.
6
HukumOnline, “17 Perangkat Persidangan yang Layak Anda Ketahui”, yang diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b31e792b1a6/17-perangkat-persidangan-yang-layak-anda-
ketahui pada 22 Maret 2019, pukul 19.30.

9
legitimasi tersebut hanya bisa dicabut dengan ketukan palu sebanyak 1 kali, sehingga
pencabutan skorsing tersebut sah di mata hukum dengan memiliki legitimasi.
Hal ini sama dengan logika berfikir terkait marwah ketukan palu yang
menunjukan bahwa ketukan palu tersebut memiliki kekuatan hukum untuk eksekusi
yaitu eksekusi baik selama perjalanan persidangan maupun eksekusi pokok perkara.
Hal ini sesuai dengan pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman7 yang pada intinya sidang dibuka untuk umum demi menciptakan suatu
transparansi proses memperjuangkan keadilan yang sah di mata hukum, analoginya
adalah dalam suatu peradilan pada zaman dulu, simbol pedang merupakan simbol
yang menunjukan eksekusi pengadilan pada zaman dahulu, nah dalam ruang waktu
modern ini maka palu lah yang menggantikan pedang tersebut dalam hal eksekusi
pemidanaan, akan tetapi bentuk eksekusi dari palu itu menjadi legitimasi suatu proses
persidangan. Sehingga dalam masalah tahap acara ini, dikarenakan hakim tidak
mencabut skorsing dengan ketukan palu maka persidangan dalam tahap acara
pembuktian pertama, tidak memiliki legitimasi dan tidak sah di mata hukum sehingga
dapat dianggap tidak pernah berlangsung persidangan terkait acara a quo pada Rabu, 6
Maret 2019.

7
Pemerintah Indonesia, Undang - Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara Nomor 8 tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358.

10
B. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel
1. ANALISA DAN TEORI TERHADAP PENUTUPAN PERSIDANGAN
Bahwa sama halnya dalam penjelasan sebagaimana yang dimaksud dalam Analisa
Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel, terkait maksud dan tujuan untuk apa dibuka
dan ditutupnya persidangan dengan ketukan palu tersebut, menunjukkan suatu legitimasi
keabsahan proses peradilan tersebut, yang menunjukkan apakah sidang tersebut telah
memiliki kekuatan hukum atau tidak. Berbeda dengan pencabutan skorsing, penutupan
sidang tersebut sama halnya dengan pembukaan sidang hal ini menunjukkan bahwa suatu
proses persidangan (penjelasan M. Yahya Harahap) merupakan hal untuk menyatakan
batal atau tidaknya demi hukum karena apabila tidak dibuka dengan hal tersebut, maka
menurut penjelasan a quo, putusannya batal demi hukum. Pun juga berlaku untuk
penutupan, apabila tidak ditutup dengan ketukan palu sebanyak 3 kali, maka putusannya
batal demi hukum karena apabila tidak ditutup maka sidang tersebut dinyatakan belum
selesai dan putusannya belum memiliki kekuatan legitimasi. Disinilah kelompok kami
berpendapat bahwa, dalam persidangan No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel putusan yang
dimana belum ditutup maka putusannya belom memiliki kekuatan hukum
(persidangannya belum selesai) dan Putusan tersebut seharusnya Batal Demi Hukum.

11
3. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan Penulis, maka dapat disimpulkan beberapa hal baik terkait
proses beracara maupun prosedural dalam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dapat
disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah cukup terbuka untuk
informasi persidangan. Hal ini dapat Penulis simpulkan dari hasil pengamatan yang
cukup mudah untuk mendapatkan data, baik Hakim maupun panitera tidak mempersulit
dan memberikan informasi sudah sesuai dengan prosedur. Dalam hal proses beracaranya,
masih terdapat beberapa hal yang luput dilakukan, seperti etika dalam ketukan palu yang
masih dirasa sebagai formalitas suatu persidangan, padahal seharusnya Majelis Hakim
dimanapun mengetahui tentang legitimasi ketukan palu yang menunjukan suatu sah
tidaknya proses persidangan, karena apabila hal tersebut menjadi konsen daripada para
pihak, maka para pihak dapat menganggap bahwa persidangan a quo tidak memiliki
suatu kekuatan hukum. Hal itu dapat berdampak dengan suatu asas keadilan dalam acara
persidangan Republik Indonesia. Pun juga dalam etika hakim, seperti hakim tidur yang
tidak mendengarkan kesaksian yang secara nyata untuk membuat terang suatu keadilan.
Hal ini berpengaruh terhadap keragu - raguan masyarakat terhadap satu - satunya
lembaga tempat mencari keadilan “apakah dengan etika tersebut, apakah keadilan benar -
benar dapat diungkap senyata - nyatanya”.

Saran

Saran Penulis sekiranya agar waktu sidang yang telah diagendakan dan dipublikasikan
dapat berjalan dengan tepat waktu, dan SOP persidangan serta hal - hal formil
persidangan perlu lebih diperhatikan demi tegaknya keadilan bukan hanya sebagai suatu
formalitas dan Mahkamah Agung seharusnya lebih tegas dan tidak hanya mengirimkan
teguran - teguran semata yang menurut kelompok kami tidak akan jera karena Undang -
Undang (kekuasaan kehakiman) saja dilanggar apalagi Surat dari Mahkamah Agung -
Hasril Hertanto.

12

Anda mungkin juga menyukai