Anda di halaman 1dari 25

POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN

Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas
antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum
positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan
agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin,
hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas
dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command),
yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah
dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa
yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah
laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang
memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
John Austin membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang dibuat oleh
Tuhan untuk manusia (law set by God to men= law of God). Dan Hukum yang
dibuat oleh manusia (law set by men to men=human law). Hukum yang dibuat oleh
manusia untuk manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum yang tepat
disebut hukum (law properly so colled=positive law) adalah hukum yang dibuat
oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang
secara politis ada dibawah kekuasaannya, contohnya undang-undang. Selanjutnya
hukum yang tidak tepat disebut hukum (law improperly so colled) adalah aturan-
aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, baik secara langsung maupun tidak
langsung, contohnya : ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-
perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kesusilaan,
ketentuan-ketentuan hukum Internasional.
Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu
tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan
sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk
positifnya suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum
hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum hanya ada
dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu
pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-
wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka
harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut
hukum (hukum positip) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command
(perintah),Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan
Sovereignty (kedaulatan)
Hukum positip semacam “perintah” (command), karena perintah, maka
mesti berasal dari satu sumber tertentu. Bila suatu perintah dikeluarkan atau
diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir
ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan
kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap
hukum positip dibuat oleh seseorang / badan yang berdaulat yang memegang
(suvereign).
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi
bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan)
akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam
masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari
konsepnya yang semula metafisik (hukum sbg ius atau asas-asas keadilan yang
abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege atau aturan
perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.

GUSTAV RADBRUCH

(Gustav Radbruch) ke dalam ranah pencarian makna yang sesungguhnya tanpa mencari makna
baru…. melainkan menggali makna yang sudah lama terbenam dan ditutup oleh hingarbingar
otoritas “budaya massa”- yang kemudian diamini begitu saja…… mendekonstruksi, itulah
alternatifnya…. mendekonstruksi nilai dasar hukum……. dekonstruksi ala DERRIDA “sang
postmodernis”……
Derrida memahami bahwa teks itu tidak berdiri secara independen, melainkan ia ibarat tenunan
atau rajutan kain yang terikat antara satu dengan lainnya. Maka pemahaman bukanlah melalui
hubungan intersubjektivitas seperti yang dikemukakan oleh Husserl, melainkan sifatnya bahasa
yang dapat dipahami dengan menggunakan perspektif intertekstualitas. Teks itu terdiri dari
jaringan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kita tidak bisa menemukan makna teks
tanpa mengkorelasikan dengan beragam teks lain (oleh Awaludin Marwan – Teori Hukum
Kontemporer)….
Mendekonstruksi nilai dasar hukum bukanlah suatu pekerjaan gampangan….. dibutuhkan waktu
berkontemplasi masuk dalam relung-relung kejiwaan dan hati nurani untuk benar-benar
menemukan makna yang terkandung di dalam teks yang hendak didekonstruksi….. kembali
kepada 3 (tiga) nilai dasar hukum yang hendak didekonstruksi yaitu KEPASTIAN HUKUM,
KEMANFAATAN, dan KEADILAN….. ketiga hal ini telah mewarnai keberadaan “eksistensi”
hukum dewasa ini….
Pertama, KEPASTIAN HUKUM… kepastian hukum merupakan prinsip yang sangat populer
di kalangan profesional (hakim, jaksa, polisi) bahkan dikalangan dosen (akademisi) – seolah-
olah telah menjadi darah-sumber tenaga dalam keberlangsungan penegakan hukum di negeri
tercinta ini….. kepastian hukum bak kata-kata ampuh bagi para polisi untuk menegakkan
undang-undang, bagi jaksa untuk menuntut dan bagi hakim untuk memutuskan suatu
perkara…… kepastian hukum telah menjadi harga mati dalam berhukum, tiada lain selain
kepastian hukum….. ada apa dengan kepastian hukum? kepastian hukum itu adalah kepastian
undang-undang (peraturan)…. segala macam cara, metode dan lain sebagainya musti
berdasarkan undang-undang
(peraturan)….. kadangkala (untuk tidak mengatakan sering) kepastian hukum sering
meninggalkan manusia dan kemanusiaan….. demi kepastian hukum, seorang anak yang mencuri
sendal musti mengikuti proses peradilan yang bertele-tele, seorang suami musti mengemban
tanggung jawab seorang aparat yang melindas tubuh istrinya di jalan raya, demi kepastian hukum
– sekalipun telah diketahui bukanlah Sengkon dan Karta pelaku pembunuhan namun, mereka
musti menjalani proses persidangan bahkan hingga mereka dipidana….. sangat melukai nurani
yang tak bergeming ini….. nurani yang makin hari semakin meronta untuk keluar dan menantang
si “beton” tangguh itu…..
Kepastian hukum telah menghilangkan rasa “kemanusiaan” kita…. seolah-olah rasa
kemanusiaan itu bisa terjawab dalam setiap lembaran undang-undang/peraturan…… kepastian
hukum telah membungkam kemanusiaan….. namun, semuanya belumlah terlambat…. jauh-jauh
hari Derrida menawarkan dekonstruksi untuk penggalian makna yang terbenam di dalam teks….
menggali makna sejati dari kepastian hukum….. hukum adalah untuk manusia dan kemanusiaan
– bukan sebaliknya (Prof. Tjip)…. oleh sebab itu pemaknaan terhadap kepastian hukum juga
tidak boleh meninggalkan basisnya, yaitu manusia…. kepastian hukum berarti kepastian kepada
manusia menuju pada kepastian kemanusiaan…. kepastian yang menghantarkan manusia pada
kebahagiaan…. sebagai mana Prof. Tjip pernah mengemukakan bahwa “Hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang adil dan sejahtera dan
membuat manusia bahagia”….. seperti itulah hendaknya hukum dimaknai….. penggalian
terhadap makna kepastian hukum mustinya membuahkan hasil bagi manusia dan
kemanusiaan……. lebih dari itu pemaknaan terhadap kepastian hukum hendaknya juga tidak
dimaknai sebagai pencekalan terhadap undang-undang/peraturan…. tentunya hal ini senada
dengan kata-kata Prof. Tjip. Bahwa “kita belum di surga, kita masih di dunia, kita masih butuh
undang-undang, peraturan…. undang-undang tetap harus ada namun jangan sampai kemudian
manusia terbelenggu oleh undang-undang/peraturan yang ia buat sendiri”….. marilah
menggunakan teks “kepastian hukum” tidak untuk mengakali hukum untuk menjerumuskan
manusia, melainkan sebaliknya menggunakan hukum sebaik mungkin untuk memberikan yang
terbaik bagi manusia dan kemanusiaan……
Kedua, KEMANFAATAN…. sejalan dengan kepastian hukum di atas, jika kita
menempatkannya pada pemahaman kepastian hukum untuk manusia dan kemanusiaan, maka
kemanfaatan akan beriringan menghampiri manusia dan kemanusiaan…. namun, kadangkala
kemanfaatan ini sering di arahkan kepada kemanfaatan untuk diri sendiri, kelompok, bahkan
meninggalkan masyarakatnya….. sehingga kemanfaatan juga tidak luput dari kupasan
dekonstruksi….. yang perlu di dekonstruksi adalah pemahaman kemanfaatan yang sebatas pada
pribadi atau golongan
semata tanpa menghiraukan kelompok masyarakat yang lebih luas….. memperalat hukum atas
nama kemanfaatan dengan semena-mena menaikkan harga BBM, semena-mena plesiran ke luar
negeri, semena-mena membeli pesawat kepresidenan tentunya dengan alasan yang “khas” yaitu
prinsip kemanfaatan….. prinsip kemanfaatan telah dileburkan dalam kedok-kedok hukum….
skema-skema/skeleton-skeleton sengaja dibuat seolah-oleh tidak bertentangan dengan
kemanusiaan dan memperalat hukum untuk melegalkan segala tindakan yang “abnormal” itu…..
kemanfaatan yang tidak berpijak pada kemanusiaan tapi berpijak pada akal busuk….. teks ini
musti didekonstruksi, pemaknaan terhadapnya musti digali, ditenun dan dirajut kembali untuk
menghantarkan pada hasrat untuk memberikan yang terbaik bagi manusia dan kemanusiaan…..
kemanfaatan hendaknya kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat bagi semua kalangan….
paradoks memang, tetapi setidaknya menghilangkan maksud dan kepentingan pribadi dalam
kerangkan perwujudan kemanfaatan….. kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat……
kemanfaatan yang tidak memperalat hukum untuk tujuan pelanggengan kekuasaan tetapi
kemanfaatan yang menciptakan suasana kebersamaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan……
Ketiga, KEADILAN…. sesuatu barang yang mahal dan teramat mahal…. sulit dicapai walau
mudah nan gampang untuk diucapkan….. seolah dalam membicarakan hukum, keadilan tidak
pernah ditinggalkan…. hukum dan keadilan adalah 2 in 1…. pemahaman yang keliru….
pemahaman yang terlalu memberikan beban berat bagi hukum…. pemahaman yang memperalat
hukum dengan modus-modus tertentu…. tanpa menghiraukan bahwa keadilan itu sifatnya sangat
individual, subjektif dan tak terukur…. memaksakan keadilan seorang hakim kepada pelaku,
korban dan lainnya adalah sikap yang musti didekonstruksi….. sikap yang gampang
menguniversalkan segala sesuatu…. sikap yang beriringan dengan paksaan, intervensi dan
kekerasan…..” hukum tok”
tidaklah identik dengan keadilan, karena banyak faktor di luar sana yang bisa menjadi teman
bermain bagi hukum untuk menciptakan atau setidaknya mendekati keadilan, seperti
kebudayaan, ekonomi, politik, pluralisme dan lainnya…… tidaklah hukum sendiri mampu
mendekati keadilan karena dari sononya hukum telah diperalat untuk menciptakan sekalian
keadilan yang memang tak adil….. keadilan adalah ketika kita tidak tertekan, ketika kita tidak
terhina, ketika kita tidak dipaksa, ketika kita bebas untuk menentukan pilihan hidup kita tanpa
mereduksi/melukai manusia dan kemanusiaan…. berkali-kali bahwa keadilan semestinya tidak
menjadi patokan untuk mengarahkan hukum membunuh rasa kemanusiaan…… hidup bersama,
dengan damai, indah, dan berbahagia itulah keadilan….. masih jauh untuk menggapai namun
itulah hidup “proses untuk menjadi”…………
Gustav Radbruch sejak mencetuskan tiga nilai dasar hukum di atas telah mengingatkan bahwa
ketiganya pasti akan menemui jalan kebuntuan masing-masing, saling hantam-menghantam,
saling senggol menyenggol….. dan itulah kenyatannya hingga hari ini….. terlambat? tidak….
semuanya bisa dirajut kembali, bisa ditenun kembali bersamaan dengan dekonstruksinya
Derrida, kita diajak, kita dibangunkan dan kita ditegur untuk melek, untuk bangun dan untuk
terus berada dalam jalur kebenaran….. kebenaran dalam menjalankan hukum….. hukum yang
bermartabat…. hukum yang berbicara tentang manusia bukan hukum yang berbicara hukum…..
hukum yang benar-benar untuk manusia….. hukum yang memanusiakan manusia…. itulah
sejatinya hukum…. dan selamat mencoba……

Hans Kalsen
SEKILAS TENTANG HANS KELSEN
Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum
terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881.
Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan
gelar doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal
abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh
ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi
yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya,
Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-
bentuk reduksi atas hukum.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya,
dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam
bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat
hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam
dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of
International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum
internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi,
spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

B. AJARAN HANS KELSEN


Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi
politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain,
dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk
kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas
hukum.Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri
sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat
bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi.
Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi
yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas
permasalahan metodologi saja.
Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum lain yang telah
memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada konsepsi Immanuel Kant,
yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai Sollen, dan pengertian hukum sebagai
Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut sebagai Neo Kantiaan.
Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis, dan ingin
memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud untuk memperoleh Ilmu
pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi hukum yang diartikan sebagai
perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap mazhab-mazhab lain.
Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi menentukan
peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus dilakukan orang.
Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu : sifat keharusan
untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu
pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan semua
isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre) Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib
hukum menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan atau
lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum. Dinamakan tertib
hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak. Dinamakan negara, apabila objek
diselidiki adalah badab-badan atau lembaga-lembaga yang melaksanakan hukum, Setiap perbuatan
hukum harus dapat dikembalikan pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan
manusia tertentu itu.
Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari hypotese atau
grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh masyarakat harus ditaati.
Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :
1. Tingkatan Norma-norma.
2. Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang logis dengan norma yang
lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama. Hyphothese yang pertama bersifat
abstrak - Konkrit.Abstrak Konkrit Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan norma-
norma yang disusun secara hierachis disebut : Stufenbau teori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asas-
asas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan obyek
yang bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi obyek studi adalah
hukum positif. Hans Kelsen (General Theory of Law and State), mengatakan bahwa grundnorm nya
adalah suatu sains, dan dia menyatakan dirinya sibagai positivist, padahal dengan cara dia menerangkan
tentang grundnorm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat. Kelsen memulai teorinya dengan Ground
Norm atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan,
keseimbangan, perlindungan. Semua itu merupakan konteks filsafat.

C. HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA


Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume
yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume
bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga,
Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa
direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan
dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan
sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat
“seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan
pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang
lebih tinggi ini pun, dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita
berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih
dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat. Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut
sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan Grund Norm pada dasarnya tidak berubah-
rubah. Grundnorm disebut juga sebagai “cita hukum”, seperti cita hukum bangsa Indonesia yaitu,
Pancasila yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk mengatakan bahwa hukum sebagai suatu
sistem norma, maka Hans Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah
secara logis, sedangkan sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau
bersifat tanceden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannnya bersifat meta-yuridis.
Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka Hans Kelsen mengatakan bahwa Basic Norm`s as
the source of validity and as the source of unity of legal system. Melalui Grundnorm inilah semua
peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga
merupakan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, sehingga ia
merupakan “bensin” yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Di samping itu Grundnorm,
menyebabkan terjadinya keterhubungan internal dari adanya sistem. Sedangkan terminologi “norma” itu
sendiri, oleh Hans Kelsen, diartikan sebagai the expression of the idea...that a individual ought to behave
in a certain way. Fungsi norma adalah commando, permissions, authorizations and derogating norms.
Hukum positip hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dan dalam rangka untuk menyampaikan
norma-norma hukum. Hans Kelsen mengatakan...every law is norm.... Perwujudan norma nampak
sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari norma positip tertinggi hingga
perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen ini, membentuk
bangunan berjenjang tersebut disebut juga stufen theory. Norma-norma yang terkandung dalam hukum
positif harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm. Oleh
karena itu, dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi, agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem
tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces) secara
minimum Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila;
1. Ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma
2. Perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.
sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain dengan silogisme,
norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya
dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan
memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud
sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kelsen juga
tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan
kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang
yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan
perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu
perspektif normatif. Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus
melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah
komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
C. NILAI NORMATIF HUKUM
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama,
sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak
ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa
untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas
ketidakpatuhannya tersebut. Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya.
Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu
secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga
bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah
revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume
atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh
seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem
normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya
rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk
memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak
berdasar.

Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi
ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah
gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin
terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman.
Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial.
Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen
penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk
melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat
manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau
lingkungan fisikal.
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban
masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-
kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme control sosial, merupakan fungsi utama
dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan
teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan
bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan,
moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang
menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Pound mengatakan bahwa hokum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah
hokum kodrati yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu,
“naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh
masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai.
Ia mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah
sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan.
Sehubungan dengan itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tadi ke dalam sebuah
definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial: Hukum
adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan
ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.
Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk
melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal
atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian
hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan
manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya
ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa
sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan itu,
dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan
aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak
positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati
berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan.
Pound mengatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumver dari fakta
mengenai kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem
hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian dari
kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan kepentingan,
melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk berbagai
kepentingan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengembangan peradaban. Pound
mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan
individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan melalui
dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.
Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada
kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah
alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat). Untuk dapat memenuhi peranannya
Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
1. Kepentingan Umum (Public Interest)
a. Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
b. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
a. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
b. Perlindungan lembaga-lembaga sosial
c. Pencegahan kemerosotan akhlak
d. Pencegahan pelanggaran hak
e. Kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Interest)
Kepentingan individu
Kepentingan keluarga
Kepentingan hak milik.
Menurut Roscoe Pound untuk membantu para mahasiswa yang belajar Ilmu Hukum perlu
kiranya dikemukakan tentang Disiplin ilmu Hukum.
Ilmu hukum termasuk kedalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang khusus mempelajari
mengenai tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan kaidah-kaidah hidupnya terutama
yang berlaku pada masa kini (hukum positif).
Kemudian hal-hal yang termasuk ke dalam ilmu hukum itu adalah :
1. Ilmu Kaidah
2. Ilmu Pengertian
3. Ilmu Kenyataan.
Sedangkan kaidah hukum menurut Pound terdiri dari tiga macam yaitu :
1. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan
2. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan
3. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan kebolehan.
KONSEP HUKUM ROSCOE POUND
TENTANG LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING

Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum
diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang
merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja
kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja[1], konsepsi
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang
lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih
menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya
istilah “tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung
menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi
di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop[2] dan
policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana
pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya,
seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-
undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan
perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana
mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi
inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat[3]. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya
ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan.
Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti
merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan penggunaan
koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya[4].
Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan
pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini
melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial[5], mempengaruhi masyarakat dengan
sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau
sebagai alat rekayasa sosial.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan
untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya[6]. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa
yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum
tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif[7]. Gejala-gejala semacam itu akan
timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-
golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu
kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan
sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang
dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada
pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum
juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada,
membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat
untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu
penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan
baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang
menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrument[8] yaitu law as a tool social
engineering.
Penggunaan secara sadar tadi yaitu[9] penggunaan hukum sebagai sarana mengubah
masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social
engineering by the law. Dan langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat
sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan
seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut.
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social engineering
itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti
tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang
dipilih.
3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
KONSEP HUKUM ROSCOE POUND
TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence
yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi
hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak
sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan
kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum[10].

Fungsi Utama Hukum


Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu public
interest; individual interest; dan interest of personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut
bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat.
Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan-kepentingan
tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi
sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik)[11].

Tugas Utama Hukum


Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering, Roscoe
Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus
ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang
pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki[12].
Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para
penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar logika,
sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Keputusan
hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat. Tugas
utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam pembangunan.

Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence


Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau
penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami
sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus
mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak
lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa
berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi
juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan
aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan
hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).

Teori Hukum Menurut Roscoe Pound


“Law is a tool of social engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound
terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum
adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di
dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli
hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum[13].
Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi/atas dikarenakan negara mempunyai
kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus melindungi kepentingan negara
kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh
teori-teori positivis menghukum bahwa hukum memiliki sifat tertutup. Hukum sangat
dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan
pemerintan. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat
mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi
pertumbuhan hukum di dalam masyarakat[14].
Fungsi Utama Hukum
Salah satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan
hukum yang dapat menjelmakan fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi
menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan,
fungsi kesejahteraan dan lain-lain. Pada saat ini, perbedaan-perbedaan fungsi hukum tersebut,
sering kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan
hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-
lain. Kalau masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang
timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik
yang berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh, dan lain-lain. Fungsi utama hukum
adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang dibahas pada
topik sebelumnya dalam konteks kepentingan menurut Roscoe Pound. Rincian dari tiap-tiap
kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat.Apabila
susunan kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah,
maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik
(manifesto politik).

KONSEP ROSCOE POUND


TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM INDONESIA

Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini. Bagaimanapun juga
keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya, diperjuangkan oleh setiap orang dengan
gigihnya, dinantikan oleh orang dengan penuh kepercayaan tetapi perkataan keadilan
mempunyai lebih dari satu arti. Di dalam etika, keadilan dapat dianggap sebagai budi pekerti
perseorangan atau sebagai suatu keadaan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau
tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak. Di dalam ilmu ekonomi dan ilmu politik
berbicara tentang keadilan sosial sebagai suatu sistem yang menjamin kepentingan-kepentingan
atau kehendak manusia yang selaras dengan cita-cita kemasyarakatan. Di dalam hukum berbicara
tentang pelaksanaan keadilan tersebut yang berarti mengatur hubungan-hubungan dan
menerbitkan kelakuan manusia di dalam dan melalui aturan-aturan tentang tingkah laku.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri bangsa ini dengan
dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial, artinya hukum dan segala wujud
nilai-nilai yang kemudian diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan tidak
boleh menyimpang, baik secara nyata maupun tersamar dari prinsip-prinsip demokrasi maupun
keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru seyogyanya menjadi dasar
pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam negara hukum maka
negara berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warga negara dari
pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga negara sehingga
warga negara yang ada dapat hidup secara damai dan sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah sutu kondisi yang
dianggap kurang baik tau bahkan buruk ke kondisi atau keadaan yang baik. Pembnagunan yang
ada dilaksanakan tentu saja dengan berpijak pada hukum yang jelas, dapat
dipertanggungjawabkan, terarah, serta proposional dalam hal fisik maupun non fisik.
Pada dasarnya, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh
perubahan dan pembangunan. Oleh karena itu, bagaimanapun pembangunan diartikan atau
dimaknai serta apapun ukuran yang digunakan oleh masayarakat dalam pembangunan pasti
didasarkan atas tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dengan menjamin bahwa pembangunan
yang ada berjalan secara damai dan teratur.
Istilah pembaharuan hukum pada dasarnya mengandung makna yang luas, menurut
Friedman, sistem hukum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) struktur kelembagaan hukum,
yang terdiri dari sistem dan mekanisme kelembagaan yang menopang pembentukan dan
penyelenggaraan hukum di Indonesia, termasuk di antaranya adalah lembaga-lembaga peradilan,
aparatur penyelenggara hukum, mekanisme-mekanisme penyelenggaraan hukum, dan sistem
pengawasan pelaksanaan hukum. (2) materi hukum, yaitu meliputi kaedah-kaedah yang telah
dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan tertulis maupun yang tidak tertulis yang
hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta bersifat
mengikat bagi semua lapisan masyarakat dan (3) budaya hukum. Ketiga unsur penopang sistem
hukum tersebut saling berkaitan dalam rangka bekerja menggerakkan roda hukum suatu negara
(Friedman, 1990:5-6).
Dalam prosesnya, ternyata pembangunan membawa konsekuensi terjadinya perubahan di
beberapa aspek sosial termasuk pranata hukum. Artinya perubahan yang dilakukan dalam
perjalannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan tersebut
memiliki arti positif dalam rangka menciptakan sistem hukum baru yang sesuai dengan kondisi
nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Pada dasarnya pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombaka struktur hukum
lama yang merupakan warisan kolonial dan dianggap eksploitatif dan diskriminatif sedangkan
dilain pihak pembangunan sistem hukum dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi tuntutan
perkembangan masyarakat yang sangat kompleks serta cenderung untuk berubah kapan saja.
Hukum diakui memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam memacu
percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi
tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga jangka menengah serta jangka panjang
walaupun disadari setiap saat hukum dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pada negara berkembang seperti Indonesia pembangunan hukum menjadi prioritas utama,
terlebih lagi jika negara yang dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan
bangsa lain. Oleh karena itu pembangunan hukum di negara berkembang senantiasa
mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, sebagai upaya untuk melepaskan diri sendiri dari
lingkaran struktur kolonial. Upaya tersebut terdiri dari penghapusan, penggantian dan
penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional.
Kedua, pembangunan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama
pembangunan dalam bidang ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar
ketertinggalan dari negara maju, dan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
TEORI KEADILAN JOHN RAWLS

Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:


1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk
kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun
kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan
dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan
berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang
sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus
diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity principle harus
diprioritaskan dari pada differences principle.
Dariman tiga prinsip tersebut dilahirkan? Untuk memahami hal tesebut, kita dapat mulai dari
gambar dibawah ini.

Pembahasan dibawah ini, akan mengacu kepada penomoran yang terdapat pada gambar di atas.
Poin 1.
Keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness) Masyarakat adalah kumpulan individu yang di
satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu –
tetapi disisi yang lain – masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda
yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rows mencoba
memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan
yang berbeda disatupihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan
bersama?
Poin 2
Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorance)
 Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya

sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan
adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.
 Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui
konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.
Poin 3
Posisi Original (Original Position)
 Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat
 Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
 Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara

seimbang.
“Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri
Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna mengatur
struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Poin 4
Prinsip Kebebasan yang Sama (equal liberty principle)
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan
kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai
kebebasan dasar yang sama”
Dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:
 kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
 kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
 kebebasan personal (liberty of conscience and though).
 kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
 Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Poin 5
Prinsip Ketidaksamaan (inequality principle)
 Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur

sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat


yang paling tidak diuntungkan.
 Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-
posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan
kesempatan yang adil.
Jadi sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty principle dan inequality
principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference
principle dan Equal opportunity principle, yang akhirnya berjunlah menjadi 3 (tiga) prisip,
dimana ketiganya dibangun dari kotrusi pemikiran Original Position.

PROF.MR.DR.L.J.VAN APELDOORN
Prof.van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”
mengatakan,bahwa tujuan hokum ialah mengatur pergaulan manusia secara damai.Hukum
menghendaki perdamaian. Perdamaian diantar manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan hukummanusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta benda pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan
kepentingan golongan-golongan manusia.Pertentangan kepentingan ini dapat menjadikan
pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan,seandainya hukum tidak bertindak
sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian.Adapun hokum mempertahankan
perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan
keseimbangan diantaranya,karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju persatuan
yang adil;artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan anata kepentingan-kepentingan
yang dilindungi,pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi
bagiannya.Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.Keadilan bukan berarti
bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Dalam tulisannya “Rhetorica,” Aristoteles membedakan dua macam keadilan,yaitu keadilan
keadilan “distributif” dan keadilan “komulatif”. Keadilan distributif ialah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-
masing).Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;bukan
persamaan melainkan kesebandingan. Contoh UUD-1945 pasal 27 ayat 2 : (“Tiap-tiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”), maka ini
belum berarti setiap warga Negara mempunyai pekerjaan yang sama karena sesuai dengan
keahliannya masing masing. Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap
orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan.Ia memegang peranan
dalam tukar menukar;pada pertukaran barang dan jasa dalam mana sebanyak mungkin harus
terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai
hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.

Profesor Satjipto Rahardjo


Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa
hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.
“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-
cita” (Profesor Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis
dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu
dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan
hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses
perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif
dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang
ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus
menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk
rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa
pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial
yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal.
Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari”
sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini
adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya
sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif :
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka
terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang
mendasari penegakan hukum progresif.
2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan
serta teoritisi hukum Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai