Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autis

1. Definisi

Kata autis berasal dari bahasa Yunani auto yang berarti sendiri.

Kalau diperhatikan secara seksama, kesannnya penyandang autis hidup

dalam dunianya sendiri.Autisme merupakan kelainan yang tidak

mengalami perkembangan normal, khususnya dalam hubungan dengan

orang lain Leo Kanner (1943) dalam Winarno (2013).

Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi berupa sindroma

(kumpulan gejala) yang terjadi penyimpangan perkembangan sosial,

kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar (Yatim, 2013).

Menurut kamus psikologi, pengertian dari autisme adalah anak dengan

kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ​ekstrem​. Anak autisme

bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya sendiri

atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu tenggelam dalam

satu dunia sendiri.

2. Etiologi

Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor

internal meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi

virus, dan trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain


lingkungan bahan kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan

aluminium (Handojo, 2008) dalam Yusuf, Rizky, Hanik (2015).

a. Faktor Internal

1) Faktor Psikologis

Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang

mengasuh anak mereka yang secara emosional atau akibat sikap

ibu yang dingin (kurang hangat).

2) Neurobiologis

Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam

kandungan atau sudah anak lahir dan menyebabkan berbagai

kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga

karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik.

3) Faktor genetik

Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi

kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama.

Ditemukan 20 gen yang terkait dengan munculnya gangguan

autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari

banyak gen.

4) Faktor perinatal

Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal.

Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan setelah trimester

pertama​, fetal distress​, dan penggunaan obat tertentu pada ibu yang
sedang hamil. Komplikasi waktu bersalin, terlambat menangis,

gangguan pernapasan, dan anemia pada janin.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi

bahan kimia beracun dan logam-logam berat berikut ini (Yatim, 2013)

dalam Yusuf, Rizky, Hanik (2015).

1) Merkuri (Hg)

Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna

putih keperakan. Paparan logam berat Hg dapat berupa ​metyl

mercury d​ an ​etyl mercury (​ ​thimerosal​) dalam vaksin. Merkuri

dapat memengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna. Racun

merkuri menyebabkan defisit kognitif dan sosial termasuk

kehilangan kemampuan berbicara atau kegagalan untuk

mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk,

kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam

tingkah laku autisme.

2) Timbal

Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai

pembunuh sel-sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah

anak-anak akan memengaruhi kemampuan belajar anak, defisit

perhatian, dan sindroma hiperaktivitas.

3) Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada

kerak bumi. Logam berat ini murni berupa logam. Logam

berwarna putih perak lunak dapat menyebabkan kerusakan sel

membran sehingga logam berat lain dipercepat atau dipermudah

masuk ke dalam sel.

4) Arsenik (As)

Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk

membangun ruang bermain, geladak kapal, atau pagar rumah.

Arsenik dapat diisap, ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit.

Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, dan jaringan tubuh, serta

akan merusaknya secara serius. Gejalanya yang berlangsung

lambat dapat menyebabkan diabetes dan kanker, juga dapat

menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam jangka lama dapat

merusak liver, ginjal, dan susunan saraf pusat.

5) Aluminium (Al)

Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi

bila mengabsorbsi sejumlah besar aluminium yang sering disimpan

di dalam otak. Pemaparan aluminium didapatkan dari konsumsi

aluminium dari produk antasid dan air minum (​panic aluminium​).

Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif, paru-paru, dan

kulit sebelum masuk ke jaringan tubuh.

3. Gejala
Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan

sebagian anak memiliki gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang

sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat

beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang

sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatapan mata.

Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal,

tetapi sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangan terhenti,

kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme.

Faktor pencetusnya misalnya ditinggal oleh orang terdekat secara

mendadak, punya adik, sakit berat, bahkan ada yang gejalanya timbul

setelah mendapatkan imunisasi. Gejala-gajala akan tampak makin jelas

setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu meliputi hal berikut (IDAI,

2004) dalam Yusuf (2015).

a. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.

1) Terlambat bicara.

2) Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

3) Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.

4) Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.

5) la banyak meniru atau membeo (​echolalia​).

6) Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan

kata-kata tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap

tak dapat bicara sampai dewasa.


7) Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan

mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.

1) Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.

2) Tak mau menengok bila dipanggil.

3) Sering kali menolak untuk dipeluk.

4) Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih

asyik main sendiri.

5) Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh.

c. Gangguan dalam bidang perilaku.

1) Perilaku yang berlebihan (​excess)​ dan kekurangan (​deficient​).

2) Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas

motorik, seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan

yang jelas, melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul

pintu atau meja, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.

3) Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong

dengan tatap mata yang kosong, melakukan permainan yang sama

atau monoton dan kurang variatif secara berulang-ulang, sering

duduk diam terpukau oleh sesuatu misalnya bayangan dan benda

yang berputar.
4) Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu,

kertas, gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus

dipeganganya dan dibawa ke mana saja.

d. Perilaku ritual (​ritualistic)​ .

1) Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.

2) Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain,

misalnya melihat anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan,

tetapi merasa terganggu dan anak yang menangis tersebut mungkin

didatangi dan dipukul.

3) Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang

nyata.

4) Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan

destruktif).

e. Gangguan dalam persepsi sensori.

1) Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.

2) Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga.

3) Tidak menyukai rabaan atau pelukan.

4) Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan

yang kasar.

4. Penatalaksanaan Autisme dalam (Muhith, 2015)

a. Terapi psikofarmoka
Kerusakan sel otak di sistem ​limbic,​ yaitu pusat emosi akan

menimbulkan gangguan emosi dan perilaku temper tantrum,

agresifitas, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang-orang di

sekitarnya, serta hiperaktifitas dan stereotinik. Untuk mengendalikan

gangguan emosi ini, diperlukan obat yang mempengaruhi berfungsinya

sel-sel otak. Obat-obat yang digunakan antara lain:

1) Heloperidole

Obat anti psikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor,

biasanya digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper

tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain

yaitumeningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis

0,2 mg.

2) Fenfluramin

Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin

darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme.

3) Naktrexone

Merupakan obat antagonis opiate yang diharapkan dapat

menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autism

seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi

hiperaktivitas.

4) Clompramin
Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik,

konvulsi, perilaku ritual, dan agresivitas, biasanya digunakan

dalam dosis 3,75 mg.

5) Lithium

Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku

agresif dan mencederai diri sendiri (Lumbantobing, 2011).

6) Ritalin

Untuk menekan hiperaktivitas (Lumbantobing, 2011).

7) Riperidone

Dengan dosisi 2x0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan

konvulsi. Oleh karena itu efektifitas obat berbeda-beda anatara

anak satu dengan lainnya, maka pemakaian obat baru diawasi oleh

dokter. Pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan setiap 6 bulan.

Pemberian obat hanya sebagai penunjang dari keseluruhan

penatalaksanaan autisme (Lumbantobing, 2011).

b. Terapi perilaku

Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku

merupakan tatalaksana yang paling penting. Metode yang digunakan

adalah metode Lovass. Metode Lovass adalah metode modifikasi

tingkah laku yang disebut dengan ​Applied Behavioral Analysis (​ ABA)

juga sering disebut juga ​Behavioral Intervension atau Behavioral

Modification. Dasar pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun


yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem

reward dan ​punishment​. Pemberian ​reward akan meningkatkan

frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan punishment

akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan

(Nakita, 2012).

c. Terapi pengajaran

Untuk dapat mengajarkan keterampilan yang kompleks pada

anak autistic dapat digunakan teknik shaping dan prompting. Teknik

ini biasanya digunakan karena respon yang mau diajarkan belum dapat

dimunculkan oleh si anak atau tidak cukup sering muncul sehingga

bisa digunakan ​reinforce​ saja.

d. Teknik jembatan ​(Shadowing)

Bila anak kesulitan di sekolah umum, biasanya akan dilakukan

teknik inklusi atau integrasi dan teknik ​shadowing​. Teknik tersebut

umumnya dilakukan di masa-masa awal anak mengikuti kegiatan di

sekolah umum. Caranya, terapis ​(shadow) yang selama ini membantu

anak. Ia befungsi untuk menjembatani atau membantu anak mengerti

instruksi-instruksi atau stimulus-stimulus dari lingkungan. Kalau perlu,

shadow akan melakukan ​prompt terhadap anak. Namun, penggunaan

prompt oleh ​shadow memang dibatasi supaya anak belajar mandiri

(Nakita, 2012).
e. Terapi bicara

Ganguan bicara dan berbahas diderita oleh hampir semua anak

autism. Tatalaksana melatih bicara dan berbahasa dilakukan oleh

ahlinya karena merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme.

Anak dipaksa untuk berbicara sekata demi sekata, cara ucapan harus

diperhatikan, kemudian diajarkan berdialog setelah mampu berbicara.

Anak dipaksa untuk memandang terapis, seperti diketahui anak autistic

tidak mau diadu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak

mata, diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir terapis (Soemarno,

2012).

f. Terapi Okupasional

Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan

motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat

menulis atau melakukan keterampilan lainnya.

g. Pendidikan khusus

Anak autistik mudah sekali teraih perhatiannya, karena itu

pada pendidikan khusus satu guru menghadapai satu anak dalam

ruangan tidak luas dan tidak ada gambar-gambar di dinding atau

benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan perhatian


anak. Setelah ada perkembangan mulai dilibatkan daam lingkungan

kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah

mampu bergaul dan berkomunikasi, mulai dimasukkan pendidikan

biasa di TK dan SD untuk anak normal (Soemarno, 2010).

h. Terapi alternatif

Yang digolongkan terapi alternatif adalan semua terapi baru

yang masih berlanjut dengan penelitian. Terapi detoksifikasi

menggunakan nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk

menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang

lebih tinggi dalam tubuh anak autism di banding dengan anak normal

agar tidak mengancam perkembangan otak, terutama bahan beracun

merkuri atau air raksa dan timah yang mempengaruhi sistem kerja

otak. terapi ini meliputi mandi sauna, pemiatan dan ​shower,​ diikuti

olahraga konsumsi, vitamin dosis tinggi, sera air putih minimal 2 liter

sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk di

dalam tubuh (Edelson, 2008).

i. The option method

Tujuan metode ini adalah untuk meningkatkan kebahagiaan

penyandang autisme dengan membantu mereka menemukan sistem

keprcayaan diri masing-masing, dasar pemikirannya adalah pandangan

bahwa anak autis cenderung menutup diri terhadap dunia luar atau

hidup dalam dunianya sendiri. Dengan adanya sikap menutup diri,


kemampuan interaksi sosial anak tidak berkembang sehingga ketika

anak berinteraksi dengan orang lain, ia menilainya sebagai sesuatu

yang tidak menyenangkan dan justru membuat anak semakin menarik

diri. Proses terapi ini menekankan penerimaan orangtua terhadap

perilaku anaknya sebagai sesuatu yang tidak menyimpang, melainkan

cara anak untk mengerti dan mengontrol dunianya. Orangtua harus

terlibat kuat pada kegiatan obsesif anaknya (Soemarno, 2010).

j. Sensory Integration Therapy ​atau kemampuan integrasi sensoris

Kemampuan untuk memproses impuls yang diterima dari

berbagai indera secara stimulan. Banyak anak autis yang diketahui

mengalami kesulitan dalam memproses stimulus sensoris yang

kompleks. Anak autis yang masuk dalam golongan ini umumnya

menunjukkan ketidakpekaan sensoris tertentu. Terapi ini bertujuan

meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan berespon terhadap

stimulus sensoris tersebut.

B. Diet Pada Anak Autis

1. Memulai Diet

Cara memulai diet bebas gluten bebas kasein menurut Kusmayanti (2011)

adalah sebagai berikut :

a. Pada minggu pertama coba untuk mengurangi makanan yang

mengandung terigu lalu menggantinya dengan bahan yang mirip,

seperti tepung terigu.


b. Selanjutnya pada minggu kedua, mulai konsumsi biskuit dan diganti

dengan kue atau biskuit yang dibuat sendiri dari tepung beras.

c. Pada minggu ketiga , hindari konsumsi roti.

d. Pada minggu keempat mulai kurangi keempat mulai kurangi makanan

dari susu sapi. Susu sapi dapat disubsitusi dengan memberikan susu

kedelai atau susu kacang almond.

e. Pada minggu kelima, hindari makanan yang mengandung gula.

f. Kemudian setelah minggu keenam, cobalah mengatur jadwal makan

buah-buahan yang biasa dikonsumsi anak-anak seperti apel, melon

tomat dan strawberry.

2. Makanan yang harus di hindari dan diperbolehkan

a. Makanan yang harus di hindari menurut Winarno (2013)

1) Gluten

Gluten adalah Gluten merupakan protein dari produk pangan nabati

biji-bijian yang termasuk ​subclass Monocotyledone. Gluten

terdapat pada biji gandum, tepung graham, malt, oat, barley, rye,

atau triticola. Senyawa gluten memberi sifat fungsional pada

produk sebagai berikut:

a) Bersifat elastis dan menyebabkan sifat mekar atau melar,

misalnya dalam produk roti yang mengembang.

b) Mudah ditemukan dalam roti, pasta ​cracker​, ​cookie​, ​cake,​

bahan pengental, dan breading.


c) Turunan gluten ​(gluten derivates) juga terdapat dalam malt,

seperti modified starch HVP ​(hydrolyzed vegetable protein),

HPP ​(hydrolyzed plant protein) dan TVP ​(texturiqed vegetable

protein). Produk produk tersebut terdapat dalam produk

(kecuali bila di beri ​label gletein free​) seperti kecap, ​flavoring,​

instant,​ ​coffee,​ beberapa jenis ​catchup​, ​marshmallow cream​,

corned soup,​ ​sausage,​ dan ​hot dog.​

d) Makanan ber-MSG seperti penyedap rasa.

e) Makanan seperti bakso, pangsit.

2) Kasein

Kasein merupakan protein yang terdapat dalam produk susu.

Produk yang mengandung kasein yaitu :

a) Produk susu seperti semua susu ternak seperti susu sapi

b) Mentega dan semua keju.

c) Ice cream, Ice milk​, yoghurt, pudding.

d) Minuman bersoda seperti fanta, sprite, cola-cola.

e) Minuman sirup, susu coklat, susu bubuk seperti ovaltine.

f) Biskuit, roti yang mengandung susu, pancakes waffle, pie.

g) Margarin, mayonaise.

b. Makanan yang di perbolehkan atau pengganti menurut Winarno (2013)

1) Tepung, seperti ketan, beras, kedelai, tapioka, sagu, hunkwe,

soun, bihun, kentang


2) Buah, seperti pepaya, semangka, melon, nanas

3) Bahan pewarna alami, misalnya daun pandan, kunyit, coklat

bubuk

4) Margarin dari tumbuhan, santan

5) Pangan seperti ikan, telur, dan seafood

6) Makanan tanpa MSG seperti penyedap rasa

C. Konsep Penkes

1. Definisi

Menurut Maulana (2008) pendidikan pada dasarnya adalah segala

upaya yang terencana untuk mempengaruhi, memberika perlindungan dan

bantuan sehingga peserta memiliki kemampuan untuk berperilaku sesuai

harapan. Pendidikan dapat dikatakan juga sebagai proses pendewasaan

diri.

Dengan demikian, pendidikan kesehatan adalah proses perubahan

perilaku yang dinamis, bukan hanya proses pemindahan materi dari

individu ke orang lain dan bukan seperangkat prosedur yang dilaksnakan

ataupun hasil yang akan dicapai. Menurut Maulana (2008) pendidikan

kesehatan adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara suka-rela

perilaku yang akan meningkatkan atau memelihara kesehatan.

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan


Menurut Maulana (2008) secara umum, tujuan pendidikan

kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang

kesehatan. Akan tetapi, perilaku mencakup hal yang luas sehingga

perilaku perlu dikategorikan secara mendasar sehingga rumusan tujuan

pendidikan kesehatan dapat dirinci sebagai berikut :

a) Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat.

Oleh sebab itu, pendidik kesehatan bertanggung jawab megarahkan

cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masayarakat

sehari-hari.

b) Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok

mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

c) Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana

pelayanan yang ada. Adakalanya, pemanfaatan sarana pelayanan yang

ada dilakukan secara berlebihan atau justru sebaliknya, kondisi sakit,

tetapi tiak menggunakan sarana kesehatan yang ada dengan

semestinya.

3. Alat Bantu atau media Promosi Kesehatan

a) Definisi

Menurut (Notoatmodjo, 2012) yang dimaksud alat bantu peraga

alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan

pendidik atau pengajaran. Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip


bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau

ditangkap oleh panca indera.

b) Manfaat alat bantu

1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.

2) Mencapai sasaran yang lebih banyak.

3) Membantu mengatasi banyak hambatan dalam pemahaman.

4) Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan

yang diterima kepada orang lain.

5) Mempermudah penyampaian bahan atau informasi kesehatan.

6) Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran atau masyarakat.

7) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih

mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik.

8) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh.

c) Media Pendidikan Kesehatan

1) Media Cetak

Media cetak sebagai alat bantu menyampaikan pesan pesan

kesehatan sangat bervariasi, anatara lain sebagai berikut :

a. Booklet ialah suatu media menyampaikan pesan-pesan

kesehatan melalu bentuk buku, baik berupa tulisan maupun

gambar.
b. Leaflet ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan

kesehatan melalu lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat

dalam bentuk kalimat maupun gambar atau kombinasi.

c. Flyer​ (selebaran) bentuknya seperti leaflat tetapi tidak berlipat.

d. Flip chart (lembar balik) media penyampaian pesan atau

informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik. Biasanya dalam

bentuk buku di mana tiap lembar(halaman) berisi gambar

peragaan dan lembaran baliknya berisi kalimat sebagai pesan

atau informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut.

e. Rubrik atau tulisan- tulisan pada surat kabar atau majalah yang

membahas suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan

dengan kesehatan.

f. Poster ialah bentuk media vetak yang berisi pesan atau informasi

kesehatan, yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di

tempat-tempat umum, atau di kendaraan umum.

g. Foto yang mengungkapkan informasi kesehatan.

2) Media elektronik

Televisi

a. Radio

b. Video

c. Slide

d. Film Strip
3) Media Papan ​(Billboard)

Papan ​(Billboard) yang di pasang di tempat-tempat umum dapat diisi

dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan. Media

papan disini juga mevakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran

seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan umum (bus dan

taksi).

D. Kepatuhan Orang Tua dalam Menentukan Diet pada Anak Autis

1. Definisi Kepatuhan

Menurut Niven (2013) bahwa kepatuhan pasien sebagai sejauh

mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

professional kesehatan. Orang tua mematuhi perintah dari orang yang

mempunyai kekuasaan bukan hal yang mengherankan karena

ketidakpatuhan seringkali diikuti dengan beberapa bentuk hukuman.

Meskipun demikian, yang menarik adalah pengaruh dari orang yang tidak

mempunyai kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya dan

sampai sejauh mana kesedihan orang itu mematuhinya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan orang tua

a. Pengetahuan

Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan

adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan


pengindraan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi

melalui panca indra manusai yakni: indar penglihatan, pendengara,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh mealui mata dan telinga.

Menurut penelitian Suwoyo (2017) yang berjudul

faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak autis di sekolah

kebutuhan khusus kota Kediri yaitu ada pengaruh antara tingkat

pengetahuan orang tua dengan status gizi anak autis di sekolah

kebutuhan khusus kota Kediri.

b. Sikap

Menurut Eagly & Chaiken (1993) dalam Wawan & Dewi

(2010) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil

evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke dalam

proses-proses kognitif, afektif, dan perilaku. Menurut Notoatmodjo

(2012) sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang

masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.

c. Pola Asuh

Hurlock (2010) berpendapat bahwa pola asuh orang tua adalah

suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya.

Metode disiplin tersebut meliputi dua konsep yaitu konsep positif dan

konsep negatif. Konsep positif berarti disiplin dengan pendidikan dan

bimbingan lebih menekankan pada disiplin berarti pengendalian


dengan kekuasaan, merupakan suatu bentuk pengekangan melalui

cara yang tidak disukai dan menyakitkan.

Pola asuh adalah segala bentuk interaksi sosial antara orang

tua dan anak yang mencakup ekspresi atau pernyataan orang tua akan

sikap, nilai, minat dan harapan-harapan dalam mengasuh anak serta

memenuhi kebutuhan anak (Yusuf, 2011).

Menurut penelitian Suharningsih (2015) yang berjudul

hubungan antara pola asuh dan kepatuhan diet bebas gluten bebas

casein dengan status gizi anak autis yaitu terdapat hubungan yang

bermakna antara pola asuh (pangan/gizi, higiens, kesehatan) dan

kepatuhan diet bebas ​gluten ​bebas ​casein, d​ engan status gizi anak

autis di Kota Pontianak.

E. Hubungan Penkes Terhadap Kepatuhan Orang Tua dalam Menentukan

Diet Bebas Gluten Bebas Kasein

S​aat ini salah satu dari yang paling umum digunakan untuk gejala autisme.

Penelitian yang dilakukan oleh ​Autism Research Institute kepada sejumlah

orang tua anak penyandang autisme menemukan bahwa 65% orang tua

melaporkan adanya kemajuan perkembangan pada anak dengan ​diet gluten

free d​ an casein free​. Kedua jenis bahan tersebut dapat menimbulkan keluhan

diare dan hiperaktifitas yang bukan hanya berupa gerakan tetapi juga emosi,

seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur.


Orang tua merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap

penerapan diet GFCF pada anak autisme karena pola makan pada anak dengan

gangguan autisme tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan

makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhannya. Penerapan

diet bebas gluten bebas kasein yang dilakukan secara tidak konsisten

dipengaruhi oleh faktor dukungan keluarga dan lingkungan sekitar termasuk

kesediaan makanan yang ada. Dan orang tua yang telah memiliki pengetahuan

mengenai ​diet gluten free ​dan casein free sangat berpengaruh dalam

penentuan diet yang baik untuk anak autis (Adams JB, 2014).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pusat Layanan Autis

Banjarmasin pada bulan Juli-September 2014 dari 31 orang responden

didapatkan hasil hubungan kepatuhan orang tua tentang diet gluten free dan

casein free dengan perilaku anak autis didapatkan hasil ada hubungan

kepatuhan orang tua tentang ​diet gluten free ​dan ​casein free dengan perilaku

anak autis. Hal itu sesuai dengan teori bahwa pada anak dengan autisme

dianjurkan untuk berdiet GFCF. Selain dapat memperbaiki gangguan

pencernaan, gluten dan kasein juga bisa mengurangi gejala atau tingkah laku

autistik. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan diet makanan, hindari

pemberian makanan yang mengandung glutein dan kasein.

Penelitian yang dilakukan oleh Karl Reichelt bahwa terdapat peptida pada

urin anak penyandang autis. Peptida adalah molekul pendek yang terbentuk

secara teratur dari asam amino dan berupa gumpalan-gumpalan protein.


Reichelt menemukan bahwa sebagian besar dari peptida yang terkandung di

dalam urin terbentuk karena mengkonsumsi gluten dan casein dalam dietnya.

Bagian yang tidak terlepas dari peptida adalah casomorphin dan

gluteomorphin, adalah zat yang mirip dengan opioid. Anak penyandang autis

yang kelebihan opioid menunjukkan gejala seperti pada orang yang kecanduan

heroin atau morfin. Reaksi opioid adalah kerusakan otak seperti halnya

narkoba yang menyebabkan otak rusak. Pada kasus autis, yang menjadi

penyebab adalah konsumsi gluten dan casein bukan heroin atau morphin

(Kessick R, 2011).
F. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Niven (2013), Notoatmodjo (2010), Maulana (2008), Winarno (2013)

G. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

pernyataan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru

didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang

merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan (Sugiyono,

2010).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “Ada perbedaan kepatuhan

orangtua dalam menentukan diet pada anak autis sebelum dan sesudah
diberikan penkes tentang diet bebas gluten dan bebas kasein di Balai

Pengembangan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Semarang.”

Anda mungkin juga menyukai