Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

KERATOGLOBUS

Oleh:
Yuliana Putri Lestari, S. Ked.
K1A1 12 101

Pembimbing :
dr. Stella Lengkong, Sp. M.

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KERATOGLOBUS
Yuliana Putri Lestari, Stella Lengkong

A. PENDAHULUAN
Keratoglobus adalah penyakit noninflamasi akibat gangguan penipisan
kornea ditandai dengan penipisan menyeluruh dan tonjolan globular dari
kornea. Pertama kali dijelaskan oleh Verrey pada tahun 1947. Merupakan
penyakit kongenital dan mungkin terkait dengan berbagai sindrom okular dan
sistemik lainnya termasuk gangguan jaringan ikat.1 Pasien dengan kondisi ini
mengalami gangguan penglihatan berat karena miopia ekstrim, astigmatisme,
skar kornea dan kadang-kadang ruptur kornea.2
Keratoglobus terutama dianggap sebagai kelainan kongenital. Namun,
dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada laporan tentang bentuk
keratoglobus yang didapat. Keratoglobus kongenital selalu terjadi bilateral.
Gangguan genetika dan pola pewarisan dari gangguan tersebut belum diteliti
secara detail namun diasumsikan sebagai autosomal resesif.1
Keratoglobus adalah kasus ectasia kornea yang jarang terjadi, tampak
pada saat lahir dan jauh lebih jarang dibandingkan keratoconus dan pellucid
marginal degeneration. Keratoglobus didapat bisa merupakan hasil akhir dari
keratoconus. 3,4,5
Hingga saat ini terapi keratoglobus masih menjadi tantangan.
Diakibatkan kasusnya yang langka hingga kini tidak ada prosedur bedah
standar dalam tatalaksana keratoglobus. Setiap Prosedur memiliki kelebihan
dan kerugian masing-masing, dan pilihan prosedur akan bergantung pada
pilihan ahli bedah dan kemampuan teknis. Terapi konservatif adalah koreksi
refraktif untuk myopia, dan astigmatisme. Penggunaan lensa kontak dan lensa
scleral yang lebih baru telah dijelaskan, tetapi masih menjadi bahan
perdebatan karena risiko perforasi. Yang sangat penting bagi pasien adalah
konseling untuk penggunaan pelindung mata, dan menghindari kontak
olahraga karena risiko perforasi yang tinggi. Namun, pada anak-anak,

2
penggunaan kacamata pelindung sulit membuat mereka rentan terhadap
cedera.1
B. DEFINISI
Keratoglobus adalah gangguan noninflamasi ektasia kornea ditandai
dengan penipisan dari limbus ke limbus mengakibatkan tonjolan globular
kornea. Keratoglobus didapat telah dijelaskan berhubungan dengan vernal
keratoconjunctivitis (VKC), blepharitis marginal kronis, ophthalmopathy
dysthyroid, sindrom Ehlers – Danlos dan Sindrom Marfan. Keratoglobus
kongenital dideskripsikan berhubungan dengan sindrom Leber's amaurosis
dan blue sclera.6
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5
lapisan. lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement
dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea.
Kornea juga merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar +
43 dioptri. Jika terjadi oedem kornea akan bertindak sebagai prisma yang
dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.7
a. Lapisan epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan
menjadi lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan
barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel
berasal dari ektoderm permukaan.7

3
b. Membran bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 7
c. Jaringan stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur,
sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast
yang terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk
bahan dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.7
d. Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.7
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula
okluden.7

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari


saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
bowman melepaskan selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi
dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan deturgensinya.7

4
Gambar 1. Anatomi Kornea
D. EPIDEMIOLOGI
Keratoglobus adalah kasus ectasia kornea yang jarang terjadi, tampak
pada saat lahir dan jauh lebih jarang dibandingkan keratoconus dan pellucid
marginal degeneration.3 Setidaknya dua bentuk keratoglobus: bentuk
kongenital atau juvenil dan bentuk dewasa yang didapat. Bentuk yang didapat
(acquired) mungkin merupakan bentuk tahap akhir dari pasien keratoconus
dengan keratoconus awal diikuti oleh keratoglobus kemudian atau
keratoglobus yang didapat dapat terlihat tanpa keratoconus sebelumnya.4,5

5
E. ETIOLOGI DAN PAOFISIOLOGI
Keratoglobus terutama dianggap sebagai kelainan kongenital yang
tampak sejak lahir.Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada laporan
tentang bentuk keratoglobus yang didapat. Keratoglobus kongenital ini selalu
bilateral. Genetika pasti dari gangguan tersebut belum diteliti secara detail,
diasumsikan sebagai autosomal resesif dan juga dikaitkan dengan gangguan
jaringan ikat seperti Ehlers – Danlos syndrome, sindrom Marfan,dan sindrom
Rubinstein – Taybi. Awalnya, ada laporan keratoglobus dihubungkan dengan
‘blue sclerae’. Blue sclerae ini sebenarnya dianggap manifestasi dari sindrom
yang disebutkan di atas, termasuk osteogenesis imperfecta.Blue sclerae
disebabkan oleh menipis dan lebih transparannya sclera, maksimal pada ciliary
body. Syndrome Ehlers – Danlos tipe VI, berbeda untuk manifestasi okularnya.
Ini termasuk kelainan kornea dari kornea plana, keratoconus dan keratoglobus,
blue sclerae, dan ocular fragility. Tipe sistemik lainnya seperti hipermobile
joint, kelainan skelet seperti skoliosis, pektus excavatum, habitus marfanoid,
dan gangguan pendengaran.1
Bentuk keratoglobus yang didapat dihubungkan dengan
keratokonjungtivitis vernal,blepharitis marginal kronis, idiopatik orbital
inflammation, dan dysthyroid eye disease. Dalam kasus ectasia kornea ini
keratokonjungtivitis vernal dan blepharitis marginal kronis, mungkin
berhubungan dengan seringnya eye-rubbing. Ini telah dipikirkan oleh beberapa
penulis menjadi faktor dalam pengembangan keratoconus, meskipun
mekanisme yang tepat belum terbukti. Dalam laporan, keratoglobus terkait
dengan tiroid ophthalmopathy,penyakit inflamasi orbital, sifilis, kasus pasca-
trauma dan distrofi polimorfior posterior.1,8 Patologi keratoglobus didapat
mirip dengan keratoconus sedangkan keratoglobus kongenital menunjukkan
tidak adanya membran Bowman, disorganisasi stroma, dan penebalan
membran Desment.5

6
F. TANDA DAN GEJALA
Keratoglobus adalah gangguan ectasia kornea bilateral, terutama
ditandai oleh tonjolan globular kornea terkait dengan penipisan difus dari
limbus ke limbus. Penipisannya umumnya maksimal dibagian perifer dan
mungkin seperlima ketebalan kornea normal. Miopia dengan astigmatisme
irreguler sebagai akibat dari penipisan dan tonjolan kornea, yang merupakan
penyebab utama penglihatan yang buruk pada pasien ini, dan sulit untuk obati
dengan koreksi refraktif. Selain penglihatan yang buruk umumnya tidak
bergejala. Namun, karena penipisan ekstrim dan kerapuhan kornea, banyak
kasus awalnya mungkin hadir dengan perforasi kornea, baik spontan atau
mengikuti trauma minimal. Pada kasus seperti itu, diagnosis keratoglobus
harus dipikirkan. Spontaneous tears di membran descemet dapat terjadi
mengakibatkan nyeri akut, tearing, fotofobia, dan hidrops akut kornea yang
menyebabkan penglihatan berkurang mendadak.1

Gambar 2. Foto slit-lamp dari pasien dengan bilateral keratoglobus (a)


menunjukkan penipisan (maksimum di perifer) dan bulging kornea, (b) setelah
‘tuck-in’ lamelar keratoplasty (TILK).1

Gambar 3. Tampilan luar pasien dengan keratoglobus8

7
Gambar 4. Keratoglobus (A) kontur globular yang khas dari keratoglobus
(B) penipisan yang menyeluruh dengan penipisan terbesar didaerah
perifer.9

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Seringkali penderita bebas gejala. Awalnya penderita mengeluh
berkurangnya ketajaman visual, photopobia, nyeri, tearing dan penglihatan
turun mendadak akibat hidrops akut kornea. Keratoglobus congenital
didapatkan sejak lahir.1
2. Pemeriksaan Visus dan Refraksi
Didapatkan kelainan refraksi erupa myopia dan astigmatisme ireguler
yang sulit dikoreksi dengan kaca mata.1
3. Pemeriksaan Slit Lamp
Pemeriksaan slit-lamp menunjukkan gambaran khas keratoglobus
bilateral dan simetris dari limbus ke limbus pada penipisan kornea limbus.
Tanda khas, kornea paling rapuh dibagian mid-inferior perifer kornea.
Kornea jernih, bebas dari deposit lipid dan tidak mengalami
neovaskularisasi. Diameter horisontal kornea normal pada 12mm di kedua
mata. 10

8
Gambar 5. Penipisan sentral dan perifer dari kornea jernih dengan
ektasia pada pemeriksaan slit-lamp (mata kiri). Perhatikan ketidakteraturan
yang ditandai dengan refleks lampu penerangan pada kornea temporal.10

Pemeriksaan slit lamp pada kasus keratoglobus dengan blue sclera


mengungkapkan bahwa kedua kornea berbentuk bulat dengan penipisan
kornea perifer. Struktur segmen anterior normal. Tekanan intraokuler dalam
batas normal.11
4. Pakimetri
Pakimetri kornea mengukur ketebalan kornea. Ketebalan kornea
bervariasi dari sentral ke perifer. Bagian sentral dari kornea normal adalah
antara ketebalan 520 µm dan 560 µm. Zona perifer memiliki ketebalan
antara 630 µm dan 670 µm. Kornea superior, di semua zona, lebih tebal
daripada yang inferior. Ketebalan kornea sentral (CCT) dapat diukur dengan
ultrasonografi pachymeter, laser interferometer atau dengan tomografi
koherensi optik. Ketebalan kornea sentral meningkat pada edema kornea
akut atau kronik yang disebabkan oleh kondisi traumatik, inflamasi dan
distrofik. Ketebalan kornea dapat mengubah pengukuran tekanan intraocular
(TIO) dengan tonometer applanasi. pasien dengan peningkatan ketebalan
kornea sentral (> 600 µm) mencatat TIO tinggi artifisial sementara mereka
dengan penurunan ketebalan sentral kornea (<500 µm) mencatat TIO
rendah.12

9
5. Topografi Kornea
Topografi kornea adalah videokeratografi komputasi di mana gambar
dari disk placido pada permukaan anterior kornea ditangkap oleh kamera
video dan dianalisis oleh perangkat lunak komputer dan disajikan dalam
bentuk peta warna-kode. Peta-peta ini menunjukkan variasi dalam plot
distribusi listrik, yang membantu dalam perhitungan daya dan lokasi
meridian yang paling curam dan rata-rata dari kornea. berbagai jenis warna
digunakan untuk menunjukkan kekuatan lekukan yang berbeda; hijau
mewakili hampir normal, biru menunjukkan curam datar dan merah. Peta
berkode warna menyediakan metode visual cepat untuk diagnosis klinis
tetapi gagal memberikan nilai numerik yang diperlukan untuk manajemen.
Orbscan II adalah tehnologi yang ditingkatkan yang menggabungkan celah
pemindaian dengan teknik plasido disk. Ia memberikan detail nformasi
mengenai kelengkungan dan elevasi permukaan anterior dan posterior
kornea, ketebalan global, dan kedalaman ruang anterior. itu berharga dalam
diagnosis keratoconus dan kontak lensa yang diinduksi oleh perubahan
kornea.
Dalam metode plasido disk, perubahan kelengkungan kornea
dikuantifikasi dengan menetapkan nilai diopterik ke permukaan lengkung
antara cincin yang berdekatan. Topografi untuk kornea yang normal dapat
menunjukkan pola busur-dasi yang bulat, oval, simetri atau asimetris.
Kornea sentral lebih akurat dipetakan daripada perifer.
Topografi kornea dapat memperkuat data yang diperoleh dari refraksi
pasien, keratometry dan pemeriksaan slit-lamp dan sangat berguna dalam
mendeteksi patologi kornea seperti keratokonus awal, pellucid marginal
degeneration, keratoglobus, dan distrofi kornea. Itu membantu dalam
pemasangan lensa kontak dan perhitungan kekuatan lensa intraokular (IOL)
untuk implantasi. Topografi kornea penting dalam evaluasi pra operasi
untuk pasien bedah refraktif. 12

10
Gambar 6. Plasido disk.12

Gambar 7. Topografi kornea normal.12

Gambar 8. Topografi kornea normal yang menunjukkan bentuk


oval.12
Peta topografi kronik dan pachymetry diperoleh menggunakan
pencitraan Scheimpflug (Pentacam, Oculus Optikgeräte GmbH, Wetzlar,
Jerman). Keratometry maksimal (Kmax) indeks adalah 52,9 D (OD) /53,5 D

11
(OS) dan 54,4 D (OD) /55,4 D (OS), masing-masing. Pachymetry
menunjukkan penipisan kornea difus. Pada titik tertipis, nilai ketebalan
kornea 241 μ (OD) / 291 μ (OS) dan 286 μ (OD) / 305 μ (OS).11

Gambar 9. Kornea topografi menunjukkan penipisan kornea dari


limbus ke limbus.11
6. Histopatologi
Gambaran anatomi yang telah dijelaskan untuk keratoglobus
korneanya sering terjadi gangguan atau tidak adanya lapisan Bowman,
penipisan stroma dan disorganisasi, dan penipisan atau penebalan Membran
Descemet. Stromal menipis di daerah perifer atau mid-perifer seperti terlihat
secara klinis. Poliquin dkk menjelaskan berbeda temuan histopatologi untuk
jenis keratoglobus yang didapat, yang dicirikan oleh dasar lapisan Bowman
normal yang mengalami jeda fokus dengan ektasia stroma superfisial
sekunder pada patologi kornea lainnya. Temuan histopatologi serupa dengan
keratoconus.
Studi imunohistokimia keratoconus telah dilakukan, tetapi terbatas
dalam kasus keratoglobus. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Meghpara
et all menggambarkan fitur imunohistokimia pasien keratoglobus
dibandingkan dengan keratoconus dan kornea normal. Mereka menemukan
penurunan ekspresi inhibitor proteinase alpha-1-PI, dan peningkatan

12
ekspresi dari faktor transkripsi Sp1 di epitel kornea. Ketidakseimbangan ini
menyebabkan perubahan dalam proses degradasi dalam kornea. Sebagai
tambahan, mereka menemukan peningkatan ekspresi matriks
metalloproteinase (MMPs) 1, 2, dan 3 dalam sel epitel. MMP bertanggung
jawab atas degradasi beberapa komponen ekstraseluler matriks dan
transkripsi diregulasi oleh berbagai mediator inflamasi dan dihambat oleh
jaringan inhibitor metaloproteinase.Peran mereka dalam perbaikan luka dan
pemodelan ulang sudah dikenal. Temuan serupa diamati dalam keratoconus.
Namun, dalam keratoconus, ada peningkatan ekspresi hanya MMP 1, yang
maksimal di sentral, sesuai dengan bidang penipisan maksimal pada
penyakit ini. Dibandingkan,peningkatan ekspresi Sp1 dan MMP 1, 2, dan 3
ditemukan difus di seluruh kornea, tetapi maksimal pada mid-perifer dan
berhubungan dengan area yang mendasari gangguan lapisan Bowman.
Peningkatan ekspresi produk pro-degradasi dan penurunan ekspresi zat
penghambat kemungkinan besar merupakan patogen utama faktor dalam
penyebab ectasia.1

Gambar 10. Photomicrograph dari (a) lamellar kornea menunjukkan


penipisan stromal difus (pewarnaan: hematoksilin dan eosin), (b) kornea
sentral yang menunjukkan epitel kornea yang tipis dengan edema
intraepitelial dan pemisahan epitelium dari membran basal epitel. Ada
diskontinuitas lapisan Bowman (ditandai antara dua panah merah dan dua
panah hitam; pewarnaan: hematoksilin dan eosin).1

13
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama dari kasus keratoglobus adalah gangguan
ektasia kornea noninflamasi lainnya termasuk keratoconus, pellucid marginal
degeneration, keratoconus posterior. Selain itu, kebingungan mungkin timbul
pada pasien muda dalam membedakan keratoglobus dari glaukoma kongenital
dan megalocornea.
Dalam kasus megalocornea, yang membedakan utama adalah
peningkatan diameter kornea (biasanya berakhir 12,5 mm) dengan tidak adanya
penipisan kornea. Berbeda dengan keratoglobus di mana diameter kornea
normal dan ada penipisan yang mendalam dan menyebar.Jadi pada
megalocornea tidak ada tonjolan kornea,astigmatisme, hidrops, atau jaringan
parut dengan tidak adanya penipisan kornea. Glaukoma kongenital mungkin
juga disertai dengan protrusi moderat kornea, hidrops, dan astigmatisme ringan
dengan miopia. Namun, ciri khasnya pada peningkatan tekanan intraokular dan
mungkin perubahan saraf optik glaukoma yang tidak ada dalam kasus
keratoglobus. Juga tidak ada penipisan kornea. Pada glaukoma kongenital,
miopia terjadi karena peningkatan panjang aksial anterior dan posterior,
sedangkan dalam keratoglobus itu terutama karena peningkatan kelengkungan
kornea.
Keratoconus berbeda dari keratoglobus dari aspek usia penderita.Pada
keratoglobus didapatkan saat lahir, sedangkan keratoconus berkembang diusia
sekitar pubertas dan dapat berkembang sampai usia 40–50 tahun. Keratoglobus
dianggap sebagai gangguan progresif atau minimal progresif. Penipisan kornea
pada keratoconus paling sering terlihat pada paracentral inferior dari kornea.
tonjolan umumnya digambarkan berbentuk kerucut dengan penipisan maksimal
pada puncak. Berbeda dengan keratoglobus yang hadir dengan penipisan difus
dan tonjolan globular. Skar umumnya ditemukan di keratoconus, dan terdapat
Vogt striae dan Fleischer ring. Dalam kasus pellucid marginal degeneration,
presentasi usia sekitar 20-40 tahun. Penipisan kornea melibatkan bagian kornea
inferior, dengan lebar 1–2mm dan mulai dari arah jam 4 hingga 8. Penonjolan

14
terjadi lebih superior ke daerah penipisan mengarah ke karakteristik pola
topografi. Skar dan hidrops mungkin juga terjadi.1

Gambar 11. Angulasi dari lower lip di downgaze yang dikenal sebagai
Munson sign, yang merupakan tanda nonspesifik keatoconus.9

Gambar 12. Pellucid marginal degeneration (A) penonjolan kornea


inferior (B) slit lamp menunjukkan penonjolan kornea superior ke titik
penipisan maksimal.9

I. TATALAKSANA
Pengobatan keratoglobus tetap menantang hingga saat ini. Terapi
konservatif adalah koreksi refraktif untuk myopia tinggi, tetapi dibatasi oleh
astigmatisme high ireguler. Penggunaan lensa kontak dan lensa scleral yang
lebih baru telah dijelaskan, tetapi masih menjadi bahan perdebatan karena
risiko perforasi. Tidak ada studi khusus atau literatur tentang pemasangan
lensa kontak dalam kasus keratoglubus. Penonjolan yang ekstrem dan
ketidakteraturan membuat rumit, dengan kebutuhan akan keseimbangan antara
optik dan stabilitas lensa. Penyesuaian pada pasien ke pasien, lensa sclera, rigid

15
gas permeable (RGP) lensa berdiameter kecil, reverse geometry hydrogel
lenses, juga RGP lensa berdiameter besar telah dijelaskan untuk ectasias
kornea. Yang sangat penting bagi pasien adalah konseling untuk penggunaan
pelindung mata, dan menghindari kontak olahraga karena risiko perforasi yang
tinggi. Namun, pada anak-anak, penggunaan kacamata pelindung sulit
membuat mereka rentan terhadap cedera.
Perawatan hidrops akut dapat bersifat konservatif dan operatif.
Pengobatan konvensional tidak spesifik, dan melibatkan penggunaan patching,
lensa kontak, saline hipertonik topikal, dan cycloplegics untuk mengurangi
oedema. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan tentang resolusi lebih cepat
dengan menggunakan gas intracameral telah membawa pergeseran ke arah
intervensi bedah hidrops akut. Gunakan oksigen, sulfur hexafluoride, dan
perfluoropropane telah dijelaskan. Gas dianggap bertindak sebagai penghalang
masuk cairan ke dalam stroma kornea, serta agen tamponading, terlepasnya
tepi robekan Descemet. Secara teoritis dirasakan membantu dalam migrasi
endotel melintasi air mata. Berbagai penelitian telah menunjukkan waktu
resolusi yang lebih cepat secara signifikan dengan menggunakan agen-agen ini
dibandingkan dengan terapi konvensional hidrops akut dengan keratoconus
serta beberapa laporan kasus kerataglobus.
Operasi, tidak ada prosedur standar yang dikenal karena kelangkaannya,
dan oleh karena kelangkaan laporan hasil operasi yang konsisten. Tujuan
intervensi bedah sebelumnya terbatas pada perbaikan perforasi. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, umumnya menghasilkan hasil yang buruk karena sifat
perforasi yang biasanya besar dan stellata, dan karena rapuhnya kornea yang
menipis yang mencegah penempatan jahitan yang stabil atau ‘cheese-wire’.
Upaya untuk mengatasi masalah-masalah ini telah dilaporkan dalam beberapa
laporan kasus menggunakan gas intracameral atau perfluoropropane sebagai
agen tamponading untuk mencapai penutupan luka di samping untuk menutup
jahitan. Keratoplasty penetrasi konvensional dalam hal ini pasien juga tidak
mungkin karena kornea yang menipis dan ketebalan periferal graft-host
mencegah penutupan luka yang memadai. Pasien tetap memiliki astigmatisme

16
yang ireguler dan pada akhirnya memiliki penglihatan yang buruk atau
stabilitas tektonik. Keratoplasty penetrasi dengan teknik donor graft limbus ke
limbus untuk menghindari jembatan graft-host dibagian yang menipis tengah
sampai perifer, sehingga menciptakan stabilitas yang lebih baik. Namun, ini
menyebabkan hilangnya fungsi imunologi terhadap kornea avaskular,
meningkatkan kemungkinan penolakan graft, dan oleh karena itu
membutuhkan imunosupresi jangka panjang.
Keratoplasti Lamellar juga telah dicoba dikasus-kasus ini, yaitu
epikeratoplasty. Ini adalah tipe onlay lamellar procedure yaitu posterior
konjungtiva diseksi dan penghilangan host epitelium, donor corneoscleral
lenticule tanpa endotelium dan Membran Descemet ditempatkan di atas host
kornea dan dijahit pada bagian perifer sclera. Epikeratoplasty pertama kali
dijelaskan oleh Kaufman dan Werblin dalam pengobatan aphakia, miopia, dan
keratoconus pada anak-anak, dianggap aman dan mudah. Namun, large onlay
grafts seperti itu mengganggu dan menyebabkan re-epitelialisasi host limbal
stem cells tertunda atau defek persisten epitel yang merupakan komplikasi
paling umum dari prosedur. Pada akhirya dapat menyebabkan peningkatan
kemungkinan infeksi dan komplikasi selanjutnya. Javadi et all telah
menggambarkan variasi dalam teknik untuk menghindari kerusakan limbal
stem cell. Mereka mendeskripsikan pembentukan 360 derajat lamelar perifer
kantong intrastromal dihost kornea dimana donor lentikula kornea dimasukkan
secara perifer, dengan demikian menghindari manipulasi dihost limbus.
Komplikasi yang dilaporkan termasuk opasitas interface dan kista
intraepithelial yang akan mempengaruhi hasil akhir visual. Namun, prosedur
ini memberikan hasil yang stabil. Stabilitas bedah dan hasil visual dilaporkan
jauh lebih baik dibandingkan dengan konvensional keratoplasty penetrasi.
Posedur lain seperti ‘tuck-in’ lamellar keratoplasty. Ini melibatkan
diseksi lamellar kornea sentral dan diseksi lamellar kantong intrastromal di
perifer. Diseksi lamellar dari kornea yang sudah menipis secara teknis
kemungkinan menyebabkan perforasi selama prosedur.

17
Tidak ada prosedur bedah standar dimanajemen keratoglobus. Laporan
bedah hasilnya dibatasi oleh kondisi kelangkaan. Prosedur ini memiliki
kelebihan dan kerugian masing-masing, dan pilihan prosedur akan bergantung
pada pilihan ahli bedah dan kemampuan teknis. Perawatan tetap menjadi
tantangan baik dalam rehabilitasi visual serta menjaga integritas structural dari
kornea.1
J. KOMPLIKASI
Sebagai akibat dari penipisan dan tonjolan kornea terjadi myopia ekstrim
dan astigmatisme high ireguler yang sulit diobati dengan koreksi refraksi.
Dapat terjadi hidrops akut kornea akibat rupture membrane descement.
Perforasi kornea terjadi akibat penipisan ekstrim dan kerapuhan kornea.1
K. PROGNOSIS
Intervensi bedah pada keratoglobus umumnya terbatas pada perbaikan
perforasi, namun umumnya menghasilkan hasil yang buruk karena sifat
perforasi yang biasanya besar dan stellata. Pasien tetap memiliki astigmatisme
yang ireguler dan pada akhirnya memiliki penglihatan yang buruk.1

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Wallang BS, Das S. 2013. Keratoglobus. Macmillan Publishers Limited.


www.nature.com/eye
2. Meghpara B, Nakamura H, Vemuganti GK, et all. 2009. Histopathologic and
Immunohistochemical Studies of Keratoglobus. Arch Ophthalmol.
2009;127(8):1029-1035
3. Boyd S, Gutlerrez AM, McCulley JP. 2011. Atlas and Text of Corneal
Pathology and Surgery. Jaypee-Highlights Medical Publisher Inc.
4. Yanoff M, Durker JS. 2014. Ophthalmology fourth edision. Elsevier
5. Yanoff M, Duker JS. 2009. Ophthalmology Third Edition. Elsavier
6. Mannis MJ, Holland EJ. 2017. Cornea Fundamentals, Diagnosis and
MAngement. Fourth Edision. Elsavier
7. Riordaneva P, Whiteer JP. 2009. Vaughan & Asbury Oftamlologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC
8. Ozer PA, Akkaya ZY, 2014. Congenital Keratoglobus with Multiple Cardiac
Anomalies: A Case Presentation and Literature Review. Seminars in
Ophthalmology, Early Online, 1–8, 2014
9. Rathi FM, Murthy SI, Bagga B, et all. 2018. Keratoglobus: An experience at
a tertiary eye care center in India. Indian Journal Of Ophthalmology. Vol. 63
No. 3
10. Kodjikian L, Baillif S, Burillon C, et all. Keratoglobus surgery: penetrating
keratoplasty redux. Acta ophthalmologica scandinavica 2004
11. Imamoglu s, Kaya V, Imamoglu Y, Gok K. 2018. Congenital keratoglobus
with blue sclera in two siblings with overlapping Marshall/Stickler
phenotype. Indian Journal of Ophthalmology Vol. 64 No. 11
12. Nema HV, Nema N. 2012. Textbook Of Ophthalmology Sixth Edition.
Jaypee-Highlights Medical Publisher Inc.

19

Anda mungkin juga menyukai